Sabtu, 06 Februari 2010

PALA SIAU DARI MASA KE MASA

Kegiatan agrobisnis pala Siau tidak lepas dari sejarah pemerintahan, sejak masih menganut sistem pemerintahan tradisional (kerajaan) sampai sekarang. Dalam beberapa referensi, kerajaan Siau didirikan tahun 1510 oleh raja Lokongbanua II, kebijakannya dalam bidang kemaritiman dan penaklukan wilayah. Enam tahun kemudian, kerajaan dipimpin raja Posumah (1516), kebijakannya dipengaruhi Portugis yaitu penginjilan, kemaritiman dan agrobisnis cengkih untuk kepentingan Portugis. Kemudian diganti oleh raja Winsulangi yang diserang orang Mindanau, menyebabkan Winsulangi diungsikan ke Ternate dan bersama Spanyol kembali merebut kerajaannya.

Sebuah ekspedisi Belanda tahun 1651 ke pulau Vassal Ternate, pihak Belanda mencatat, di Tagulandang terdapat 102 pohon cengkih produktif dan 4050 yang belum produktif. Kekuatan maritim Siau kala itu sangat kuat dan menjadi ancaman bagi tataniaga VOC di Maluku, sehingga Belanda yang berkedudukan di Maluku dan sekutunya Kesultanan Ternate melakukan dua kali agresi pada tahun 1607 (Belanda dan sekutunya gagal) dan tahun 1614 mereka berhasil menundukan kerajaan Siau. Winsulangi mengungsi ke Manila, lalu kembali tahun 1624, Winsulangi dibantu Spanyol berhasil merebut kerajaan Siau dari tangan Belanda dan Sultan Ternate.

Pada tahun 1661 raja Winsulangi melahirkan beberapa kebijakan misalnya dalam bidang pemerintahan dengan membentuk Komolang Bubatong Datu. Peranannya seperti DPRD dalam pemerintahan modern. Selain itu, beliau proaktif dalam bidang pendidikan. Raja pernah bersekolah di Manila, kemudian disusul anaknya Batahi. Tahun 1671, “investor asing” yaitu Heeren XVII, (pemegang saham VOC), persis pada tanggal 15 Mei 1671, mengirim surat kepada kaki tangan mereka di Maluku dengan redaksi: “...menempatkan Siau dengan cara yang setepat-tepatnya dibawah perlindungan kita..” (lihat Salindeho & Sombowadile, 2000).

Belanda akhirnya berhasil menundukkan Siau ketika kerajaan dipimpin raja Batahi. Demikian penting posisi Siau di mata Belanda (VOC) kala itu. Kuat dugaan sejak masa Winsulangi dibuang ke Ternate, sejak itu masyarakat Siau sudah menanam pala. Sementara kegiatan agrobisnis tanaman pala, secara formal efektif sejak masa pemerintahan Raja Lemuel David ketika kerajaan Siau dibawah kuasa Belanda. Pada tahun 1890 raja Lemuel David mengeluarkan titah kepada rakyat untuk menanam pala.

Data Dinas Pertanian Sitaro menyebutkan, produksi pala tahun 2007 mencapai 1,66 juta ton, dihasilkan dari lahan 3000-an hektar. (Fredy Tewu, 2008). Pada bagian lain, Ir. Ridson Bawotong, Kadis Pertanian mengatakan produksi pala Sitaro rata-rata pertahun 3.485,80 ton, sedangkan Fuli sebesar 348,58 ton. Tanaman pala dapat menghasilkan sebesar 8 kg/pohon/ tahun. (Ronny A. Buol 2009). Jika laporan Fredy Tewu dikomparasikan dgn data BPPT (2000) dimana produksi tahun 1995 adalah 3551 ton, maka terjadi kenaikan yang sangat mencolok sebesar 99,78% dalam 12 tahun atau rata-rata 8,3%/tahun.

Ironisnya, Kadis Pertanian membeberkan data produksi biji pala justru menurun minus 65,2 ton dan fuli naik hanya 64,58 ton (18,53%) sepanjang 12 tahun atau 1,54%/tahun. Jelaslah data Pemkab melebihi perhitungan Bank Indonesia yang menyebutkan pertumbuhan produksi pala secara nasional 3-5%/tahun. Sebaliknya, data produksi fulli, jauh lebih kecil dari perhitungan BI. Tahun 1999 produksi pala di pulau Siau 814 ton/tahun, dihasilkan dari 297.133 pohon, jumlah penduduk 37.515 (BPPT, 2000). Bilamana dalam 1 keluarga petani terdapat 4 orang, berarti rata-rata petani memiliki 32 pohon yang menghasilkan 2,74 kg/pohon/tahun. Informasi dari petani Siau, inisial PB, dalam 1 kg pala biji, terdapat 175 biji pala kering dan dalam 1600 biji kering terdapat 1 kg fulli (ratio 1 : 9). Dalam sebulan seorang petani mengelola 88 kg pala biji sekaligus dengan 9,8 kg fulli. Bilamana harga pasar berlaku saat itu untuk biji kering Rp 28.000/kg dan fulli Rp 100 rb/kg, maka penghasilan rata-rata petani/bulan adalah Rp.3.444.000.

Kini harga pasar untuk biji pala sudah berkisar Rp 40.000/kg, fulli Rp 60.000/kg. Jika harga ini terus bertahan hingga tahun 2010, dengan demikian pendapatan petani dalam dekade terakhir dengan asumsi pertumbuhan penduduk 2%/tahun (petani tahun 2010 adalah 11.255 KK), maka penghasilan tiap petani dalam sepuluh tahun terakhir, meningkat menjadi Rp 4.108.000/bulan. Artinya terjadi peningkatan pendapatan petani sebesar 83,9%. Menurut Kadis Pertanian Sitaro, Ir. Ridson Bawotong, disebutkan, “......produksi petani Sitaro dapat mencapai 8 kg/phn/thn.” Jika data ini benar, maka produksi setiap petani dengan 32 pohonnya adalah 21,33 kg/phn/bln biji kering dan 2,3 kg fuli kering, pendapatan petani sebulan dari pala biji adalah Rp 27.264.000,- ditambah dengan hasil dari fulli yaitu Rp 138.000. Seluruhnya Rp 27.402.000/bulan untuk tiap keluarga petani. Data yang diuraikan di atas jelas berlebihan.

Untuk standar mutu eksport, Ditjen Perkebunan menetapkan kalibrasi pala (Calibrated Nutmeg) SP-13-1975 yang direvisi Agustus 1985. Disana tertulis kriteria pala berkualitas nomor 1 harus memenuhi tujuh tingkat kriteria, dimulai dari yang paling bermutu; yaitu pala kelas 1 kategori CN.60-65, dalam 1 kg terdapat 66-71 biji pala tidak pecah dan seragam sampai kategori CN.>132 untuk kriteria pala bermutu pada kategori paling rendah. Kemudian pala kelas 2, yaitu pala campuran (ABCD) yang tidak seragam. Kedua kelas ini saja yang direkomendasikan pemerintah Indonesia untuk diekspor ke LN. Sedangkan pala keriput dan pala B.W.P (pecah, berlubang, berjamur) tidak direkomendasikan.

Berkat ketekunan petani, pala Siau era 70an tercatat sebagai pala nomor 1 di dunia. Hanya saja saya tidak tahu kategori C.N-nya. Ditelisik dari ukuran besarnya pala, untuk mendapatkan 1 kg memerlukan sebanyak 135 biji/kg dan ukuran kecil bisa sampai 150 biji/kg. Jelas tergolong kualitas status C.N >132 yaitu peringkat paling rendah dalam kelas 1. Dengan demikian tugas pemerintah dan petani pala Sitaro adalah meningkatkan status yang diraihnya ke tingkat yang lebih tinggi. Pala Sitaro secara kuantitas masih kalah dengan pala Talaud (53% produsen pala Sulut), karena luas areal yang terbatas. Jadi satu-satunya pilihan strategis dalam pengembangan agrobisnis pala Siau adalah peningkatan mutu, bukan peningkatan jumlah produksi. Jika produksi pala Talaud 1000 ton dengan hasil 1 ton minyak pala, masih jauh lebih efesien dengan 500 ton pala Siau tetapi hasilnya 1 ton minyak pala. Investor pasti lebih melirik pala Siau tentunya.

Persoalannya adalah apakah kualitas pala Siau seperti tahun 80an masih dapat dipertahankan?. Inilah masalah yang harus digali dari perilaku petani pala Siau di masa modern yang serba canggih dewasa ini. Jadi persoalan paling mendasar adalah soal perilaku sosial petani dalam merespon berbagai stimulan dari luar sebagai pengaruh globalisasi sekaligus membentengi diri dengan tatanan nilai-nilai budaya leluhur yang diturunkan oleh founding fathers. Bala rakyat kerajaan Siau, telah banyak menderita dalam peruntungan, tetapi jauh lebih banyak dari rakyat Siau, kini beruntung dalam penderitaannya. Oleh sebab itu banyak dari orang Siau, berperilaku rajin, tekun, ulet, sabar dan berbudaya. Mereka adalah petani pala yang berdayaguna dan berhasilguna. Mari kita lanjutkan titah raja David, ajakan kali ini, ”mari tingkatkan mutu”.█

Tidak ada komentar: