Sabtu, 06 Februari 2010

NALANG KUNDI

nalangku kundi akele, di’moro su tătêmpele
ake’u sipa nuboso, nisingka u bango-boko
manu apa su nanaro pia tingine uwahaha,... uwahaha.
u tau manu bunggi, i yupunge sarundaa.
sasunapang kahuranganna

LAGU ini digunakan orang-orang Sangihe dalam aktivitas pada bidang pertanian, yang mendeskripsikan kegiatan para petani memarut sagu dari batang enau dan menyuling nipa dari pucuknya. Tentu dengan teknologi tradisionalnya sejak berabad-abad lalu. Sesaat mereka duduk beristirahat dan menyanyikan lagu ini. Lagu yang kini hampir punah, belum ada tangan-dingin yang meramunya di dapur rekaman lokal maupun nasional. Saya mendengar terakhir kali dinyanyikan berpadu oleh PS Biro Kepegawaian Setda Prov. Sulut sewaktu E.E. Mangindaan gubernurnya. Aku sebagai Sangihe kental, pun terpegun ketika kusaksikan peserta PS dominan etnis Minahasa.

Nalang Kundi makna harafiahnya adalah ”mainan kundi”. Kundi sendiri adalah hewan pengerat yang hidupnya bergantung dari batang enau yaitu jenis serangga bercula,berkulit cangkang keras, umumnya berwarna hitam, dan biasanya menempati pohon enau. Syair di atas melantunkan adanya kepercayaan petani terhadap pemilik hutan sehingga tiap orang yg bermaksud menggarap lahan dan pohon harus menyapa secara ramah terhadap eksistensi hutan terlebih dahulu, baru kemudian mengeksplorasinya. Sangat wajib hukumnya bagi penggarap yang menebang satu pohon untuk kemudian menggantinya (menanam) dengan pohon baru. Bilamana tidak diindahkan, maka sang penunggu hutan (yupung sarundaa) dapat mengambil anak sebagai gantinya. Oleh sebab itu setiap keluarga petani hingga kini berkewajiban menanam satu pohon bagi kelahiran anak mereka.

Jauh sebelum dikenal oksigen, pohon sudah diyakini memberi nafas bagi kemaslahatan hidup bersama dalam keluarga. Yaitu sebuah kearifan lokal yang mutlak diperlukan pada masa global dewasa ini sebagai penawar racun terhadap dampak perubahan iklim. Negara bahkan dunia berpikir soal ini nanti setelah bencana alam memukul permukaan bumi hingga tak terelakan. Bahkan isteri presiden SBY mengadopsi kearifan ini sebagai afirmative action yang dikampanyekan lewat peranan PKK. Korelasi yang kuat antara kesehatan masyarakat dan pengelolaan lingkungan hidup telah lama dipikirkan dan diejahwantahkan oleh tau sangihe tradisional kala itu. Pohon merupakan jalan pembebasan dari semua pergumulan manusia. Dipandang sebagai sasampuha (pengobatan) yang mujarab dan ajaib yang menghubungkan dunia nyata dengan dunia transenden.

Makna lain nalang kundi ini mengiaskan pekerjaan anak-anak orang Sangihe hendaknya berhubungan dengan pemanfaatan pohon enau sebagai makanan pokok. Sayangnya pemanfaatan sagu sebagai makanan pokok kini diganti beras (bukan komoditi lokal). Bahkan bagi kalangan orang Sangihe dewasa ini (apalagi yang berada di diaspora) ketika mendengar syair lagu ini dinyanyikan, seketika merasa lucu, karena dianggap tidak berkelas. Mudah-mudahan fenomena ini tidak menunjukkan terlampau progresifnya ”Tau Kite” dan kita tidak meninggalkannya begitu saja. Menggagas buah pikiran untuk sebuah syair lagu seperti itu tidak mudah. Jadi yang kita tinggalkan adalah sebuah tindakan berbudi pekerti yang berinkulturasi terhadap budaya, ghalibnya masih fungsional bagi perikehidupan masyarakat Sangihe dan masyarakat dunia.█

Tidak ada komentar: