Sabtu, 06 Februari 2010

MENGGANTI BHINEKA TUNGGAL IKAN DENGAN TORANG SAMUA BASUDARA

Kondisi damai, tentram dan sentosa Manado yang dibanggakan kini bukanlah prestasi satu dua pihak. Tapi merupakan buah dari kerja bersama antara pemerintah dan peran significant masyarakat sipil. Slogan kemudian dibuat Gubernur Mangindaan untuk merangkum kondisi yang mesti terus dipertahankan itu sebagai etika Torang Samua Basudara. Komitmen itu kini dipertajam dengan program Tahun Kasih di masa kepemimpinan Sondkah-Sualang yang mencoba hendak melakukan upaya proliferasi (pengembang-biakan) kehidupan kerukunan bersama khas Sulut tersebut. Juga penguatan dengan membentuk lembaga-lembaga kerjasama antar umat beragama di daerah di masa pemerintahan Gubernur Sinyo Sarundajang kini.

Beberapa pihak dapat disebut melakukan peranan penting dalam menciptakan kondisi Manado sekarang ini. Yang pantas disebut adalah:

1) Kalangan LSM dan aktor-aktor kunci pemimpin umat.

Berbagai forum lintas agama membahas masalah-masalah antar agama dilakukan. Bahkan sempat membuat jaringan kampanye bersama dengan mempergunakan berbagai media publik (radio, koran dan jalur online) dan media alternatif lain (poster, selebaran, spanduk dll). Kajian-kajian sempat menawarkan gagasan-gagasan dialog mutakhir. Juga membahas tema perdamaian sebagaimana dirumuskan Hans Kung, there is no peace among nations without peace among religions. Serta tawaran Etika Globalnya.

2) Organisasi-organisasi masyarakat dan pemuda terutama yang terkait dengan institusi agama.

Berperan dalam berbicara ke kalangan umatnya masing-masing tentang nilai sakral dari perdamaian, dialog serta pluralitas. Kemajuan fenomenal dapat dilihat pada ceramah reguler KH Arifin Assagaf di Radio Al Chairaat untuk umat muslim, tetapi didengar juga kalangan Kristen di bagian Utara Manado (wilayah yang paling heterogen dari sisi agama dan etnik) dan menyejukkan hati kalangan Kristen. Eksplosi dapat dihindari, pada masa-masa susah ketika orang menyebut-nyebut adanya konsep kerusuhan berantai di kota-kota ATM (Ambon-Ternate-Manado).

3) Media Publik dan Khusus

Media dengan praktik pemberitaan yang menjauhkan diri dari upaya sengaja atau tidak sengaja menyulut sentimen dan konflik. Praktik media perang dan damai sebagaimana yang pernah dirumuskan Johan Galtung diwaspadai benar. Jika konflik di beberapa daerah lain dituduh turut dipicu media -- sebagai misal konflik Poso akibat pemberitaan Harian Mercusuar dan konflik antar agama yang diperparah oleh pecahnya media ke dalam dua kubu yang bertikai – di Manado kesadaran peran damai media dalam mencegah konflik multikultur relatif lebih maju. Mengingat perkataan Bertolt Brecht dalam Geschicten vom Herrn Keuner) yang mengatakan: Jika koran dipandang sebagai sarana membuat kekacauan, koran pun dapat digunakan sebagai sarana untuk menciptakan ketertiban.

Tapi bukan koran saja yang berperan dalam memberikan berita menyejukkan, tapi juga kalangan radio yang juga melakukan serangkaian kegiatan perdamaian.

4) Pemerintah dengan segenap aparatnya.

Setiap potensi konflik bisa cepat ditangkal oleh pemerintah lewat berbagai kegiatannya. Di banyak kesempatan pejabat-pejabat selalu berpesan tentang keindahan kerukunan hidup antar pemeluk agama dan mengembangkan dialog antaragama. Terutama ketika sedang beracara dengan umat agama tertentu.

Kekerasan Atas Nama Agama

Sungguh kita trenyuh melihat banyak aksi kekerasan yang dilakukan orang atas nama agama. Kenyataan ini agak sulit dimengerti karena posisi sebenarnya dari agama adalah anugerah sukacita bagi manusia. Juga agama (dalam lingkungan Kristen) dipahami sebagai pembawa kabar sukacita dan cinta kasih. Dalam Islam agama dilihat sebagai rahmatan lil -‘alamin (rahmat bagi alam).

Tapi kenapa justru mewujud jadi sekumpulan korban mati mengenaskan, darah yang tumpah ruah dan bagian-bagian tubuh yang berserakan, kesedihan, penderitaan, dukacita, dendam serta kebencian. Atau menjadi peristiwa kelabu yang mengakibatkan gedung WTC New York rusak berantakan dengan ribuan nyawa melayang. Hal yang sama masih berlangsung pasca dua kali bom Bali, dan dua kali bom Hotel J.W. Marryot.

Manuver Osama bin Laden

Sekelompok orang di bawah organisasi yang didalangi Osama bin Muhammad bin Awad bin Laden dituduh berada di balik tragedi WTC di New York tahun lalu. Osama memang kuat dihubungkan terlibat karena sikap penentangannya yang garang terhadap semua kepentingan Amerika Serikat di seluruh dunia. Atau terhadap semua kekuatan Salibis dan Zionis. Artinya terhadap semua kekuatan umat Kristen dan Yahudi.

Rekor kekerasan Osama yang ditujukan pada Amerika Serikat dan bukti-bukti lain membuatnya dituduh berada di balik aksi-aksi kekerasan melawan kekuatan salibis dan zionis. Osama sebenarnya adalah salah seorang pejuang yang dibantu pihak Amerika Serikat melawan tentara Uni Soviet yang menduduki Afganistan. Ketika kawan dan gurunya Syaikh Abdullah Azzam meninggal di Peshawar dia kehilangan semangat dan kembali ke Saudi Arabia di mana keluarga miliarder bin Laden dan bisnis keluarganya berada.

Ketika Irak menginvasi Kuwait, kerajaan Arab Saudi yang ketakutan revolusi bakal berkibar ke negara tersebut, Bin Laden menawarkan diri hendak mempertahankan negerinya dari kemungkinan invasi. Tetapi, pemerintah kerajaan malah berpaling pada proteksi yang disediakan pemerintah Amerika Serikat. Bin Laden kecewa. Dia berpendapat tentara Amerika telah mengotori negara Al-Haramain (negara dengan dua tempat suci Islam di Makkah dan Madinah) dengan kegemaran pesta dan kaset-kaset Madonna.

Dia melakukan oposisi keras terhadap keputusan pemerintah Arab berkolaborasi dengan Amerika Serikat itu. Akibatnya pemerintah Arab Saudi kerajaan menahannya di Jeddah. Tahun 1991 dia memutuskan meninggalkan Arab Saudi dan pada tahun 1992 sudah berada di Khartoum, ibukota Sudan. Kota tempat berseliwerannya berbagai jaringan spionase dunia. Di sana dia diduga keras menjadi donatur banyak aksi terorisme dunia.

Bin Laden punya koneksi khusus dengan kelompok radikal Mesir yang bermarkas di Khartoum di antaranya Al-Jihad Al-Islami yang pimpinan terkenalnya adalah Dr. Ayman Al-Zawahiri yang merupakan salah satu orang lingkaran dalam Osama. Tokoh ini disebut-sebut binasa dalam perang Amerika Serikat dan pendukungnya terhadap rezim Taliban dan pengikut Osama.

Tahun 1994 pemerintah Arab Saudi mencabut kewarganegaraan Osama. Dan dua tahun setelah itu, tepatnya tanggal 23 Agustus 1996 tercatat merupakan titik balik penting dari posisi Osama yakni dari seorang Islam moderat -- yang bekerja membangun berbagai fasilitas publik (jalan) di Khartoum, maklum dia memang seorang insinyur sipil dan hobbi bertani -- menjadi tokoh yang menyuarakan sikap anti Amerika secara konsisten.

Pada tanggal itu dia membuat deklarasi jihad yang menyerukan pemuda-pemuda Islam membunuh semua penjajah Amerika di kerajaan Arab Saudi. ‘’Dinding-dinding penindasan dan penghinaan tidak dapat dihancurkan kecuali dengan hujaman peluru,’’ demikian bunyi salah satu kalimat deklarasinya yang selalu disiarkan CNN sebagai bukti ideologi kekerasan Osama.

Februari 1998, dia melakukan pertemuan dengan para kelompok ekstremis fundamentalis Islam, di antaranya kelompok Al-Jihad Al-Islami. Dalam pertemuan ini Bin Laden mengajak untuk menyerang semua kepentingan Amerika di manapun berada.

Agustus tahun itu juga dua kedutaan besar AS di Kenya dan Tanzania diledakkan dengan korban ratusan orang. Dua hari pemboman itu Madeleine Albright memastikan Bin Laden adalah tersangka utama. AS kemudian dalam selang waktu 13 hari membalas Osama dengan meluncurkan 60 rudal Tomhawk ke markas Osama di Khost. Tapi Osama selamat. Malah dia berjanji akan membalas setiap tindakan Amerika Serikat.

Pada tanggal 11 September 2001 terbukti gedung menara kembar WTC New York hancur ditabrak oleh dua pesawat penerbangan sipil oleh kaum teroris. Ribuan orang di gedung itu terkubur. Ini serangan kedua setelah tahun 1993, WTC New York juga dihantam bom yang menewaskan 6 orang dan melukai ribuan orang. Tahun 1995 pihak AS berhasil meringkus Ramzi Yousef (otak peledakan pertama WTC 1993) yang ditangkap di Pakistan.

Yang pantas diceritakan dalam perjalanan helikopter yang membawanya ke kantor pusat FBI New York melintasi samudera Atlantik . Ramzi dengan bangga menceritakan rencana sebenarnya atas WTC yakni akan menanam perangkat berhulu ledak yang besar di gedung WTC bertingkat 110 lantai itu yang diperkirakannya akan memakan korban 250.000 orang korban dalam dan luar gedung.

Skenario teror yang diceritakan Ramzi itu gagal dilakukan karena dia tidak dapat membeli dinamit yang cukup dan akhirnya memutuskan untuk sekadar meledakkan yang kecil saja tahun 1993. Rencana itu akhirnya bisa dilaksanakan dengan mempergunakan dua pesawat terbang yang diterbangkan menerjang gedung WTC pada 11 September 2001 yang sama-sama kita ketahui. Berbagai pemboman lain juga dihubungkan dengan aksi teror Osama dengan jaringan Al Qaeda-nya.

Tapi apa sebenarnya yang mendorong tokoh semacam Osama menggelar aksi kekerasan? Ideologi apa yang merasukinya? Jawaban semacam itu bisa disimak dari wawancaranya dengan Time dan Nations (lihat buku Osama bin Laden Melawan Amerika, Ahmad Dumyathi Bashori/editor, Mizzan, 2001). Secara singkat dapat disebut Osama memandang gerakan kekerasannya sebagai misi suci agama yang dilakukan untuk melawan kekuatan-kekuatan yang mengancam agamanya. Osama menyerukan jalan Jihad bersenjata melawan Amerika Serikat dan Israel.

Kata Osama pada Time, ‘’Front Internasional untuk Jihad melawan AS dan Israel—dengan pertolongan Allah Swt -- telah mengeluarkan fatwa kepada segenap umat Islam untuk berjihad dengan tujuan membebaskan tempat-tempat suci. Umat Muhammad SAW telah menanggapi seruan dan ajakan ini. Kalau memang anjuran jihad melawan Yahudi dan AS untuk membebaskan Masjid Al-Aqsa dan Masjid Al-Haram diasumsikan sebagai perbuatan kriminal biarkan sejarah sebagai saksi bahwa saya adalah kriminal. Tugas kami hanya menganjurkan dan dengan inayah Allah SWT. Kami lakukan itu. Alhamdulillah, beberapa orang telah merespons seruan ini.’’

Dalam wawancara dengan Nations tampak jelas uraian bahwa Osama mempergunakan teks-teks suci untuk menyokong gerakannya. Osama membuat pemaparan bahwa negeri-negeri muslim sudah jatuh dalam tekanan kaum asing Salibis-Zionis Amerika Serikat dan Israel. Mulai dari Irak, Libia, Suriah, Lebanon, Sudan, Yordania, Mesir dan Somalia. Dan tidak ada jalan lain bagi dunia muslim selain harus mengangkat senjata dan melakukan kekerasan sembari mengutip ayat Al-Baqarah [2]: 216. ‘’Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, pada dia amat baik bagimu, dan mencintai sesuatu, padahal dia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.’’ Ketakutan untuk berperang (jihad) di kalangan masyarakat muslim disebut Osama sebagai malapetaka dunia muslim.

Pada bagian lain wawancaranya dia mengatakan: ‘’ Muslim harus memperhatikan benar ayat-ayat tentang loyalitas, keimanan dan jihad. Mereka tidak boleh menjalin hubungan dengan Yahudi dan Kristen karena Allah Swt telah menerangkan dalam kitabnya, ‘’Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS Al-Ma’idah [5]: 51)

Kekerasan Atas Nama Agama Yang Lain

Tapi sesungguhnya kekerasan yang dilakukan atas nama agama terjadi oleh banyak kelompok di semua agama – agama besar dunia, bukan hanya kalangan Islam. Banyak pembunuhan dan pembantaian dalam sejarah yang menunjukkan kaitan spirit agama dalam tindakan kekerasan yang sangat berdarah-darah. Dan sekali lagi ini bukan fenomena satu agama saja, tetapi lintas agama-agama. Kekerasan dan teror atas nama agama itu biasa dilakukan oleh kelompok sempalan dalam agama tertentu yang merasa perbuatan itu merupakan upaya taat kepada Tuhan, (lihat buku Dr. Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizzan, 1999).

Shihab mencatat fenomena kekerasan mewarnai kekerasan sejarah kehidupan keagamaan. Dalam kajiannya, pada masa formatif Islam, tiga dari empat khulafa al–rasyidun dibunuh oleh tangan-tangan kelompok ekstremis. Khalifah keempat Sayyidina Ali bin Abi Tahlib dibunuh oleh kelompok Khawarij, yaitu ekstremis yang membenarkan tindakan kekerasan dalam mengubah status quo.

Di kalangan Kristen lumuran darah akibat ekstremitas pemahaman keagamaan pun tidak kalah banyaknya. Misalnya, eksekusi yang dilancarkan kalangan mainstream Kristen kepada kelompok sekte yang lazim dinamakan kaum sempalan (heretic) juga mewarnai sejarah Kristen yang melahirkan peristiwa Black Bartolomy di Eropa. Atau dosa gereja Jerman terhadap kaum Yahudi di zaman NAZI. Hingga kini perseteruan agama di Belfast, Inggris, belum kunjung usai dan menemukan formula solusinya.

Di dunia modern kini kekerasan atas nama agama tidak kunjung redup ternyata. Dalam dekade terakhir ini saja tercatat beberapa tindakan kekerasan yang disulut kelompok keagamaan yang ekstrem. Misalnya, kelompok Takfir wal Hijrah di Mesir yang bertanggungjawab atas pembunuhan Anwar Sadat Oktober 1981 saat menghadiri acara parade militer. Tahun 1984 Indira Gandhi, dibunuh oleh dua bodyguard-nya sendiri dari kelompok Sikh yang melakukan balas dendam atas kebijakan Indira yang dinilai merugikan Kaum Sikh, juga didorong oleh motivasi keagamaan.

Selanjutnya pembunuhan perdana menteri Israel Yitzhak Rabin oleh aktivis kaum fundamentalis Yahudi Haredim, Yigal Amir. Ciri kelompok ini adalah militansi, atau ketangguhan berjuang untuk mencapai tujuan, baik melalui ide ataupun senjata. Ketika Rabin terbunuh kelompok Haredim justru merayakannya bahkan mereka mengumpul dana untuk membayar biaya sewa pengacara yang akan membela Yigal Amir. Dalam keterangan dipengadilan Yigal Amir menyatakan tindaknya sebagai ‘’tugas keagamaan saya sesuai dengan anjuran halakha (hukum agama Yahudi).’’

Di Indonesia banyak kasus bisa kita tunjuk sebagai kekerasan atas nama agama. Apa yang terjadi di Maluku dan Maluku Utara yang ceritanya beredar dari mulut ke mulut di Manado adalah contoh kekerasan yang penderitanya adalah kalangan Kristen. Sama halnya cerita sejenis yang dibawah para mantan penduduk Maluku yang berada di Makassar yang menceritakan bagaimana kalangan Islam yang jadi korbannya.

Medan pembantaian yang lain adalah Poso yang hingga kini masih terus meledak sewaktu-waktu. Kalangan Kristen yang melarikan diri ke Manado, hingga kini masih ada di barak-barak penampungan. Cerita mereka tentang kenasiban mereka membuat kita sedih atas prestasi buruk manusia Indonesia yang menyebut dirinya masyarakat berbudi pekerti dan beragama.

Reinterpretasi Bhinneka Tunggal Ika

Konsep yang biasa dipakai untuk menangkal terjadinya perpecahan sosial di Indonesia sudah lama dirumuskan para pendiri republik ini -- terutama sangat direkomendasikan oleh Mr. Muhammad Yamin – yakni konsep Bhinneka Tunggal Ika yang biasanya diterjemahkan menjadi ‘berbeda-beda tetapi satu jua.’

Ceritanya, sewaktu Republik Indonesia digagas menjadi wadah negara bagi bangsa-bangsa Nusantara bekas jajahan Belanda, Yamin memilih frase Bhinneka Tunggal Ika (BTI) untuk melukiskan bagaimana sekian entitas berbeda bisa menjadi satu. Frase ini adalah kutipan Yamin dari kalimat Mpu Tantular dalam salah satu karya kakawin (satu bentuk sastra tulis Jawa Kuno) berjudul Sutasoma.

Menurut kajian S. Supomo, mantan dosen di ANU Australia, karya ini diperkirakan ditulis antara tahun 1367-1389, artinya semboyan BTI sudah berusia 600 tahun lebih (lihat tulisan S. Supomo, Tantular dan Karyanya, dalam 1000 Tahun Nusantara, Kompas, 2000).

Tidak ada penjelasan memadai bagi para aktivis kemerdekaan Indonesia, di tahun 1945, soal mengapa frase Tantular itu yang dipilih Yamin untuk menjadi kalimat mujarab persatuan Indonesia. Kecuali menurut Yamin ada beberapa orang yang tahu tentang karya sastra kakawin itu terutama beberapa tokoh Jawa dan Bali.

Tapi, setelah membaca telisikan kritis ahli naskah kuno seperti S. Supomo, saya bersimpulan BTI sebenarnya bukanlah filsafat hidup yang memang sudah dijalankan dan ihwal kemujarabannya hendak dikampanyekan dalam karya Mpu Tantular ini. BTI ternyata lebih merupakan kalimat bijaksana penulis kakawin yang hendak ditawarkan untuk permakluman bersama.

Frase itu muncul dalam kakawin Sutosoma saat pertempuran antara Porusada dan Sutasoma. Porusada, dikisahkan adalah raksasa pemakan daging manusia yang berjanji akan mempersembahkan korban berupa seratus orang raja kepada Betara Kala. Dia telah berhasil mengumpulkan seratus kepala raja, namun Betara Kala masih meminta tambahan seorang lagi, yaitu Sutasoma, raja dari kerajaan Hastina yang diceritakan merupakan penjelmaan Buddha.

Dalam pertempuran keduanya, Porusada merubah dirinya menjadi Siwa, sedang Sutasoma menampakkan citra diri sebagai Buddha. Porusada sebagai Siwa, saking marahnya merubah dirinya sebagai Api Kala yang akan membakar seluruh bumi. Sutasoma, dengan hati buddhisnya, demi menyadari api itu bakal membakar semua kehidupan bumi tidak terkecuali, sebelum waktunya, segera secara sukarela menyerahkan diri kepada Porusada untuk diserahkan kepada Kala.

Ajaib, justru tindak Sutasoma itu menyebabkan hati Porusada mengalami perubahan total, keganasannya sebagai raksasa lenyap diganti dengan rasa kasih sayang kepada sesama mahkluk. Bahkan Betara Kala sendiri diceritakan hatinya tersentuh. Hatinya jadi dipenuhi kasih sayang dan minta menjadi murid Sutasoma.

Dalam kakawin Sutasoma itulah, pada saat Porusada menampakkan citra Siwa dengan Api Kalanya, para dewa kuatir dunia akan benar-benar binasa, karena itu para dewa turun ke bumi untuk melerai. Untuk menenangkan Siwa, para Dewa mengatakan bahwa tidak mungkin dia (Siwa) dapat mengalahkan Sutasoma -- yang adalah penjelmaan Buddha—karena walau Buddha dan Siwa dua subtansi yang berlainan, tidak mungkin keduanya dipisahkan.

Nah ketika itu para dewa mengatakan kalimat perdamaian berbunyi: ‘’... Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal/bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa...’’. Ini diterjemahkan S. Supomo: ‘’ Pada hakikatnya yang paling dalam Buddha dan Siwa adalah satu/ (keduanya) itu berbeda, (tetapi) itu satu, tak ada dharma yang mendua ‘’ .

Jelaslah pertempuran dua tokoh tadi ditampilkan Tantular sebagai analogi perselisihan atas dasar inspirasi agama masa itu, yaitu antara agama Syiwa dan Buddha. Pertempuran sengit yang akan meluluhlantakkan bumi. Adapun pandangan dan sikap agama Tantular dapat disimpulkan yaitu dalam posisi hendak merujukkan dua entitas jatidiri agamawi itu atau posisi sinkretis.

Pandangan sikretis untuk dua agama yang berbeda itu tidaklah aneh ketika itu. Sinkretisme Buddha-Syiwa dapat diamati pada tulisan suci Jawa Smaradahana Hyang Kamahayanikan, yang berusaha untuk mengsinkretiskan dewa Trimurti Hindu dengan dewa-dewa Buddha Mahayana. Sehubungan dengan ini, R.C. Majumdar menyatakan bahwa gabungan antara Syiwa dan Buddha merupakan ciri khas agama masyarakat Jawa. Bahkan dalam teologi Hindu Bali modern, Buddha dianggap sebagai adik Syiwa. (lihat R.C. Majumdar, Hindu Colonies in the Far East, Calcuta, Firma K.L. Mukhopadhay, 1963 halaman 99).

Jelaslah dari kutipan di atas pada konteks apa Bhinneka Tunggal Ika dipakai Mpu Tantular, yaitu dalam konteks memperdamaikan bahkan menggabungkan dua agama India/Dharma. Karena itu, jelaslah pemakaian BTI kini harus diinterpretasikan kembali dari arti ‘’(keduanya) itu berbeda, (tetapi) itu satu,’’ menjadi pluralitas di konteks Indonesia kini. Karena penggabungan agama tidak bisa diterima oleh agama-agama besar, meski saling pengaruh dan saling memberi inspirasi sudah terbukti terjadi dalam kajian sejarah agama-agama.

Keharusan BTI direinterpretasikan pada Indonesia hari ini, memang harus dilakukan ketika agama-agama dominan yang ada bukan lagi Syiwa dan Buddha atau agama-agama India, tapi agama-agama Semitisme agama-agama Abrahamic. Masa agama-agama India dan proses Indianisasi di bumi Nusantara dihitung punya rentang waktu satu millenium dan berakhir dengan masuknya Islam abad keenam belas kecuali di Bali yang bertahan hingga kini.

Konflik Indonesia hari ini justru lebih kaya dari konflik dua agama Dharma dalam Kakawin Sutasoma. Pasca Hindu dan Buddha, agama-agama monoteistik Abraham (Abrahamic Religions) tercatat masuk ke Nusantara mulai dari agama Islam, Kristen dan Yahudi. Antara agama-agama Abraham ini satu sama lain punya luka-luka sejarah dan klaim kebenaran Allah yang eksklusif antar mereka. Dan, upaya untuk mendekatkan mereka dilakukan lewat pendekatan pluralitas.

Saya mengusulkan BTI perlu diterjemahkan lagi ke dalam khazanah konflik agama-agama Abraham. Saya usulkan pada tataran sosial BTI diterjemahkan menjadi etika sosial: menerima pluralisme dan membentuk persaudaraan di atasnya atau Torang Samua Basudara. Karena, pluralisme akan memberi pintu bagi persatuan yang harmonis dan ikhlas serta menolak penyatuan atau penyeragaman (sinkretis). Dan dalam falsafah Torang Samua Basudara (mengingat percakapan dengan Mantan Gubernur Mangindaan) melihat perbedaan itu dimulai dari satu asal yang sama, yaitu dari Bapa Orang Beriman Abraham.

Pluralitas yang dimaksud mengutip Alwi Shihab mencakup:
Pertama: tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan itu. Seseorang baru bisa disebut menyandang paham pluralisme apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tadi. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan.

Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Karena konsep ini hanya menunjuk pada suatu realitas di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi.

Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Karena seorang relativis berasumsi bahwa kebenaran ditentukan oleh pandangan hidup atau kerangka berpikir seseorang.

Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu ajaran agama ke sebagian ajaran atau keseluruhan ajaran agama lain.

Semangat Torang Samua Basudara

Dari pemahaman dan uraian pluralitas itulah semangat Torang Samua Basudara diturunkan. Menurut Mangindaan, Torang Basudara diderivasi karena agama-agama utama Indonesia kini (terutama Islam, Kristen dan Yahudi) berasal dari satu keluarga Abraham. Menurut saya kerinduan lama untuk memberikan uraian detil terhadap praksis hidup Torang Samua Basudara a la masyarakat Manado sudah saya mulai dan bisa dilanjutkan pihak-pihak lain. Uraian ini akan sangat terbuka untuk disempurnakan oleh mereka-mereka yang berkepentingan dengan upaya untuk memberi uraian yang ilmiah dan komprehensif atas falsafah Torang Samua Basudara yang intinya adalah mengingatkan asal persaudaraan agama-agama besar Semitik di dalam Bapa Abraham.

Secara kebetulan juga Karen Armstrong (bukunya Sejarah Tuhan, Missan 2001) berhasil sekilas membeberkan hubungan (meski agak jauh) antara agama-agama di Timur Tengah dengan agama-agama (Dharma) di India. Karena itu falsafah Torang Samua Basudara tidak sebatas relevan untuk agama-agama Semitik Abrahamik tetapi juga meluas untuk agama-agama Hindia dan agama-agama lain. Dan tidak sebatas omong, tetapi terwujud dalam tindakan.

Berkaitan dengan itu, sudah saatnya di Manado dibuka sebuah pusat kajian agama-agama Abrahamic. Hanya dengan demikian, orang Manado bisa terus menerus bisa memberikan pertanggungjawaban kebudayaan untuk praksis kehidupannya yang khas berkaitan dengan semboyan Torang Samua Basudara.

Tapi rasanya ini semua baru sebuah mimpi saja. Maklumlah karena untuk mengurus masalah kecil saja semacam masalah sampah dan korupsi saja ternyata tidak becus. Tapi, biarlah sekurangnya saya punya mimpi. I have a dream, begitu Marthin Luther King.///Pitres Sombowadile*

MENGOPUR

Mengopur adalah kependekan dari kata mengowe dan puru. Artinya mencari buah pala dengan cara memungut. Mengopur menjadi sebuah istilah sangat lekat di hati siapa saja orang asal pulau Siau yang pernah menjadi anak-anak yang masa-masa sosialisasi kanak-kanaknya, berekspansi melintas kebun-kebun milik orang lain tanpa syarat menggunakan izin masuk kawasan. Tulisan ini mendeskripsikan kenangan penulis tentang apa, siapa, kapan, dimana dan bagaimana mengopur. Dan diakhiri dengan pesan singkat buat pemangku peran.

Apa itu Mengopur?

Mengowe puru adalah kegiatan yang dilakukan anak-anak usia kurang dari 16 tahun untuk menemukan dan mengumpulkan biji pala yang jatuh dari pohonnya. Kami sering mempersingkatnya "mengopur atau mengopure" (bagi rata-rata orang Sangihe, setiap kata yang berakhir konsonan selalu ditambahkan huruf "e" di belakang kata dasar, kecuali di Tagulandang menggunakan huruf 'i'). Peralatan yang diperlukan dalam rangka mengopure adalah “patoka” yang disebut juga “kemeto” yaitu sebutan untuk wadah guna menampung biji pala. Ukurannya bervariasi tergantung penggunanya. Kalau yang menggunakan patoka adalah anak-anak usia 12 tahun. Lebar maximum patoka berkisar 20 cm dikalikan panjang 25 cm. Lebih dari ukuran itu, namanya kemeto. Tentu patoka digunakan untuk aktivitas terbatas oleh anak-anak yang hendak mengowe puru dan kemeto untuk menampung biji pala pada aktivitas panen yang lebih sistematis, seringkali dilakukan oleh orang-orang dewasa.

Demikian kami membedakan antara kemeto dan patoka dalam proporsi pemanfataannya. Baik kemeto dan patoka, kedua-duanya seperti diproses secara alami sehingga mengeras oleh getah pala dan menyerupai tas kulit yang terbuat dari kulit buaya. Semakin keras sebuah patoka atau kemeto, pertanda semakin sering digunakan. Begitu juga penggunanya; sarat pengalaman. Di dalam kemeto biasanya sudah tersedia sebila pisau. Pisau itu untuk membela buah pala yang ditemukan di bawah pohon. Selain itu membantu mengatasi masalah lapar, untuk mengupas buah nenas , buah nangka dan buah kelapa yang ditemukan di tempat-tempat liar (lahan bertuan tetapi tidak digarap).

Siapa Yang Diperbolehkan Mengopur?

Siapa saja anak-anak yang termasuk dalam pasukan mengopure ini? Dari segi umur sudah disebutkan di atas, dari segi strata pendidikan, biasanya yang diperbolehkan oleh tradisi setempat adalah anak-anak SD hingga SMP (sekarang mereka yg mengenyam pendidikan dasar 9 tahun), sedangkan anak-anak remaja yang berada pada level pendidikan SMA sudah malu melakukan aktivitas mengopure ini. Apalagi para orang tua yang sudah menikah. Jika mereka ditemukan sedang melakukan aktivitas mengopure, maka mereka segera menjadi bahan pergunjingan warga kampung. Sesungguhnya tidak ada aturan formal yang membatasinya, hanya saja demikian fenomena itu berlangsung selama bertahun-tahun secara turun menurun.
Sanksi sosialnya berlaku efektif dan fungsional untuk memelihara stabilitas sosial.

Semua pihak akhirnya manut pada aturan tidak tertulis itu. Jadi ada semacam ruang produktif bagi kelompok usia 16 tahun kebawah dalam hal kegiatan agrobisnis pertanian pala di kampungku. Bagi anak-anak kaum elit kampung, semacam anak-anak dari guru-guru atau kepala sekolah, anak-anak kapitalau (kepala kampung) dan pedagang kaya yang hidup mereka berkecukupan diukur dari kepemilikan harta benda (kendaraan dan perahu bermotor), biasanya pada usia layaknya mengopure, justru mereka sibuk dengan pelesiran ke kampung-kampung tetangga atau lebih banyak aktivitasnya dalam kelompok mereka yang sederajat yang biasanya terbangun di pusat-pusat kecamatan.

Kapan Bisa Mengopur?

Setiap hari sejak senin hingga sabtu kecuali minggu, anak-anak belasan tahun di kampungku, usai jam sekolah pukul 13.00, segera setelah makan siang, bergegas mengambil patoka tergantung di sudut dapur dekat para-para yang biasanya digunakan untuk memanaskan biji pala ketika musim hujan tiba. Cuaca cerah sangat baik memulai aktivitas mengopur. Anak-anak ada yang sengaja tidak makan di rumah karena berlomba-lomba saling mendahului.

Musim hujan bukan kendala yang berarti menyurutkan semangat mereka. Hujan berkepanjangan membuat buah pala yang telah matang di beberapa tempat yang lembab dan tanahnya berhumus segera memekarkan buah muda menjadi “lenge” yang putih kemerahan. Tetapi lebih sering buah mudah telah lebih dulu mekar di musim dingin menjadi buantana. Bulan Maret, Juni dan Oktober biasanya masa eksodus burung “aheng” dan “punteng” hendak berkunjung ke komunitas “lengguh” bergabung menjadi mitra kerja sekaligus sahabat baik anak-anak, hingga mereka kian giat mengopur.

Dimana Bisa Mengopur?

Kampung Laghaeng terdiri dari beberapa tempat dengan nama yang berbeda. Soal memberi nama suatu tempat, para moyang di rata-rata pulau Siau sangatlah cermat. Saya boleh merunut dari kesatuan wilayah terbesar yang disebut kampong yang di dalamnya terdapat bagian-bagian wilayah atau anak-anak desa dan dalam satu bagian wilayah terdapat sub-sub bagiannya.
Pada masa orde baru struktur pemerintahan kampong diatur menurut konsep desa sehingga kampong Laghaeng disebut desa Laghaeng dengan tiga dusun. Dusun satu ialah sanumpito, terletak di pesisir utara dari pusat pemerintahan desa. Dusun dua ialah Laghaeng, sebagai pusat pemerintahan kampong. Disini terdapat Pahempang, Tonggeng Laghaeng, Laghaeng, Peliang, Bumbahu dan Tonggeng Bumbahu (Tonggene). Kemudian dusun tiga ialah Batusenggo. Di dalamnya terdapat Sawang, Tarorane dan Lakehe. Letaknya di sebelah selatan Laghaeng induk, berbatasan persis dengan Tonggene. Lantas masih ada dusun 4 yaitu Makoa yang terletak di puncak gunung di sebelah timur Laghaeng. Ke timur Makoa terdapat desa Sawang, sudah masuk wilayah kecamatan Siau Timur (sekarang Siau Timur Selatan).

Semua nama-nama tersebut adalah nama-nama tempat yang berpenghuni. Sepanjang pesisir pantai yang menghubungkan ketiga dusun (Sanumpito – Laghaeng – Batusenggo); terdapat nama-nama tempat tak berpenghuni (hanya terdapat lahan/kebun kelapa, kebun ketela (singkong) dan tumbuhan liar - lamtoro). Tempat-tempat yang menghubungkan Sanumpito-Laghaeng disebut Singkaha, Lohangirung dan Liwua. Struktur tanahnya berpasir dan berbatu di pinggiran pantai. Sedangkan tempat yang menghubungkan antara Laghaeng-Batusenggo adalah Batulepe. Struktur tanahnya berbatu. Tanaman yang cocok disini hanyalah kelapa. Sebaliknya, nama tempat-tempat yang akan dilalui penduduk dari Laghaeng-Makoa-Sawang (Siau Kecamatan Timur) adalah tempat-tempat yang merupakan kebun pala warga di ketiga desa dan atau anak desa itu. Struktur dan ketinggian tanahnya sangat baik untuk perkebunan pala dan kurang cocok untuk tanaman kelapa.

Topografi batas-batas antara anak desa (Sanumpito-Laghaeng-Batusenggo) adalah berbukit. Nama bukit yang memisahkan Laghaeng dengan Sanumpito ialah Bukit Gembalo, sedangkan bukit yang memisahkan Laghaeng dengan Batusenggo ialah Bukit Gumahe. Sebuah anak bukit di antara Bukit Gembalo dan Bukit Gumahe ialah Bowong Peliang. Setiap daratan yang menjorok ke laut dinamakan Tonggeng sehingga ada Tonggeng Laghaeng dan Tonggeng Bumbahu. Di tempatku yaitu Peliang yang terletak di Bumbahu, terdapat nama-nama kebun seperti: Bowong Peliang, Lewae, Batutegi, Dalunge, Lengehe Matei, Pansuhe, Lohange, Nunu, Belase, Gumahe Masana dan Gumahe Marange. Pemberian nama ini ditentukan berdasarkan kondisi tanah dan nama-nama pohon. Tempat yang menjadi tujuan mengopur adalah seluruh kebun yang potensial ditumbuhi tanaman pala. Dengan demikian tidak ada aktivitas mengopur di tempat-tempat yang bernama: Singkaha, Lohangirung, Liwua dan Batulepe karena di tempat-tempat ini sangat jarang dijumpai tanaman pala.

Oleh karena batas alami perbukitan yang terkondisikan seperti itu, otomatis anak-anak Sanumpito tidak diperkenankan untuk mangopur melintas bukit gembalo dan menyebrang ke Laghaeng. Demikian pula anak-anak dari Batusenggo tidak diperkenankan untuk melintas bukit Gumahe untuk mengopur di Laghaeng. Begitu juga anak-anak dari Bumbahu tidak boleh mengopur ke Laghaeng meskipun mereka memiliki kebun sendiri di Laghaeng. Ataupun anak-anak dari Makoa tidak boleh turun ke Laghaeng maupun ke Sawang untuk tujuan mengopur.

Sebaliknya, anak-anak dari Laghaeng tidak diperkenankan memasuki wilayah anak-anak mangopur di daerah kekuasaan anak-anak mengopur di Sanumpito, Bumbahu dan Batusenggo. Bilamana ekspansi wilayah terjadi, maka dalam hitungan beberapa menit, langsung terjadi aksi kejar-kejaran di dalam perkebunan pala. Uniknya, anak-anak dari Makoa seperti kehilangan bagian teritorialnya. Di mata anak-anak mangopure dari Laghaeng, Bumbahu dan Sanumpito, keberadaan anak-anak mengopur dari Makoa adalah sangat terlarang. Wilayah kekuasan mereka hanya sebatas perkebunan pala di kisaran tepi kampungnya dan pergerakannya tidak boleh meluas.

Bagaimana Mengopur?

Secara mendasar terdapat dua kelompok besar yang dapat dibedakan dari cara mendapatkan hasil pala dalam kegiatan agricultur petani di Siau. Cara pertama yaitu melalui pemetikan yang disebut “mengowe awi” dan kedua melalui mengowe puru (mengopur). Sebagaimana dijelaskan di atas, mengowe awi (dalam tulisan ini saya mempersingkat “mengowi”) disebut lebih sistematis dilakukan oleh orang dewasa dengan menggunakan peralatan yang dianggap lebih memadai, terrencana dan dalam skala yang relative besar. Sebaliknya, mengopur serba terbatas dari aspek penggunaan alat maupun penggunanya. Untuk menampung hasil mengowi, petani laki-laki biasanya menggunakan karung dan petani perempuan biasanya menggunakan ‘kahepo’.

Selanjutnya, bagaimana mengatur dan menentukan langkah-langkah pemetikan? Lain kelompok, lain lagi strateginya. Ungkapan ini persis berlaku dalam mekanisme kerja dua kelompok agricultur ini. Mekanisme kerja kelompok mengowe awi (mengowi) baik yang dilakukan secara individu maupun kolektif oleh beberapa orang (upahan) diawali dengan mempersiapkan dan mengidentifikasi lokasi yang menjadi sasaran mengowi. Biasanya dimulai dari tempat-tempat terjauh jangkauannya (di puncak bukit), jika teridentifikasi oleh pemilik kebun, bahwa hasil tanaman pala sudah layak dipanen.

Alat untuk memetik buah pala disebut ‘kekoi’ yang terdiri dari ‘kakambi’ dan ‘sasendeng’. Kakambi digunakan apabila jumlah buah pala yang akan dipetik sangat banyak tetapi tenaga kerja terbatas, sedangkan sasendeng digunakan bilamana pekerjaan pemetikan tidak dilakukan tergesa-gesa. Secara teknis pala yang bertumbuh pada areal kemiringan yang tajam dan tidak berbatu lebih sering menggunakan kakambi. Sedangkan pada areal yang relative landai dan berbatu petani lebih aman menggunakan sasendeng. Jika menggunakan kakambi dalam pemetikan pada areal miring dan luas, maka petani terlebih dahulu memasang alat penahan yang dibuat dari daun-daun kelapa kering. Beberapa petani menggunakan ‘soma’ atau jala ikan yang diatur bertingkat-tingkat. Baik dalam teknik pemetikan menggunakan kakambi maupun sasendeng, seorang petani berpengalaman akan selalu memulainya dari pucuk pohon terlebih dahulu dan berakhir pada pemetikan yang dilakukan dari atas tanah. Mereka tidak memulainya dari bawah atau dari yang mudah terlihat/terdekat mata, selalu harus dimulai dari atas.

Sementara pekerjaan pemetikan sedang berlangsung, sangat tabuh bagi anak-anak mengopur untuk mendekat ke lokasi pemetikan. Jika diketahui oleh sesama rekannya, akan diteriaki sebagai ‘pencuri’ dengan sebutan lebih ringan yaitu “dimuhu” (tindakan masuk tanpa izin ke kebun orang lain untuk mengambil apa yang bukan haknya). Berbeda halnya bilamana aktivitas pemetikan buah pala sudah selesai dilakukan, lalu kelompok anak-anak mengopur bersama-sama diperkenankan masuk menjelajahi seluruh sudut-sudut kebun yang baru saja hasilnya dipanen itu, untuk melakukan apa yang disebut sebagai ‘muleli’ yaitu menemukan dengan cermat buah pala yang tidak sempat ditemukan atau jatuh dari atas pohon pada saat panen baru selesai dilakukan oleh pemilik kebun. Buah pala yang diperoleh dari hasil muleli disebut sebagai ‘tiwatu’. Sanksi social yang diterapkan bagi orang yang melakukan ‘dimuhu’ itu adalah diasingkan dari pergaulan anak-anak mengopur. Dengan sendirinya anak-anak mengopur saling melakukan fungsi control social dalam menjamin tegaknya ‘kode etik’ mengopur.

Kelompok anak-anak mengopur tidak ketinggalan mengidentifikasi berbagai informasi yang berkaitan dengan aktivitas mengowi dari kelompok dewasa. Setelah mengantongi sejumlah informasi dari sesama teman, mereka kemudian mengatur rencana untuk muleli, menemukan tiwatu yang lolos dari jangkauan mata pemilik kebun. Demikian hubungan antara aktivitas kelompok dewasa dengan aktivitas kelompok anak-anak mengopur yang tampak menunjukkan adanya hubungan mutual. Kegiatan mengopur bukan sekedar akibat atau ikutan dari kegiatan mengowi.

Mengopur sesungguhnya adalah kegiatan yang mandiri, produktif dan fungsional terhadap aspek kegiatan lainnya dalam keseluruhan system agribisnis kampong yang memberikan kontribusi positif bagi tingkat kesejahteraan keluarga petani dan melangsungkan keseimbangan alam. Anak-anak mengopur tidak perlu merengek minta belas kasihan orangtua dibelikan buku, buplen dan pensil karena mereka dapat membeli sendiri dari jerih payahnya. Menikmati hiburan film-film video di rumah Lahonsili di Batusenggo pada setiap malam minggu.

Dalam manajemen perencanaan mengopur versi anak-anak kampong, tidak jauh berbeda dengan perencanaan yang dibuat oleh orang-orang dewasa. Setelah memastikan seluruh peralatan mengopur sudah lengkap, barulah anak-anak mengopur mulai beroperasi. Operasi mengopur biasanya dimulai dari kebun-kebun penduduk terjauh. Beberapa anak telah berhasil memetakan tempat-tempat yang banyak menyediakan ‘lengeh’ dan ‘pelohang’. Lengeh adalah buah pala yang sudah masak dan jatuh dari atas pohonnya sedangkan pelohang adalah buah pala yang dikeluarkan dari anus burung, biasanya buah yang lengeh menjadi makanan ‘burung aheng’ dan ‘burung punteng’. Pelohang ditemukan persis pada kebun pala yang dirindangi oleh pohon daihango, pohon aha dan pohon gumahe yang senantiasa dijadikan tempat beristirahat bagi kawanan burung-burung mitra kerja anak-anak mengopur itu. Tempat-tempat yang seperti inilah menjadi ‘tetinamang’ bagi anak-anak mengopure. Tetinamang adalah sebutan bagi suatu tempat yang telah teridentifikasi menyediakan pelohang dan lengeh bagi anak-anak mengopur. Bahkan dalam sehari kadang-kadang seorang anak bisa 3 sampai 5 kali kembali ke tatinamang dan masih menemukan hasil yang diharapkannya dari sana.

Sayangnya tetinamang ini tidak berlangsung lama, karena masih ada orang dewasa yang jahil dan tak paham sama sekali prinsip-prinsip kerja alam. Adalah Yono si pemburu liar dari Batusenggo melengkapi diri dengan senjata angin. Dengan jip dan motor trailnya tampak gagah memanggul senjata seperti sedang ikut berpartisipasi dalam perang di negeri dongeng. Di sakunya tersedia 2 pak peluru terbungkus gardus. Setiap sore Yono mentereng seperti berhasil menaklukan musuh. Membawa 2 ekor aheng seukuran ayam betina kampong tak bernyawa. Tuhe-nya merangkai raga 3 sampai 5 ekor lengguh. Yono meninggalkan hasil ujicoba ketrampilan menembak sejumlah talumisi yang bersarang di tangkai-tangkai pala, bayi talumisi kehilangan induk. Para pahlawan kebunku satu demi satu gugur. Yono bebas melakukan aksinya tanpa izin memburuh dan membunuh.

Pesan Penulis:

Banyak sisi lain yang merupakan penyimpangan terhadap kode etik mengopur bagi anak-anak Laghaeng serta perkembangan cara menanganinya, yang tak diungkap dalam artikel ini. Tetapi penulis hanya bermaksud untuk menegaskan kembali, bahwa mangopur adalah sebuah kearifan local yang perlu dipertimbangkan dalam tata kelola agribisnis pada tataran sangat lokalistik. Di setiap kampong tidak hanya di Laghaeng, pernah hidup kearifan ini. Oleh sebab itu, guna merancang sebuah strategi pengembangan agrobisnis yang hendak melipatgandakan jumlah dan mutu produksi pala di Siau, para pemangku kepentingan hendaklah tidak melupahkan satu tatanan ini.@@@

PALA SIAU DARI MASA KE MASA

Kegiatan agrobisnis pala Siau tidak lepas dari sejarah pemerintahan, sejak masih menganut sistem pemerintahan tradisional (kerajaan) sampai sekarang. Dalam beberapa referensi, kerajaan Siau didirikan tahun 1510 oleh raja Lokongbanua II, kebijakannya dalam bidang kemaritiman dan penaklukan wilayah. Enam tahun kemudian, kerajaan dipimpin raja Posumah (1516), kebijakannya dipengaruhi Portugis yaitu penginjilan, kemaritiman dan agrobisnis cengkih untuk kepentingan Portugis. Kemudian diganti oleh raja Winsulangi yang diserang orang Mindanau, menyebabkan Winsulangi diungsikan ke Ternate dan bersama Spanyol kembali merebut kerajaannya.

Sebuah ekspedisi Belanda tahun 1651 ke pulau Vassal Ternate, pihak Belanda mencatat, di Tagulandang terdapat 102 pohon cengkih produktif dan 4050 yang belum produktif. Kekuatan maritim Siau kala itu sangat kuat dan menjadi ancaman bagi tataniaga VOC di Maluku, sehingga Belanda yang berkedudukan di Maluku dan sekutunya Kesultanan Ternate melakukan dua kali agresi pada tahun 1607 (Belanda dan sekutunya gagal) dan tahun 1614 mereka berhasil menundukan kerajaan Siau. Winsulangi mengungsi ke Manila, lalu kembali tahun 1624, Winsulangi dibantu Spanyol berhasil merebut kerajaan Siau dari tangan Belanda dan Sultan Ternate.

Pada tahun 1661 raja Winsulangi melahirkan beberapa kebijakan misalnya dalam bidang pemerintahan dengan membentuk Komolang Bubatong Datu. Peranannya seperti DPRD dalam pemerintahan modern. Selain itu, beliau proaktif dalam bidang pendidikan. Raja pernah bersekolah di Manila, kemudian disusul anaknya Batahi. Tahun 1671, “investor asing” yaitu Heeren XVII, (pemegang saham VOC), persis pada tanggal 15 Mei 1671, mengirim surat kepada kaki tangan mereka di Maluku dengan redaksi: “...menempatkan Siau dengan cara yang setepat-tepatnya dibawah perlindungan kita..” (lihat Salindeho & Sombowadile, 2000).

Belanda akhirnya berhasil menundukkan Siau ketika kerajaan dipimpin raja Batahi. Demikian penting posisi Siau di mata Belanda (VOC) kala itu. Kuat dugaan sejak masa Winsulangi dibuang ke Ternate, sejak itu masyarakat Siau sudah menanam pala. Sementara kegiatan agrobisnis tanaman pala, secara formal efektif sejak masa pemerintahan Raja Lemuel David ketika kerajaan Siau dibawah kuasa Belanda. Pada tahun 1890 raja Lemuel David mengeluarkan titah kepada rakyat untuk menanam pala.

Data Dinas Pertanian Sitaro menyebutkan, produksi pala tahun 2007 mencapai 1,66 juta ton, dihasilkan dari lahan 3000-an hektar. (Fredy Tewu, 2008). Pada bagian lain, Ir. Ridson Bawotong, Kadis Pertanian mengatakan produksi pala Sitaro rata-rata pertahun 3.485,80 ton, sedangkan Fuli sebesar 348,58 ton. Tanaman pala dapat menghasilkan sebesar 8 kg/pohon/ tahun. (Ronny A. Buol 2009). Jika laporan Fredy Tewu dikomparasikan dgn data BPPT (2000) dimana produksi tahun 1995 adalah 3551 ton, maka terjadi kenaikan yang sangat mencolok sebesar 99,78% dalam 12 tahun atau rata-rata 8,3%/tahun.

Ironisnya, Kadis Pertanian membeberkan data produksi biji pala justru menurun minus 65,2 ton dan fuli naik hanya 64,58 ton (18,53%) sepanjang 12 tahun atau 1,54%/tahun. Jelaslah data Pemkab melebihi perhitungan Bank Indonesia yang menyebutkan pertumbuhan produksi pala secara nasional 3-5%/tahun. Sebaliknya, data produksi fulli, jauh lebih kecil dari perhitungan BI. Tahun 1999 produksi pala di pulau Siau 814 ton/tahun, dihasilkan dari 297.133 pohon, jumlah penduduk 37.515 (BPPT, 2000). Bilamana dalam 1 keluarga petani terdapat 4 orang, berarti rata-rata petani memiliki 32 pohon yang menghasilkan 2,74 kg/pohon/tahun. Informasi dari petani Siau, inisial PB, dalam 1 kg pala biji, terdapat 175 biji pala kering dan dalam 1600 biji kering terdapat 1 kg fulli (ratio 1 : 9). Dalam sebulan seorang petani mengelola 88 kg pala biji sekaligus dengan 9,8 kg fulli. Bilamana harga pasar berlaku saat itu untuk biji kering Rp 28.000/kg dan fulli Rp 100 rb/kg, maka penghasilan rata-rata petani/bulan adalah Rp.3.444.000.

Kini harga pasar untuk biji pala sudah berkisar Rp 40.000/kg, fulli Rp 60.000/kg. Jika harga ini terus bertahan hingga tahun 2010, dengan demikian pendapatan petani dalam dekade terakhir dengan asumsi pertumbuhan penduduk 2%/tahun (petani tahun 2010 adalah 11.255 KK), maka penghasilan tiap petani dalam sepuluh tahun terakhir, meningkat menjadi Rp 4.108.000/bulan. Artinya terjadi peningkatan pendapatan petani sebesar 83,9%. Menurut Kadis Pertanian Sitaro, Ir. Ridson Bawotong, disebutkan, “......produksi petani Sitaro dapat mencapai 8 kg/phn/thn.” Jika data ini benar, maka produksi setiap petani dengan 32 pohonnya adalah 21,33 kg/phn/bln biji kering dan 2,3 kg fuli kering, pendapatan petani sebulan dari pala biji adalah Rp 27.264.000,- ditambah dengan hasil dari fulli yaitu Rp 138.000. Seluruhnya Rp 27.402.000/bulan untuk tiap keluarga petani. Data yang diuraikan di atas jelas berlebihan.

Untuk standar mutu eksport, Ditjen Perkebunan menetapkan kalibrasi pala (Calibrated Nutmeg) SP-13-1975 yang direvisi Agustus 1985. Disana tertulis kriteria pala berkualitas nomor 1 harus memenuhi tujuh tingkat kriteria, dimulai dari yang paling bermutu; yaitu pala kelas 1 kategori CN.60-65, dalam 1 kg terdapat 66-71 biji pala tidak pecah dan seragam sampai kategori CN.>132 untuk kriteria pala bermutu pada kategori paling rendah. Kemudian pala kelas 2, yaitu pala campuran (ABCD) yang tidak seragam. Kedua kelas ini saja yang direkomendasikan pemerintah Indonesia untuk diekspor ke LN. Sedangkan pala keriput dan pala B.W.P (pecah, berlubang, berjamur) tidak direkomendasikan.

Berkat ketekunan petani, pala Siau era 70an tercatat sebagai pala nomor 1 di dunia. Hanya saja saya tidak tahu kategori C.N-nya. Ditelisik dari ukuran besarnya pala, untuk mendapatkan 1 kg memerlukan sebanyak 135 biji/kg dan ukuran kecil bisa sampai 150 biji/kg. Jelas tergolong kualitas status C.N >132 yaitu peringkat paling rendah dalam kelas 1. Dengan demikian tugas pemerintah dan petani pala Sitaro adalah meningkatkan status yang diraihnya ke tingkat yang lebih tinggi. Pala Sitaro secara kuantitas masih kalah dengan pala Talaud (53% produsen pala Sulut), karena luas areal yang terbatas. Jadi satu-satunya pilihan strategis dalam pengembangan agrobisnis pala Siau adalah peningkatan mutu, bukan peningkatan jumlah produksi. Jika produksi pala Talaud 1000 ton dengan hasil 1 ton minyak pala, masih jauh lebih efesien dengan 500 ton pala Siau tetapi hasilnya 1 ton minyak pala. Investor pasti lebih melirik pala Siau tentunya.

Persoalannya adalah apakah kualitas pala Siau seperti tahun 80an masih dapat dipertahankan?. Inilah masalah yang harus digali dari perilaku petani pala Siau di masa modern yang serba canggih dewasa ini. Jadi persoalan paling mendasar adalah soal perilaku sosial petani dalam merespon berbagai stimulan dari luar sebagai pengaruh globalisasi sekaligus membentengi diri dengan tatanan nilai-nilai budaya leluhur yang diturunkan oleh founding fathers. Bala rakyat kerajaan Siau, telah banyak menderita dalam peruntungan, tetapi jauh lebih banyak dari rakyat Siau, kini beruntung dalam penderitaannya. Oleh sebab itu banyak dari orang Siau, berperilaku rajin, tekun, ulet, sabar dan berbudaya. Mereka adalah petani pala yang berdayaguna dan berhasilguna. Mari kita lanjutkan titah raja David, ajakan kali ini, ”mari tingkatkan mutu”.█

DIPERLUKAN STUDI MIGRASI ORANG NUSA UTARA DI INDONESIA

BUKU Alex Ulaen, Nusa Utara Dari Lintasan Perdagangan ke Daerah Perbatasan (Sinar Harapan, 2003) membeberkan jumlah orang Sangihe-Talaud yang mukim di luar daerahnya ternyata jauh lebih banyak daripada yang tinggal di kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud. Secara kasar data tahun 2000 membeberkan jumlah penduduk di Sangihe-Talaud (kini secara administratif terbagi ke dalam Kabupaten Sangihe, Kabupaten Talaud, Kabupaten Sitaro) adalah 261.473 jiwa (sudah termasuk kaum pendatang), sedang di wilayah lain Provinsi Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo ketika itu) adalah 476.648 jiwa.

Jika diperbandingkan angka-angkanya nyaris pada nisbah 1 : 3. Tentu nisbah (ratio) itu akan makin besar kalau jumlah orang Sangihe di Makassar, Surabaya (Tanjung Perak), Jakarta (Tanjung Priok), Batam, Medan, Balikpapan, Bali dan Nusa Tenggara, Ternate, Ambon dan Papua ikut diperhitungkan. Sayang sejauh ini tidak tersedia data akurat berapa persis jumlah orang Sangihe dan Talaud Indonesia serta pola ketersebarannnya di dalam negeri. Yang sudah jelas teramati di mana pun mereka berada di Indonesia mereka tidak akan lupa menghimpunkan diri dalam kerukunan kekeluargaan, semacam IKIST di Jakarta, KKST di Makassar, IKSAT di Bitung, dan BAMUKIST di Manado.

Angka-angka jumlah dan nisbah di atas jelas juga akan jadi makin membesar lagi mengingat banyaknya jumlah orang Sangihe-Talaud yang bermukim permanen di luar negeri. Yang paling dekat adalah yang berada di Mindanao, Filipina. Namun mereka juga berada di Singapura, Malaysia, Palau di samping di Eropa dan Amerika Serikat (California).

Sebagian besar orang Sangihe-Talaud di luar negeri berada di Filipina. Maklum memang kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud merupakan wilayah batas negara Indonesia ke negara tetangga Filipina. Memang jauh hari sebelum negara Indonesia terbentuk hubungan masyarakat dan kerajaan-kerajaan antara Sangihe-Talaud dan Filipina (Mindanao dan Sulu) sudah berlangsung berabad-abad. Di tingkat elit misalnya terjadi perkawinan antar keluarga kerajaan, juga di tingkat masyarakat. Beberapa silsilah keluarga dalam beberapa buku membuktikan itu.

Di Filipina Shinzo Hayase tahun 2001 dalam Histotico-Geographical World of Sangir: An Ethno-History of East Maritime Southeast Asia yang dikutip dalam buku Alex Ulaen menyatakan ada 7.483 orang Sangihe-Talaud yang tersebar di Republik Filipina. Namun tahun 2003 keluar data dari Konsulat Indonesia di Davao yang menyatakan ada 10.855 orang Sangihe-Talaud. Namun mereka tidak terdaftar di imigrasi Filipina .

Data jumlah orang Sangihe-Talaud ini simpang siur dengan data yang dikeluarkan pihak berkompeten lain Filipina yang menyebut angka yang lebih besar, yaitu antara sampai 20.000. Bahkan, menteri luar negeri Filipina Blas Ople saat berkunjung ke Manado tahun 2006 menyebut angka orang Indonesia yang tidak terdaftar di negaranya adalah 50.000 jiwa.

Terlepas dari perbedaan angka-angka itu, namun yang tak terbantahkan orang-orang Sangihe-Talaud jelas merupakan komunitas yang sudah ruaya (migrasi) ke berbagai penjuru. Bahkan ruayanya itu bahkan tidak sekadar merupakan fenomena nasional sebagaimana migrasi sirkuler penduduk-penduduk desa miskin ke kota, namun juga sudah mempunyai implikasi-implikasi internasional, paling kurang bilateral..

Juga terlepas dari detil angka-angka itu, yang pasti migrasi terjadi dengan berbagai latar sebab. Yaitu secara garis besar diklasifikasikan sebagai faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor). Faktor pendorong adalah semua alasan yang membuat orang-orang Sangihe-Talaud terdorong untuk meninggalkan daerahnya. Bencana alam yang terjadi di daerah kepulauan Sangihe-Talaud (terutama gunung api yang meletus reguler dan siklis) merupakan alasan orang untuk meninggalkan pulau-pulau Sangihe dan Sitaro. Mereka ingin menyelamatkan diri dari ancaman letusan. Dan itu dilakukan dengan permanen berpindah tempat mukim ke luar Sangihe, Siau dan Tagulandang. Ini salah satu faktor pendorong alamiah.

Faktor pendorong lain adalah kesulitan ekonomi yang dialami orang-orang Sangihe-Talaud di daerahnya. Sumber utama daerah ini mestinya adalah perikanan dan kelautan, karena luas wilayahnya 95% adalah laut. Namun ternyata, daerah potensial ikan ini kini sekadar dijadikan daerah penangkapan ikan oleh armada penangkapan ikan daerah lain. Juga pengolahan hasil perikanan malah dilakukan di wilayah lain, makanya banyak komunitas Sangihe-Talaud yang kemudian memilih berpindah ke wilayah itu, yaitu Kota Bitung.

Di samping itu, salah satu sumber hidup, yaitu perdagangan dengan pihak-pihak di Filipina yang dulu pernah membuat daerah ini berjaya, kini tidak dapat dilakukan karena berbagai pembatasan dan pengekangan yang dilakukan negara atas nama kepentingan keamanan (Indonesia dan Filipina). Maka, sebuah daerah perbatasan yang tidak dapat memanfaatkan peluang outsourcing-nya, sedang pembangunan semata berorientasi ke pusat selama berpuluh-puluh tahun itu menciptakan kutukan ekonomi di daerah perbatasan. Akibatnya, kemiskinan mendera-dera di daerah perbatasan. Salah satunya buktinya adalah identifikasi program IDT (Inpres Desa Tertinggal) selang tahun 1980-an hingga 1990-an yang tegas menyatakan semua desa Kabupaten Sangihe dan Talaud (belum mekar) adalah desa miskin dan tertinggal.

Dalam kondisi kemiskinan itu tentu peluang solusi kehidupan akan selalu dicari di luar. Dan tak terbendungkan berbondong-bondonglah jumlah orang Sangihe dan Talaud yang meninggalkan desa-desa pesisirnya untuk pergi ke daerah-daerah dengan kegiatan ekonomi yang lebih menjanjikan. Pertama, niatnya sekadar mencari peluang hidup dan tetap berkala pulang ke kampung halaman. Ini yang disebut sebagai migrasi musiman. Namun kemudian, atas alasan-alasan lain kemudian pindah secara permanen memboyong anggota keluarganya pindah tempat. Ini sudah migrasi permanen.

Sayangnya, meskipun sudah pindah ternyata dominan kondisi hidup mereka tetap masih dalam lingkaran kemiskinan. Maklum mereka sekadar berakses ke sektor ekonomi informal (pembantu rumah tangga, buruh perkebunan dan buruh konstruksi) karena latar pendidikannya yang rendah. Namun, banyak pula yang pantas disebut berhasil setelah puluhan tahun berjuang di rantau. Mereka dapat menyekolahkan anak secara memadai dan menikmati kondisi kehidupan yang lebih baik dibanding saudara-saudaranya yang di kampung asal.

Di samping faktor pendotong, kepergian orang-orang Sangihe-Talaud dari kampung halaman mereka juga karena daya tarik daerah tujuan. Kota di sekitar daerah asal, misalnya, menawarkan daya tarik kehidupan ekonomi, hiburan, pendidikan dan kesejahteraan sosial yang jauh memadai dibanding di daerah asalnya.

Jelaslah, keberadaan orang-orang Sangihe dan Talaud di rantau kini terjadi atas dorongan yang kompleks yang meliputi dua klasifikasi alasan di atas.

Sejauh ini upaya meneliti keberadaan mereka dapat disebut tidak memadai. Hanya ada beberapa studi saja yang pernah dilakukan yaitu lebih banyak fokus pada migrasi orang Sangihe-Talaud ke Filipina. Di antara beberapa nama yang tercatat pernah melakukan studi ini adalah: Shinzo Hayase, Evelyn Tan Cullamar, Aswatini Rahadjo dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Alex J. Ulaen.

Sejauh ini studi tentang migrasi orang-orang SaTaS dalam lingkungan Indonesia sangat kurang, kalau bukan malah belum ada. Karena itulah menjadi penting untuk dirintis. Penelitian itu jika dilakukan akan bermanfaat untuk:

1). Mengungkapan secara lebih mendetail tentang kondisi masyarakat Sangihe-Talaud di rantau yaitu terkait dengan jumlahnya, klasifikasi usia.
2). Mengungkapkan tentang alasan keberangkatan mereka dari daerah asal mereka dan ihwal kedatangan mereka di daerah rantau.
3). Mengungkapkan tingkat kehidupan mereka yaitu meliputi pendapatan ekonomi, kondisi pendidikan, organisasi sosial serta tradisi budaya asli yang masih mereka jalankan.
4). Mengungkapkan permasalahan-permasalahan sosial yang mereka hadapi bersama.
5). Mengungkapkan potensi sosial politik mereka di daerah rantau.
6). Mengungkapkan komitmen mereka dengan daerah asal, dalam artian mengungkapkan apakah mereka dapat menjadi kekuatan untuk menggerakkan pembangunan di Kabupaten Sangihe, Kabupaten Talaud dan Kabupaten Sitaro ke depan.

Untuk melakukan penelitian ini jelas dibutuhkan sumberdaya. Karena itu kini ditantang kawan-kawan di universitas-universitas melakukannya. Pitres Sombowadile (Center for Alternative Policy)

PEREMPUAN BUKAN TAWANAN PERKAWINAN POLITIK (Interpretasi Kisah Putri Maemuna Kerajaan Tabukan)

MEMILIH calon pasangan hidup bukan sekadar soal hidup. Namun, perkara hidup-mati. Ini bukan perkara enteng, apalagi sepele. Karena, perkawinan ibarat membuat peta nasib ke masa depan. Makanya, calon pendamping ke dalam mahligai perkawinan harus diseleksi cermat dan seksama. Soalnya banyak bukti, suami dan istri dalam perkawinan bisa jadi berkat atau kutuk bagi pasangannya. Perkawinan bisa jadi tapak awal ke arah Eden. Namun, jika salah pilih pasangan malah menuju azab sengsara. Bahkan pusara.
Sialnya, bagaimana memilih pasangan yang dapat mendatangkan berkat, sejauh ini, tidak jelas. Demikian pula, bagaimana membaca tanda-tanda pasangan pembawa kutuk. Tak jarang, apa yang kadung diyakini sebagai berkat, ternyata kutuk jua. Apa daya, surga telah jadi bubur. Maksudnya, bubur lava neraka.

Mengantisipasi ketidakpastian itu, di kurun modern penentuan pilihan pasangan ke tahap perkawinan galib diserahkan sebagai wilayah pilihan pihak-pihak yang akan kawin. Ini kebijaksanaan khas zaman modern. Karena memang, jelas keduanya, baik calon pengantin laki maupun yang perempuan jualah yang akan menjalani dan mengalami langsung segenap detak-detik takdir langsung perkawinan itu.
Bagi perempuan modern kini, biasanya, pilihan itu dominan akan didasarkan pada kualitas relasi batin dengan calon suaminya. Relasi itulah yang lazim disebut, cinta. Yaitu, paduan unik jatuh hat, simpati dan empati.

Dalam rumusan lain, di masa modern soal memilih pasangan adalah hak calon pengantin. Hak itu muncul sebagai dampak kebebasan manusia. Sedang cinta tak lain adalah anak kandung kebebasan itu. L’amour est l’enfant de liberté, kata orang Perancis.
Sayangnya kebebasan cinta sebagai hak perempuan merdeka itu tidak dinikmati Maemunah, puteri raja Tabukan nan cantik jelita di abad ke-17. Puteri Maemuna tidak diberi kesempatan menentukan lelaki idaman pendamping hidupnya. Karena dia semata harus tunduk saja pada putusan final ayahnya, Raja Gagudha (garuda) atau dikenal sebagai Raja Udha.

Bagi kita di abad ke-21 kini, nasib Maemuna empat abad lalu itu tak jauh dari takdir perangkap perkawinan yang menjerat seorang tokoh perempuan mulia Indonesia -- yang demikian mentereng disebut oleh W.R. Supratman, Dr. Hurustiati Subandtio dan Pramoedya Ananta Toer sebagai pendekar wanita Indonesia -- yaitu Raden Ajeng Kartini, puteri Jawa flamboyan dan intelek yang hidup di akhir paruh abad ke- 19. Kartini juga masuk ke lembaga perkawinan atas pilihan orang lain, ayahnya: Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroninggrat.

Jelaslah dulukala memang pilihan kawin, apalagi bagi perempuan, dianggap wilayah otoritas orang lain, yaitu orangtua dan terutama kaum lelaki. Apalagi bagi seorang penguasa semacam Raja Udha di Tabukan. Para raja zaman itu lazim berpikir bahkan putrinya adalah teritori kekuasaannya. Perempuan harus takluk.
Namun apakah Maemunah sekadar berserah pada lilitan nasib diri dan takdir zaman itu? Itu yang jadi pokok berita dan cerita masa lalu ini.

Kisah Kedatangan Sultan Sibori

Terkisah pada pertengahan 1675 berkunjunglah Sultan Sibori dari Ternate ke istana Kerajaan Tabukan di pesisir Utara pulau Sangihe. Dari laut pasir putih pantai Sahabe depan karatung raja Tabukan berkilau diterpa sinar matahari pagi. Puluhan perahu kora-kora Maluku dan beberapa kapal dengan logo besar VOC serta bendera Belanda berkibar di tiang utama muncul di perairan Utara pulau Sangihe. Istana Tabukan terlihat dari laut. Berdiri di perkampungan Sahabe. Bangunan istana itu berupa rumah panggung besar dengan sebuah tangga depan. Anak tangganya sembilan. Tiang besar penopang rumah panggung itu juga berjumlah sembilan. Istana itu khusus dibuat menampung ratusan orang pada bangsal utamanya. Di belakang istana itulah terlihat pemandangan gunungapi Posong alias Awu Sangihe.

Puncak gunungapi itu menjulang ke angkasa. Dia kelihatan angkuh. Orang lokal sekitarnya selalu gentar melihat puncaknya. Tepat sebelas tahun sebelum kedatangan rombongan Ternate itu gunungapi ini meletus hebat . Dia bagi penduduk lokal adalah penguasa yang sebenarnya. Kerajaan dan istana mampu dibubarkannya. Raja-raja bisa binasa seketika dalam amukan lava, gas panas dan api. Siapa hendak melawannya di pulau kecil semacam Sangihe? Bahkan pulau Sangihe sendiri sebenarnya tak lain sekadar dampak dari kemunculannya.

Tak lama kemudian dari arah laut terlihat tiga perahu kora-kora bergerak seiring menuju pantai. Sosok perahu-perahu itu terlihat megah karena selain layar besar hijau tua bertengger di tiang tengah, tiga perahu juga dipenuhi aneka juntaian panji warna-warni terbuat dari kain sutra Cina dan blacu Portugis. Termasuk sebuah Bendera Belanda dengan kain linen yang ditancap di bagian belakang. Di sisi kiri kanan perahu, para pendayung bergerak ritmik mendorong air laut ke belakang dalam iringan hentakan tifa dan klenengan gong-gong kecil yang berpadu membentuk orkes kulintang yang terdengar sampai ke daratan.

Rakyat sekitar istana Raja Tabukan dan para pembesar kerajaan menghambur keluar dari rumah mereka. Mereka gembira menikmati kemeriahan pemandangan penuh warna serta alunan tetabuhan musik kora-kora. Semua yang tampak dan terdengar dari laut pagi itu sungguh suguhan hiburan. Namun, para serdadu alabadiri Tabukan terlihat berdiri siaga dengan pedang bara terhunus dan perisai kayu. Mereka menunggu aba-aba perang panglima utama alias mayore labo , Pangeran Mehengkalangi yang berdiri pas di samping kiri Raja Udha, ayahnya. Pangeran calon pewaris sah tahta kerajaan ini dini dilibatkan dalam urusan kerajaan. Secara khusus di Tabukan selalu ditugaskan mengurus angkatan perang kerajaan Tabukan.

Seperti tata kunjungan damai biasanya, tiga perahu kora-kora yang sedang menuju pantai itu adalah kelompok pembawa pesan. Di belakangnya siaga puluhan kora-kora membentuk sebuah garis lurus paralel dengan garis pantai. Sedang tak jauh di belakangnya, tampak kapal besar khas galyas Eropa. Di kapal besar itulah pasti sang tamu inti berada.
Dan, lihatlah, tiga perahu kora-kora sudah dekat pantai. Di atasnya tampak para utusan yang ditugaskan secara resmi memberitahukan kunjungan resmi junjungan mereka kulano (penguasa) Ternate ke-32 alias sultan ke-9 Ternate.

Penguasa baru itu bernama Sultan Sibori. Dia adalah pengganti resmi Sultan Mandarsyah, ayahnya. Sultan ini lama dikenal dengan nama Kaitjil Sibori. Gelar ‘Kaitjil’ merupakan sebutan khas pemimpin kerajaan di Maluku Utara. Pernah pula dipakai sebagai panggilan bagi raja di wilayah Sangihe-Talaud-Sitaro. Yaitu dilafalkan agak berbeda sebagai kasili. Gelar ini bahkan tercatat pernah dipakai sampai ke Mindanao. Mungkin karena Kesultanan Ternate pada zaman Sultan Baabullah pernah menjangkau wilayah kekuasaan ke Mindanao bahkan Marshall Island di Selatan Samudera Pasifik.

Kini Kaicil Sibori sedang berada di Sangihe. Dia dan rombongan besarnya sedang melakukan perjalanan dinas mengunjungi wilayah yang pernah diklem sebagai wilayah pengaruh Ternate sejak Sultan Baabullah. Pematokan itu terjadi pasca pasukan gabungan Baabullah dengan gagah berani berhasil mengusir Portugis dari benteng Gammalamma di Ternate setelah Sultan Khairun, ayah Baabullah, terbunuh di benteng itu atas perintah kapten Portugis Lopez de Musquita. Namun Sultan Sibori hanya boleh berekspansi ke Barat, Timur dan Barat. Ke arah Selatan tidak bisa lagi karena akan bertentangan dengan perjanjian yang dibuat ayahnya, Sultan Mandarsyah, dengan VOC. Perjanjian itu mengakibatkan wilayah-wilayah Selatan Ternate dilepas, artinya Kesultanan Ternate diperkecil.

Kita kembali ke prosesi kedatangan para pembawa berita di pantai Tabukan itu. Dari dekat para pejabat kesultanan di perahu itu terlihat mengenakan linen putih, atau kain Calicu karena asalnya yang dari Calcuta. Perahu kora-kora di tengah ditutup tikar tipis terikat tali rotan ke rangka bambu yang dipasang di kora-kora itu . Beberapa orang pembesar terlihat duduk di bawah sombar tikar pembendung sinar matahari itu. Seorang yang nampak lebih tua, duduk di bantal empuk paling depan di perahu kora-kora di tengah yang ukurannya lebih besar. Dia sangat dituakan. Aturannya, dia mestilah berpangkat lebih tinggi dari orang-orang yang duduk di belakangnya. Tepat di sisi kiri-kanan perahu, beberapa serdadu milisi Ternate berdiri siaga lengkap dengan pakaian perang, tombak dan salawaku alias perisai kayu. Kepala mereka diikat kain kepala yang simpulnya di taruh di dahi, hingga menyerupai ujung dasi nyembul depan jidat.

Nampak di depan dan belakang perahu, yaitu yang lebih rendah ke permukaan air laut terlihat barisan pendayung. Mereka nampak sebagai orang-orang berotot dengan dada telanjang dan duduk di atas bangku khusus pada serambi kiri dan kanan perahu. Tarikan dayung mereka semata patuh pada panduan gendang dan gending yang bergema dari haluan. Kedua pemain musik di haluan itu sekaligus berfungsi sebagai pemandu arah serta sewaktu-waktu memberi tanda awas jika ada batang kayu atau beting karang menghadang perahu.
Saat para pejabat di kora-kora utama itu menginjakkan kaki ke pantai para serdadu Ternate sudah siaga menjaganya di pantai. Sedang di tempat yang sama, para pejabat kerajaan Tabukan termasuk Raja Udha berdiri menyambut rombongan pejabat pembuka jalan itu. Sementara pasukan alabadiri tetap dalam formasi siaga di sekeliling para pembesar Tabukan.

Para utusan Ternate mengucapkan tabik assalamualaikum. Yang disambut waallaikumsallam. Salam khas Islam yang memang sudah masuk ke Maluku Utara dan Nusa Utara (Sangihe-Talaud-Sitaro) sebelum Barat masuk. Islam menyebar dari Aceh (Samudra Passai) ke berbagai wilayah Indo-Malaysia kini, yaitu lewat jalur Pantai Selatan Sumatera ke Tenggara terus ke pulau Jawa dan ke Timur ke pulau-pulau Sunda Kecil serta berbelok ke Utara Banda dan masuk ke Ternate serta ikut dibawa ke Sulawesi bagian Utara (Manado, Bolmong dan Gorontalo) dan pulau-pulau Sangihe-Talaud.

Sedang jalur penyebaran Islam Utara Sumatera menyebrang ke semenanjung Malaysia, Malaka, Johor, Borneo Utara, Sulu, Mindanao dan juga masuk ke pulau Sangihe bagian Utara serta Ke Maluku. Ini yang disebut sebagai jalur Malaka-Maluku yang pernah diungkap Kapten Portugis di Ternate, Antonio Galvao yang masyur itu. Berat diduga Islam awal di wilayah Sangihe adalah hasil siar kalangan pedagang Persia. Ajarannya berciri Ahlulbait terbukti dari meluasnya doa (mantra) Baginda Ali di Sangihe . Juga doa kekuatan dengan acuan kepada Ali. Jelaslah tokoh Ali dalam kebudayaan Sangihe itu mengacu pada Sayidina Ali, ponakan Nabi Muhammad SAW yang sekaligus menjadi mantunya karena kawin dengan anak perempuan nabi, Fatimah.

Utusan Ternate itu terlihat berbicara dengan bahasa pengantar Melayu. Sebelumnya seluruh rombongan menerima suguhan pinang, sirih dan kapur sebagai prosesi awal pertemuan. Raja Udha menyambut utusan itu dengan ramah. Sebuah keris emas diserahkan sebagai tanda sambut. Barang hadiah itu tak lama kemudian lantas dibawa naik ke kora-kora utama dan segera didayung bertolak menuju kapal besar Belanda yang labuh di laut sana. Kapal itu juga terlihat bergerak perlahan mendekat ke pantai, namun tetap di belakang barisan puluhan perahu kora-kora.

Tak lama kemudian makin jelas sosok kapal Belanda bertiang tiga itu. Kapal kora-kora yang tadi ke darat didorong para pendayungnya menyandar ke kapal Belanda itu. Dan sekitar 10 menit setelah kapal membuang sauh, dari pantai terlihat sebuah payung besar bergerak perlahan ke arah sisi kiri kapal. Itu pasti payung sultan. Dan pasti di bawahnya berjalan sang sultan. Dia pasti turun dari sisi kiri kapal lewat tangga kecil ke perahu kora-kora sultan yang ukurannya lebih besar lagi dengan hiasan umbul-umbul serta bendera kerajaan bertulisan Arab ‘’Al Muluk Sultan Ternate’’ .

Dan tak lama kemudian perahu sultan sudah bergerak ke darat. Puluhan kora-kora mendampinginya. Sang sultan kelihatan menempati kursi sultan di perahunya. Kursi berbantal empuk itu diberi lapisan kain sutra Cina dan patola India yang pasti mahal harganya. Biasanya ditukar beberapa bahar cengkih ke pedagang Cina, Gujarat atau Persia di Malaka.
Payung berwarna kuning emas dipegang pengawal di samping kursi itu. Semakin dekat kelihatan sosok sang sultan dengan bidang dada berbulu. Berjubah kaftan panjang juga berwarna putih dari bulu domba dengan ikat pinggang lebar. Kulitnya kehitaman. Rambutnya yang panjang dikundai ke atas kepala dan diikat tali-tali akar bahar. Untaian mutiara Banda dicocokkan sepanjang tali itu. Di tangan kanan sultan paling kurang tiga cincin batu delima merah. Sebuah keris emas yang gagangnya bertabur batu manikam terselip di pinggang depan.
Di sisi kiri-kanan perahu kora-kora sultan itu berdiri sebagai penjaganya bukan lagi para serdadu Ternate, tetapi 11 serdadu Kompeni Belanda masing-masing memegang musket bersangkur di ujungnya. Musket itu dipegang seolah selampang menempel menyilang lekat ke dada . Sedang, di pinggang mereka tergantung kelewang panjang terbuat dari besi mengkilap dengan gagang perak tuang.

Sultan memang sengaja meminta para serdadu Kompeni Belanda itu datang mengawalnya dalam perjalanan inspeksi ke wilayah pengaruh Ternate. Pulau Pagenzara (Tagulandang) dan pulau Sangihe merupakan wilayah 72 pulau Sultan Baabullah tahun 1580-an. Dan sejak kontrak Belanda dan Ternate tahun 1607 dan dikukuhkan tahun 1609 dengan Francois Wittart, Ternate sudah menyerahkan semua wilayahnya itu ke dalam perlindungan kekuasaan VOC .

Resminya VOC memang sebuah korporasi atau perusahaan dagang dengan 17 orang pemegang saham di tanah Belanda. Namun perusahaan ini punya kekuasaan pemaksa berupa pasukan tentara yang dapat dbentuknya. Itu bersesuaian dengan keinginan Gubernur Jenderal VOC pendiri Batavia Jan Pieterzoon Coen. Pernah dalam zuratnya ke Belanda, Coen meminta kekuasaan kekerasan diberikan pada VOC. Menurutnya, hakikatnya, perdagangan VOC di Nusantara tidak bisa dipisahkan dari senjata.
Surat kepada tuan-tuan komisaris VOC sepenggalnya dikutip Boxer dalam tulisannya: ‘’…Tuan-tuan tahu dari pengalaman bahwa perdagangan di Asia harus digenjot dan dipertahankan di bawah perlindungan dan kehendak senjata tuan-tuan yang mulia dan bahwa senjata-senjata itu harus dibayar dari keuntungan perdagangan; jadi kita tidak bisa melakukan perdagangan tanpa perang dan perang tanpa dagang…’’.

Sultan Sibori datang ke Tabukan itu dengan jumawa mengaku dirinya adalah Belanda tulen. Menurutnya dia berbeda dari ayahnya, Sultan Mandarsyah, yang disebutnya setengah Belanda. Makanya, sejak lama orang-orang di lingkungan kerajaan Ternate menyebut kulano ini sebagai Pangeran Amsterdam. Dan setelah dipilih Belanda jadi Sultan Ternate, julukannya menjadi Koning van Amsterdam alias Raja Amsterdam. Dan tak sekadar karena nama itu sultan itu dikenal orang Ternate. Namun, karena perilakunya yang memang mentah-mentah mengacu pada teladan buruk tuan-tuan kompeni. Sultan yang satu ini kuat minum anggur hingga mabuk. Sangat mungkin memang diajari para serdadu kompeni di Ternate. Dia doyan makan daging sapi Westaven pilihan, bahkan pernah dipergoki seorang ulama tengah makan bacon daging babi bersama para pembesar Belanda di benteng Belanda, Oranje .

Sultan Sibori sebelum tiba di Tabukan pagi itu dua hari sebelumnya berangkat dari pulau Tagulandang alias Pagenzara. Di sana sultan senang diberi hadiah, di antaranya seorang budak perempuan cantik . Itu jelas bakal menambah koleksi perempuan dalam haremnya. Karena budak itulah maka perjalanannya dari Tagulandang ke pulau Sangir dilayari bukan saja dengan gerak ganas ombak Laut Sulawesi, tetapi juga geliat tubuh budak perempuan, perawan yang diserahkan sebagai ‘wilayah kekuasaannya’. Sultan yang satu ini memang terkenal tidak pernah lalai mengejawantahkan petualangan kekuasaan pada wilayah tubuh perempuan. Dan perahu kora-kora sultan pun tiba di darat. Terlihat sultan dengan tubuh kekar, meski muka sayu kecapean, turun dengan impian tersembunyi di kepala hendak bertemu Puteri Maemunah. Kecantikan puteri ini sudah didengarnya di Ternate. Agenda utama kunjungannya secara pribadi adalah membuktikan cerita itu. Memang kegandrungan sultan akan perempuan-perempuan cantik dan bahenol sudah jadi buah bibir rakyat, termasuk terdengar sampai ke Tabukan.

Sedang, agenda resmi kunjungannya sebenarnya adalah untuk membuat dan bahkan memaksa semua daerah dalam lingkup pengaruh Kesultanan Ternate tunduk pada kebijakan pembatasan penanaman cengkih VOC Belanda. VOC telah mengatur penanaman cengkih dibatasi di beberapa pulau Maluku saja. Di Maluku hanya diperbolehkan penanamannya di pulau Ambon saja.

Sultan pun pagi itu menginjakkan kakinya ke pasir putih pantai Utara pulau Sangihe. Beberapa pergelaran kesenian Islam menyambutnya seperti hadrah dan qasidah. Juga beberapa bentuk kesenian lama seperti musik oli dan musik ganding yang mengiringi tari salo. Kesenian Tarian kerajaan pun disuguhkan di dalam istana. Sesudah tari itu tampillah ke depan seorang perempuan muda dengan kulit mulus putih, paras ayu dan cantik dengan tubuh aduhai. Menjadi lebih aduhai bagi mata lelaki dewasa dengan naluri seksual menggebu semacam Sultan Sibori.

Perempuan muda itu berjalan menuju ke arah sultan dan memberi sebuah keris emas dalam genggamannya. Bentuknya persis sama dengan keris yang dikirimkan ke kapal sebelumnya. Kecuali, bengkokan gagangnya yang melekuk ke kiri. Dua keris emas itu telah dibuat sang empu-nya sebagai pasangan. Laki-laki dan perempuan. Namun pandang mata sultan nan berapi-api tidak jatuh ke kilau keris emas indah itu. Karena dia lebih memilih menjalarkan pandangannya ke wajah perempuan muda di depannya. Lantas jatuh ke bidang dada, terus ke belahan kebaya. Dengan matanya seolah dia ingin menelanjangi perawan depannya itu. Sultan tidak peduli pada keris emas yang sudah digenggamnya. Karena perempuan depannya itu jelas jauh lebih indah dari seribu keris kreasi Empu Gandring sekalipun yang pernah didengar dari para penjelajah Majapahit yang datang membawa gong berpencu ke Ternate beberapa abad sebelumnya.

Perempuan itulah Puteri Maemunah. Sultan pun langsung paham mengapa banyak cerita heboh soal keelokannya. Sultan sendiri sudah menaksir kecantikan dan daya tariknya. Bagi penguasa itu, keris dari puteri itu sudah di genggamannya dan segera harus diikuti oleh putri itu. Maemuna harus menjadi bagian dari kekuasaannya. Dan, sebagai sultan, titah hatinya selalu bersifat niscaya. Harus.
Saat menjalani berbagai prosesi penyambutan tamu dalam karatung Tabukan, pikiran dan terutama mata sultan hanya tertuju ke sosok Maemunah. Perempuan itu penuh muatan daya tarik. Jelas jauh lebih besar keelokannya dibanding pemandangan gunung Gammalamma serta keindahan pulau Makatara. Mengalahkan pesona terumbu karang dan ikan-ikan peri di bawahlaut perairan Banda.

Orang-orang Sangihe biasa menggambarkan kemulusan dan kuning langsat kulitnya, seolah saat Maemunah minum kopi, minuman itu akan terlihat mengalir menuruni leher jenjangnya. Ini jelas hiperbolik, karena leher Maemunah jelas bukan tabung kaca pyrez. Maemuna juga manusia. Bagi lelaki semacam Katjil Sibori dengan jam terbang pergaulan intim dengan perempuan yang seabrek, Maemunah langsung menjadi puncak fantasinya. Namun sayang sekali sultan belum bisa beradu pandang dengan sang puteri. Karena puteri nan elok itu selalu menundukkan kepala. Padahal sultan percaya pada ungkapan Belanda, Bij het eerste gezicht komt de liefde. Pada pandang pertama, datanglah sang cinta.

Terus terang Maemunah sendiri tidak menyimpan rasa khusus pada saat menyerahkan keris itu. Dia sekadar menjalankan tugas yang dititahkan ayahnya. Lebih dari itu, tidak. Dia tidak tahu, apalagi harus bertanggungjawab, atas kobar api asmara di tungku hati sang sultan. Bagi Maemuna tidak ada pandang pertama ke mata sultan yang membuatnya tergelapar jatuh cinta.
Tapi bagi sang sultan, soal rasa cinta itu ada atau tidak ada tidak mengapa. Tepatnya tidak berpengaruh. Dia punya banyak perbendaharaan siasat. Dia tak pernah kalah dalam urusan semacam ini. Terutama karena dia punya kekuasaaan. Kalau punya kekuasaan orang tidak perlu mengalah. Biasanya zaman itu, perempuan yang didambakan dapat diculik untuk dijadikan istri atau budak seks. Sultan dapat melakukannya itu dengan kuasanya, tapi, tentu itu tidak cocok dilakukan terhadap seorang putri semacam Maemunah. Juga akan menghancurkan reputasinya. Cara lain dapat ditempuh. Dan sultan pun bulat hendak mengutarakan niatnya menikahi Maemunah menjadi istrinya.

Perkawinan Politik

Yang jelas sebuah fakta sejarah menyatakan Sultan Sibori yang datang di Tabukan itu akhirnya berhasil menikah dengan Puteri Maimuna. Itu dalam rekontruksi penulis pantas diduga terjadi setelah Sultan Sibori menunaikan tugasnya ‘mengatur’ agar semua penguasa pulau Sangihe berada pada posisi menopang kebijakan monopoli dan pembatasan perkening (perkebunan) rempah di pulau Ambon (cengkeh) dan pulau-pulau Banda saja (pala). Akibat kebijakan ini semua tanaman cengkih di lain tempat harus dimusnahkan secara sukarela atau kalau tidak dengan kekerasan khusus, hongi tochten.

Dalam rangka tugas sultan itu, hal tak diduga terjadi. Di daratan Pulau Sangihe ternyata di luar
Kerajaan Tabukan, yang terikat komitmen dengan Ternate, sudah muncul kerajaan lain yaitu Kerajaan Manganitu. Kerajaan ini muncul sejak tahun 1600-an dengan raja pertama, Liungtolosang alias Tolo. Raja Tolo itu adalah turunan dari garis datuk-datuk Salurang. Seorang puteri dalam garis keturunan Salurang bernama Kaengpatola kawin dengan Pangeran Naleng asal Kerajaan Tagulandang. Adapun Salurang itu sebagaimana dalam catatan sejarah Sangihe adalah satu dari dua unsur pembentuk kerajaan Tabukan tahun 1500-an. Unsur lainnya adalah para datuk Sahabe. Kerajaan Tabukan dimungkinkan terwujud karena Makaampo Wawengehe berhasil mengawini sekaligus dua puteri kulano (pemimpin) Sahabe, Matandatu. Padahal Makaampo sendiri adalah turunan langsung dari para datuk di Salurang.

Kerajaan baru Manganitu itu merasa tidak pernah membuat komitmen dengan Ternate. Apalagi harus tunduk pada kebijakan ekonomi dan politik majikan Ternate, VOC Belanda. Karena itu, Sultan Sibori harus mengurusnya dengan kekerasan. Meski demikian tidak mudah dilakukan. Karena Manganitu adalah sekutu Spanyol yang berpusat di Manila dengan dua benteng pertahanan di pulau Siau dan pos di Kolongan di Barat Daya pulau Sangihe. Raja Manganitu ketiga yang sedang memerintah kala itu adalah Bataha Santiago. Dia adalah lulusan perguruan tinggi Jesuit di Filipina. Juga diperlakukan dengan kekerasan oleh Sultan Sibori, para pangeran serta putri anak-anak Raja Tolo berperang mempertahankan sikap Manganitu yang tidak mau tunduk pada Belanda dan Ternate. Di antaranya para puteri raja. Pertempuran pun berlangsung seru dan seimbang. Sampai akhirnya Belanda dan Ternate dengan licik mengundang Raja Bataha Santiago berunding. Namun, saat perundingan itu, Raja Bataha Santiago alias Raja Jago malah ditawan dan akhirnya dipancung di tanjung Tahuna.

Dengan takluknya Manganitu, tugas resmi Sultan Sibori sebagai aparatus bawahan VOC Belanda sudah rampung. Karena itu waktu dapat dia curahkan sepenuhnya untuk mencapai niat hatinya mempersunting Puteri Maemuna. Dia ingin Maemuna menjadi ole-ole istimewanya saat pulang ke Ternate. Dengan kekuasaaannya, niat itu jelas dapat dengan enteng diwujudkannya. Bukan dengan berupaya merebut hati Puteri Maemuna, namun dengan alasan persekutuan politik. Perkawinan itu jelas tidak diinginkan Puteri Maemuna. Pangeran lain Raja Udha bernama Dalero adalah saksi ihwal kesedihan Puteri Maemuna menerima nasibnya. Maemuna mendesak Dalero mengeluarkan segenap kesaktiannya untuk merubah peta nasibnya. Namun, kesaktian Dalero tak kuasa. Karena putusan mengawinkan Maemuna merupakan kebijakan Raja Udha, ayah mereka. Dalero sekadar membekali Maemuna mantra menepis Sultan Sibori saat di ranjang.

Apa yang dilakukan Raja Udha dengan mengawinkan Maemuna pada penguasa kerajaan lain merupakan kelaziman zaman itu khususnya di Kerajaan Tabukan. Bahkan pantas disebut sebagai mode di hampir semua kerajaan di Maluku Utara, Nusa Utara, Sulu dan Mindanao yang saling berhubungan kawin-mawin. Perkawinan masa itu jelas sangat bermuatan politik. Evelyn Tan Cullamar yang mempelajari relasi orang Nusa Utara ke Mindanao, sebagai latar migrasi mereka ke sana, membenarkan motif semacam itu. Dia menyatakan sejak dulu persekutuan politik secara damai di antara para penguasa di Nusa Utara (Sangihe-Talaud-Sitaro), Maluku Utara dan Mindanao selalu diwadahkan lewat perkawinan-perkawinan. ’’Political alliances cemented through marriages,’’ begitu tulisnya.

Budaya kawin mawin di lingkungan elit bangsawan itu pantas diduga adalah upaya pelanggengan kekuasaan yang ditiru dari khazanah kebiasaan Arab pra-Islam. Kebiasaan ini turut terbawa oleh para penyebar Islam berdarah Arab (termasuk yang sudah tinggal menetap di India, Gujarat) dan oleh orang-orang Persia. Sekadar sebuah contoh, tradisi kawin-mawin pra-Islam itu ternyata pun masih dipertahankan di Timur Tengah hingga zaman mutakhir kini. Buktinya, Raja Abdul Azis tahun 1901 mengawini 300 perempuan dari berbagai latar suku. Itu dilakukan setelah pemimpin dari puak Al-Saud ini berhasil kembali dari pengungsian di Najl dan merebut kampung halamannya, Beduin, dari cengkeraman kekuasaan puak Rashid. Wilayah yang berhasil direbut itu kini menjadi negara Arab Saudi modern yang kaya raya itu.

Perkawinan spektakuler Raja Abdul Aziz itu sengaja dilakukan demi menghimpun dukungan dan ketaatan semua suku pada Raja Abdul Aziz. Akibatnya, jika dalam negara demokrasi pemimpin lahir dari rakyat, sebaliknya pada kasus itu rakyat dilahirkan dari hasil perkawinan pemimpin. Harus disebut demikian, karena setelah seratus tahun rentetan kawin politik itu keluarga Raja Abdul Aziz jumlahnya tercatat mencapai hampir 21 ribu orang. Seribu di antaranya para pangeran dan puteri turunan langsung Raja Abdul Aziz.

Mari kita balik ke perkawinan Sultan Sibori dan Maemuna. Patut disebut perkawinan dengan para penguasa Ternate bagi kerajaan-kerajaan di wilayah Sangihe-Talaud-Sitaro bukan hal baru. Dalam silsilah sejak Willem Sando dan Elinangkati atau silsilah Ampunag I dan Ruatankati banyak perkawinan antar bangsawan semacam pasangan Sibori-Maemuna itu. Meski memang tidak seintens perkawinan antara para bangsawan Tabukan dengan para anggota keluarga Kerajaan Tahuna, Siau, Tagulandang dan Kerajaan Kendahe. Atau perkawinan para bangsawan kerajaan-kerajaan-kerajaan wilayah Sangihe-Talaud-Sitaro dengan para sultan Tugis (Mindanao) dan Sulu, di antaranya yang dicatat Captain Forrest dan dikutip Evelyn Tan Cullamar. Atau lainnya menurut catatan D.B. Adriaan , H.B. Elias , dan Shinzo Hayase-Dominggo M. Non serta Alex Ulaen .

Yang jelas Puteri Maemuna pada akhir 1675 diboyong Sultan Sibori ke Ternate. Sultan telah resmi menikahinya. Namun Maemuna pun sudah membulatkan tekadnya tidak akan pernah menyerahkan tubuhnya pada sang sultan. Maemuna sudah mendengar cerita-cerita tentang nasib para perempuan yang mendampingi sultan ini. Dia sudah mendengar bagaimana Puteri Rooze melarikan diri pulang ke Makassar karena tidak tahan siksa batin sebagai istri sultan ini. Sultan dicatat mempunyai koleksi budak perempuan sedemikian banyak dalam haremnya. Mereka sekadar dianggap sebagai pemuas nafsu semata. Hal yang sama mestinya tidak dilakukan pada para istri (sultana) yang jelas-jelas datang dari latar bangsawan dari kerajaan-kerajaan lain.

Hal yang makin membuat Maemuna defensif tidak menyerahkan dirinya, meski sudah menikah, adalah sebuah kisah cinta Sultan Sibori dengan seorang perempuan Cina di Kampung Cina Ternate. Perempuan itu diceritakan sangat didambakan Sibori. Sayang perempuan itu telah bersuami dan punya anak satu. Namun itu ternyata tidak menghalangi niatnya. Suami dari perempuan Cina itu dibunuh sultan. Jalan sudah terbuka untuk menikahi perempuan Cina idaman itu. Namun sayang ibu perempuan itu masih mencoba menghalang jalannya. Dan akhirnya sang ibu itu pun bernasib naas. Dia juga dibunuh Sultan Sibori, yaitu dengan membenamkan kepalanya ke bak mandi. Sesudahnya niat kawin berciri birahi itu pun terlaksana. Maemuna tidak akan menyerahkan dirinya, meski mati sekalipun di ujung keris atau rencong sekalipun.


Pergumulan Ranjang

Saat-saat mencekam bagi Maemuna itupun datang di Ternate. Sultan sebagai suami sah mendesaknya tidur bersama. Itu sebenarnya sidah diupayakan sejak saat di Tabukan pasca izab kabul perkawinan. Hal yang jelas tidak terlarang bagi sang sultan, karena keduanya sudah resmi suami istri. Sejauh ini tidak ada rincian sejarah apa yang terjadi dalam kamar pengantin Sultan Sibori dan Puteri Maimuna. Yang jelas Puteri Maimuna dalam banyak penggalan kisah tersurat dan tersirat tidak ingin dengan perkawinannya itu. Meski memang tidak ada uraian soal alasannya. Namun, uraian Des Alwi tentang sosok dan sisik Sultan Sibori dalam bukunya, termasuk masalahnya terkait dengan perempuan dan para istrinya mungkin dapat menerangkan kenapa muncul keengganan demikian besar hingga akhirnya Maemuna menolak hubungan ranjang. Dan apa yang dilakukan Maemuna jelas dalam perspektif hukum agama (Islam) bukan tindakan teladan. Karena dalam lembaga perkawinan Islam, lelaki adalah pemimpin perempuan, ar-rijaalu qawwamuuna ala an-nisa (ayat 34 surat an-nisa). Dalam posisi itu, lelaki punya hak dilayani karena fungsi khas suami yang mencari nafkah keluarga. Perempuan wajib melakukkannya.

Jadi apa yang dilakukan Maemuna merupakan pembangkangan atas kewajibannya. Namun apa daya, Maemuna sudah membatu bergeming pada sikapnya itu.Meski demikian permintaan sultan langsung dalam kamar kedaton jelas sulit ditepisnya. Maemuna tidak bisa lari dengan alasan mengada-ada seperti saat di Tabukan. Tidak bisa meminta badai datang menerpa kota pantai Ternate. Juga mustahil berharap gunung Gammalamma meletus, karena gunungapi itu baru beberapa tahun lalu meletus. Juga tidak bisa berharap Portugis datang menyerang dengan meriam besarnya bersama dengan tentara Gowa. Karena Portugis sudah menghilang dari perairan Maluku. Gowa sudah tunduk pada Speelman tujuh tahun sebelumnya setelah penandatangan perjanjian Bungaya. Juga mustahil berharap Spanyol menyerang kembali seperti 70 tahun sebelumnya (1606). Karena bukankah Spanyol justru yang sendiri memutuskan mundur dari benteng Gammalamma ke Siau dan Manila 13 tahun lalu? Mundur semata karena gentar melihat banyaknya armada angkatan laut VOC Belanda berkumpul di Laut Maluku. Hanya itu saja sudah menghilangkan nyali Spanyol.

Maemuna sudah hampir putus asa. Namun jelang putus asa itu dia teringat pada anjuran Dalero soal mantra penolak lelaki di ranjang. Maemuna tidak punya waktu lagi untuk meragukannya, namun semata menaruh harapan satu-satunya pada jalan khas Dalero itu. Dalero justru menyebut doa itu sebagai jalan khas Nabi Ibrahim menyelamatkan Sarah istrinya ditiduri Firaun saat mereka ngungsi ke Mesir. Adapun hasil dan akibatnya jelas believe it or not . H.B. Elias menulis, ‘’Maka kata sahibulhikayat, tibalah Seri Sultan di Ternate dan bersiap bermalam pengantin lanjutnya berbulan madu dengan si bidadari dari Tabukan. Tetapi apa lacur? Begitu Seri Sultan membuka bilik Maimuna ternyata sang puteri tidak ada dan gantinya ada telur ayam sebutir.’’ Tertolonglah Maemuna pertama kali oleh tuah mantra Dalero. Maemuna senang mengingat kasih sayang saudaranya itu. Dalero memang sangat yakin akan kekuatan alam yang dapat digerakkan dengan kata-kata (bera). Ini disebut dalam bahasa Melanesia sebagai mana yang pertama dipakai misionaris Inggris Codrington untuk menyatakan suatu ‘’tenaga sakti penuh rahasia.’’ Di Sangihe diyakini untuk menggerakkan kekuatan itu sekadar diperlukan kekuatan kata khusus yang rahasia adanya. Ada juga kata-kata semacam itu namun sudah dibuka untuk umum, yaitu kata-kata bertuah pada upacara adat.

Yang jelas sultan tentu tidak patah arang dengan niatnya itu. Maka dicobanya sekali lagi mendekati istrinya. Jelas memang tidak ada yang salah pada harapan seorang suami semacam itu. Bahkan harus disebut wajib. Namun sekali lagi setelah masuk ke kamar, terjadi adalah apa yang ditulis lanjut H.B. Elias: ‘’Besok malamnya di ranjang mereka muncul seekor cicak. (Mungkin Maimuna bersembunyi, red.). Peristiwa-peristiwa itu sangat menggemparkan seisi istana Seri Sultan, pun kedengaran kepada Dalero saudarnya di Tabukan. Maemuna berhasil mempertahankan niatnya. Namun justru Pangeran Dalero di Tabukan sontak risau akan nasib saudara perempuannya itu. Maemuna seorang diri saja di Ternate. Memang dua dayang-dayang dan kaneke (juru masak sekaligus juru cicip makanan) ikut mendampinginya ke Ternate, di samping seorang prajurit alabadiri penjaga. Tapi apalah artinya mereka.

Dalero risau akan kemungkinan-kemungkinan buruk akibat dari kejadian-kejadian heboh di kamar pengantin. Sultan tentu marah besar. Pada situasi semacam itu nyawa Maemuna bisa saja jadi taruhannya. Dalero cemas karena risau pernah istri-istri dalam lingkungan kedaton Ternate ditemukan mati terbunuh. Bahkan nyata-nyata dilakukan sultan sebelum Mandarsyah, yaitu Sultan Mudaffar. Dalero jadi lebih panik lagi demi menyadari banyaknya kasus kematian akibat racun yang pernah terjadi di Ternate. Tidak terkecuali korbannya adalah Sultan Bolief yang disebut Sultan Bayang Ullah yang mengundang orang-orang Portugis tinggal di Ternate. Dalero makin cemas lagi mengingat Sultan Mudaffar, Sultan Hamzah, dan Pangeran Daijalo juga diracun. Dalero jadi stress di Tabukan.

Karena itu lanjut tulis H.B. Elias, ‘’Dalero menyiapkan beberapa perahu lalu berlayar menyusul Maimuna ke Ternate. Sesudah tujuh kali ia berlayar mengelilingi pulau Ternate di depan istana Seri Sultan Dalero meloncat dari perahu ke pantai sambil berteriak sekuat-kuatnya, hal mana nyata dalam sasambo kemudian hari: Bansengi Dalero, Bukung kota nambo (Tempik soraknya Dalero Penjuru kota gugur) dan rubuhlah penjuru istana Seri Sultan ke pihak laut (kalau ini memang benar yang secara pemikiran modern suatu yang mustahil, bukan main saktinya Dalero itu)’’

Sekali lagi terhadap kutipan kesaktian Dalero itu pembaca boleh memilih sikap ‘believe it or not’’. Penulis memilih percaya atas kejadian, tapi tidak percaya itu terjadi karena kesaktian Dalero. Kejadian itu mungkin dapat diterangkan secara rasional. Dalam dugaan penulis mungkin saja saat kedatangan Dalero terjadi bencana yang sebelumnya diharapkan Maemuna. Namun yang terjadi adalah sebuah jenis bencana yang sama sekali tidak diketahui oleh Maemuna atau siapapun orang-orang zaman itu. Bencana itu bernama gempa tektonik. Maklum Ternate dan Sangihe memang berada di sekitar pertemuan patahan-patahan aktif yang saling bertabrakan, yang disebut piringan Sangihe (Sangihe plate) dan piringan Halmahera (Halmahera plate). Gempa tektonik sudah terbukti sangat keras dan membahayakan. Diduga saat Dalero datang terjadi gempa hebat yang membuat dinding benteng roboh. Dalam suasana panik itu, tulis H.B. Elias: ‘’Dengan tidak ada syarat apa-apa. Seri Sultan merelakan puteri Maimuna dibawa pulang oleh Dalero.’’

Tentu agak mengernyitkan dahi pembaca, kenapa sri sultan begitu gampang melepaskan Maemuna. Hal ini mungkin dapat diterangkan dari motif cinta sang sultan yang memang sekadar birahi. Kalau itu alasannya, sultan tidak kekurangan stok perempuan cantik. Beberapa istrinya dapat dengan segera memuaskan hasratnya. Apalagi catatan Des Alwi menyebut tentang harem dari penguasa Ternate ini. Yang jelas rombongan perahu kora-kora Dalero dengan Maemuna sebagai penumpang utamanya segera meninggalkan Ternate berlayar di perairan Maluku dan arus akan membantu para pendayung menjelajahi laut. Saat di laut dapat disimpulkan Maemunah telah berhasil mengatasi masalahnya. Juga menegakkan niatnya. Dia adalah pencari cinta. Dia tidak akan menyerahkan dirinya pada orang yang dicintainya. Dan dalam perahu itu dia merasa telah berhasil memenangkan keinginannya. Enam bulan lamanya dia di Ternate dan rasanya kini sangat merdeka keluar dari sangkar perkawinan sebagai persekutuan politik.

Meski sudah berada di laut bersama Puteri Maemuna, namun Dalero yang memilih berada di buritan terus menerus mengarahkan pandangannya ke Ternate yang menjauh. Dia tetap waspada. Sultan bisa saja berubah sikap dan mengejar perahunya. Karena itu Dalero tidak mengambil rute biasa, berlayar lurus ke arah Barat Laut ke Sangihe. Namun, berlayar lurus ke Timur. Itu rute perjalanan yang biasa ditempuh dari Ternate ke arah Bentenan. Dalero ingin berlayar menyusuri daratan pulau Sulawesi dan menghilang dari kemungkinan kejaran armada Ternate di Laut Maluku yang terbuka. Dari pesisir pantai Selatan Utara Sulawesi dia rencananya akan menyusur menuju ke pulau Lembeh. Sesudah itu akan menuju Utara ke arah Sangihe lewat Tagulandang dan Siau.


Cinta Tertambat Di Siau

Perjalanan tiga hari rute pesisir daratan Sulawesi sudah ditempuh. Para pendayung mulai kelelahan, padahal mereka tidak punya barisan pendayung pengganti sebagaimana pada perjalanan perahu besar yang terencana. Juga bahan makanan sudah jauh menipis. Angin sudah tidak banyak membantu. Kenyataan perjaanan laut semacam ini memberi pesan jelas pada Dalero, sang hulubalang, mereka harus singgah di pulau terdekat. Maemuna juga menyatakan ingin mandi air tawar. Pulau Lembeh sudah mereka lewati siang kemarin. Pagi hari keempat itu mereka sudah di dekat pulau Talise. Mereka tahu itu karena ombak dan goyangan lautnya yang khas.

Mereka pun berencana akan singgah di pulau terdekat dalam perjalanan lurus ke Utara. Pulau itu jelas tak lain adalah Tagulandang. Ya, pulau Mandolokang dalam dalam bahasa sasahara, bahasa khusus orang-orang Sangihe saat beraktivitas di laut. Para pendayung saling berbisik soal tujuan perjalanan sesudah disampaikan kapitanlaut yang menerima perintah langsung dari Dalero. ‘’Mandolokang,’’ ujar mereka dengan nada senang. Mereka tidak asing dengan pulau itu. Dalero punya banyak teman di sana. Terlebih, karena ibu mereka memang berasal dari pulau itu. Maka mendayunglah para pendayung penuh semangat. Mereka mengingat betapa asyiknya berbaring di pasir pantai Tulusan yang tenang. Mereka ingin segera menikmati saat-saat membakar ikan. Juga merasakan segarnya kelapa muda di pinggir pantai. Setelah itu, mereka ingin dibuai angin pantai dan tidur pulas di bawah rindang pohon ketapang.

Sesudah setengah hari mendayung perjalanan mereka pun akhirnya melihat jelas pulau Tagulandang depan mereka. Gunung Ruang terlihat di samping kiri Tagulandang. Sedang Pasige di sudut kiri. Mereka tahu jauh di belakang Tagulandang ada gunungapi Karangetang di pulau Siau. Hari sudah lewat siang. Pulau Biaro baru dilewati. Para pendayung berupaya mempercepat gerakan mereka demi tahu tujuan mereka sudah dekat. Namun entah mengapa tiba-tiba saat mendekati Tagulandang Dalero yang kini berdiri di haluan dekat kapitanlaut mengatakan ‘’ Kita ubah ke Karangetang, bukan Mandolokang.’’ Dalero tidak menunjuk tujuan baru itu meski juga sudah terlihat jauh di belakang Tagulandang. Maka tak lama para pendayung pun berbisik satu dengan yang lain. ‘’Bukan Mandolokang, tapi Karangetang’’. Muka mereka jelas berubah cemberut. Di Siau mereka adalah orang asing. Siau bukan kerajaan yang bersahabat. Di sana orang-orang Spanyol bertahan pada dua bentengnya, Santa Rosa dan Gurita. Tapi, apa daya mereka harus menjalankan perintah itu.

Tidak seorang pun dalam perahu itu tahu apa yang ada di benak Dalero saat mengambil putusan tiba-tiba itu. Mungkin Dalero merasa pulau Siau jauh lebih aman untuk persinggahan bagi mereka. Meskipun jelas hubungan Tabukan dan Siau memburuk sejak kematian Raja Pertama Tabukan, Makaampo Wawengehe. Hulubalang Siau bernama Hengkeng u Naung terlibat dalam pembunuhan itu. Mungkin saja Dalero menghitung Tagulandang alias Pagenzara adalah sekutu dekat Ternate. Jika saja, perahu kora-kora Ternate mengejar jelas mereka akan singgah berlabuh di Tagulandang. Atau malah jangan-jangan armada Ternate sudah menunggu mereka di sana. Maemuna akan dibawa kembali kembali ke Ternate.

Dalero sebagai ahli strategi memang dikenal dalam lingkungan Kerajaan Tabukan. Dia pintar membaca kemungkinan-kemungkinan masa depan. Dia juga adalah orang yang menguasai detil tempat semua pulau yang dikunjunginya. Termasuk sebelum jemput Maemuna dia perlu mempelajari detil pulau Ternate, pulau Halmahera dan Tidore berkali-kali. Dia ingin menguasai detil letak dan tempat-tempat strategis pulau itu. Meski demikianm jelas pulau yang paling dikuasainya adalah detil geografi pulau Sangihe. Maemuna yang menyadari mereka justru sedang menuju pulau Siau terlihat lebih senang. Dia paham latar pikiran Dalero. Dan juga dia ingat tempat pemandian ’ake sio’ atau sembilan mata air yang sangat terkenal di Siau. Tempat itu dipercaya merupakan tempat mandi para bidadari dulu kala. Yang justru tidak disadari Maemuna, bahwa penduduk akan serta merta mengiranya satu dari bidadari yang dipercaya merupakan nenek moyang penduduk pulau itu.

Singkat kata perahu mereka mendarat tanpa kesulitan di bagian Utara pantai Ulu. Masuk di antara bebatuan menuju ke arah sebuah pohon ketapang di pinggir pantai. Mereka menghindari rumah penduduk dan benteng Spanyol di Ulu pada bagian yang disebut Lento. Untung saja perahu yang dibawah Dalero bukan perahu kebesaran kerajaan. Dengan demikian, kehadiran tidak akan menarik perhatian penduduk. Hal yang jelas sangat keliru, karena kehadiran Maemuna yang dikira bidadari segera menghebohkan penduduk. Dan memang benar, sepulang Maemuna dari mandi di mata air ke perahu mereka tak lama datanglah undangan sangat bersahabat seorang kurir Raja Siau Franciscus Zaverius Batahi. Mata-mata raja yang disebarkan di seantero pulau untuk melaporkan kedatangan orang-orang asing terutama Ternate, Tagulandang atau pihak kompeni Belanda segera melaporkan kehadiran rombongan dengan bidadari cantik itu ke Raja Batahi. Maka Dalero pun mempertimbangkan datang berkunjung ke istana Siau. Baginya saat itu yang harus dihindari hanyalah pertemuan langsung dengan para prajurit atau orang suruhan Sultan Ternate.

Dalero yakin utusan Ternate mustahil muncul di Siau. Karena, kerajaan Siau tidak bersekutu dengan Ternate apalagi dengan Belanda. Terakhir 32 tahun lalu Siau di bawah pimpinan ayah Batahi, Raja Winsulangi, berperang melawan Belanda dan Ternate. Rakyat Siau juga sangat membenci Belanda atas kejadian penculikan ratusan orang Siau yang dipaksa naik ke dua kapal Belanda dan dibawah untuk dijadikan budak perkening (perkebunan) pala yang dibuka mijnheer en mevrouw Belanda di Banda. Dalero pun memimpin rombongannya berkunjung ke istana Siau yang berpusat di Ondong. Termasuk membawa serta Puteri Maemuna dalam kunjungan itu. Raja Batahi menyambut kunjungan delegasi bangsawan itu secara resmi dengan segala pakaian kebesarannya sebagai seorang raja. Batahi memberikan keris dan puluhan lembar kain bagi Dalero, sedang untuk Maemuna seperangkat perhiasan dan kain sutra Cina.

Perkunjungan itu menjadi sebuah langkah penting dalam hidup Raja Bataha yang baru saja ditinggal mati Boki (istri raja) Doña Anastasia Tatunguan. Boki ini dilaporkan para paderi sebagai penganut Katolik yang memberi suri teladan dalam masa hidupnya, serta dia meninggal layaknya seorang santa (orang suci). Saat bertemu Raja Batahi takjub dengan kecantikan Maemuna. Tak cuma itu, tapi dia sangat terkesan dengan kepribadian Maemuna yang membela hak dirinya sebagai perempuan. Raja Batahi adalah raja Siau yang dididik para padri Jesuit di St, Joseph College di dalam benteng intramuros, Manila. Perangainya halus dan sangat menghargai orang lain. Terutama sosok perempuan. Dia mengacu pada sosok mulia dan suci Bunda Maria. Karena latar itu, dia punya penilaian yang lain atas pribadi Maemuna. Dia bisa paham alasan-alasan mengapa Maemuna meninggalkan Ternate.

Rombongan Dalero akhirnya tinggal di lingkungan istana atas permintaan raja. Pertemuan beberapa kali antara Raja Bataha yang duda itu dengan Maemuna tak dinyana melahirkan nuansa-nuansa tak terduga. Keduanya merasakan saling membutuhkan. Sekurangnya kebutuhan untuk bisa saling bercakap. Ya untuk saling curah hati, curhat. Dan dalam waktu singkat keduanya mulai dirayapi perasaan saling membutuhkan. Puteri Maemuna merasa telah menemukan yang didambanya. Dia merasa cinta sudah datang menambatkan hatinya ke Raja Batahi. Sedang Raja Batahi yakin telah bertemu pribadi perempuan yang setara dalam sikap dan pendirian. Ya perempuan dengan kepribadian kuat dan mau berjuang menegakkan apa yang dirasanya sebagai yang semestinya, sepantasnya dan seharusnya merupakan hak perempuan.

Raja Bataha merasa telah menemukan perempuan pengganti sepadan pasca kemangkatan istrinya. Maemuna pun merasa Raja Batahi adalah pelabuhan tenang bagi perahu jiwanya yang mencari perlindungan. Batahi-lah lelaki yang dicarinya selama ini. Apalagi setelah tragika hidupnya di Ternate. Maka pada sebuah pertemuan Maemuna langsung mengeluarkan cincin di jari manisnya dan memberikannya pada Raja Bataha. Dia menyadari esok akan berangkat ke Tabukan setelah seminggu di pulau Siau. Yang jelas pada pagi saat keberangkatan perahu di pantai dekat benteng Santa Rosa baik Bataha maupun Maemuna merasakan menyesal mengapa dambaan yang baru saja ditemukan akan menjauh dan mungkin saja menghilang. Keduanya, merasa cinta telah tersemai di hati. Orang yang tahu soal itu adalah Dalero. Meski demikian, Bataha dan Maemuna tahu perbedaan yang terbentang antar keduanya, Maemuna yang muslim, sedang Raja Bataha pemeluk teguh Katolik.


Mengejar dan Menculik Kekasih

Merasa telah kehilangan seseorang yang sudah ingin dimilikinya. Cincin pemberian Maemuna di jarinya adalah tanda respon cinta Maemuna. Akhirnya, Raja Batahi membulatkan niat akan langsung menjemput Puteri Maemuna dari Kerajaan Tabukan. Apapun yang terjadi Raja Batahi harus membawa pulang Puteri Maemuna ke Siau. Batahi tak sadar telah mencampurkan urusan cintanya itu menjadi urusan kerajaan. Seperti tulis H.B. Elias: ‘’… Angkatan perahu Dalero bertolak ke Tabukan. Tertinggallah Raja Batahi dengan bersemi cinta kepada sang bidadari yang sudah terbang pergi. Batahi tidak habis akal. Dengan Jogugu D’Arras dan Laksamana Hengkeng u Naung sudah siap dengan Angkatan Lautnya. Batahi ke Salurang, negeri bundanya Tihuwang. Dari sana ia akan menyamar sebagai budak masuk ke istana Raja Udah di Tabukan.

Rencananya adalah menculik Maimuna dibawa lari ke Salurang. Di sana Hengkeng U Naung sudah siap dengan Angkatan Lautnya untuk melakukan taraf terakhir dari perjalanan Romeo & Julet ala Sangihe, ialah membawa pulang dua sejoli ke Siau. Taruh maar, akan berakibat kemarahan Dalero, tetapi itu tidak mengapa. Kekuatan Kerajaan Siau akan dipertaruhkan pada berhasilnya Bataha membawa lari dan memboyong puteri Maimuna. Tidak menjadi persoalan sebagai akibatnya ada kemungkinan timbul peperangan antara Tabukan dan Siau, tetapi keinginan Bataha mau mempersuntingkan Maemuna begitu besar, melebihi segala urusan dan sendi pemerintah. Too the point, tidak bergerak ke kanan atau ke kiri. Batahi hanya merindukan satu perkara, yaitu secara jantan Maemuna harus berada di sisinya.

Begitulah lakon penting raja dan puteri Siau dan Tabukan yang terjadi tahun 1676. Cinta adalah energi rahasia sangat perkasa . Lebih kuat dari maut. Jauh lebih penting dari urusan negara. Jauh lebih kuat dari kekuatan kata penggerak alam (bera) oleh sang maestro Dalero. Karena cinta mampu mencipta keinginan hati bahkan kenekadan. Raja sekalipun kalah oleh keinginan hati. Puteri raja juga tergelepar tak berdaya dalam deraan kekuatan itu. Maka lanjutan tulisan H.B. Elias: ‘’Dan memang lakon yang dimainkan oleh Prins Batahi begitu indah sama seperti ceritera dalam salah satu dongengan dari Puteri Rimba Larangan atau Puteri Di Balik Tirai. Dengan menumpang perahu londe Batahi tiba di Salurang dan dari sana secara menyamar ia diantar ke Istana Raja Udah di Tabukan untuk dijadikan budang (elang). Ia diterima dengan baik oleh Bagida Raja yang gembira memperoleh seorang budak yang tampan dan baik budi pula. Batahi mendapat tempat tidur di pondok budak-budak raja yang barang tentu jauh lebih sederhana dari tempat berteduh seorang raja. Besoknya si budak itu mulai kerja berat dan selanjutnya melakukan tugas sehari-hari di istana raja di Tabukan.

Kalau baginda Raja sangat gembira karena beroleh seorang budak yang setia, rajin sopan apapula tampan pun tidak ada seorang dalam istana raja itu yang mengenal si budak itu atau melihatnya sebelumnya atau bertanyakan dari mana asalnya, ya hampir semua, tetapi ada juga seorang yang lebih gembira dari Baginda Raja ialah Sangiang Maimuna yang segera mengenal cincinya di jari manis budak itu, yang dari menit pertama terus mengenal dalam diri budak itu sang kekasih dan tatunonaung yang betul-betul setia dalam janjinya, rela mencari dan mengikuti kecintaan hati, ke mana saja ia pergi, ke lautan apipun tidak takut asal hati dengan hati bersua. Dengan tanpa setahu sang ayah, Kasili Batahi dan Sangiang Maimuna saling bertemu, dimana Kasili Batahi membentangkan satu rencana yang berani penuh dengan lakon gelora dan badai percintaan…’’

Penyamaran itu jelas sangat rapih. Raja Batahi bercampur baur di antara para budak di rumah panggung besar Tabukan. Dia bercampur baur dengan para pencukur kepala di dapur. Juga belajar menyanyikan lagu-lagu para budak saat mencukur kelapa, kakalumpang. Bahkan Dalero yang terkenal dalam sejarah Kerajaan Tabukan sebagai orang yang waspada pun kecele. Kemungkinan saja Dalero sebenarnya tahu soal itu. Malah mungkin Maemuna sendiriyang berterus terang kepadanya. Karena hubungan batin keduanya. Dan itu diceritakan Maemuna di saat-saat akhir memutuskan akan pergi diam-diam lari ke Siau. Dalero sangat menghormati keputusan hati Maemuna. Sebagaimana dia juga percaya pada keinginan hatinya. Dalil sikap pribadi Dalero ini terbukti di masa-masa kemudian saat dia berniat menceraikan istrinya, Susana Loholawo dan ingin kawin dengan pujaan hatinya Puteri Salontingo. Tindakan itu tidak dizinkan pendeta De Leeuw. Dia bahkan berupaya para pejabat di Ternate dan Batavia untuk meminta izin itu. Sayang dia gagal memperolehnya.
Yang sudah jelas Dalero tak menghadang manuver Raja Batahi, karena dia tahu tidak ada jalan lain bagi keduanya untuk bersatu. Dan akhirnya operasi penculikan Puteri Maemuna oleh Raja Batahi atas dasar cinta kedunya itupun terjadi. Seperti tulis H.B. Elias: ‘’ …Dan pada satu pagi hari langit yang cerah, ada yang masih enak mendengkur karena masih subuh dan fajar mulai merekah, seisi Istana Raja Udah sudah ribut dan panik, karena ternyata sang intan jelita Sangiang Maimuna sudah tidak ada di pembaringannya, pun budak yang belum sebulan berselang diterima juga minggat menghilang entah ke mana perginya. Dan sementara jawaban dan penjelasan mengenai kejadian yang tiba-tiba mengkagetkan itu belum rampung dalam keterangan-keterangan yang diminta oleh Baginda Raja Udah itu, Kasili Batahi dan Sangiang Maimuna sudah berada di biduk hidup romantika yang penuh cinta berahi penuh asyik masyuk penuh saling meminta dan memberi ucapan kesayangan dan gerakan kemesrahan yang tak ada habis-habisnya dalam malam pengantin dan bulan madu yang mereka sendiri rencanakan, bina dan selenggarakan.Dengan diiringi sorak kemenangan, Hengkeng u Naung membawa pulang dua sejoli itu yang menumpang perahu Angkatan Lautnya dari Salurang ke Ondong…’’

Perkawinan nekad keduanya itu tidak banyak diketahui orang. Dan memang sengaja disembunyikan, terutama karena posisi Maemuna sebagai istri yang dinikahi resmi Sultan Sibori. Namun berita semacam itu jelas tak bisa dibendung. Tak lama berita soal bidadari Tabukan yang diculik dan dikawini Raja Siau Batahi tiba di pihak Belanda di Ternate awal tahun 1677. Sangat mungkin via Tagulandang atau via mata-mata di benteng Amsterdam di Manado.


Penundukan Siau

Cerita penculikan itu akhirnya diketahui juga Raja Tabukan Udha. Raja marah, tapi dia belum ambil niat melakukan apa-apa atas Siau. Berita itu ternyata sangat strategis bagi Belanda. Robertus Padtbrugge Gubernur Maluku VOC ke 21 yang dilantik tahun 1677 melihat nilai penting informasi itu. Dia pun segera menyampaikan informasi penting dari Siau itu ke Sultan Sibori. Sultan sontak marah. Dia merasa dilecehkan. Apalagi memang Padtbrugge mengomporinya. Seperti biasa pihak Belanda akan memanfaatkan setiap masalah yang timbul di antara para penguasa pribumi Nusantara. Bahkan Belanda akan memperuncingnya. Dan, kalau konflik itu pecah, Belanda akan memancing keuntungan baginya. Biasanya Belanda mendapat kompensasi wilayah kekuasaan atau keleluasan menerapkan kebijakan dagang monopoli khusus. Belanda makin jaya, sedang penguasa pribumi terus merosot kuasanya. Devide et impera.Jujurnya, Sultab Sibori inginnya tak percaya pada berita itu. Namun, info itu datang dari pihak yang sangat terpercaya. Kompeni Belanda merupakan mitra kekuasaannya. Dua tahun sebelumnya Belanda menolongnya naik tahta.

Kejadian di Siau itu jelas akan menghapus rumor yang diciptakan di Ternate soal Puteri Maemuna. Di Ternate beredar luas kepergian Puteri Maimuna dari kedaton Ternate, karena dia hamil sebelum dinikahi sultan. Cerita itu menyebut puteri dari Utara itu melahirkan setelah enam bulan di Ternate. Nah, perkawinan Puteri Maemuna dengan Raja Batahi dari Siau-Spanyol yang merupakan musuh Ternate-Belanda itu tegas membantah rumor sesat itu. Perkawinan itu menegaskan tidak benar Puteri Maemuna hamil dan diusir pulang. Malah dapat saja muncul simpulan, kepergiannya itu sama kejadiannya dengan larinya Puteri Rooze ke Makassar. Simpulan yang pasti akan mencoreng reputasi Sultan Sibori sebagai raja. Terutama reputasinya sebagai suami dan laki-laki. Maka, nyala kemarahan terus membesar di dada Sultan Sibori. Sultan sontak menyatakan setuju dengan permintaan gubernur Patbrugge untuk menyerang Siau.

Rencana itu sebelumnya sudah dibicarakan Padtbrugge ke Dewan Kerajaan. Padtbrugge juga melobi agar dewan kesultanan mendesak sultan mengumumkan perang pada Siau. Artinya, pasca persetujuan sultan semua pememgang kekuasaan Ternate sudah pada garis sikap yang sama. Kesultanan akan menyerang Kerajaan Siau untuk memberi pelajaran pada Raja Batahi yang menculik istri raja. Para penguasa di Ternate menjadi lupa beberapa tahu sebelumnya mereka pernah menyambut hangat kedatangan Raja Batahi ke Ternate. Kala itu Raja Batahi khusus berkunjung untuk mengantar Pendeta Montanus yang bertandang ke Siau untuk dijadikan ladang penginjilan gereja Protestan Belanda. Pada waktu itu Raja Batahi diberi sambutan hangat. Benteng Oranye membunyikan tembakan meriam kehormatan.

Perubahan sikap Ternate yang sangat cepat itu disambut Belanda. Belanda merasa kini saatnya mengusir Spanyol jauh ke Utara. Spanyol tidak boleh berada di wilayah sekitar Maluku. Dan pulau Siau adalah wilayah (enclave) Spanyol yang tersisa di Nusa Utara. Spanyol, sesuai informasi di pihak Belanda, disebut punya rencana membuka perkebunan rempah-rempah di pulau itu. Hal itu jika terwujud akan merusak strategi monopoli rempah Belanda yang ditegakkan dengan pembatasan produksi rempah-rempah yang terkonsentrasi di Ambon dan Banda. Sedang tanaman cengkeh dan pala di pulau lain dilenyapkan dengan kekerasan. Berita tentang niat Spanyol itu makin santer. Menurut sumber informasi Belanda, untuk itu Spanyol telah memperkuat bentengnya di sana.

Dalam posisi itu keputusan Sibori untuk menyerang Siau adalah kesempatan menghancurkan ladang rempah di sana. Juga diupayakan mengusir Spanyol keluar selama-lamanya dari Nusa Utara. Karena itu, Belanda serius membantu segala persiapan dan keperluan serangan ke Siau itu. Belanda tidak mungkin melakukannya lagsung, karena akan merusak Perjanjian Damai Munster 1648. Padahal perjanjian itu adalah sikap Spanyol yang mengakui kemerdekaan Belanda. Singkat cerita, akibat perkawinan Batahi dan Maemuna itu, Sultan Sibori dengan emosional menyerang Siau. Tentu dengan dukungan amunisi, kapal, pasukan, strategi dan bahkan pangkalan perang di Benteng Amsterdam Manado yang dulu dibangun Simon Cos.
Lebih menyingkatkan cerita, akhirnya Siau dikalahkan ribuan pasukan penyerang gabungan Ternate, Bolaang, Tagulandang, Tabukan, Tahuna dan Manganitu. Dan tahun 1677 itu ditandai sebagai awal resmi kekuasaan VOC Belanda di Nusa Utara, yaitu lewat perjanjian kontrak panjang (lange contract) dengan raja-raja di Nusa Utara.

Maemuna Kemana?

Tidak jelas catatan sejarah bagaimana keadaan Puteri Maimuna saat penyerangan oleh Sultan Sibori. Apakah sultan sempat bertemu dengannya atau tidak? Yang jelas Puteri Maemuna tetap menjadi istri Raja Batahi. Karena, pada tanggal 8 atau seminggu setelah penyerangan Siau oleh pasukan gabungan pimpinan Ternate itu, Raja Batahi setuju memberikan barang-barang sebagai tebusan atas tindaknya merebut ‘nyonya’ Sultan Ternate. Yang jelas ketika serangan terjadi Maemuna baru saja melahirkan anak buah cinta kasihnya dengan Batahi. Ini anak kandung cinta kasihnya. Karena itu dapat diduga saat penyerangan salah satu pasukan Tabukan di bawah komando Dalero atau Mehengkalangi telah menjemput dan membawanya ke Tabukan. Maemuna bersama bayinya. Dan dalam sejarah ditulis bagaimana kemarahan Raja Udha luruh demi melihat bayi Maemuna. Anak itu segera mendamaikan semua persoalan Tabukan dan Siau sejak Makaampo dan penculikan Batahi. Makanya, anak tersebut dinamakan Raja Udha sebagai Ramenusa. Artinya, mendamaikan pulau-pulau. Pada saat itu, beberapa pulau kecil di antara pulau Siau dan pulau Sangihe diberikan pada sang bayi itu. Yaitu, pulau Para, Kahakitang, dan Mahangetang. Bahkan juga bagian kerajaan Tabukan di Talaud, yaitu di Kabaruan, diberikan pada Maemuna.

Hal yang perlu diceritakan, sesuai data sejarah pada tahun 1678 Raja Batahi mangkat. Itu artinya, dengan memeriksa seksama naskah sejarah, Ramenusa baru berusia satu tahun. Dan juga menurut data sejarah naiklah ke tahta Raja Monasehiwu yang hanya berkuasa sampai tahun 1680. Dalam dua tahun masa Monasehiwu itu, Maemuna jelas disibukkan dengan membesarkan anaknya Ramenusa. Kemudian, masih menurut data sejarah, Ramenusa naik tahta sebagai raja. Artinya pada usia tiga tahun. Hal itu jelas tidak mungkin terjadi kalau tidak dibantu orang lain sekitarnya. Terutama Maemuna, ibunya. Keterlibatan semacam itu dimungkinkan secara resmi dalam posisinya sebagai mantan Boki dan ibu suri. Memang pada zaman Raja Winsulangi (ayah Raja Batahi) Kerajaan Siau sudah berhasil membentuk sebuah dewan kerajaan Siau yang bertugas membantu raja dalam memerintah. Dewan yang dinamakan Komolang Bobatung Datu (Majelis Kerajaan) di antaranya beranggota para bangsawan dan keluarga raja serta terutama wakil dari kalangan rakyat. Alam situasi raja berpergian atau sakit dewan ini menjalankan pemerintahan.

Raja Ramenusa termasuk satu dari raja-raja Siau yang dikenang. Dalam pemerintahnya Kerajaan Siau mencapai masa keemasan secara politik dan ekonomi. Dalam masanya jua pengaruh kerajaan Siau sangat kuat sampai ke Talaud, Minahasa, Kaidipang dan Leok, Buol.
Tentu prestasi itu bukan tanpa andil jasa orang lain. Dan sebagaimana ungkapan yang dipercaya bahwa setiap keberhasilan lelaki ada peran perempuan yang tersembunyi di belakangnya, mungkin dalam kasus Ramenusa yang berperan itu adalah ibunya, Puteri Maemuna. Ibunda yang berbakti bagi kebaikan anak temurunnya.///