Jumat, 03 Desember 2010

MAKIWERA DAN MAPALOSE

Saya hanya ingin mendeskripsikan suatu aktivitas yang ajek tapi kini sebelum lenyap, sebaiknya terlebih dahulu saya uraikan apa yang menurut saya substansi. Masyarakat Siau mengenal dua bentuk kegiatan kolektif dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kegiatan dimaksud adalah Makiwera dan Mapalose. Menarik sekali mempelajari karakteristik masyarakat Siau dari kedua aspek kerja kolektif ini. Saya mencoba mencermati dari perjalanan sejarah agar dapat membedakan apakah kedua bentuk pranata tersebut merupakan produk lokal atau hanya adopsi dari budaya tetangga.

Mapalose
Mapalose seperti halnya mapalus (di Minahasa) dapat dikatakan sebagai kegiatan, usaha atau kerja yang dilakukan secara kolektif oleh banyak orang dengan semangat bergotong-royong. Saya tdak menemukan kebiasaan mapalose pada kisah-kisah zaman kedatuan ketika tatanan membentuk struktur masyarakat Siau yang diwarnai oleh budaya feodal akibat penguasaan bangsa-bangsa Eropa seperti Spanyol, Portugis dan Belanda. Oleh sebab itu saya menduga Mapalose tidak muncul sebagai kebiasaan ajek orang-orang Siau yang lama kelamaan menjadi norma bersifat mengikat sehingga berimplikasi pada tatanan sosial secara total. Saya justru menduga, mapalose merupakan adopsi dari komunitas Minahasa yang diinternalisasikan kedalam struktur kebudayaan masyarakat Siau pada abad ke 19.

Istilah Mapalus sendiri dalam lingkup komunitas Minahasa yang berorientasi daratan, lebih sering digunakan untuk usaha-usaha bersama dalam bidang pertanian, seperti bercocok tanam dan melakukan panen dimana kedua kegiatan tersebut melibatkan banyak tenaga kerja. Bagi masyarakat Minahasa, mapalus dilakukan secara bergilir dari satu keluarga ke keluarga yang lain. Kegiatan ditandai dengan diketuknya tetengkorang pada pukul 05.00 subuh untuk oleh seorang yang ditugaskan melakukan fungsi komunikasi massa. Para petani lalu bergegas bangun tidur dan bergerak menuju kebun milik saudara mereka yang terjadwal gilirannya. Pekerjaan dilakukan sampai jam makan siang, lalu mereka pulang ke rumah untuk makan dan melanjutkan sisa pekerjaan sampai matahari terbenam. Keesokan harinya giliran keluarga yang lain sebagaimana kesepakatan yang dibangun sebelumnya.

Pada tahun 1900 sampai 1980an, mapalus berlangsung dalam aktivitas masyarakat Siau meskipun tidak semua proses dilakukan sama persis dengan masyarakat Minahasa. Mapalus di Siau disebut Mapalose yang pelaksanaannya diawali dengan sebuah musyawarah bersama setiap anggota keluarga yang mempunyai kepentingan pekerjaan yang mungkin dapat dikerjakan dengan melibatkan banyak orang. Tetapi saya tidak pernah menemukan praktek Mapalose dilakukan untuk kepentingan pekerjaan yang berkaitan dengan pengelolaan hasil laut. Bagi saya, orientasi kerja masyarakat Siau yang paling tua dan paling lama bertahan adalah dalam bidang kelautan dan perikanan. Bidang pertanian/perkebunan terutama komoditi pala dan jenis palawija lainnya efektif berlangsung sejak zaman pemerintahan raja Lemuel David yaitu 3 abad setelah tatanan kedatuan yang berorientasi kemaritiman terbentuk. 

Makiwera
Mapalose lain halnya dengan Makiwera. Makiwera adalah aktivitas yang diselenggarakan oleh satu keluarga dengan mengundang dan melibatkan keluarga-keluarga lain dalam komunitas yang sama atau kelompok kekerabatan. Dalam konteks makiwera, tidak ada sebuah kesepakatan yang dibangun bersama, tetapi dimulai dengan adanya kebutuhan keluarga tertentu yang mengharuskan penyelenggaraannya melibatkan banyak tenaga kerja. Ruang lingkup pekerjaan dalam konteks makiwera meluas sampai pada bidang pengelolaan kelautan.

Perbedaan makiwera dari mapalose sangat kontras. Makiwera tidak mengandung unsur wajib, apalagi mengikat anggota masyarakat. Akan tetapi, jika anggota keluarga dalam kesatuannya tidak dapat hadir selain alasan cacat atau sakit keras dengan sendirinya akan teralienasi secara sosial dari kehidupan bersama (sebuah sanksi tidak tertulis yang paling ditakuti oleh warga Siau).

Kegiatan makiwera benar-benar diselenggarakan bilamana individu (kepala keluarga) betul-betul tidak mampu menyelenggarakan pekerjaannya dengan tenaga dan sumber dayanya yang terbatas. Penyelenggara hanya sekedar menyediakan keperluan makan dan minum sedangkan peralatan dan tenaga kerja disumbang oleh anggota keluarga dalam kesatuan masyarakat setempat. Dengan demikian dalam makiwera, tenaga kerja tidak dapat digantikan dengan sejumlah uang karena persoalan mendasar letaknya bukan pada ada atau tidak ada uang, akan tetapi ketiadaan tenaga kerja.

Perubahan Struktur Masyarakat Sebagai Dampak Perubahan Teknologi.
Saya mengamati aktivitas yang dilakukan masyarakat di kampung halamanku. Pada setiap kali panen cengkih, banyak sekali warga kampung bermigrasi ke luar dengan tujuan tanah Minahasa untuk maksud bekerja menjadi buruh tani dalam pemetikan cengkih, tetapi saya cermati, tidak ada satupun ada periode balik, dimana orang Minahasa datang ke Siau untuk melakukan pemetikan pala atau bekerja di sektor kelautan dan perikanan. Mungkin karena memetik pala memerlukan sejumlah ketrampilan yang rumit dibandingkan memetik buah cengkih.

Ketika para migran itu kembali ke kampung halaman, mereka lantas menerapkan metode-metode kerja kolektif semacam mapalus itu kedalam kebiasaan sehari-hari. Kebiasaan itu disebut dengan nama "mapalose". Penambahan huruf "e" saja yang membedakan pengertian dengan kata mapalus dalam bahasa Minahasa. Uniknya, mapalose pun hanya diterapkan pada aktivitas dalam bidang pertanian/perkebunan, misalnya dalam urusan menebang dan mengelola kayu untuk keperluan membangun rumah penduduk atau membuat perahu pelang.

Bagi masyarakat di Sanumpito, Laghaeng, Bumbahu dan Makoa, pada umumnya mapalose digunakan sebagai pendekatan untuk jenis pekerjaan pengelolaan kayu bagi kepentingan membangun rumah sedangkan bagi masyarakat di Batusenggo yang kala itu (sekitar tahun 80-an) mapalose digunakan untuk dua kepentingan baik mengelola kayu untuk keperluan membangun rumah dan membuat perahu pelang. Tetapi sangat jarang bagi masyarakat Batusenggo ketika hendak melaut menggunakan pendekatan mapalose maupun makiwera. Alasannya karena hasil tangkapan tidak bisa dibagikan secara merata disebabkan oleh faktor kepemilikan perahu dan alat penangkap lain yang dominan merupakan milik pribadi/perorangan.

Dewasa ini, ketika teknologi menjawab dengan mudah, efektif dan efesien atas berbagai keperluan masyarakat terkait dengan pengelolaan hasil hutan terutama kayu, yaitu mengganti fungsi peralatan gergaji besar dengan kehadiran mesin pemotong kayu, maka perlahan namun pasti peranan mapalose dan makiwera mulai luntur. Kerja kolektif sudah mulai hilang, kecuali dalam urusan mengangkut hasil olahan kayu dari kebun ke rumah di kampung yang masih menggunakan tenaga manusia. Untuk urusan mengangkut inilah diperlukan kerja kolektif. Dan biasanya pendekatan yang digunakan adalah makiwera saja. Peranan mapalose maupun makiwera menjadi terbatas dan mungkin akan segera hilang dari tatanan struktur sosial ekonomi masyarakat Siau yang segera akan diganti dengan peralatan lain seiring dengan dibangunnya berbagai infrastruktur jalan-jalan produksi di setiap desa.

Kondisi ini akan segera berlangsung dalam waktu dekat sebagai konsekuensi logis pembangunan daerah pedesaan di pulau Siau dan Sitaro pada umumnya. Saya berharap, pemerintah daerah harus dapat memformulasikan kebijakan-kebijakannya tanpa mengabaikan nilai-nilai sosial yang bermanfaat bagi kemaslahatan hidup banyak orang. Semoga kelak akan terbangun masyarakat desa dengan tingkat solidaritas sosial yang tinggi sebagai alat perekat agar terhindar dari konflik vertikal maupun konflik horisontal dalam kehidupan bermasyarakat.

Rabu, 01 Desember 2010

Agropolitan Sitaro: Sebuah Rencana Pembunuhan Massal

Agropolitan adalah istilah dalam bidang pertanian. Istilah ini dikenal sejak tahun 1970. Pertama kali dicetuskan oleh seorang Planolog Amerika bernama John Friedmann. Secara harafiah agropolitan dapat diartikan sebagai "agro : pertanian, politan: kota", jadi, kota pertanian. Konsep agropolitan ini digunakan sebagai strategi untuk mengurangi disparitas yang berlebihan dari pesatnya perkembangan kota sementara desa-desa bergerak sangat lamban.

Secara garis besar konsep agropolitan mengetengahkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
  1. Sebuah modul kota dasar (basic urban module) yang terdiri dari kecamatan-kecamatan yang otonom, dibangun pada kawasan desa berkepadatan tinggi atau kawasan peri urban. (populasi 10.000-15.000 jiwa, tersebar di area seluas 10-15 km2).
  2. Setiap kecamatan memiliki pusat pelayanan yang dapat diakses dengan mudah dari segala penjuru di kecamatan tersebut, baik dengan kaki maupun sepeda, selama 20 menit atau kurang.
  3. Setiap pusat pelayanan memiliki komplemen pelayanan dan fasilitas publik terstandarisasi.
  4. Dipilih satu kecamatan pusat (area desa-kota yang telah mengalami transformasi spasial paling besar) untuk dibangun agroindustri terkait.
  5. Lokasi dan sistem transportasi di wilayah argoindustri dan pusat pelayanan harus memungkinkan para petani untuk menglaju (commuting).
  6. Kecamatan-kecamatan dikembangkan berdasarkan konsep perwilayahan komoditas yang menghasilkan satu komoditas atau bahan mentah utama dan beberapa komoditas penunjang sesuai kebutuhan.
  7. Setiap kecamatan didorong untuk membentuk satuan usaha yang optimal dan selanjutnya diorganisasikan dalam wadah koperasi, perusahaan kecil dan menengah.
  8. Industri manukfatur kecil harus terdistribusi di tiap kecamatan dan di sepanjang jaringan jalan utama.
Saya membaca harian Komentar, Jumat 26 November 2010 tentang Fokus Pengembangan Tanaman Pala, Penyusunan Master Plan Agropolitan Wilayah Sitaro. Berita ini tidak mengungkap secara detil ihwal substansi maupun teknis strategis, tetapi cukup memberi kesan, adanya perhatian Pemkab dalam menangani permasalahan agrobisnis maupun agriindustri.

Saya berharap pemerintah kita cermat memilih dan menerapkan model yang relevan dengan karakteristik petani dan wilayahnya. Selaku wilayah kepulauan yang jauh dari wilayah kota (baca: Manado) sebagai pusat kegiatan bisnis, model agropolitan saya nilai belum cukup memadai memenuhi  delapan kriteria yang disebutkan di atas. Bahkan saya tidak setuju kalau infrastruktur terlebih dulu dibangun, sementara perilaku petani untuk menghasilkan produk terbaiknya belum dapat dibenahi.

Menurut saya, pembangunan infrastruktur dibalik slogan pembangunan model agropolitan yang muluk itu nantinya akan menghasilkan sekumpulan benda-benda mati (monument) yang tidak dapat dimanfaatkan oleh petani akibat dari belum terbentuknya perilaku yang diharapkan dapat menunjang terselanggarakannya mekanisme yang bisa membuat petani survive. Saya harus tegaskan, pembangunan monumental sudah cukup. Petani kita butuh pembangunan mental produktif yang mulai pudar akhir-akhir ini.

Untuk rencana pengembangan yang berkaitan dengan transformasi industri harus melalui pengkajian yang cermat tentang kepemilikan lahan, baik untuk keperluan membangun pabrik maupun perluasan lahan perkebunan yang dominan perkebunan rakyat itu. Konsep agropolitan yang kini sedang ramai dibicarakan berhasil itu, belum tentu dapat diterapkan secara ideal di Sitaro yang wilayahnya sangat kecil dan jauh dari Manado.Sitaro membutuhkan strategi agrobisnis yang mampu memproteksi segenap kearifan lokal yang fungsional. Teknologi dapat ditransformasikan melalui perkembangan perilaku pada bidang produksi, konsumsi, distribusi dan investasi. Komponen perilaku yang hendak dibentuk tersebut meliputi pengetahuan, persepsi, preferensi dan sikap petani untuk mau berkembang secara otonom.

Tetapi bilamana pemerintah bersih-keras menerapkan model ini tanpa mempertimbangkan pembentukan perilaku petani, niscaya ini merupakan sebuah upaya sistematis untuk membunuh secara massal seluruh petani pala Siau dengan biaya yang dikucurkan Pemerintah Pusat sehingga kelak di suatu saat nanti yang dominan beroperasi di Siau adalah koorporasi-koorporasi besar yang lebih rakus dari kerakusan para tengkulak-tengkulak yang ada sekarang ini.