Kamis, 30 September 2010

KARANGETANG ANTARA BENCANA DAN RENCANA

Ikhwal Nama Karangetang
Gunung Api Karangetang dalam beberapa catatan diberi nama sebagai "Api Siau" demikian juga catatan lain yang berkaitan dengan sejarah misionari Belanda zaman dulu yang konon membaptis Gunung Api itu dengan nama "Johanes" sekalian dengan Gunung yang lebih kecil berdampingan dengan Karangetang yaitu Gunung Tamata yang dibaptis dengan nama "Johana". Sebelum kedatangan misionari ke pulau Siau untuk menyebarkan agama Kristen Protestan, terdapat kepercayaan tua yang meyakini bahwa di kubah gunung yang aktif itu hiduplah seorang pria sakti yang bernama Ampuang Tatetu. Ampuang Tatetu adalah sosok yang berjubah serba putih, berjenggot putih hingga ke tanah dan memiliki seekor ayam putih (uhise). Pria sakti itu akan keluar dari kubah bilamana bala rakyat melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar norma susila. Beliau kemudian murka dan memuntahkan api untuk meminta korban hingga rakyat menyadari adanya pelanggaran kesusilaan yang mereka lakukan itu.

Bagi warga pulau Siau, Karangetang berarti "yang tertinggi". Saat itu, setiap hal yang bermakna tertinggi dikelompokkan dalam bahasa laut (sasahara) sebagai "aditinggi" yaitu sebuah simbol keagungan yang senantiasa diaktualisasikan dalam warna putih, sedangkan pasangannya adalah "mawendo" yang melambangkan keberanian dan diwujudkan dalam warna merah. Itulah sebabnya kedua warna Merah dan Putih menjadi warna sangat sakral dalam kehidupan kedatuan Siau kala itu yang dipenuhi dengan panji-panji kedatuan diposisikan sebagai simbol eksistensi kedatuan. Mawendo (merah) dan aditinggi (putih) keduanya disakralkan sebagai "seka-saka".


Letusan Beruntun, Letusan Beruntung
Letusan gunung api Karangetang benar-benar heboh di Indonesia. Gunung yang puncak bagian selatan berketinggian 1.827 meter dpl dan puncak bagian utara 1.874 meter dpl itu meletus terakhir pada rabu 23 sampai kamis 24 September 2010. Ketinggian gunung bisa berubah-ubah sesuai dengan aktivitasnya. Pada tahun 2005 tinggi Karangetang dilaporkan menjadi 1.984 m.dpl. Letusan terbesar terjadi pada tahun 1974, semua penduduk di Siau diminta mengungsi. Kemudian terjadi lagi letusan yang tak kalah dahsyatnya pada tahun 1984, 1985, 1992, 1996, 1998.

Karangetang memiliki empat kawah, yaitu: Kawa 1 terletak di puncak selatan, kawah 2 terletak di puncak utara, kawah 3 terletak di puncak utara dan kawah 4 terletak di lekukan antara kedua puncak. Kawah 1 dan 4 telah dipenuhi doma lava. Selain itu masih terdapat dua kawah di bagian selatan dan bagian lereng arah barat laut.

Sekurang-kurangnya ada empat jenis aktivitas Gunung Karangetang, antara lain:

  1. Aktivitas mengeluarkan lahar panas yang terjadi beruntun dari tahun ke tahun, baik melalui letusan besar maupun letusan kecil. Pada tiap letusan senantiasa menghasilkan material batu keras dan pasir dalam jumlah yang sangat besar sehingga mempengaruhi ketinggian gunung. Di sisi lain material yang dikeluarkan Karangetang mendatangkan keuntungan bagi warga Siau untuk membangun rumah.
  2. Aktivitas mengeluarkan awan panas yang sempat terjadi tahun 1992 dan menelan 8 orang korban warga kampung Dame Kecamatan Siau Timur.
  3. Aktivitas mengeluarkan abu panas. Abu tersebut kemudian menjadi pupuk alam yang menyuburkan tanah petani.
  4. Aktivitas mengeluarkan lahar dingin seperti yang terjadi pada tanggal 6 Agustus 2010 yang lalu menghantam kampung Kinali Kecamatan Siau Barat Selatan dan menelan 4 orang korban meninggal dunia.
Letusan terakhir yang terjadi dan lahar menyasar kawasan perkampungan Hekang, Basaha dan Keting dipahami masyarakat lokal sebagai berkat bukan kutukan. Apa pasalnya? Dalam beberapa tahun terakhir kegiatan pembangunan berjalan sangat cepat dan membutuhkan bahan material yang tidak sedikit. Beberapa media massa melaporkan Sitaro kekurangan material berupa batu dasar dan pasir, sehingga letusan Karangetang itupun dipandang sebagai berkat bagi warga Sitaro yang kini sedang aktif membangun.


Belajar Dari Sifat Stratovulcano
Beberapa referensi mencatat letusan besar pertama gunung api Karangetang mempunyai tipe stratovulcano yang pertama kali meletus pada tahun 1675. Letusan gunung jenis stratovolcano terjadi mirip sebotol air berkarbonasi dibuka. Setelah volume kritis dari magma dan gas terakumulasi, hambatan disediakan oleh kerucut vulkanik diatasi, letusan akan terjadi secara tiba-tiba. Itulah yang terjadi pada Gunung Karangetang.

Dalam sebuah artikel yang ditulis Siwi Tri Puji, disebutkan pada tahun 1991, Gunung Unzen di Pulau Kyushu sekitar 40 km (25 mil) timur Nagasaki, Jepang, terbangun dari tidur 200 tahunnya untuk menghasilkan kubah lava baru di puncaknya. Kubah yang runtuh menghasilkan abu arus destruktif yang menyapu bawah lereng dengan kecepatan tinggi 200 km/jam. Unzen adalah salah satu dari lebih dari 75 gunung berapi aktif di Jepang; letusan tahun 1792 menewaskan lebih dari 15 orang dan merupakan bencana gunung api terburuk dalam sejarah negara itu.Fenomena yang sama terjadi pada April 1815 saat Gunung Tambora di Pulau Sumbawa mencatatkan letusan paling kuat dalam sejarah. Awan vulkanik Tambora menurunkan suhu global sebanyak 3°C. Setahun setelah letusan itu, sebagian besar dari belahan utara bumi mengalami suhu dingin tajam selama bulan-bulan musim panas. Bahkan di beberapa bagian Eropa dan di Amerika Utara, pada tahun 1816 mengalami apa yang dikenal sebagai "tahun tanpa musim panas". Debu vulkanik juga berbahaya bagi kesehatan jika terhirup, dan juga merupakan ancaman bagi properti dengan akumulasi yang cukup tinggi. Ketebalan debu 30 cm saja sudah cukup untuk membuat sebuah bangunan sederhana runtuh.

Belajar dari kasus tersebut di atas, mestinya setiap gunung api di SaTas sudah harus ditangani pemerintah secara serius agar ada upaya pencegahan (preventif) secara dini. Tetapi hingga sekarang, kebijakan pemerintah dalam soal satu ini masih jauh dari harapan masyarakat.


Bagaimana Pemerintah Menyikapi Bencana dan Menyusun Rencana?
Nampaknya peran pemerintah Sitaro hanya sebatas memberikan pengumuman untuk bersiaga, belum sampai pada upaya menyiapkan perlengkapan untuk keperluan evakuasi apalagi upaya untuk menyediakan perlengkapan teknologi yang mampu mendeteksi aktivitas rutin yang lebih memadai serta institusi dan kebijakan yang memadai terkait manajemen pengelolaan bencana alam.

Sitaro perlu "Kepala Kampung Siaga Bencana" yang difasilitasi dengan sejumlah pengetahuan, kecakapan dan perlengkapan dalam menyikapi kerawanan bencana alam. Hal ini harus dapat disiapkan sesegera mungkin mengingat aktivitas yang sudah sangat simultan akhir-akhir ini. Persoalan biaya sesungguhnya telah dijawab oleh pemerintah pusat melalui DAK dalam jumlah puluhan milliar, hanya saja masih belum jelas pemanfaatannya.

Demikian pula pelibatan para tokoh-tokoh informal seperti tua-tua adat dan tokoh-tokoh agama serta Majelis Tua-Tua Kampung perlu mendapatkan pengetahuan yang cukup mengenai penyusunan kebijakan lokal yang ramah lingkungan dan berorientasi pada upaya preventif agar terhindar dari dampak bencana alam.

Pendekatan formal semacam membentuk Satkorlak Penanggulangan Bencana yang diinstitusikan lewat Perda, meskipun saat ini masih belum ditetapkan sebagai Perda, sesungguhnya kurang efektif dibandingkan dengan pendekatan informal yang ditawarkan melalui artikel ini. Justru dengan adanya Satkorlak tersebut akan dinilai sebagai institusi yang hanya akan menghabiskan uang negara dengan percuma.