Selasa, 08 November 2011

TRADISI MENGONGKO: Elegi Pagi di Rerimbun Pala

 
Oleh: Iverdixon Tinungki

Angin darat menyusup turun dari gunung di belakang kampung Bumbiha, di mana ribuan pohon pala tumbuh dengan subur. Angin itu terus menyaput ke depan hingga menggapai pulau Makalehi. Pulau denga...n kampung nelayan yang kini paling dinamis menggarap sector kelautan di kawasan Sitaro. Miliaran rupiah pertahun mampu di raih nelayan Makalehi.

Tapi di Bumbiha ceritanya lain. Masyarakat di sini tak mengantung hidup pada laut. Seperti juga penduduk kampung lain di pulau Siau, mereka justru meraihnya dari limpahan hasil perkebunan pala.
Panen Pala Siau setiap tahunnya mampu meraup Rp 110, 5 miliar. Bagi para pemilik kebun pala tentu campaian produksi ini petanda kelimpahan berkat. Lalu bagaimana nasib ribuan penduduk yang tak memiliki kebun atau para pendatang yang juga mengantung hidup di bawah pohon pala yang jumlahnya lebih dari separoh penduduk pulau ini? Ini sebabnya, Siau, pulau ringgit itu punya sejarah tersendiri atas tradisi Mangongko. Kerajaan masa lampau menetapkan cara-cara mencari hidup kepada mereka yang tidak memiliki kebun pala dengan jalan Mangongko. 

Mangongko adalah cara mencari hidup bagi mereka yang tidak punya kebun pala atau kepada mereka yang mau menambah penghasilan dengan jalan memungut buah-buah pala yang jatuh karena sudah tua (Lenge) di lahan para pemilik kebun. Para pemilik kebun diwajibkan membiarkan siapa saja datang melakukan kegiatan Mangongko di lahan mereka. Asalkan, tidak mengambil atau memetik buah yang masih ada di pohon. Filosofi Mangongko yakni hidup atas pengasihan alam. Bagi masyarakat tradisi, dimana buah pala yang jatuh karena factor alam adalah milik alam. Untuk itu, alam berhak memberikannya kepada siapa saja yang dikasihinya. 

Buah pala biasanya jatuh pada malam hari saat diterpa angin laut. Atau pada waktu pagi saat angin darat berhembus. Tapi bagi para pelaku Mangongko, mereka lebih berharap datangnya angin kencang atau hujan, karena dengan begitu jumlah buah pala masak yang jatuh akan lebih banyak.
Di Bumbiha hingga menyeberang ke beberapa kampung di sekelilingnya, pagi itu aku ikut Mengongko dengan beberapa pemuda. Aku ingin melihat dan mendengar keluh-kesah mereka, atau menangkap denyar tawa mereka ketika mendapatkan hasil yang banyak. Uap dingin dari tanah yang lembab menyerbu tubuhku hingga gigi-gigiku gemeretak. Belum lagi sapuan embun yang menempel di rerumputan membuat pakaianku ikut melembab. 

Di bawah rerimbunan pohon pala terdengar dengungan-dengungan lagu yang samar. Di sana beberapa orang kelihatan sedang melakukan aktivitas yang sama sambil menyanyikan lagu yang kedengaran lirih. Mungkin lagu rohani dengan harapan Tuhan mendekat dan memberikan rahmat padanya. Dengan mata yang tajam setiap orang meneliti semak dan tumpukan daun pala untuk mendapatkan buah pala yang jatuh. Setiap pe Mangongko terus bergerak dari pohon yang satu ke pohon yang lain hingga tak terasa mereka telah menempuh perjalanan beberapa kilo meter. Pada pukul 11.00 kegiatan ini berakhir, dan semuanya kembali ke rumah untuk makan. Kegiatan itu baru dilanjutkan pukul 14.00 hingga pukul 17.00. Saat senja mendekati malam mereka akan mengumpulkan hasil Mangongko-nya untuk di bawah ke warung-warung terdekat untuk di jual dan mendapatkan hasil. Pada malam harinya dengan segelas kopi, elegi pagi itu telah berubah jadi dendang riang.

Tradisi memungut pala di lahan orang ini pada setiap kampung sebutannya berbeda, di kampung Bahu, Siau Timur hingga Buao, Sumpele, Kalai disebut Bajuru. Ada juga yang menyebut Lagowe, sedangkan orang yang melakukan aktivitas memetik buah pala di pohon disebut Mangowe. Tapi di Siau Timur, kata Mangowe juga bermakna sama dengan Mangongko.

Selain Mangongko, ada juga tradisi Meleli atau mencari sisa-sisa buah pala yang tak dipungut pemiliknya saat mereka selesai panen. Biasanya hasil Meleli lebih banyak dibanding hasil Mangongko. Apalagi jika panen itu berada di kebun yang struktur tanahnya miring atau curam. Sebab, para pemilik kebun tak lagi mau mengambil buah yang jatuh di tempat terlalu jauh atau dalam.

Di Bumbiha hingga siang hari, aku sempat bercerita dengan para pe Ngongko saat bertemu di lahan-lahan perkebunan pala. Mereka adalah penduduk setempat dan juga para pendatang dari Pulau Lembe, Bitung dan dari Sungsilo, Likupang. Menurut mereka, tradisi Mangongko merupakan lahan pekerjaan alternative yang cukup memberikan biaya hidup keluarga mereka sehari-hari. Bahkan jika melakukannya secara serius bisa mendapatkan kelebihan untuk membangun rumah atau mensekolahkan anak.

“Pendapatan saya dari Mangongko per hari bisa mencapai 400-sampai 500 biji pala. Bila dijual bisa menghasilkan 75 ribuh rupiah,” papar seorang pe Nongko. Diakuinya, pendapatan tersebut sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Kegiatan tersebut katanya, dilakukan bersama istri dan dua orang anaknya. “Jadi jika penghasilan kami dikumpulkan bisa di atas 100 ribu rupiah sampai 200 ribu rupiah per hari,” jelasnya. 

Sedangkan salah seorang pe Ngongko di kampung yang lain juga mengakui pendapatan mereka sekeluarga bisa satu sampai tiga juta rupiah perbulannya. Dijelaskannya, saat ini harga Pala A mentah Rp. 15.000 per 100 biji. Sedangkan para Kowe kering (Pala B) Rp. 26.000 per kilogram. Sedangkan pala A kering Rp 34.000 per kg, dan Fuli Rp. 53.000 per kg.

Di Bumbiha hari itu, saat malam benar-benar menelungkup, dan lampu-lampu botol minyak tanah mengelip dari rumah-rumah para pe Ngongko di lembah-lembah gunung Karangetang yang menjulang agung, aku menjadi yakin dimana Mangongko tidak sekadar tradisi, tapi kehidupan itu sendiri.***

Senin, 07 November 2011

Menanti Kebijakan Peningkatan Posisi Tawar Komoditi Pala

Oleh: Iverdixon Tinungki


Kawasan Kabupaten Sangihe, Sitaro dan Talaud mempunyai beberapa komoditas unggulan  antara lain  komoditas pala dengan kualitas yang memiliki daya saing di pasaran dunia. Setiap Tahunnya komoditas ini menghasilkan 102,10 miliar rupiah. Sejumlah kebijakan telah dilakukan pemerintah daerah dalam menopang peningkatan produksi. Tapi penetapan harga dasar dan harga maksimum masih merupakan kendala. 

Komoditas pala yang menjadi sumber pendapatan sebagaian besar masyarakat di daerah ini merupakan sumber bahan baku untuk berbagai produk industri baik dalam negeri maupun luar negeri. Dengan demikian, peningkatan produksi dan mutu pala serta  fuli serta kebijakan pemerintah untuk meningkatkan posisi tawar komoditi pala harus terus diupayakan  sehingga memiliki dampak pada peningkatan harga produksi  dan kesejahteraan masyarakat.
Sehubungan dengan permintaan Direktorat Pengawasan dan pengadilan Mutu Barang Departemen Perdagangan, Pemerintah Daerah  Kabupaten Sangihe telah memberikan informasi tentang komoditas Pala dan Fuli dengan permasalahannya kepada para peserta pertemuan Teknis yang di prakarsi oleh Departemen Perdagangan Republik Indonesia beberapa waktu lalu.

Hal itu dimaksudkan agar ada tanggapan dari pada pengambil keputusan dan pembuat kebijakan terhadap Peningkatan Produktivitas Tanaman Pala, Peningkaatan Mutu Pala serta terjadinya peningkatan pendapatan petani, melalui penetapan harga dasar dan harga maksimum.

Kemampuan Produksi  
Menurut pendapat para ahli, kemampuan produksi tanaman pala yang baik, bila menghasilkan 1.500 – 2.000 buah per pohon setahun. Untuk mengukur kemampuan produksi tanaman pala di Kabupaten Sangihe, dengan sengaja di pakai ukuran dari pendapat para ahli tersebut di atas. Sebab ada banyak  hal yang berkaitan dengan kemampuan produksi tanaman pala antara lain  luas lahan tanaman pala, jumlah pohon pala yang menghasilkan serta tingkat hasil produksi pala.

Untuk kepentingan mengukur kemampuan produksi ini,maka dipakai data yang dikeluarkan oleh BPS Kabupaten Sangihe tahun 2004, dengan fokus pada luas lahan tanaman pala, jumlah pohon pala yang menghasilkan serta produksi pala.

Pada tahun 2003 misalnya, luas lahan kebun pala  5.237 Ha dengan jumlah pohon pala menghasilkan buah sebanyak 679.255 pohon, memproduksi 4.787 ton pala dan 356 ton fuli.

Pola yang di pakai untuk mengukur kemampuan produksi  perhektar tanaman pala  adalah membandingkan luas lahan tanaman dengan hasil produksi yang di capai setiap tahun, sedangkan menghitung kemampuan produksi  pohon pala, dihitung dengan cara hasil produksi  per tahun di kalikan dengan 130 buah pala kering dan di bagi dengan jumlah pohon pala yang menghasilkan dalam setahun.

Mutu Pala dan Fuli
Beberapa ahli  berpendapat bahwa mutu produksi Pala dan Fuli  dari Kabupaten Kepulauan Sangihe masih memiliki  mutu terbaik dunia. Menyangkut mutu biji Pala mempunyai kaitan dengan faktor antara lain  jarak tanam, pemeliharaan, cara pemetikan di samping tingkat kandungan minyak pala.
Sedangkan mutu fuli  pala / Bunga Pala  sangat tergantung pada mutu dari buah itu sendiri. Memang standar  pengukuran mutu pala dan fuli yang baku belum di temui, tapi sebagai bahan perbandingan,  dilakukan suatu standar pengukuran mutu pala dan fuli yang berlaku di Kabupaten Kepulauan Sangihe selama ini .
Standar pengukuran yang dimaksud yaitu, 120 – 130  buah pala adalah 1 kg, dan menghasilkan  0,10 kilogram fuli, ini berarti menggambarkan mutu pala maupun fuli  yang lebih baik.

Pentingnya  Sebuah  Kebijakan
Mengacu  pada data di atas, maka  tingkat kemampuan produksi tanaman pala di 3 Kabupaten kawasan perbatasan Indonesia-Filipina itu masih tergolang rendah  bila bandingkan dengan data dari daerah dan negara lain.

Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa literatur  bahwa tingkat  kemampuan  produksi  tanaman pala yang baik bila menghasilkan antara 1.500 sampai 2.000 buah pala per tahun.

Berbagai upaya dan kebijakan yang telah di lakukan oleh pemerintah Daerah melalui Dinas yang terkait  seperti antara lain penyediaan dan pengadaan bibit untuk kebutuhan rehabilitasi tanaman pala, sosialisasi dan penyuluhan  kepada masyarakat petani tentang pengendalian hama dan penyakit tanaman pala serta pemupukan, tapi kenyataanya menunjukkan belum efektifnya kebijakan tersebut.

Dari data yang ada menunjukkan bahwa kemampuan produksi  tanaman pala di daerah Kabupaten  Sangihe, Sitaro dan Talaud   adalah  808 buah perpohonan pada tahun 2002, kemudian menjadi  916  buah pada tahun 2003, atau bila di prosentasikan dari 53% tahun 2002 menjadi  61 %  tahun 2003  ( pohon yang baik menghasilkan  1.500 buah ). Fenomena ini cukup menarik dan membutuhkan upaya yang serius untuk diatasi  bersama oleh setiap stakeholder yang berkepentingan dengan komoditas pala dan fuli yang selama ini masih merupakan produk andalan  daerah.

Disisi lain, kenyataanya menunjukan bahwa daerah 3 di  kabupaten kepulauan  itu  masih mampu memepertahankan posisi ketersediaan Stok nasional dan Kebutuhan pasar dunia sebesar 60% sebagaimana di beritakan oleh beberapa sumber media  cetak selama ini.

Adapun posisi tersebut dapat dibuktikan dengan adanya Volume dan Nilai Perdagangan produk Komoditas Pala dan Fuli selama tahun 2002 dan tahun 2003, dengan patokan harga rata-rata per  kilogram sekitar Rp 22.980 per kg pala dan Rp 46 per kg fuli. Tapi harga ini terus berfluktuasi.

Pada tahun 2002, volume perdagangan sejumlah 3.379 ton dengan nilai sebesar  Rp  77.694.420.000  dan Fuli  sejumlah 321 ton dengan nilai sebesar  Rp. 14.865.510.000. Sedangkan tahun  2003, volume perdagangan  sejumlah 4.787 ton dengan nilai Rp. 88.368.020.000,- dan Fuli sejumlah 356 ton dengan nilai sebesar Rp 14.240.000.000.

Kondisi ini pun terjadi ketika Strutur Permintaan Komoditi Pala dan Fuli berada pada posisi  tawar yang lemah. Artinya pasar yang karena suatu sebab berorientasi kepada pembeli  sehingga penjual harus mencari  calon pembeli ( Buyer’s Market ), dimana dampaknya pun sangat di rasakan oleh petani di daerah ini menjual produk pala dan fuli dengan harga yang rendah dan berfluktuasi hampir setiap saat.  Sebagai contoh kasus tahun 2005, fluktuasi harga dari bulan Agustus ke September untuk pala Rp. 22.000. per kg naik menjadi Rp. 23.000. Sedang fuli dari Rp. 52.000 per kg menjadi Rp. 53.000. Pada bulan Oktober merosot lagi menjadi Rp. 22.000. untuk pala, sedangkan Fuli merosot menjadi Rp. 51.000 per kg.

Untuk itu, betapa pentingnya kebijakan Pemerintah Daerah, Propinsi dan Pusat untuk melakukan berbagai kebijakan melalui penetapan program secara terpadu dan proporsional. Berbagai kebijakan yang di harapkan antara lain  melakukan penelitian Daya Saing Produk, meningkatkan posisi Tawar Komoditi; penetapan Harga Dasar  dan Harga Maksimum, Difersifikasi Produk serta memberikan kesempatan melakukan kegiatan Ekspor bagi pedagang Antara Pulau di daerah ini.

Diharapkan dari berbagai kebijakan tersebut akan mampu memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat petani, daya saing daerah, menunjang ketersediaan Stok nasional, mengatasi fluktuasi harga, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan efisiensi perdagangan serta menunjang pengembangan daerah perbatasan diera otonomi sekarang.   

Dengan memperhatikan uraian-uraian sebelumnya, maka berikut ini dapat di kemukakan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari semua stakeholders yaitu:
  1. Perlunya kebijakan untuk meningkatan kemampuan produksi tanaman pala yang masih rendah  guna menunjang ketersediaan  Stok Nasional  memenuhi kebutuhan pasar dan meningkatan kesejahteraan masyarakat petani.
  2. Perlunya kebijakan untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pala dan fuli guna meningkatkan daya saing daerah.
  3. Perlunya kebijakan untuk meningkatkan posisi Tawar Komoditi Pala dan Fuli yang masih lemah  di pasaran  selama ini sehingga  berpengaruh pada tingkat harga dan kesejahteraan masyarakat petani.
  4. Perlunya kebijakan penetapan Harga Dasar dan Harga Maksimum atas Komoditi pala dan fuli guna mengatasi fluktuasi harga yang tidak menguntungkan bagi masyarakat petani.
  5. Perlunya kebijakan untuk difersifikasi Komoditi dan Fuli Pala guna meningkatkan Daya Saing Daerah disamping Perluasan  kesempatan Kerja.
  6. Perlunya kebijakan untuk memberikan kesempatan bagi Pedagang Antar Pulau (PAP) di daerah ini  melakukan Ekspor Pala dan Fuli guna meningkatkan efisiensi perdagangan. ***

Sabtu, 05 November 2011

MEMBACA POLA EQIULIBRIUM "SEGI TIGA EMAS" EKONOMI DUNIA


Saya memahami Uni Eropa terlahir sebagai wadah keuangan negara-negara besar di kawasan Eropa yang bercorak budaya komunal modern. Relatif sama dengan negara-negara di kawasan Asia yang juga berciri komunal, namun agak konvensional. Menurut saya, organisasi besar ini dibangun untuk tujuan mengatasi kemungkinan krisis keuangan global yang akan menghantam negara-negara anggotanya. Ketika Amerika yang ekonominya bercorak liberal berada di ambang krisis keuangan, muncul kemudian negara-negara bercultrul komunal konvensional semacam China dan India menjadi kekuatan baru ekonomi dunia yang setara dengan dua kekuatan adidaya (Amerika - Eropa). Perekonomian dunia seolah-olah terkonstruksi secara makro pada tiga komponen struktural; yakni komponen liberal-individual, komponen komunal-modern dan komponen komunal-konvensial, yang selanjutnya dalam kajian pendek ini saya sebut sebagai: Segi Tiga Emas. Dalam percaturan politik ekonomi dunia, posisi Amerika selalu berada di puncak dari dua kekuatan lainnya. Sedangkan IMF merupakan unsur lain yang tempatnya mungkin berada di dalam struktur dan mungkin juga tidak (berada di luar struktur Segi Tiga Emas).  

Kali ini dikabarkan melalui Vivanews dalam tautan beralamat: http://us.dunia.vivanews.com/news/read/2; bahwa G20 di Chanes Perancis, tengah menyiapkan komitmen untuk mencegah wabah krisis utang. IMF diharapkan berperan penting untuk menambah alokasi utang ke negara-negara pemanfaat sekaligus membenahi mekanisme (baca: regulasi) dalam penyelenggaraan soal utang itu. Di forum tersebut, sengaja digemboskan isu adanya ancaman terjadi krisis sistemik global yang diduga menghantam negara-negara di Asia juga. Benar tidaknya hipotesa ini tentunya akan terbukti bilamana IMF akan mendominasi perannya dalam tata ekonomi dunia. IMF sebagai institusi yang berorientasi laba, mutlak mengutamakan keuntungan dalam berbisnis. Posisi IMF selama ini bagi saya dipandang sebagai variabel dependent yang telah mengikat tiga aras kekuatan sosio-ekonomi dunia yang saya sebut sebagai Segi Tiga Emas di atas. Oleh sebab itu, secara kualitatif peranan IMF menjadi lebih dominan daripada tiga komponen lainnya. Sebaliknya, bila IMF diposisikan diluar sistem dan berkontribusi secara interdependen, maka pengaruh IMF terhadap stabilitas ekonomi dunia bisa diketahui determinasinya dan mudah saja menyeimbangkan stabili ekonomi global, sekaligus menghilangkan stigma buruk terhadap peran IMF yang oleh banyak kalangan dinilai jelek.

Menurut saya perlu dilakukan Reposisi dan Revitalisasi terhadap peran IMF, bukan justru membuat sejumlah regulasi yang hanya menciptakan rasa tidak percaya dan mendorong bertumbuhnya rasa curiga antara negara. Saya setuju apa yang dikemukakan oleh delegasi Jepang yang diwakili Azumi untuk mendorong IMF menjadi lebih proaktif ketimbang membuat banyak regulasi. Hanya saja, proaktif yang dimaksud harus diposisikan pada keadaan tidak adanya intervensi dari negara manapun. Mekanisme yang rumit akan menimbulkan rasa percaya yang kurang seperti yang dilakukan oleh China. (Baca tautan terkait: http://us.dunia.vivanews.com/news/read/2). Tentunya masih diperlukan langkah-langkah konkrit oleh Uni Eropa dalam mengantisipasi kerawanan ekonomi negara-negara anggotanya.

Semoga gagasan ini bermanfaat untuk semua.
Malunsemahe...:)     

Kamis, 03 November 2011

BREAK THE RULES


 Oleh:  Tomy Bawulang pada 03 November 2011 jam 12:27

Break the rules! adalah tema provokatif yang saya angkat dalam presentasi saya untuk Mahasiswa yang mengambil mata kuliah "Building knowledge economy in Asia" (Vanderbilt University). Breaking the rules yang saya maksud bukanlah semacam provokasi anti-sosial atau anti hukum tetapi berupaya memberi dimensi baru dalam berfikir dan melakukan perubahan dalam suatu organisasi. Terlalu sering saya mendengar keluhan dari para pemimpin organisasi tentang begitu sulitnya melakukan perubahan dalam organisasi yang mereka pimpin. Resistansi terhadap perubahan memang merupakan salah satu penyakit kronis hampir semua organisasi baik itu profit, non-profit, maupun organisasi pemerintah (yang terakhir terkenal memiliki tingkat resistansi yang paling tinggi!). 

Dalam satu sesi leadership coaching saya ditanya: Bagaimana cara termudah untuk melakukan perubahan?
saya sempat tersenyum mendengar pertanyaan ini karena pertanyaan ini merupakan pertanyaan banyak orang. Hampir semua orang menginginkan jalan pintas dan serba instan! tidak sabaran untuk menjalani proses demi proses. Apakah Anda termasuk salah satu yang memiliki pertanyaan yang sama? Sambil bercanda saya bilang 'there is no change done overnight!". Dia bilang "yes I know, but if you can suggest, what should i do?"...Saya bilang ok, "This is the secret, Break all existing rules", alias rombak total! ya, Anda harus memiliki keberanian untuk merombak total system dan cara berfikir manusia yang anda pimpin yang sudah terlanjur merasa nyaman dengan existing rules. Ibaratnya jika anda menginginkan segelas air bening, anda tidak akan mendapatkannya jika gelas dan wadah tampungan anda masih berbekas kopi. Anda harus mencuci bersih gelas tersebut.

Melakukan  perubahan memerlukan keberanian dan kesungguhan hati. Perubahan setengah hati bukan hanya menguras tenaga dan sumberdaya tapi juga tidak akan berhasil. Pertanyaan klise yang kemudian muncul adalah bukankah tidak semua sistem yg berlaku itu jelek?. Benar! tidak semua sistem dan aturan organisasi yang berlaku jelek namun mempertahankan system yang baik tanpa melakukan perubahan sedikitpun memiliki resiko yang saya sebut 'efek nostalgia', Orang kemudian akan tetap membanding-bandingkan dan mengenang  'kenyamanan' masa lalu yang justru akan menimbulkan resistansi yang lebih besar terhadap perubahan yang anda inginkan. Solusinya adalah tetaplah lakukan perubahan terhadap sistem yang baik tersebut untuk menjadi lebih baik. Lakukan dengan cara yang berbeda. Prinsipnya, Jangan berharap hasil yang berbeda jika anda tetap melakukannya dengan cara yang sama! beranilah berinovasi dalam melakukan sesuatu!

So, jika anda menginginkan perubahan, jangan ragu break the rules!

If any of you are interested in getting leadership and emotional intelligence tip, follow me on twitter: @learnleadexcell. I'll be sharing with you!

TB,
Nashville,TN
02 November 2011

MALUNSEMAHE


Oleh: Tomy Bawulang pada 22 September 2011 jam 11:47

Malam ini saya diundang untuk mempresentasikan konsep DAMAI dari perspektif INDONESIA dalam acara Night for Peace di Centennial Park Nashville yang di sponsori oleh NPT (Nashville Public Television) dan beberapa NGO yang terlibat aktif dalam rangkaian kegiatan Ten Days For Peace dalam rangka  mengenang peristiwa 9/11. Momentum semangat kebangkitan Sangihenisme yang akhir akhir ini semakin intensive di gaungkan khususnya dalam forum Sangihe Menyala memberi saya inspirasi untuk membawakan konsep damai dlm versi Sangihe yang saya adopsi dari makna filosofisMALUNSEMAHE.

Kenapa MALUNSEMAHE?

Tidak ada catatan yang dapat saya jadikan referensi etimologis maupun semantik tentang kata 'malunsemahe' dalam bahasa Sangihe kuno. Dari pelajaran sekolah minggu yang saya ingat, kata ini memiliki makna yang melebihi makna intrinsik dari kata damai yang kita ketahui sebagai terjemahan kata Peace dalam bahasa Inggris. Bedanya adalah, damai lebih merujuk pada kondisi "dimana tidak ada perang, tidak ada permusuhan, tidak ada kerusuhan, tentram, tenang" (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008,p.312 versi pdf).

Makna ini terlalu harafiah, yang jika diterjemahkan secara bebas maka selama tidak ada permusuhan maka itulah damai. Malunsemahe, lebih menekankan pada makna pragmatis yang mengisyaratkan beberapa kondisi yang harus terpenuhi agar bisa di katakan malunsemahe. 

Pertama, dalam konteks 'subjek' harus minimal ada 'aku dan kamu' atau "ia dan ikau" yang kemudian dalam konteks yang lebih luas harus mencakup "ikami dan ikamene" ("kami dan kamu"). Syarat ini penting karena eksistensi "ia" tidak akan pernah ada tanpa "ikau" . Dengan kata lain 'aku dan kamu' adalah interdependant, saling ketergantungan. Untuk bisa eksis diperlukan co-exist agent. Singkatnya, jika kamu tidak ada maka aku pun tidak akan ada dan vice versa. 

Kedua, Malunsemahe mengisyaratkan 'persatuan dan keutuhan' (unity and completeness). Sebagaimana kamu membuatku ada/exist dan vice versa maka kita harus bersatu dan saling melengkapi untuk bisa mempertahankan existensi tersebut. "Keberadaan dan ketiadaan menjadi sesuatu yang sangat jelas dan tegas, there is nothing in between alias tidak ada ranah abu abu. Jika aku menginginkan kelanggengan maka tidak ada pilihan lain selain aku melanggengkan kamu. Sehingga ancaman bagimu adalah juga ancaman bagiku. Jika konsep ini dipahami oleh semua orang maka sangat mudah untuk menciptakan damai di muka bumi ini. Di sinilah phase yang menuntut  subjek "aku dan kamu"  "ia dan ikau", "ikami-ikamene" (kami dan kalian) harus berintegrasi menjadi satu, menjadi "kita', "ikite" . 

Ketiga berbeda dengan kata damai yang tidak terlalu mempersoalkan kondisi ''well-beingness" (selama kita tidak berperang maka itulah damai), Malunsemahe mengisyaratkan kondisi dimana bukan saja tidak bertengkar, tetapi juga bersama sama harus bisa merasakan kesejahteraan. Dengan kata lain tidak berperang tapi hidup melarat belum bisa di kategorikan Malunsemahe. Konsep 'well beingness' atau kesejahteraan harus terpenuhi agar bisa mencapai suatu kondisi 'malunsemahe'.  Menjadi penting bagi kita untuk mencatatnya bahwa kesejahteraan harus diwujudkan dalam konteks kebesamaan "ikite"  . Semua memiliki hak yang sama untuk sejahtera karena ketika hanya  "Ia dan ikami" yang merasakan kesejahteraan, maka akan terjadi pengingkaran terhadap prasarat pertama dan kedua tadi yang pada akhirnya merupakan awal malapetaka dan kehancuran existensi "ia dan ikami" itu sendiri.

Konsep filosofis kuno malunsemahe ini memiliki makna yang sama dengan konsep "Shalom" dalam bahasa Ibrani, "Shalaam" dalam bahasa Arab, "Sliem" dalam bahasa Malta, atau "Shlomo" dalam bahasa Syria.

Dengan memahami makna ini maka terlalu bodoh jika kita merasa alergi dengan ungkapan salam damai yang selama ini dianggap bukan milik kita. Umat Kristiani alergi dengan salam "Assallammualaikum", umat Muslim alergi dengan sapaan "Shalom", padahal secara substantif keduanya memilki makna yang sama yaitu damai sejahtera atau Malunsemahe

Mengapa konflik terjadi?

Penyebab konflik horisontal yang selama ini terjadi di berbagai belahan dunia termasuk di negara kita sebenarnya dapat dipahami dengan sederhana dari perspektif malunsemahe, yaitu kita terlalu bodoh untuk memahami makna 'peace' yang hakiki. Konsep malunsemahe menjelaskan secara gamblang atau meminjam istilah pak SBY "terang benderang" bahwa, Perang, permusuhan, perselisihan, kebencian terjadi karena "ia" (aku) terlalu dominan dan tidak mengakui existensi "ikau" , ego-centrism di kedepankan sebagai acuan untuk memahami damai.

Konsep inilah yang diangkat penulis dan filsuf Latin Publius Flacius Vegetius Renatus yang terkenal dengan ungkapan Si vis pacem, para bellum(Jika kamu menginginkan damai maka bersiaplah untuk berperang). Suatu konsep yang sangat bertentangan dengan filosofi Malunsemahe masyarakat Sangihe yang secara geografis sangat jauh dan terisolasi dari pusat peradaban dunia.

Sebagai orang Sangihe, malam ini saya merasa bangga dapat menyumbangkan satu konsep sederhana yang berakar dari filosofi Sangihe kepada dunia tentang dunia yang damai dan sejahtera bagi semua orang, dunia yang Malunsemahe......

Sambutlah salam damai saya untukmu dan untuk dunia , M a l u n s e m a h e..!

Tomy "Ungke" Bawulang
Putra Sangihe......

Centennial Park, Nashville Tennessee, September 21st, 2011


Sabtu, 15 Oktober 2011

ARTIKEL: INDONESIA GAGAL MEMBANGUN

ARTIKEL: INDONESIA GAGAL MEMBANGUN

INDONESIA GAGAL MEMBANGUN


Saya hampir kehabisan perasaan karena malu. Malu menyaksikan bangsa dengan umatnya yang beragama dan beragam ini ternyata bisa saling hasut-menghasut, bakar-membakar, teror-meneror,bunuh-membunuh dan melakukan perbuatan yang tidak berperikemanusiaan lainnya. Seolah-olah bangsa ini adalah bangsa perompak dan yang hidup di dalamnya adalah pembajak-pembajak, penjagal-penjagal dan penyihir-penyihir saja.

Saya tidak habis pikir, apa sebenarnya yang membuat bangsa Indonesia sulit mencapai tujuan pembangunan bangsanya sendiri, padahal sumber daya alam melimpah, sumber daya manusia apalagi. Orde berganti orde, presiden silih berganti, anggaran untuk belanja negara tak putus-putusnya disalurkan, model dan pendekatan pembangunan semua sudah pernah diterapkan, subsidi kiri kanan, pajak disetor oleh semua pihak, bantuan dana dari negara sahabat diberikan,akan tetapi hasilnya tidak mendekati tujuan hidup berbangsa dan bernegara.

Saya sadar, selain sumber daya alam dan sumber daya manusia, masih ada satu sumber daya yang telah terabaikan, yaitu sumber daya sosial. Sejarah telah memberi pelajaran yang sangat berharga dalam kehidupan berbangsa yakni begitu mudahnya pihak penjajah menghancurkan Indonesia dengan politik "pecah belah". Menghancurkan rasa saling percaya yang menjadi perekat utama jaringan kebersamaan dan mengokohkan semangat inklusif. Nilai-nilai kebersamaan telah pudar dan yang bertumbuh subur adalah individualisme/liberalisme serta semangat kelompok dan golongan sehingga yang dikukuhkan sebagai norma bersama mala nilai-nilai kelompok dan golongan tadi. Norma sekelompok orang mengatur kehidupan banyak kelompok akan mengasilkan kegagalan. Itulah sebabnya Indonesia gagal membangun.

Selasa, 11 Oktober 2011

DELIK NEDOSA: Hukum Adat Masyarakat Suku Sangihe

Oleh: Iverdixon Tinungki


Sebelum disahkan dan diundangkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan yang mulai berlaku tanggal 2 Januari 1974 serta Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, Aturan-Aturan  Perkawinan dalam hukum nasional di Indonesia mengacu kepada Ordonansi Perkawinan Warga Kristen Indonesia atau Huwelyk Ordonantie voor Christan Indonesians (HOCI) yang mulai berlaku pada tanggal 15 Februari 1933. 

Namun demikian, HOCI tidak berlaku bagi warga Sangihe Talaud, karena masyarakat yang mendiami kawasan 124 pulau ini sudah  mempunyai aturan  perkawinan terlebih dahulu, yakni: “Atoeran Adat Oentoek Orang-Orang Masehi Boemi Poetera Dipoelau-Poelau SANGI” tahun 1917 maupun penyempurnaanya tahun 1932 yaitu “ADAT – REGELING voor Inlandsche Christenen de, Sangihe en Talaud- Eilanden. Dengan begitu, HOCI hanya berlaku bagi warga Kristen di Jawa dan Madura, Minahasa, Ambon, Saparua dan Banda. (Huwelyks Ordonantie  Christen Indonesiers Jawa, Minahasa en Ambonia).

Sebelum adanya aturan HOCI, di seluruh wilayah Indonesia  diberlakukan ketentuan-ketentuan perundang-undangan yang terdapat dalam Burgerlijk Wetboek (B.W) yang berlaku bagi golongan masyarakat keturunan Eropa dan yang disamakan dengannya dan diperlakukan di Indonesia berdasarkan konkordansi sejak tanggal 30 April 1847 berikut Reglement op het houden der registers van den Burgelijke Stand vor Eropeanen (1849) en Chinezen (1919).

Dari uraian secara  kronologis di atas, dapat disimpulkan bahwa suku Sangihe dan Talaud sudah terlebih dahulu memiliki aturan-aturan adat tentang perkawinan sebelum adanya aturan tertulis semacam di Indonesia.

Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan serta Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, maka aturan Adat Perkawinan 1932 di masyarakat Sangihe Talaud yang berlaku terus sampai tanggal 1 April 1975 dinyatakan tidak berlaku lagi.

Persoalannya, keberadaan dan isi Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan serta Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 tahun 1975 yang telah menghapus pemberlakuan hukum Adat Sangihe Talaud itu tidak memuat delik khusus yang justru sangat prinsip dalam Aturan Adat masyarakat Sangihe Talaud tahun 1917 dan  Aturan adat 1932 yang menggantinya yakni isi Bab IV pasal 25 poin a,b,c,d dan Bab XIV pasal 88 ayat 1 dan 2 yang menyangkut perkara-perkara Incest atau perkara Sumbang (NEDOSA). Padahal, pasal yang mengatur perkara sumbang ini justru sudah dikuatkan oleh suatu deklarasi keputusan Dewan Adat Sangihe Talaud tanggal 6 September 1951, yang berisi klasifikasi perkara Sumbang beserta tata cara penerapan hukuman. 

Penegasan yang sifatnya deklaratif oleh dewan adat tersebut pada hakikatnya sangat penting dan sudah merumuskan suatu delik yang disebut Delik Nedosa, yang penerapannya kemudian telah diberlakukan dalam mendakwa dan memutuskan berbagai kasus Sumbang (Nedosa) oleh Lembaga Peradilan di Sangihe Talaud di kurun sebelum Indonesia merdeka, sampai tahun 1975, dan  di atas tahun 1975.

Perkara sumbang ini dikatakan sangat prinsip sebagai delik pidana dalam aturan adat masyarakat Sangihe Talaud karena menyangkut keyakinan masyarakat akan adanya sosial efek berupa bencana alam yang menimbulkan malapetaka bagi masyarakat dan menyangkut kehormatan garis keluarga yang menanggung  rasa malu yang tak terperih yang akan ditimbul sebagai akibat dari perbuatan-perbuatan sumbang tersebut.   

Perkara sumbang atau “Pencemaran Darah” (Delik Nedosa) memang merupakan tindak pidana yang sangat unik yang cuma ada dalam Aturan Adat Sangihe Talaud. Baik dalam aturan adat 1917 dan 1932 serta deklarasi 1951 dinyatakan bahwa; nikah itu terlarang diantara orang-orang yang berkeluarga dalam garis lurus ke atas dan yang ke bawah, yang bersepupu, anak bersaudara. Penerapan hukumannya setinggi-tingginya 5 tahun penjara. Karenanya, peranan Delik Nedosa sangat penting dalam kaidah-kaidah hukum Adat yang masih di hormati dan di taati hingga kini oleh masyarakat Sangihe Talaud.

Pada bagian lain,  ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Perkawinan No. 1 tahun 1974, sudah mencakup ketentuan-ketentuan dalam Burgerlijk Wetboek (BW) yang juga memiliki persamaannya dengan Aturan Adat Perkawinan Sangihe Talaud (1917) dan (1932) terutama dalam titel :
  1. Memperoleh dan Kehilangan hak keperadatan.
  2. Akte Catatan Sipil
  3. Tempat tinggal atau domisili
  4. Perkawinan
  5. Hak dan kewajiban para suami isteri
  6. Persatuan Harta Kawin menurut Undang-Undang serta pengurusannya
  7. Syarat-syarat perkawinan
  8. Syarat-syarat perkawinan atau perkawinan dengan syarat pada perkawinan ke II dan seterusnya
  9. Pemisahan harta benda
  10. Penguraian perkawinan
  11. Cerai Meja dan tempat tidur
  12. Persoalan mengenai ayah dan keturunan anak-anak
  13. Hubungan keluarga sedarah dan soal kehamilan
  14. Kekuasaan orang tua
  15. Soal dibawah umur dan perwalian
  16. Pernyataan kedewasaan
  17. Masalah Curateel
  18. Masalah tidak beradanya di tempat
Sedangkan masalah Perkawinan Sedarah atau perkara Sumbang (Nedosa) terbilang luput dari cakupan Undang-Undang No. 1 tahun 1974, padahal delik ini sangat penting dalam mengatur tatanan hidup dan perkawinan bagi masayakat Sangihe dan Talaud, dan keberadaannya tak mungkin dihapuskan begitu saja dengan diberlakukannya Undang-Undang No. 1 tahun 1974.

Dengan demikian, kaidah-kaidah hukum yang sangat prinsip yang tertuang dalam pasal 25 poin a,b,c,d dan Bab XIV pasal 88 ayat 1 dan 2 dan kemudian yang disempurnakan dalam deklarasi dewan Adat Sangihe Talaud tanggal 6 September 1951 yang menyangkut perkara-perkara Incest atau perkara Sumbang (NEDOSA) ini dipandang perlu dimasukkan kembali sebagai bahan pelengkap  dalam pembentukan hukum pidana nasional.

Adapun penyempurnaan itu dianggap perlu atas dasar pertimbangan antara lain :

a.     Undang-Undang perkawinan yang ada saat ini memandang soal perkawinan dalam hukum perdata.
b.     Materi Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, serta Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, belum mengakomodir dan mengatur masalah Perkawinan Sedarah atau Perkara Sumbang. Pengabaian Aturan Adat Perkawinan Sangihe Talaud seperti yang diatur dalam Bab IV pasal 25 dan Bab XIV pasal 88 ayat 1 dan 2 beserta rumusan deklarasi dewan adat Sangihe Talaud tahun 1951, oleh undang-undang perkawinan yang berlaku saat ini akan mendistorsi dan mematikan eksistensi kaidah-kaidah normatif yang berlaku dalam hukum adat masyarakat Sangihe Talaud. Kematian eksistensi kaidah normatif dalam masyarakat Sangihe Talaud menyangkut Perkawinan Sedarah (perkara Sumbang) ini sudah terasa saat ini dan sangat mengganggu tatanan sosial budaya masyarakat di Sangihe Talaud seperti kasus-kasus perkawinan anak bersaudara, cucu bersaudara, dan juga perbuatan zinah kakak beradik, perbuatan zinah ayah-anak, Perbuatan Zinah kakek dan cucu, pula perkawinan se marga (vam).  Bagi masyarakat di suku lain, perkawinan sedarah dan semarga (vam) itu dapat dilakukan, namun di masyarakat Sangihe Talaud hal tersebut sangat tabuh dan dikategorikann tindak kejahatan dan pelanggaran yang perlu diberikan sangsi hukum. 
c. Bahwa kedudukan norma-norma adat sangat perlu dijaga kelestarian dan kehidupannya karena merupakan sistem nilai yang berlaku dan menjadi pedoman tatanan kehidupan sosial masyarakat secara adat.

Demikian sekilas lintas tentang latar belakang dari Delik Nedosa yang termaktub dalam  Bab IV pasal 25 dan XIV pasal 88 ayat 1 dan 2 Aturan Adat Perkawinan Sangihe Talaud tahun 1932, serta penegasan Delik Nedosa oleh dewan Adat Sangihe Talaud tahun 1951 sekaligus uraian mengenai perbedaannya dengan Undang-Undang Perkawinan No.1 tahun 1971 dan Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975.

Sabtu, 08 Oktober 2011

PENGECER BENSIN "ANAK HARAM" PERTAMINA

Eksistensi pengecer bensin yang berjualan di banyak jalan Kota Manado dipandang sekadar dampak dari kinerja Pertamina. Tanggapan ini untuk menanggapi sikap Pertamina, sebagaimana sikap dari Irwansyah, Manager Pemasaran Pertamina Wilayah VII, yang cenderung sinis terhadap para pengecer itu sebagaimana banyak dilansir media cetak di kota Manado.


Kontribusi paling besar dari menjamurnya para pengecer itu adalah akibat dari macetnya pemasokan BBM ke 15 SPBU di Kota Manado, yaitu terkait dengan minimnya jumlah BBM yang dipasok, maupun waktu pasokan yang tidak serempak.  Logika yang dipakai Pemkot Manado, Pertamina dan Polda yang menuduh para pengecer sebagai biang kelangkaan BBM. Dari kajian di lapangan, justru sebaliknya para pengecer itu muncul dan bertumbuh subur karena kelangkaan BBM oleh pihak Pertamina. Pada saat BBM dipasok dengan jumlah memadai, tepat waktu dan ada terus menerus di SPBU, maka para pengecer akan turun aktivitas penjualannya secara signifikan. Para pengecer turun omset penjualannya lebih dari 50 persen.

Penjualan BBM di beberapa depot eceran di Tuminting, Maasing, Bailang dan Buha, turun dari yang biasanya 100-200 liter sebelum lebaran, menjadi hanya 50-70 liter saja pada 6 hari sekitar lebaran, yaitu dua hari sebelum lebaran, dua hari lebaran dan dua hari sesudah lebaran. Itu jelas terkait dengan banyaknya pasokan BBM di SPBU Tuminting kala itu karena kebijakan penaikan jumlah pasokan BBM oleh Pertamina jelang lebaran.

Jika pasokan BBM ke semua SPBU di Manado diberikan secara memadai, terus menerus dan tersedia sembarang waktu selama sebulan saja, lebih dari 50 persen usaha eceran di jalan-jalan otomatis ditutup oleh pelaku usahanya, karena pendapatan tidak menggiurkan lagi.  Yang duluan gulung tikar adalah pengecer yang usahanya tunggal eceran BBM, sedang yang akan bertahan adalah para pengecer di warung-warung yang memang jauh-jauh hari sudah berusaha dan lebih efisien karena punya produk eceran lainnya.

Menanggapi strategi Pertamina yang mungkin malah akan membatasi lagi pasokan BBM ke SPBU pasca lebaran, itu justeru merupakan langkah penyuburan aktivitas para pengecer.  Aktivitas pengecer itu mendapatkan momentum pada saat terjadinya fenomena hyper-demand di tingkat konsumen, dan dijawab dengan hypo-supply oleh Pertamina. Inilah fenonema khas yang terjadi di Kota Manado.


Kebutuhan BBM di Kota Manado memang sudah meningkat jauh dari asumsi-asumsi hitungan di APBN alias sudah hyper-demand. Itu terjadi karena ada fenomena pertambahan kendaraan yang sejumlah 650 mobil dan 3000 motor per bulannya. Tetapi anehnya, Pertamina malah membatasi jumlah pasokan, karena memang pihak Pertamina harus menjaga agar pemasokan tidak melebihi batas quota yang sudah ditetapkan. Jika fenomena hyper-hypo itu terus berlangsung, usaha eceran BBM bukan saja makin subur tetapi dibutuhkan dan jelas membawa manfaat sosial bagi konsumen BBM yang tidak mendapatkan BBM di SPBU. Oleh sebab itu itu, Pertamina, Pemkot dan juga Polda tak perlu sinis apalagi bertindak represif terhadap pengecer, karena itu memang sudah hukum pasarnya begitu, apalagi tidak ada produk hukum yang melarang usaha eceran termasuk BBM, asal sesuai dengan Harga Eceran Tertinggi (HET) Premium sebagaimana Peraturan Menteri ESDM No 1 Tahun 2009.

Singkatnya, para pengecer itu ibarat “anak haram” Pertamina. Boleh saja dia dianggap haram, tapi jangan lupa mereka adalah ‘anak’ yang dilahirkan secara kecelakaan oleh Pertamina.

TRUST

Elemen paling mendasar dalam kehidupan bermasyarakat yang pluralis semacam bangsa Indonesia adalah elemen KEPERCAYAAN (Trust). Ibarat jaring/jala, elemen fundamental (trust) ini adalah benang/senar yang menghubungkan simpul-simpul sehingga semua simpul-simpul itu saling berinteraksi dan berintegrasi dalam satu jaringan yang sangat kuat dan berfaedah.

Benang/senar kepercayaan antara suku-suku bangsa di Indonesia mulai usang dan lapuk sehingga gampang putus. Dalam kondisi yang gampang putus, maka jaring tidak lagi berguna. Nelayan dengan jaring yang tidak berguna ibarat Presiden dengan lembaga-lembaga tinggi negara yang sudah lapuk, usang dan tidak berfaedah.Sama halnya dengan konflik-konflik horisontal maupun aksi-aksi teroris yang sesungguhnya berakar dari kehilangan rasa percaya antar sesama warga negara.  Akibatnya adalah negara bangkrut, negara hancur.

Senin, 23 Mei 2011

REFLEKSI 4 TAHUN SITARO OTONOM

Masyarakat bangsa/negara, khususnya masyarakat Sitaro, ibarat mahkluk hidup dengan sistem organ yang bergerak beraturan. Ia dikendalikan oleh sebuah drive yang mampu menggerakan semua komponen sistem dalam sistem besar yang disebut Kabupaten Sitaro. Penggerak ini adalah “otak” atau sub sistem syaraf. Ialah yang memerintahkan semua komponen organ untuk berfungsi maksimal, agar tujuan dari kehidupan bermasyarakat dapat dicapai. Sederhananya, tujuan bermasyarakat adalah mencapai kehidupan otonom. Dengan demikian, makna otonom dalam tulisan ini bukan sekadar ditinjau dari aspek politis semata. Saya mencoba merefleksikan secara holistik melalui tulisan pendek ini yang nantinya dapat dielaborasi lebih jauh melalui opini masing-masing pembaca. Saya menguraikan situasi dan potensi otonom pada tiga kurun waktu, masa lalu, masa kini dan masa depan.

OTONOMI SITARO MASA LALU

Sitaro pada masa lalu di bagian ini, akan dibicarakan sekitar masa kedatuan dan masa modern atau masa bernegara. Sungguh banyak hal yang menarik dipetik dari kedua masa ini.

Masa Kedatuan.

Sitaro pada masa kedatuan sesungguhnya dapat dibagi dalam dua kedatuan, yaitu: Kedatuan Siau dan Kedatuan Tagulandang. Kedatuan Siau memiliki armada angkatan laut yang dasyhat yang pernah dimintai bantuannya oleh Kerajaan Kaidipan untuk mengusir pendudukan oleh Kerajaan Makasar di sepanjang pesisir pulau Sulawesi Utara hingga ke pesisir Sulawesi Tengah (Buol sampai ke Toli-toli).

Di Kedatuan Siau terdapat nama-nama datu yang sangat disegani oleh pedagang-pedagang barat. Di antaranya datu Lokongbanua sebagai datu pertama yang mendirikan Kedatuannya pada kurang lebih tahun 1510, lalu diganti oleh Datu Posuma kemudian Datu Wuisang. Ketika Portugis dan Spanyol bersahabat dengan para datu, kemudian Datu Winsulangi dan Datu Batahi dikenal sebagai orang pertama yang mengenyam pendidikan sampai pada tingkat Perguruan Tinggi. Mereka bersekolah di Philipina. Demikianlah para datu member teladan tentang pentingnya pendidikan dan kearifan kepada masyarakat yang dipimpinnya dulu kala. (Maaf, bapak pendidikan sebaiknya bukan Toni Supit versi Manado Post).

Kuat dugaan, ketika Datu Winsulangi (1591 – 1631) ditangkap Belanda dan diasingkan ke kepulauan Ternate dan sekitarnya bersama dengan pengikut-pengikutnya, lantas kembali ke Siau, maka sejak saat itu, masyarakat mulai mengenal tanaman pala. Meskipun nanti pada tahun 1818 barulah Datu Lemuel David mengeluarkan titah datu untuk memerintahkan agar seluruh rakyatnya menanam pohon pala. Demikianlah peranan pemimpin masyarakat untuk menggerakkan warganya mengenai pilihan pembangunan berorientasi masa depan yang relevan dilakukan. (Sekali lagi maaf, bukan Toni Supit sebagai Bapak Pembangunan versi Manado Post).

Tidak hanya otonom dalam soal pendidikan dan pertanian, dalam persoalan hidup bersama dan berdampingan dengan damai, para datu-datu Siau pun meletakkan paradigma berpikir yang tidak mempertentangkan agama, akan tetapi lebih mengutamakan dan memperkuat hubungan persaudaraan. Bukti sejarahnya adalah dinobatkannya Datu Jacob Ponto (1850-1889) sebagai Datu beragama Islam yang memimpin seluruh warganya yang berbeda agama. Kerukunan antar umat beragama berlangsung selama masa kepemimpinannya meskipun terdapat riak-riak kecil yang segera dapat diatasi.

Sikap egaliter “bangsa laut” yang jarang dijumpai dalam karakteristik umum masyarakat pesisir ini, tercermin juga ketika Belanda menobatkan D.F. Parengkuan sebagai Datu Siau yang memerintah sejak tahun 1936 – 1946. Warga kedatuan Siau begitu mengasihi Datu mereka yang berasal dari tanah Minahasa itu.

Sementara itu, jauh sebelum masa kedatuan dimulai, konon pulau siau sudah pernah disinggahi oleh pedagang-pedagang yang bertolak dari China. Situs artefak yang ditemukan di desa Kanawong berupa gelas dan piring dari bahan keramik setelah diteliti ternyata milik dari para petinggi-petinggi kerajaan di Cina yang khusus digunakan oleh kalangan bangsawan saja. Hal itu menerangkan bahwa di Siau telah lama ada kehidupan yang bersumber dari pengaruh-pengaruh Cina baik secara biologis maupun secara budaya. (Bandingkan dengan corak-corak hiasan yang ditemukan oleh para peneliti dalam Kamus Bahasa Sangihe versi Belanda).

Di Mandolokang (Tagulandang), emansipasi peran perempuan dan quota perempuan dalam kancah poliitik, tidak perlu dipertanyakan lagi. Sebab Lohoraung sendiri adalah raja perempuan yang paling disegani dari semua raja yang pernah memimpin Kerajaan Mandolokang.

Sangat disayangkan, pada tahun 2010 yang lalu, momentum 500 tahun masa kedatuan Siau ini, tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah.

Masa Bernegara/Modern.

Masa ini terhitung sejak Indonesia merdeka hingga masa orde baru. Diawali dengan masa pemerintahan orde baru yang sarat dengan nilai-nilai politiknya. Di pulau Siau, pulau yang tidak terlihat secara kasat mata dalam peta itu, ternyata merupakan tempat berdiri pertama kalinya Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh Geda Dauhan.

Kiprah Geda dan kawan-kawannya menjadi perhatian presiden Soekarno selaku penggagas ide nasionalis sejati pendiri NKRI itu. Oleh sebab itu, tidak ada alasan yang kuat untuk membantah rasa nasionalisme warga Sitaro dalam ber-NKRI.

Pada masa orde baru, lepas dari segala kebobrokan pemerintah pusat, di Siau dan Tagulandang yang kala itu menjadi satu sangkar dengan pemerintahan Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud beberapa kali melahirkan pemimpin-pemimpin yang berwibawa. Mereka adalah anak-anak petani pala, anak-anak dari para pedagang di pasar tradisional. Tersebutlah bupati Tindas dan bupati Manahampi dari Tagulandang, lalu ada bupati Lutia dan bupati Salindeho dari Siau. Mereka membuktikan bahwa kemampuan untuk menjadi piloto terdapat dari hasil perjuangan keras yang dilakukan oleh segenap anak bangsa dari kalangan apa saja.

Sitaro pada masa orde baru, menjadi kawasan potensial yang penghasilannya dari sektor non pajak (retribusi hasil komoditi pala dan komoditas lainnya) tertinggi dalam mendongkrak perekonomian Kabupaten Kepulauan Sangihe kala itu. (BPPT, 1995). Inilah kemudian menjadi dasar perjuangan bagi Tim Penggagas Kabupaten Sitaro dalam perjuangannya menjadikan Sitaro Otonom.

OTONOMI SITARO MASA KINI

Menyangkut kondisi dan situasi otonomi dewasa ini, saya menguraikannya dari masa perjuangan otonomi dan masa selepas perjuangan itu berhasil diwujudkan.

Masa Perjuangan Otonomi.

Sayang sekali saya tidak dapat menulis siapa saja yang termasuk dalam keanggotaan Tim Penggagas Kabupaten Sitaro. Setidaknya saya dapat membaca apa motivasi utama mereka mendirikan Sitaro sebagai kabupaten otonom dan menduga apa yang menjadi tujuannya. Tetapi soal pemberian nama “Sitaro” adalah gagasan yang disampaikan oleh saudara Tamaka Kakunsi yang saat itu bekerja sebagai wartawan dari harian Manado Post (Keterangan Tamaka Kakunsi sewaktu menjadi mahasiswaku).

Motif untuk mendirikan Kabupaten Sitaro sekurang-kurangnya didorong oleh keinginan luhur anak-anak daerah untuk membangun daerahnya menjadi lebih baik dari kondisi sebelumnya, dan mendekatkan layanan publik kepada masyarakat agar memperoleh berbagai kemudahan. Berotonomi, berarti membangun sendiri. Artinya, di era otonomi, harus terwujud suatu keadaan dimana saya melayani rakyat di desa saya, kalau perlu saya melayani keluarga saya, akan tetapi sekaligus saya menjamin bahwa kehidupan/kepentingan bersama yang diutamakan.

Beberapa dari kelompok penggagas ini, tidak menikmati hasil dari jerih payahnya. Sebagian gagal menjadi anggota parlemen karena kekurangan biaya. Sebagian hanya merasakan untuk kurun waktu yang sangat singkat sebagai konsekunsi daerah pemekaran baru dan sebagian lainnya gatol alias gagal total akibat adanya praktek politik uang yang dilancarkan beberapa “Politisi Kurang Jelas” dalam mendidik moral politik anak-anak negeri.

Inilah wajah politik “Dewa Janus” di era otonomi. Sebuah awal dari terbentuknya tatanan sosial yang didominasi oleh kelompok kapitalis untuk mendorong terbentuknya situasi sosial yang ekonominya dibangun pada kerapuhan.

Masa Otonomi Daerah.

Otonomi harus dipahami sebagai “yang membangun adalah rakyat” dan “yang mendistribusikan hasil pembangunan adalah pemerintah daerah selaku otak pemerintahan otonom. Sesuai fungsinya, otak kanan adalah legislatif, otak kiri adalah eksekutif dan otak tengah adalah judikatif. Ketiga lembaga ini berperan sebagai sistem saraf (central nervous system) dalam organ kepala masyarakat yang dapat membuat masyarakat itu benar-benar hidup dengan tujuannya. Melakukan segala sesuatu dalam mempertahankan kehidupan sepanjang masa dengan sikap rasional, rasa memiliki, bertanggungjawab memelihara keseimbangan, bukan saja keseimbangan sosial (ketertiban) tetapi juga mencakup keseimbangan alam (membangun diri dan lingkungan hidup) demi keberlanjutan hidupnya.

Pada masa otonomi yang diawali dari pemerintahan Toni Supit dan Piet Kuera seperti ini, pemerintah daerah (baca: sistem saraf) mestinya mampu mewujudkan peranannya. Membuat jantung dapat memompa darah dan dialiri ke seluruh tubuh. Diperlukan takaran yang sangat sesuai, agar seluruh SKPD-SKPD mendapat bagian yang sesuai daya serapnya terhadap kebutuhan anggaran, sehingga daerah terhindar dari praktek KKN.

Kesan politik balas dendam mewarnai jajaran birokrasi dengan melakukan mutasi bagi guru-guru dan PNS yang menentukan pilihan bukan pada pasangan bupati dan wakil bupati terpilih, atau yang dinilai membangkang oleh segelintir orang. Kodisi ini hanya akan menimbulkan dampak krisis kepercayaan (intrust) antara bawahan dengan atasan. Mestinya, harus kembali pada tujuan otonomi yaitu mendekatkan pelayanan berdasarkan pada kebutuhan dan pemanfaatan sumber daya lokal yang berlandaskan pada rasa saling mengenal, saling percaya, saling menghormati dan saling menghargai perbedaan.

Peran otak manusia pada umur 4 tahun sudah bisa menata laku meskipun masih dominan dituntun oleh orangtuanya. Mental dan moral pejabat yang kini sedang bercokol di jajaran birokrasi perlu terus dibina. Karena bisa saja rekruitmen yang tanpa memikirkan aspek moral akan mendorong terwujudnya pemerintahan tak bermoral.

SITARO OTONOM DI MASA DEPAN

Pada tataran ekonomi, pemerintah perlu lebih cermat untuk menentukan orientasi/arah kebijakan. Bilamana orientasi ekonomi pembangunan yang diterapkan oleh Pemerintah Daerah berorientasi pada pertumbuhan (growth) Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa memikirkan pemerataan dan kelangsungan ekosistem lingkungan, niscaya Sitaro akan mengundang bencana alam semakin mendekat. Sitaro yang sekarang dapat disebut daerah yang sangat berpotensi terjadi bencana alam, dalam waktu sangat singkat akan benar-benar menjelma menjadi sebuah kawasan dengan julukan Daerah Segala Bencana.

Kaum kapitalis (pemodal besar) tidak perlu diberikan ruang yang signifikan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam Sitaro. Kawasan kepulauan dengan sumberdaya alam yang lekas habis apabila dikeruk dalam skala yang besar hanya akan menghancurkan seluruh habitat yang hidup disitu.

Hemat saya, pemerintah harus mendorong agar pertumbuhan dilakukan dengan strategi membangun ekonomi berbasis pada keluarga. Ekonomi berbasis pada keluarga ini merupakan cirri ekonomi yang sudah lama hidup dalam pergaulan bermasyarakat di setiap pulau berpenghuni di Sitaro. Pada umumnya teknologi yang digunakan untuk mengelola sumberdaya alam adalah teknologi yang ramah lingkungan. Masyarakat kepulauan di Sitaro memiliki metode kerja tersendiri di setiap pulau. Mereka tahu, mana yang perlu dikelola dalam skala kecil, menengah dan besar, sebab mereka memiliki sumberdaya sosial berupa sistem kepercayaan, sistem jaringan dan sistem norma-norma yang dapat dijadikan sebagai modal sosial dalam kerangka membangun kekuatan mereka menuju terbentuknya tatanan Masyarakat Sipil (Civil Society).

Inilah sesungguhnya konsepsi otonomi daerah masa depan yang ideal. Sesuai dengan fakta sosial masyarakat Sitaro yang terjalin dalam sistem sosial, sistem budaya, sistem kepribadian dan sistem organik hingga tindakan-tindakan rasional mereka untuk memelihara stabilitas sosial dalam jangka waktu yang lama. Dengan demikian, otomatis pembangunan akan disemangati oleh tingkat partisipasi sosial yang tinggi dari masyarakat. Pemerintah akan mengurangi ketergantungannya dari biaya-biaya yang didatangkan dari Jakarta yang notabene adalah hutang luar negeri negara yang bernama Indonesia.


Selasa, 17 Mei 2011

Comment Inbox

Comment Inbox

Sosialisasi BBM Oleh Pemerintah : Upaya Meresahkan Rakyat


Mencari premium di kota Manado saat ini anda harus jungkir balik dulu. Menunggu berjam-jam di SPBU dan ketika giliran kendaraan anda yang harus diisi bahan bakar murah itu, lalu petugas SPBU mengatakan premium habis, maka selanjutnya terjadilah ketegangan psikologis. Untunglah pihak yang dikecewakan tidak melakukan aksi buruk semacam membakar SPBU.

Masyarakat mulai beranalisa tentang penyebab kelangkaan. Ada yang mengatakan penyebabnya adalah pihak-pihak pedagang eceran yang membeli premium untuk keperluan komersiil. Ada pula yang mengatakan jatah premium per hari sudah mulai dikurangi oleh pihak Pertamina. Akan tetapi, saya ingin mengatakan, penyebabnya bukan kedua alasan tadi.


Sejak bulan Maret 2011 ini pemerintah mengeluarkan semacam kebijakan relatif terkait dengan upaya untuk mengurangi subsidi premium. Tujuan dari kebijakan itu adalah membiasakan masyarakat untuk menggunakan Petramax. Premium yang lebih murah harganya itu berasal dari bahan baku fosil. Kini potensi lestari bahan fosil sudah mulai menipis dan pemerintah menarik subsidi dari premium, tetapi belum menetapkan kebijakan lanjut untuk mensubsidi Petramax.

Saya tidak tahu apa alasan pemerintah tidak melakukan subsidi terhadap Petramax. Yang saya ketahui adalah masyarakat sedang bergejolak secara psikologis. Meskipun media massa telah memberitakan soal penundaan kebijakan ini diterapkan. Kenyataan sehari-hari sedang terjadi kelangkaan BBM. Kali ini kelangkaan tersebut lebih merupakan dampak psikologis dari masyarakat.

Masyarakat yang tadinya membeli premium berdasarkan pada kebutuhan riil, kini harus membeli berdasarkan pada kebutuhan psikologis. Kebutuhan psikologis ini sangat mahal harganya kalau mau dipenuhi. Berbagai cara dilakukan oleh orang-orang yang berpikir mengatasi dampak psikologis tersebut. Ada yang memanfaatkan kendaraan mereka untuk menampung premium dari beberapa SPBU dan menimbun untuk keperluan seminggu kedepan. Ada pula yang menampungnya dengan membeli melalui galon lalu dijual eceran kepada pengguna. Akhirnya sumber daya yang terbatas itu menjadi langkah dan senantiasa diperebutkan pada setiap pagi sampai tengah hari. Implikasinya, banyak pekerjaan yang terganggu.


Tugas utama pemerintah sesungguhnya adalah menjamin kelangsungan fungsi dari setiap komponen masyarakat dengan melahirkan kebijakan yang rasional, bukan kebijakan emosional yang menyerang pikiran masyarakat sampai membuat kuatir dan takut. Kebijakan harus dilahirkan dan disosialisasikan (dibelajarkan) kepada masyarakat melalui mekanisme dan saluran yang tidak meresahkan dan terkesan tergesa-gesa. Perlu upaya untuk mematangkan rencana dan melakukan keseimbangan fungsi pada komponen yang hendak dieliminir dan komponen yang baru untuk disubtitusikan. Intinya, kebijakan harus selalu lahir dengan kemampuan untuk mengendalikan situasi menjadi bergerak pada keseimbangan yang stabil.

ARTIKEL: DUKUN PERAMAL DICARI POLISI

Menarik dikaji lebih lanjut

Jumat, 13 Mei 2011

DUKUN PERAMAL DICARI POLISI

Seorang dukun di bagian utara Kabupaten Minahasa Utara, tepatnya di desa Lantung  sering disapa embo karena memang dia adalah dukun yang berasal dari keturunan etnik Sangihe (Siau). Dukun tersebut memiliki kemampuan supranatural yang membuat dia tampak hebat karena diyakini para pengunjungnya mampu menyingkap berbagai hal yang sudah pernah terjadi dalam rentetan hidup mereka, kemudian mampu juga mengendalikan situasi masa depan agar sesuai dengan harapan kliennya.

Banyak orang sudah menjadi kliennya. Beberapa pejabat di Sulawesi Utara dan masyarakat umum di setiap daerah banyak yang datang meminta jasa dukun itu. Oleh sebab itu banyak pihak dari semua status dan herarki mampu diyakinkan oleh embo sang dukun. Paling sering yang mencari dukun ini adalah polisi-polisi yang sedang ingin cepat menemukan penjahat yang mereka buruh. Juga sering diminati oleh pejabat yang kehilangan mobil, ABG yang kehilangan HP, dan suami yang kehilangan isteri atau sebaliknya.

Sang dukun hanyalah seorang pria berusia kurang lebih 50 tahun, memiliki seorang isteri dan beberapa anak. Pekerjaan rutinnya adalah nelayan, sesekali menjadi petani dan sesekali menjadi tukang. Saya pernah bercakap-cakap cukup dekat dengan beliau dan menemukan dia adalah sosok pria yang baik dalam menunaikan kewajiban selaku bapak bagi anak-anaknya. Meskipun setelah menjadi dukun beberapa tahun terakhir, dirinya seperti mendapat sebuah legitimasi informal dari semua orang yang meyakini kemampuan ramalannya. Diapun menjadi sosok yang sedikit angkuh dan mulai melakukan hal yang kurang senonoh khususnya terhadap kliennya yang perempuan. 

Cara kerja sang dukun dapat saya uraikan seperti berikut ini:
  1. Klien mendatangi rumahnya dan menemui dia lalu berbicara maksud kedatangan klien, klien mengutarakan maksud untuk menemukan seseorang yang dicari atau benda yang hilang. Kapan kehilangannya dan dimana tempatnya. Lalu bagian akhir dari percakapan itu adalah klien memintakan sang dukun untuk menjawab siapa pelaku yang melakukan penghilangan itu.
  2. Sang dukun mengambil sebuah belanga dari bahan aluminium yg diletakkan di samping rumahnya dan secarik kertas koran yang sudah lama, sebuah pulpen dan sebuah korek api diletakkan di atas meja sambil terus melanjutkan percakapan seputar kepiawaiannya.
  3. Sang dukun menyerahakan kertas koran dan pulpen kepada kliennya untuk menuliskan abjad dari huruf A sampai Z di atas kertas koran, lalu mengambil koran yang bertuliskan abjad itu dari kliennya kemudian membakar di dalam belanga hingga koran itu habis dan menyisahkan arang.
  4. Sang dukun memanggil kliennya untuk mendekati dia, memintakan klien mengulurkan lengan tangan dan menggosok arang dari hasil pembakaran di belanga tadi. Arang yang melekat di lengan klien itu kemudian digosok-gosok oleh sang dukun sambil melafalkan mantra sakti mandarguna kurang lebih 30 detik lamanya sampai muncul secara kasat mata huruf-huruf yang terangkai menjadi satu kata, yaitu sebuah identitas (nama) yang menerangkan kepada kliennya bahwa nama itulah pelaku pencurian atau menerangkan bahwa orang yang dicari kliennya berada di suatu tempat dimana lokasinya dapat dilihat di atas lengan kliennya.
  5. Setelah diketahui pelaku dan tempat dari objek yang dicari, selanjutnya klien dimintakan untuk masuk bersama dukun kedalam kamar mandi yang terletak di dapur rumahnya. Sang dukun akan membersihkan tangan klien yang sudah dikotorinya dengan arang tadi. Cara membersihkannya pun hanya dapat dilakukan khusus karena harus digosok dari arah atas ke bawah.
  6. Setelah itu klien dimintakan kembali ke tempat duduknya dan melanjutkan ritual yang lain untuk membuat pelaku pencurian akan mengembalikan barang yang dicurinya atau orang yang menyembunyikan suami atau isteri klien kembali kepada kliennya. Ritual ini dilakukan sendiri oleh sang dukun. Dia mengambil semacam kumpulan ranting-ranting kecil yang diikat sehelai kain hitam kemudian dimantrai.
  7. Ranting-ranting itu diberikan kepada kliennya untuk digantung pada tempat yang terbuka di halaman rumah klien dengan maksud agar objek yang dicuri atau hilang dapat kembali ke sekitar daerah ranting-ranting itu berada.
  8. Proses perdukunan selesai dan klien tentunya menyerahkan sejumlah uang sebagai imbalan menurut kemampuan yang dimiliki kliennya. 
Demikianlah prosesi lazim yang dilakukan sang dukun dalam menerangkan dan menemukan peristiwa masa lalu sekaligus berupaya untuk mengendalikan masa depan sesuai harapannya. Hanya saja, isteri dan keluarga sang dukun akan mengawasi gerak-gerik sang dukun ketika menyelesaikan prosesi ritualnya. Isterinya kerapkali menyarankan apabila suaminya dalam keadaan mabuk karena mengkonsumsi alkohol, sebaiknya tidak boleh ada ritual karena pasti hasilnya tidak akurat.

Menurut pendapat beberapa orang perempuan yang pernah menjadi kliennya dengan kasus ditinggalkan suami karena bermasalah dalam rumah tangga, ketika ritual sampai pada pencucian tangan di kamar mandi, sang dukung memintakan klien untuk melakukan hubungan persenggamahan dengan dirinya. Untunglah hal itu tidak terjadi karena anak perempuan sang dukun sedang berada di dapur mencuci piring2 kotor kala itu.

Bagaimanapun kepiawaian dukun, jalannya bukanlah solusi yang tepat untuk berbagai masalah kita.@@@