Rabu, 01 Desember 2010

Agropolitan Sitaro: Sebuah Rencana Pembunuhan Massal

Agropolitan adalah istilah dalam bidang pertanian. Istilah ini dikenal sejak tahun 1970. Pertama kali dicetuskan oleh seorang Planolog Amerika bernama John Friedmann. Secara harafiah agropolitan dapat diartikan sebagai "agro : pertanian, politan: kota", jadi, kota pertanian. Konsep agropolitan ini digunakan sebagai strategi untuk mengurangi disparitas yang berlebihan dari pesatnya perkembangan kota sementara desa-desa bergerak sangat lamban.

Secara garis besar konsep agropolitan mengetengahkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
  1. Sebuah modul kota dasar (basic urban module) yang terdiri dari kecamatan-kecamatan yang otonom, dibangun pada kawasan desa berkepadatan tinggi atau kawasan peri urban. (populasi 10.000-15.000 jiwa, tersebar di area seluas 10-15 km2).
  2. Setiap kecamatan memiliki pusat pelayanan yang dapat diakses dengan mudah dari segala penjuru di kecamatan tersebut, baik dengan kaki maupun sepeda, selama 20 menit atau kurang.
  3. Setiap pusat pelayanan memiliki komplemen pelayanan dan fasilitas publik terstandarisasi.
  4. Dipilih satu kecamatan pusat (area desa-kota yang telah mengalami transformasi spasial paling besar) untuk dibangun agroindustri terkait.
  5. Lokasi dan sistem transportasi di wilayah argoindustri dan pusat pelayanan harus memungkinkan para petani untuk menglaju (commuting).
  6. Kecamatan-kecamatan dikembangkan berdasarkan konsep perwilayahan komoditas yang menghasilkan satu komoditas atau bahan mentah utama dan beberapa komoditas penunjang sesuai kebutuhan.
  7. Setiap kecamatan didorong untuk membentuk satuan usaha yang optimal dan selanjutnya diorganisasikan dalam wadah koperasi, perusahaan kecil dan menengah.
  8. Industri manukfatur kecil harus terdistribusi di tiap kecamatan dan di sepanjang jaringan jalan utama.
Saya membaca harian Komentar, Jumat 26 November 2010 tentang Fokus Pengembangan Tanaman Pala, Penyusunan Master Plan Agropolitan Wilayah Sitaro. Berita ini tidak mengungkap secara detil ihwal substansi maupun teknis strategis, tetapi cukup memberi kesan, adanya perhatian Pemkab dalam menangani permasalahan agrobisnis maupun agriindustri.

Saya berharap pemerintah kita cermat memilih dan menerapkan model yang relevan dengan karakteristik petani dan wilayahnya. Selaku wilayah kepulauan yang jauh dari wilayah kota (baca: Manado) sebagai pusat kegiatan bisnis, model agropolitan saya nilai belum cukup memadai memenuhi  delapan kriteria yang disebutkan di atas. Bahkan saya tidak setuju kalau infrastruktur terlebih dulu dibangun, sementara perilaku petani untuk menghasilkan produk terbaiknya belum dapat dibenahi.

Menurut saya, pembangunan infrastruktur dibalik slogan pembangunan model agropolitan yang muluk itu nantinya akan menghasilkan sekumpulan benda-benda mati (monument) yang tidak dapat dimanfaatkan oleh petani akibat dari belum terbentuknya perilaku yang diharapkan dapat menunjang terselanggarakannya mekanisme yang bisa membuat petani survive. Saya harus tegaskan, pembangunan monumental sudah cukup. Petani kita butuh pembangunan mental produktif yang mulai pudar akhir-akhir ini.

Untuk rencana pengembangan yang berkaitan dengan transformasi industri harus melalui pengkajian yang cermat tentang kepemilikan lahan, baik untuk keperluan membangun pabrik maupun perluasan lahan perkebunan yang dominan perkebunan rakyat itu. Konsep agropolitan yang kini sedang ramai dibicarakan berhasil itu, belum tentu dapat diterapkan secara ideal di Sitaro yang wilayahnya sangat kecil dan jauh dari Manado.Sitaro membutuhkan strategi agrobisnis yang mampu memproteksi segenap kearifan lokal yang fungsional. Teknologi dapat ditransformasikan melalui perkembangan perilaku pada bidang produksi, konsumsi, distribusi dan investasi. Komponen perilaku yang hendak dibentuk tersebut meliputi pengetahuan, persepsi, preferensi dan sikap petani untuk mau berkembang secara otonom.

Tetapi bilamana pemerintah bersih-keras menerapkan model ini tanpa mempertimbangkan pembentukan perilaku petani, niscaya ini merupakan sebuah upaya sistematis untuk membunuh secara massal seluruh petani pala Siau dengan biaya yang dikucurkan Pemerintah Pusat sehingga kelak di suatu saat nanti yang dominan beroperasi di Siau adalah koorporasi-koorporasi besar yang lebih rakus dari kerakusan para tengkulak-tengkulak yang ada sekarang ini.