Karakteristik dasar orang Siau terkonstruksi dari tiga tahapan yang
dimulai dari tahap paling dasar sampai pada tahap paripurna. Ketiga
tahapan itu adalah Mateleng, Matelang, Mateling . Inilah yang
saya sebut sebagai Doktrin Taumata. Doktrin yang menyerupai trilogi.
Setiap istilah ini bermakna ganda, terdiri dari beberapa corak tindakan
yang terrangkai sebagai sebuah proses sosialisasi simultan dari
individu “taumata” (manusia). Artinya, tingkat kemanusiaan orang Siau
ditentukan oleh signifikansi dan determinasi penyerapan nilai-nilai di
atas. Berikut ini akan diutarakan pengertian secara singkat trilogi
taumata dan kemudian saya mendeskripsikan proses perangkaiannya menjadi
perilaku fundamental manusia Siau (karakter taumata).
1. Mateleng
Mateleng
adalah kata kerja yang dirangkai dari dua suku kata yaitu “ma” yang
berarti mengerjakan sesuatu dan “teleng” yang berarti dengar (tunggal).
Dengan demikian mateleng dapat diartikan langsung kedalam bahasa
Indonesia modern sebagai “pendengar”. Dalam bahasa Manado kontemporer,
terdapat kata kerja “pangbadengar” yang artinya orang yang suka
mendengar atau orang yang patuh. Jika pengetian mateleng dipadankan
dengan pengertian “pangbadengar” maka akan menghasilkan pengertian yang
terlampau sempit maknanya.
Orang Siau memaknai mateleng
bukan sekedar tindakan pasif memasang kuping. Melainkan diperluas
maknanya sampai pada tindakan untuk memastikan bahwa apa yang sudah
didengarnya harus dapat dibuktikan secara empirik. Dengan demikian
urusan mateleng bukan hanya urusan telinga, tetapi juga merupakan
urusan seluruh panca indera manusia. Apa yang didengarnya harus dapat
dilihat, dicium, diraba dan dirasakan. Bagi orang Siau, semakin banyak
mendengar, maka semakin banyak yang dikerjakan. Sebaliknya, orang yang
kurang mendengar adalah orang yang kurang aktivitasnya alias orang
malas. Etos kerja orang Siau itu pertama-tama terbentuk dari
pendengarannya.
Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang
terganggu pendengarannya karena cacat lahir, seperti orang bisu
misalnya, sering menjadi subjek pembanding bagi orang tua (dewasa)
untuk mendidik orang-orang muda yang berperilaku malas. Terdapat
kalimat semacam ini: kau kere tau bobo, uage singambung, maketi tulidang (kau
seperti orang bisu, malas banyak, sulit diluruskan). Perbandingan
dengan orang bisu ditekankan pada fungsi pendengaran yang merupakan
dasar perilaku malas dan sukar diatur. Tetapi orang yang mateleng
berperilaku sebaliknya, yaitu tidak bisu (mampu bicara atau
bertanggungjawab) kemampuan itu mendorong menjadi berani, giat atau
rajin, tetapi mudah diluruskan atau diarahkan.
Sebab
pertama dari terbentuknya perilaku mateleng yaitu dimulai dari
pendengaran, penglihatan, penciuman, penyentuhan dan perasaan yang
diterima oleh seorang taumata secara mendalam. Inilah nilai (values)
pertama yang paling mendasar dari Taumata Siau. Nilai ini terus
menerus dibangun dalam aktivitas sehari-hari, dari tahun ke tahun dan
berabad-abad lamanya. Dibangun dari dalam keluarga orang-orang Siau
sebagai sebuah kelaziman sehingga nampak dalam kehidupan setiap
keluarga terdapat cara-cara bertindak “mateleng” yang telah menjadi
kebiasaan (folkways).
Perilaku mateleng ditandai
oleh sikap yang peka dengan kondisi lingkungan sekitar, baik lingkungan
alam maupun lingkungan sosial yang selalu diseleksi secara ketat dengan
rasionalitas yang terjangkau oleh fungsi pancaindera. Sikap individu
yang senantiasa menerima dan menyeleksi tersebut, saling beradaptasi
dan berkontribusi positif pada tataran keluarga dan masyarakat,
kemudian mudah beradaptasi dalam pergaulan yang lebih luas. Karakter
itulah yang membuat orang Siau mudah diterima oleh bangsa manapun di
dunia. Bangsa yang dikenal pendengar, giat dan rajin. Bangsa yang
sesungguhnya telah membentuk dirinya dengan fundasi yang sangat kuat
dan bermartabat. Dengan demikian mateleng adalah suatu tindakan rasional, terstruktur dan dapat dipelajari.
Keluarga-keluarga
yang berhasil membangun karakter mateleng dalam kehidupannya telah
berhasil juga menciptakan sumberdaya manusia dengan kualitas perilaku
yang cukup mapan pada usia dini, sejak anak-anak, remaja dan menjadi
seorang pemuda yang cukup matang. Oleh sebab itu banyak pemuda-pemudi
Siau yang merantau dan sukses membangun kehidupan pribadi mereka di
perantauan. Kesuksesan itu sejalan dengan watak mateleng. Tetapi ada
pula yang gagal mengelola watak kematelengannya dan terjebak pada stereotype pihak luar yang keliru memaknai kepatuhan di atas kesadaran rasional (mateleng) dengan kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran semu atau irasional (bukan mateleng).
Delusi yang dibentuk dari lingkungan luar biasanya lingkungan dimana
mereka mengabdikan diri (bekerja) tersebut adalah berupa anggapan bahwa
orang Siau dengan sifat rajin, penurut, jujur dan mudah diatur
menunjukkan sifat dasar yang dimiliki oleh pekerja sehingga “panggilan
kesayangan” selaku “ungke” sebagai laki-laki sejati dimaknai sebagai
ungke dalam konteks bias pada status sosial selaku buruh (kelas
proletar).
Dunia luar selalu menjadi ajang untuk menguji
seberapa kuat derajat kepatuhan, kerajinan, kemandirian dan kepekaan
sosial Taumata Siau. Bagi pemuda yang sukses bertahan dari tekanan
dunia luar, maka ia akan hidup dan terus eksis sebagai pengubah
lingkungannya. Tetapi bagi mereka yang belum sukses, disarankan untuk
kembali ke kampung halamannya. Itulah sebabnya dimana-mana terdapat
komunitas orang Siau yang kemudian melihat dan merasakan langsung
kegetiran atas kegagalan saudaranya, maka selalu dinasehati untuk
kembali ke kampung halaman untuk menyelenggarakan tradisi leluhurnya “mundeno kabalre”.
Tradisi “mundeno kabalre”
ini adalah tradisi permandian yang dilakukan dengan menggunakan air
sebagai simbol dari terserapnya nilai “mateleng” kedalam raga dan jiwa
taumata Siau. Makna mateleng dalam penyelenggaraan upacara “mundeno kabalre”
menandakan bahwa tingkat kepekaan sudah berada pada level tertinggi
sehingga perlu dimateraikan atau dikukuhkan. Air dipercaya memiliki
kekuatan magis yang dapat menyatukan alam roh dan alam nyata, dan air
hanya dapat diserap oleh tanah. Pengukuhan yang transenden sifatnya itu
dituntut harus dapat menimbulkan konsekuensi yang nyata atau terjangkau
oleh pancaindera seperti misalnya tubuh menjadi kebal dari parang,
bedil atau benda-benda tajam yang digunakan pihak lain dengan maksud
menjahati pribadi orang Siau. Bilamana seorang pemuda telah dimandikan
menurut tradisi ini, dia akan diuji, lengan akan dipotong dengan parang
yang sangat tajam, punggung akan ditebas dengan kapak yang sangat
tajam, kemudian dijatuhkan pada lereng-lereng berbatu terjal. Jika
melalui ketiga tahapan pengujian ini seseorang tidak mendapatkan luka,
maka berarti dia lulus ujian kabalre dan diperbolehkan untuk merantau (lagi).
Barangkali
itulah salah satu alasan, mengapa orang Siau lebih suka bekerja sebagai
pelaut atau mengelola laut daripada bekerja di darat. Tetapi darat
menjadi tumpuan bagi kehidupan dasar. Darat (tanah) adalah tempat
berpijak sekaligus kunci awal dan akhir dari kehidupan. Semoga mereka
(orang laut) tidak sedang menghindar menyentuh atau disentuh tanah.
Tanah bagi beberapa orang laut (perantau) menjadi sesuatu yang
dihindari dalam petualangan selama masa hidupnya, tetapi menjadi teman
abadi di akhir hidupnya. Mateleng diibaratkan seperti orang yang mampu
berdiri sendiri pada landasan hidup dengan kedua kakinya sambil
memegang sejumlah kewajiban berat di tangannya yaitu kewajiban
memanusiakan manusia. Manusia mateleng adalah manusia otonom pada level
1 tingkat kemanusiaan Taumata Siau. Reward bagi pejuang di kancah
mateleng adalah perunggu.
2. Matelang
Matelang
dalam bahasa Taumata Siau berarti telah mencapai tingkat keseimbangan
tertentu sebagai manusia Siau yang memiliki kemampuan
mengharmonisasikan keragamanan yang rumit, menyelaraskan yang bengkok
dengan yang lurus, memadu-seimbangkan manfaat dari nilai-nilai positif
dan nilai-nilai negatif. Sikap Taumata Siau selalu rasional.
Rasionalitas itu terbentuk sejak proses pembentukan kepribadian
mateleng. Makna matelang tidak bergantung pada umur seseorang. Bisa
saja seseorang tidak pernah disebut matelang sampai akhir
hayatnya di usia yang dewasa dalam standar nominal. Makna matelang
berkaitan erat dengan makna mateleng. Mateleng merupakan pribadi dengan
banyak pengetahuan dan pengalamannya harus menjalani ujian pada tahapan
berikutnya, yaitu ujian untuk keseimbangan.
Budaya laut
yang demikian kuat terbangun dalam kehidupan bermasyarakat semakin
membuat struktur sosial terdeferensiasikan pada dua ranah, yaitu ranah
orang darat (tanah) dan ranah orang laut (air). Muncul kemudian corak
inklusif pada penggunaan bahasa yaitu adanya bahasa laut yang disebut sasahara dan bahasa darat yang disebut sasalili.
Orang darat yang orientasinya ke tanah mengembangkan sasalili,
sedangkan orang laut yang orientasinya ke air menggunakan sasahara
dalam mengembangkan karakteristik dirinya.
Pada tataran
tertentu banyak hal disebut dengan berbeda makna, tetapi satu tujuan
yang sama.. Bagi orang darat (orang kebanyakan) makna perahu adalah
media yang digunakan untuk melaut. Tetapi bagi orang laut perahu adalah
“rumah” mereka. Oleh sebab itu, kata perahu disebut oleh orang darat
dengan sangat entengnya sebagai sakaeng (sasalili), sedangkan
orang laut tidak menyebut, melainkan mengungkapkannya dengan makna yang
sangat mendalam (menyentuh) sebagai malring batangeng u watangeng (sasahara) yang berarti ”ini rumahku di lautan”.
Kita
akan menemukan demikian banyak kata, pepatah, syair dan karya sastra
yang dilahirkan dalam dua corak identitas orang Siau dalam struktur
masyarakatnya itu. Beberapa diantaranya sebagai berikut:
- Untuk menunjukkan objek yang bukan manusia seperti: nama-nama ikan, antara lain: belau (sasahara), kemboleng (sasalili) artinya ikan hiu; tolre peti (sasahara), pani (sasalili) artinya ikan tuna; tendalung (sasalili), boto pusige (sasahara) artinya ikan layar; mansohokang (sasahara), senempa (sasalili) artinya cumi-cumi; mahenang (sasahara).
- Untuk menunjukkan objek orang (manusia) seperti: laming (sasahara); ungke (sasalili) artinya laki-laki; sangiang (sasahara); uto (sasalili) artinya perempuan.
- Untuk menunjukkan aktivitas, antara lain: pato-pato (sasahara), leto-leto (sasalili) artinya terapung; medaraung (sasahara), mesenggo (sasalili) artinya berlayar; mamuna (sasahara), mapule (sasalili) artinya pulang; mengeto (sasahara), medepuhang (sasalili) artinya memasak; nietoe (sasahara), nikaalra(sasalili) artinya hasil ikan yang didapat.
Laut
(air) dan tanah menjadi simbol yang sangat sakral dalam kehidupan
manusia Siau. Laut sebagai simbol kehidupan dan kekuatan, sedangkan
tanah adalah simbol kelahiran dan kematian. Api merupakan simbol
pengetahuan sedangkan angin adalah simbol kehendak. Gunung adalah
simbol perlindungan dan keteguhan sedangkan logam adalah simbol
kemuliaan. Demikianlah orang Siau memaknai fenomena dan benda-benda
alam dalam irama kehidupan mereka.
Tanah yang pada umumnya berwarna cokelat atau abu-abu, secara verbal dimaknai sebagai keadaan bolra yang
berarti kotor atau kusut. Orang Siau yang orientasi hidupnya ke laut
membentuk dirinya sebagai orang yang berperilaku bersih, menghindari
tanah sebagai simbol “kekotoran”. Semakin kelaut, semakin bersih, dan
lawannya adalah semakin ke darat atau semakin ke gunung, maka semakin
kotor. Niscaya, pergaulan hidup orang laut dengan orang darat menjadi
renggang, solidaritas sosial melemah dan akhirnya bangunan perilaku Mateleng
yang sudah dipatrikan sejak masa kecil menjadi goyah. Semakin luas
pergaulan orang laut (perantau), semakin banyak mereka menyentuh,
menerima, menampung budaya-budaya asing dan beradaptasi dengan budaya
asing itu sehingga sedikit banyak terpengaruh dengan nilai-nilai baru
atau minimal melahirkan corak yang lebih terkini. Perantau dengan
tingkat mateleng yang lemah akan menghasilkan perilaku yang jauh
menyimpang dari nilai kematelengan dan tidak mungkin dapat menjadi pribadi yang matelang.
Ketika
mereka kembali ke darat (kampung halaman) dan berasimilasi dengan
lingkungan asalnya, maka akan segera nampak perbedaan yang menyolok,
bahwa orang yang baru kembali memiliki tingkat kemajuan budaya yang
lebih baik daripada yang tinggal di kampungnya. Para pelaut biasanya
akan membawa banyak perubahan dari aspek penampilan atau cara
berpakaian. Misalnya menggunakan setelan celana blue jeans dan arloji rolex dianggap
sebagai suatu kemajuan yang diraih melalui serangkaian prestasi
sekaligus prestise orang laut sedangkan pakaian dari setelan kofo dan gelang dari kamasilrang (akar bahar) dianggap sebagai bolra atau
kotor atau udik. Sebaliknya orang darat atau orang yang mendiami
kampung halamannya atau mereka yang tidak memilih berlayar beranggapan
bahwa para pelaut telah terkontaminasi dengan nilai-nilai budaya asing
dan dianggap sebagai “becek” atau lota yaitu tanah yang basah akibat kena air yang jauh lebih kotor dari tanah (kotor) itu sendiri.
Tradisi
belayar (melaut) terbentuk sebagai komponen baru dalam struktur sosial
masyarakat sekaligus menjadi media baru untuk pijakan kehidupan dari
sebagian taumata Siau. Sebagian lainnya masih eksis melanjutkan
kehidupannya pada pijakan lama yaitu mengelola tanah. Orang yang
berhasil membentuk karakter mateleng menjadi matelang adalah seorang
yang mampu menyeimbangkan atau mendamaikan seteru paham berbeda itu.
Meskipun dirinya adalah bagian dari salah satu paham, tetapi cara
berpikirnya dan cara bertindaknya dapat diterima oleh kedua belah pihak
secara seimbang. Pada tingkat ini, struktur masyarakat mengajarkan
kepada setiap individu bahwa damai adalah tujuan dari hidup bersama.
Jika
mateleng diibaratkan seperti orang yang mampu berdiri sendiri pada
landasan hidup dengan kedua kakinya sambil memegang sejumlah kewajiban
berat di tangannya yaitu kewajiban memanusiakan manusia dalam kepekaan,
maka matelang ibarat orang yang telah berdiri dengan sebelah kakinya
tetapi terus memegang sejumlah kewajiban di tangannya yaitu kewajiban
memanusiakan manusia dalam keseimbangan. Manusia matelang adalah
manusia otonom pada level 2 tingkat kemanusiaan Taumata Siau. Reward
bagi pejuang di kancah matelang adalah perak.
3. Mateling
Kepribadian
taumata (manusia) setelah melewati bentuk watak mateleng dan watak
matelang pada akhirnya mencapai bentuk yang sempurna yaitu watak
mateling. Sifat diam (mengendalikan lidah), rajin bekerja dan setia
mendengar merupakan komponen-komponen perilaku yang membentuk kepekaan
pada watak mateleng, entah itu kepekaan pribadi maupun kepekaan
lingkungan (alam dan sosial). Dengan demikian taumata disebut memiliki
watak mateleng apabila di dalam dirinya terdapat sifat diam, rajin dan
setia. Sedangkan corak watak matelang dimulai dari sifat setia yang
telah mengakar pada watak mateleng, kemudian diasah melalui ujian
(seleksi) alami di ajang yang lebih luas (laut-perantau) sebagai ruang
terbuka untuk menguji kadar kedewasaan taumata. Mereka yang lulus ujian
adalah mereka yang mendapatkan keseimbangan dari pelbagai fenomena
paradoks yang mempengaruhi perilaku.
Kejadian
keseimbangan pada tingkat matelang terjadi ketika momentum fenomena
paradoks (positif dan negatif, putih dan hitam, siang dan malam, kronis
dan akut saling) saling bertautan pada besaran muatan yang sama untuk
kurun waktu tertentu dan berlangsung pada ruang tertentu. Mateleng
merupakan integrasi dari sifat diam, rajin dan patuh. Dengan kata lain:
sifat patuh adalah hasil penjumlahan dari sifat diam dan rajin (tekun)
yang dapat diformulasikan sebagai berikut: Setia = Tekun + Diam. Jadi,
pada tingkat pertama, kunci dari kesetiaan adalah diam dalam ketekunan.
Pada tingkat kedua, matelang merupakan integrasi dari sifat setia, kuat
(matang) dan seimbang (stabil), sehingga formulasinya adalah: Stabil =
Kuat + Rajin (makna kerja) atau Matang + Tekun (makna sifat). Taumata
dalam tindakan akan nampak dari kualitas fisik yakni perpaduan antara
kekuatan dan kerajinan, sedangkan taumata dalam psikhis akan nampak
dari kombinasi kematangan dan ketekunan. Bagi taumata Sangihe (Siau
pada khususnya), karakteristik dasar taumata menjadi kuat apabila
landasannya dibentuk dari watak mateleng dan matelang.
Bagaimanapun
kuatnya, keseimbangan pada tingkat matelang belumlah paripurna. Taumata
matelang meyakini bahwa kesempurnaan itu ada, berada pada ketiadaan.
Jalan masuk kesana adalah kesenyapan. Tingkat kemanusiaan taumata akan
naik lagi pada tataran berikutnya yang disebut sebagai mateling. Itulah sebabnya ada tradisi mengamalre (bertapa)
dalam kehidupan taumata tradisional, yang umumnya dilakukan di dalam
liang-liang yang sulit dijangkau oleh orang awam. Dengan bertapa
taumata lebih memperkokoh stabilitas antara mateleng dan mateling dalam
dirinya. Dengan bertapa taumata memperoleh pencerahan. Taumata mateling
pada akhirnya sanggup menata kualitas kematelingannya berdasarkan pada
kualitas kematelengan dan kualitas kematelangannya.
Mateling
merupakan kata kerja pasif sekaligus kata sifat yang mengandung tiga
komposisi makna integral, yaitu: seimbang, berhikmat dan diam (pasif).
Dalam kondisi mateling ini, kerja sebagai aspek fisikal (aktif) dalam
pengertian harafiah melemah seiring usia taumata (waktu), tetapi watak
mateleng dan matelang makin menguat. Penguatan terjadi pada saat
taumata dalam kondisi keseimbangan (matelang) melakukan kerja pasif.
Kerja pasif itu adalah diam. Mateling dengan demikian berada di posisi
puncak yang terhubung ke mateleng dan matelang. Mateling adalah
pengendali mateleng dan matelang.
Pada konstruksi
bangunan sosial yang lebih kompleks atau yang sederhananya disebut
sebagai masyarakat, maka mateling adalah sasasa; yakni sebuah regulasi
yang mengatur tentang cara-cara sasalili (mateleng) dan sasahara
(matelang) agar senantiasa berada dalam keadaan malunsemahe. Taumata
Mateling adalah taumata yang dibentuk karakternya dari kemanunggalan
mateleng dan matelang. Taumata mateling sangat mahir berperan di tiga
ranah ilmu pengetahuan yang mencakup epistemilogi, ontologi dan
praksis. Kepadanyalah semua orang berpaut, baik mereka yang mateleng
maupun mereka yang matelang.
Dengan pemahaman kental
tentang makna mateling seperti yang saya uraikan ini, barangkali itulah
yang menyebabkan orang Siau (Sangihe) sangat menghormati leluhur
mereka. Orang tua sampai akhir hayatnya tidak akan pernah
dipantijompokan, melainkan diurus sedemikian rupa oleh
generasi-generasinya, bahkan kubur leluhurnya enggan jauh dari rumah
dimana mereka tinggali.Jika anda berkunjung ke Siau, hampir di setiap
sudut atau di samping rumah mereka anda akan menemukan kuburan. Maaf,
itu kubur (mateling) bukan kerkoft (budaya asing). Anda dituntut hormat bukan takut.