Jumat, 14 September 2012

Kudeta Identitas

oleh Denni Pinontoan pada 14 September 2012 pukul 22:32 ·

Kuatnya sebuah doktrin mampu menghancurkan sebuah penanda ingatan. Ia bahkan mampu membuat nalar dan kesadaran  menjadi tumpul. Apalagi doktrin yang dominan selalu memiliki kecenderungan untuk mengalahkan yang lain. Pun itu dokrin tentang kebaikan, tapi bila ia telah berubah menjadi ideologi (yang harus selalu) tunggal, ”kebaikan yang lain” pun harus dikalahkan. Doktrin apalagi ideologi tunggal hanya tahu bagaimana ”yang lain” terpinggir atau bahkan hancur.

Hari-hari ini, ”aliran sesat” masih sengaja dihadirkan di ruang publik kita. Juga, yang ”berhala” masih dikonstruksi sebagai stigma untuk yang minor, yang dipinggiran: ”yang lain”. Stigma itu adalah senjata ampuh yang menyingkirkan atau untuk ”menobatkan” yang lain itu. Sejarah bercerita kepada kita, bagaimana era abad gelap di Eropa, hanya karena sesuatu itu ”lain” dan dianggap mengancam, maka sesuatu itu harus musnah dengan stigma ”sesat”, ”bidah.” Padahal, sesuatu itu adalah ”kebenaran.” Namun karena ia ”kebenaran” dari kaum minoritas, maka ia dinamakan ”sesat”. Sementara sesuatu ”yang tidak benar” bahkan ”destruktif,” karena ia milik pemilik kuasa, maka ia menjadi benar, suci dan dengan mudah dikonstruksi menjadi ”firman” atau ”hukum”.

Masih di abad gelap itu, sebuah pemberontakan atas kemapanan yang kemudian berbentuk gerakan kritik, oleh yang dikritik menuduh gerakan itu sebagai bidah. Sebagai sebuah kelompok ”sesat” yang telah keluar dan melawan ”kebenaran” milik yang berkuasa dan mapan, ia harus dihancurkan. Lucunya, di beberapa abad kemudian ketika gerakan kritik itu telah bermetamorfosis menjadi ”agama” yang berkuasa, stigma terhadap dirinya dulu kemudian dipakai untuk menyingkirkan ”yang lain”, yang tidak mau tunduk atau hanya menerima setengah-setengah doktrin dan ideologi tunggalnya.

Tanggal 13 September, hari Kamis, ”ideologi tunggal” itu bekerja lagi. Dua situs budaya di wilayah Pakasaan Tombulu (Kota Tomohon), yaitu Watu Kameya dan Pinawelaan di Kakaskasen dibongkar dan dihancurkan oleh massa. Tapi, massa itu bukan terutama ’jumlah” melainkan sebuah kekuatan. Media cetak lokal (tidak semua) dan media elektronik, radio dan situs-situs berita ikut memberi ”kekuatan” atas destruksi ingatan itu. Judul-judul beritanya mengadopsi khotbah-khotbah agama. Mereka menyebut dua situs yang menyimpan ingatan sejarah dan makna kultural itu sebagai tempat ritual ”aliran sesat” dan praktek ”berhala.” Media kita tiba-tiba menjadi agama, yang merasa paling tahu urusan sorga dan neraka.

Tapi media sebenarnya mengutip pemerintah, kepolisian dan sudah tentu “khotbah” agama. Dengan bahasa yang seragam, bahasa khas agama, menurut massa dua situs itu harus dihancurkan karena ia “sesat”. Para pengikutinya, kata mereka telah meresahkan masyarakat. Seperti agama yang cenderung hitam-putih, begitu juga dengan massa ini. Bagi massa ini, tidak perlu dibedakan mana keresahan itu sebagai akibat dari tindakan personal dan mana situs budaya sebagai milik bersama. Bagi pihak dominan ini, keresahan yang ditimbulkan oleh personal dan situs budaya/sejarah itu adalah sama, sehingga keduanya harus “salah” dan “kalah”, dan mereka sebagai pemilik kuasa wacana harus benar dan menang.

Begitulah sebuah proses ”kudeta” identitas. Tidak ada pengadilan bagi yang tertuduh, yang ada adalah eksekusi di ruang publik. Proses pengambilalihan identitas ini harus dilakukan demi sebuah dominasi dan penundukkan. Konsekuensinya, generasi pewaris identitas harus ditaklukan. Proses menjadi muda ketika generasi ini berada dalam kegamangan di antara proyek rasionalisasi yang materialistis ala kapitalisme dengan proses pembentukan identitas tunggal oleh sebuah kekuasaan yang hegemonik, baik ia yang bernama agama maupun negara.      

Ketika (tanah) Minahasa, yang adalah identitas telah takluk dan diinjak-injak oleh (yang ber-)kuasa itu, tanah yang sudah gersang dan kering ini nantinya akan dipenuhi oleh generasi – yang adalah anak dan cucu kita – yang tak lagi mengenal leluhur mereka: Lumimuut-Toar. Mereka telah  menjadi ”budak-budak” dari dinasti yang menang itu. Mereka akan menjadi ”robot-robot”, yang tanpa rasa, tanpa ingatan, tanpa sejarah. ”Waruga-waruga” kita pun nanti akan mereka gusur. Mengerikan!

Kuranga, 14 September 2012