Selasa, 31 Januari 2012

PERGESERAN NILAI ADAT SANGIHE


Budaya sangat menentukan bagi kemajuan suatu bangsa, demikian Huntington sering mengingatkan kita tentang peranan budaya. Budaya yang baik dapat berjalan baik bilamana kita memahami kelahirannya dan terus menerus mengawal sampai akhirnya tujuan kemanusiaan itu bisa dicapai. Fukuyama mengatakan, budaya dapat memajukan manusia sekaligus dapat menghancurkan manusia. Tetapi Van Peursen mengatakan dengan budaya juga kita bisa mengembangkan strategi pembangunan suatu bangsa. Budaya dalam kajian ini merupakan adat yang hidup dan berlaku sebagai pandangan hidup suatu bangsa harus dapat dipetakan sebaik-baiknya pada posisi yang tidak gampang dikontaminasikan oleh kepentingan sesaat yang merugikan kemaslahatan hidup banyak orang.

Disorientasi Kemurnian Adat 
Khusus tentang adat Sangihe saya mencermati sedang mengalami disorientasi pada dimensi ontologis dan praksis lalu sedang bergerak cenderung menggeser subtansi atau nilai-nilai orisinilnya, akibat “campur tangan berlebihan” dari para penguasa yang duduk dalam struktur pemerintahan modern. Fenomena ini nampak jelas ketika terjadi pengalihan kekuasaan dari bupati lama ke bupati yang baru dan pada saat peran tokoh adat dituntut untuk memberikan gelar adat kepada mereka yang dinilai berprestasi dalam melaksanakan peran-peran sosial di tengah-tengah masyarakat. Menyongsong penyelenggaraan pesta adat Tulude 31 Januari 2012 nanti, Dewan Adat Sangihe merencanakan hendak memberikan gelar adat kepada saudara Olly Dondokambey, Yasti Supredjo Mokoagow, Vanda Sarundajang dan Syarief Hasan. Beberapa wartawan meminta pendapat dari saya terkait dengan hal menjernihkan persoalan siapa sebenarnya yang berhak menerima gelar adat. 

Mari kita perhatikan dengan seksama, bahwasanya budaya Sangihe berbentuk dua muka, yaitu: egaliter dan hierarkis. Budaya egaliter dianut oleh mereka yang membentuk kehidupannya di laut dan kedua adalah mereka yang membentuk kehidupannya di darat. Para pemimpin dan masyarakat laut memiliki perilaku yang bercorak terbuka sebaliknya pemimpin dan masyarakat yang hidupnya bergantung dari tanah memiliki corak hidup yang hierarkis tertutup. Implikasinya adalah masyarakat laut lebih bersifat progresif sedangkan masyarakat daratan lebih bersifat konservatif. Pelaut menginginkan perubahan pola yang benar-benar baru dengan pendekatan yang revolusioner, sedangkan masyarakat darat cenderung mempertahankan pola lama dengan pendekatan yang evolusioner. Kondisi ini membuat masyarakat Sangihe senantiasa berada pada dua ranah dalam melakukan perubahan sosial. Bahkan dalam memberikan gelar adat sekalipun, kadang-kadang melenceng dari pertimbangan-pertimbangan atau kriteria adat yang tepat. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa kriteria yang tepat dalam memberikan adat sesuai dengan corak budaya Sangihe?

Saya berpendapat, pertimbangkan dengan sangat teliti tiga elemen berikut ini: Pertama, siapa subjek (pribadi) yang akan diberi gelar adat, kemudian kedua, apa prestasinya (predikat) terkait dengan kemaslahatan hidup banyak orang, dan ketiga adalah apakah subjek itu mampu melaksanakan peranan (predikat)nya dalam ruang dan waktu yang lama? Ketiga pertanyaan di atas mewakili tiga tingkat kelayakan karakter taumata malunsemahe (manusia) yang dianugerahi gelar adat, sekaligus tiga tingkat prestasi pada tiga media (laut atau air, darat atau gunung dan langit atau udara) serta tiga dimensi waktu (masa lalu, masa kini dan masa depan).

Taumata malunsemahe adalah taumata yang berada pada standar tertinggi tingkat kemanusiaan Sangihe yang ditempuh melalui sederet pengalaman hidup memanusiakan manusia lain (banyak). Perilaku taumata malunsemahe terdiri dari kombinasi 3 perilaku dasar yakni: mateleng, matelang dan mateling. Taumata disebut memiliki watak mateleng apabila di dalam dirinya terdapat sifat diam, rajin dan setia pada pengabdiannya. Taumata disebut matelang apabila kualitas fisik (paduan antara kekuatan dan kerajinan) dan kualitas psikhis (kombinasi kematangan dan ketekunan) menjadi satu.

Taumata disebut mateling apabila kualitas mateleng dan kualitas matelang berpadu dalam keseimbangan. Itulah sebabnya sangat sulit memenuhi kriteria ini dalam mewujudkan Taumata Malunsemahe. Pada umumnya yang dapat diwujudkan adalah Taumata Mateleng dan Taumata Matelang. Oleh sebab itu gelar adat sebaiknya mengacu pada pencapaian tingkatan kemanusiaan Mateleng dan Matelang untuk peraih prestasi yang aktif. Sedangkan prestasi yang diraih oleh Taumata Mateling manakala taumata sudah berada pada kondisi pasif tetapi memiliki kemampuan mateleng dan matelang sekaligus. Taumata Mateleng berhak mendapat reward gelar berupa perunggu, Taumata Matelang berhak mendapat reward perak dan Taumata Mateling berhak mendapat reward emas.

Menjadi sangat bias makna bilamana ternyata taumata yang dianugerahi gelar adat (matelang dan mateling) adalah orang luar yang tidak dikenal oleh bangsanya sendiri dan tidak berprestasi bagi bangsanya sendiri. Oleh sebab itu menurut hemat saya, bercermin dari budaya KITE, maka gelar-gelar adat dapat diberikan kepada:
  1. Orang-orang yang berasal dari dalam (Tau Kite) dan orang-orang dari luar (bukan Tau Kite) tetapi aktif membangun bangsa KITE dapat diberikan gelar adat dengan predikat MATELENG. Simbolnya adalah perunggu dan pakaian kebesarannya adalah kain kofo berwarna merah. Inilah simbol dari keagungang Mawendo.
  2. Orang-orang dalam (Tau Kite) yang aktif membangun bangsa KITE berhak mendapatkan gelar adat dengan predikat MATELANG. Simbolnya adalah perak dengan pakaian kebesaran adalah kain kofo berwarna putih. Inilah simbol dari keagungan Aditinggi.
  3. Orang-orang dalam (Tau Kite) yang tidak aktif membangun tetapi sudah mendapatkan kedua gelar (Mateleng dan Matelang) semasa pengabdiannya dan sampai pada usia yang tidak produktif secara fisik, tetapi masih membuat karya-karya intelektual untuk kemaslahatan bangsa, kepada merekalah pantas mendapatkan predikat sebagai MATELING. Simbolnya adalah emas dengan pakaian kebesaran kain kofo berwarna kuning. Inilah simbol keagungan Genggona Langi.
Mengenai bidang gelarnya akan ditambahkan pada ketiga predikat yang disandang. Misalnya: Mateleng U Wanua, Matelang U Wanua dan Mateling U Wanua.

Komodifikasi Berlapis
Upaya reposisi nilai-nilai adat pada pemberian gelar adat yang selama ini dinilai telah dipengaruhi oleh muatan-muatan politik ekonomi kekuasaan (pemerintah dalam arti luas). Artikel tersebut mendapat respon positif dari Dr Ivan Kaunang yang mengulas tentang fenomena kebudayaan yang didefinisikan sebagai Komodifikasi Berlapis.

Di dunia ini sarat dengan berbagai kepentingan, tidak ada aktivitas tanpa diselubungi kepentingan, karena kepentingan adalah tujuan dari pemikiran dan tindakan manusia. Oleh kepentingannya manusia berbudaya. Kepentingan bergerak ke dua arah, yaitu positif dan negatif. Itulah sebabnya adat sebagai produk kebudayaan juga mengalami perubahan ketika kepentingan itu bersentuhan dan muncul ke permukaan kehidupan manusia. Pada tataran tertentu potret adat ternyata mengalami perubahan dari bentuk aslinya. Perubahan pada gerak linier (berkembang) secara bertingkat-tingkat atau berlapis-lapis sesuai dengan kepentingan tadi. Ada yang diarahkan untuk kepentingan politik, pariwisata, ekonomi dan lain sebagainya. (Ivan R.B. Kaunang dalam bukunya berjudul: Maengket: Kristalisasi Politik Identitas (ke)Minahasa(an)).

Kaunang (http://www.facebook.com/profile.php?id=1548422365 dalam artikel saya) selanjutnya mengatakan, komodifikasi dimaknai sebagai sesuatu yang sebelumnya bukan dibuat/diproduksi untuk dijual, tetapi sekarang sudah dijual (Konsep Piliang, dalam Dunia yang dilipat). Komodifikasi Berlapis, yaitu suatu realitas yang tidak lagi melihat suatu produk utama yang dijual untuk dikonsumsi secara massifikasi tetapi produk lain yang melapisinya, seperti yang dijual gelar adat, tetapi tujuannya, misalnya untuk politik, untuk ideologi tertentu, untuk mendapat jabatan, untuk hal lainnya diluar gelar adat.. Mungkin pencitraan, mungkin juga makna lain supaya dilihat berbudaya, tahu adat atau memang tidak tahu adat.

Dalam konteks adat Sangihe yang dikomodifikasikan berlapis untuk kepentingan bukan adat; jika dibiarkan berlangsung terus akan melahirkan produk pertama: Generasi "bega adate" (tidak tahu adat) yang berciri: warna biru, agak cair dan sangat mudah terurai seperti tinja bayi. Jika generasi bega adate terus melakukan komodifikasi pada lapisan kedua, maka akan lahir sebuah generasi lapisan kedua yang disebut sebagai generasi “tai adate”(tidak mempunyai adat) yang ciri-cirinya: bercorak kuning, panas kalau masih baru, rapuh (mudah hancur) dan busuk. Ibarat tinja orang dewasa. Selanjutnya, jika generasi tai adate terus menerus melakukan komodifikasi pada lapisan ketiga yaitu akumulasi dari tai adate. Budaya kite, hidup di dua ranah yaitu darat dan laut dengan dua corak bahasa: Sasalili dan Sasahara. Mereka (tai adate) yang “menjual” adat di laut akan mengalami kehancuran (tercerai-berai), sebagian akan dimakan ikan dan sebagian akan terurai secara alami dengan lingkungan sekitar laut. Tetapi bagi mereka (tai adate) yang “menjual” adate di darat, mereka akan ditelan bumi, terurai seluruhnya oleh tanah. Pada komodifikasi lapisan ketiga ini, kehidupan (kebudayaan) bangsa Sangihe akan mengalami krisis pada tiga situasi genting, yaitu:
  1. Mengalami kecemasan besar (The Great Dellusion)
  2. Mengalami kekacauan besar (The Great Dissruption)
  3. Mengalami kematian besar (The Great Deceasion)
Saya pikir penyebab utama dari terjadinya situasi “disorientasi makna budaya” adalah lemahnya pengetahuan mengenai nilai-nilai luhur kebudayaan kite. Kita yang hidup di masa "post modern" seolah-olah bukan merupakan rangkaian dari masa lalu, ada semacam "missing link" kebudayaan. Mobilitas budaya kite yang bergerak sentripetal dan saling berbenturan karena tak beraturan, menurut saya disebabkan oleh adanya "kesadaran semu" sebagai dorongan kepentingan-kepentingan politik ekonomi yg bersifat sementara. Juga merupakan implikasi negatif (bias) dari perilaku budaya kite pada tataran keluarga yakni sikap mughaghelare atau mahungge. Perilaku bias ini yang menjadi dominan.

Tetapi coba perhatikan dengan seksama, tidak ada satupun bahasa kite (asli) yang bermakna terima kasih. yang ada hanyalah kata “tarimakase” sebagai serapan dari bahasa lain. Mengapa demikian? alasanya karena perilaku Taumata Sangihe dibentuk dari 3 komponen; mateleng, matelang, mateling yang pada akhirnya terwujudlah taumata malunsemahe (damai & sejahtera) secara otonom. Simpulan saya, Orang Sanger bukan orang yang tidak tahu berterima-kasih, tetapi orang yang tahu menghargai (menghormati). Itulah esensi dari mahungge. Dengan mengucapkan kata "tarimakase" maka besok atau tahun depan atau sepuluh tahun depan orang yang dihargai itu segera dilupakan. Tetapi hungge tidak demikian, orang yang berjasa itu tidak pernah dilupakan. Bagi Orang Sanger, mati bukan berarti kehilangan nafas dan jiwa, melainkan dilupakan jasanya untuk selama-lamanya. Sedangkan hidup adalah kehormatan.

Secara sosiologis, "mahungge" adalah sebuah respon terhadap stimulan dari luar yang geraknya terhubung secara timbal balik dan berlangsung terus menerus dalam waktu yang relatif lama (kronis). sebaliknya "tarimakase" adalah respon manusia pada umumnya terhadap stimulan positif yang berlangsung seketika (akut). Saya kira kadar dalam ukuran “tarimakase” yang kita berikan kepada orang yang berjasa kepada kemaslahatan hidup Bangsa Sangihe terlalu kecil nilainya. Kite Bangsa Sangihe harus memberikan nilai besar yang disebut hungge, oleh sebab itu berikanlah gelar adat sebagai matelang u wanua kepada mereka yang berjasa itu dengan jubah putih sebagai pakaian kebesaran.

Badanisasi Dewan Adat 
Dewan Adat Sangihe (DAS) kini berubah menjadi Badan Adat Sangihe (BAS). Sebelumnya, DAS merupakan institusi informal yang berada di luar struktur institusi formal, lembaga pemerintahan daerah. Lembaga adat selama ini otonom dan independen dalam menyelenggarakan fungsinya, seperti halnya lembaga agama dan organisasi-organisasi massa lainnya. Akan tetapi pelaksanaan fungsi lembaga adat tentunya bersinergi dengan fungsi lembaga searas (lembbaga formal = agama dan ormas) maupun lembaga yang tidak searas (lembaga formal = Bupati dan wakilnya, DPRD, TNI dan Polri, Hakim dan Jaksa selaku unsur-unsur Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif di daerah).

Bilamana kita cermati mengenai peranan lembaga-lembaga informal, dapat diidentifikasi dominasi dari peran lembaga agama lebih signifikan daripada dua lembaga lainnya (ormas dan adat). Lembaga agama memiliki struktur yang lebih luas dan memadai untuk menyelenggarakan fungsi sampai pada satuan terkecil di jemaat bahkan kelompok-kelompok pelayanan yang terdiri dari sejumlah keluarga-keluarga. Seluruh komponen strukturnya menjadi fungsional sehingga menjamin kelangsungan hidup institusi. Bahkan sekarang ini cenderung mengarah ke penguatan teritorial yang bisa menggiring anggotanya pada pembentukan faksi-faksi, sebagai cikal bakal penyebab terjadinya konflik horizontal. Sebaliknya institusi adat dan ormas tidak mengakar sampai ke satuan-satuan terkecil dalam masyarakat sehingga fungsinyapun mengalami percepatan yang sangat lamban.

Interaksi yang terbangun antara institusi formal dengan institusi informal seharusnya berlangsung secara horizontal, tetapi realitas justru menerangkan lain, interaksi berlangsung secara vertikal (hierarkis). Dengan demikian hubungan kerja antara personil Dewan Adat dengan Pemerintah Daerah (yang didominasi peran eksekutif) mudah sekali saling berkolaborasi dalam berbagai upaya yang terkait dengan kepentingan-kepentingan politik praktis yang pada akhirnya membuat kedudukan Dewan Adat yang otonom dan independen tadi bergeser dan labil. Berkolaborasinya kepentingan-kepentingan tersebut tidak menimbulkan banyak resiko pada pengambilan keputusan strategis di kedua lembaga, baik Eksekutif Daerah maupun Dewan Adat.

Ada dua alasan yang mungkin dapat dirasionalisasikan dalam kaitan pergeseran posisi Dewan Adat ke Badan Adat yang saya sebut sebagai “Perselingkuhan Fungsi” ini. Kedua alasan yang bersifat situasional itu antara lain:
  1. Rendahnya tingkat resistensi internal dalam struktur Dewan Adat yang sangat ramping (sederhana) dan tidak mengakar, sehingga memungkinkan munculnya situasi kerja antar kedua lembaga pada satu kepentingan yang sama, tanpa gejolak yang berarti. Kondisi ini memberi ruang yang besar pada kedua lembaga untuk memperkuat dan melanggengkan kerjasama yang berlangsung dalam hubungan patron-klien dan strukturnya bersifat hierarkis (atasan-bawahan).
  2. Menguatnya fungsi kontrol dari media massa untuk melakukan kritik terhadap posisi independen Dewan Adat dalam bingkai informalnya. Ketika disadari terjadi penguatan pada fungsi kontrol media, maka kedua lembaga (Dewan Adat dan Eksekutif daerah) mengambil jalan alternatif dengan meleburkan sebagian dari fungsi adat yang dapat dikomodifikasikan untuk kepentingan (tujuan-tujuan) politik praktis kedalam struktur birokrasi pemerintah daerah melalui pelembagaan Dewan Adat menjadi Badan Adat.
Berlangsungnya dua situasi di atas dalam waktu bersamaan dan moral pemerintah dituntut untuk memenuhi rasa tanggungjawab yang besar sebagai balas budi atas supporting pihak lain yang berkontribusi dalam tatanan pemerintahan serta adanya kehendak untuk memberikan penghargaan kolektif yang setinggi-tingginya melalui peran adat, tanpa harus mengorbankan kemurnian adat itu sendiri, maka pemerintah daerah mengambil langkah untuk membadanisasikan Dewan Adat sebagai bentuk “komodifikasi berlapis” dimana lapisan adat pada tataran ini ditujukan untuk kepentingan politik. Hal yang sama nilainya bilamana bentuk-bentuk semacam ini digunakan untuk tujuan perencanaan dan pengembangan bidang pariwisata, ekonomi, pendidikan, sosial dan lain-lain.

Dengan adanya komodifikasi berlapis tersebut, maka struktur penyelenggaraan fungsi adat mengalami perubahan yang menyolok. Menurut pendapat saya, badanisasi boleh dilakukan tanpa membubarkan Dewan Adat, sebab peranan Dewan Adat tidak sekedar melaksanakan seremoni-seremoni adat tetapi jauh lebih luas untuk melindungi dan mempertahankan nilai-nilai adat agar tetap lestari serta melakukan pengendalian terhadap fungsi adat yang masih relevan diterima dalam kehidupan bermasyarakat. Saya memahami kehadiran Badan Adat bertujuan untuk melengkapi kebutuhan-kebutuhan praktis yang diperlukan pemerintah daerah dalam tata kelola pemerintahan yang mudah dikendalikan oleh mesin birokrasi, mudah mendapatkan suntikan dana bersumber APBD dan dapat dibangun secara terrencana. Kedepan diharapkan, pemerintah daerah dapat melakukan maksimalisasi fungsi pada Badan Adat agar bersinergi dengan SKPD lain yang bertalian fungsinya semacam Dinas Pariwisata, tetapi tetap berkoordinasi dengan Dewan Adat dalam hal memelihara kemurnian adat.

Membangun adat boleh saja melalui badanisasi lembaga adat, tetapi tidak boleh memusnahkan kemurnian adat dengan membubarkan Dewan Adat. Tanpa adat, kita ibarat tinggal di suatu tempat tanpa alamat. Dengan adanya Badan Adat bukan berarti disitulah kemurnian adat. Tetapi kemurnian adat berada pada Dewan Adat. Hal ini jangan sampai menimbulkan kebingunangan dan “sesat pikir” kepada para peneliti kebudayaan Sangihe yang mencari kemurnian adat. Sebagai bangsa Sangihe, kita tahu persis kemana mencari alamat palsu dan kemana mencari alamat yang murni.


DOKTRIN TAUMATA

Karakteristik dasar orang Siau terkonstruksi dari tiga tahapan yang dimulai dari tahap paling dasar sampai pada tahap paripurna. Ketiga tahapan itu adalah Mateleng, Matelang, Mateling . Inilah yang saya sebut sebagai Doktrin Taumata. Doktrin yang menyerupai trilogi. Setiap istilah ini bermakna ganda, terdiri dari beberapa corak tindakan yang terrangkai sebagai sebuah proses sosialisasi simultan dari individu “taumata” (manusia). Artinya, tingkat kemanusiaan orang Siau ditentukan oleh signifikansi dan determinasi penyerapan nilai-nilai di atas. Berikut ini akan diutarakan pengertian secara singkat trilogi taumata dan kemudian saya mendeskripsikan proses perangkaiannya menjadi perilaku fundamental manusia Siau (karakter taumata).



1. Mateleng
Mateleng adalah kata kerja yang dirangkai dari dua suku kata yaitu “ma” yang berarti mengerjakan sesuatu dan “teleng” yang berarti dengar (tunggal). Dengan demikian mateleng dapat diartikan langsung kedalam bahasa Indonesia modern sebagai “pendengar”. Dalam bahasa Manado kontemporer, terdapat kata kerja “pangbadengar” yang artinya orang yang suka mendengar atau orang yang patuh. Jika pengetian mateleng dipadankan dengan pengertian “pangbadengar” maka akan menghasilkan pengertian yang terlampau sempit maknanya.

Orang Siau memaknai mateleng bukan sekedar tindakan pasif memasang kuping. Melainkan diperluas maknanya sampai pada tindakan untuk memastikan bahwa apa yang sudah didengarnya harus dapat dibuktikan secara empirik. Dengan demikian urusan mateleng bukan hanya urusan telinga, tetapi juga merupakan urusan seluruh panca indera manusia. Apa yang didengarnya harus dapat dilihat, dicium, diraba dan dirasakan. Bagi orang Siau, semakin banyak mendengar, maka semakin banyak yang dikerjakan. Sebaliknya, orang yang kurang mendengar adalah orang yang kurang aktivitasnya alias orang malas. Etos kerja orang Siau itu pertama-tama terbentuk dari pendengarannya.

Dalam kehidupan sehari-hari, orang yang terganggu pendengarannya karena cacat lahir, seperti orang bisu misalnya, sering menjadi subjek pembanding bagi orang tua (dewasa) untuk mendidik orang-orang muda yang berperilaku malas. Terdapat kalimat semacam ini: kau kere tau bobo, uage singambung, maketi tulidang (kau seperti orang bisu, malas banyak, sulit diluruskan). Perbandingan dengan orang bisu ditekankan pada fungsi pendengaran yang merupakan dasar perilaku malas dan sukar diatur. Tetapi orang yang mateleng berperilaku sebaliknya, yaitu tidak bisu (mampu bicara atau bertanggungjawab) kemampuan itu mendorong menjadi berani, giat atau rajin, tetapi mudah diluruskan atau diarahkan.

Sebab pertama dari terbentuknya perilaku mateleng yaitu dimulai dari pendengaran, penglihatan, penciuman, penyentuhan dan perasaan yang diterima oleh seorang taumata secara mendalam. Inilah nilai (values) pertama yang paling mendasar dari Taumata Siau.  Nilai ini terus menerus dibangun dalam aktivitas sehari-hari, dari tahun ke tahun dan berabad-abad lamanya. Dibangun dari dalam keluarga orang-orang Siau sebagai sebuah kelaziman sehingga nampak dalam kehidupan setiap keluarga terdapat cara-cara bertindak “mateleng” yang telah menjadi kebiasaan (folkways).

Perilaku mateleng ditandai oleh sikap yang peka dengan kondisi lingkungan sekitar, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosial yang selalu diseleksi secara ketat dengan rasionalitas yang terjangkau oleh fungsi pancaindera. Sikap individu yang senantiasa menerima dan menyeleksi tersebut, saling beradaptasi dan berkontribusi positif pada tataran keluarga dan masyarakat, kemudian mudah beradaptasi dalam pergaulan yang lebih luas. Karakter itulah yang membuat orang Siau mudah diterima oleh bangsa manapun di dunia. Bangsa yang dikenal pendengar, giat dan rajin. Bangsa yang sesungguhnya telah membentuk dirinya dengan fundasi yang sangat kuat dan bermartabat. Dengan demikian mateleng adalah suatu tindakan rasional, terstruktur dan dapat dipelajari.

Keluarga-keluarga yang berhasil membangun karakter mateleng dalam kehidupannya telah berhasil juga menciptakan sumberdaya manusia dengan kualitas perilaku yang cukup mapan pada usia dini, sejak anak-anak, remaja dan menjadi seorang pemuda yang cukup matang. Oleh sebab itu banyak pemuda-pemudi Siau yang merantau dan sukses membangun kehidupan pribadi mereka di perantauan. Kesuksesan itu sejalan dengan watak mateleng. Tetapi ada pula yang gagal mengelola watak kematelengannya dan terjebak pada stereotype pihak luar yang keliru memaknai kepatuhan di atas kesadaran rasional (mateleng) dengan kepatuhan yang didasarkan pada kesadaran semu atau irasional (bukan mateleng). Delusi yang dibentuk dari lingkungan luar biasanya lingkungan dimana mereka mengabdikan diri (bekerja) tersebut adalah berupa anggapan bahwa orang Siau  dengan sifat rajin, penurut, jujur dan mudah diatur menunjukkan sifat dasar yang dimiliki oleh pekerja sehingga “panggilan kesayangan” selaku “ungke” sebagai laki-laki sejati dimaknai sebagai ungke dalam konteks bias pada status sosial selaku buruh (kelas proletar). 

Dunia luar selalu menjadi ajang untuk menguji seberapa kuat derajat kepatuhan, kerajinan, kemandirian dan kepekaan sosial Taumata Siau. Bagi pemuda yang sukses bertahan dari tekanan dunia luar, maka ia akan hidup dan terus eksis sebagai pengubah lingkungannya. Tetapi bagi mereka yang belum sukses, disarankan untuk kembali ke kampung halamannya. Itulah sebabnya dimana-mana terdapat komunitas orang Siau yang kemudian melihat dan merasakan langsung kegetiran atas kegagalan saudaranya, maka selalu dinasehati untuk kembali ke kampung halaman untuk menyelenggarakan tradisi leluhurnya “mundeno kabalre”.


Tradisi “mundeno kabalre” ini adalah tradisi permandian yang dilakukan dengan menggunakan air sebagai simbol dari terserapnya nilai “mateleng” kedalam raga dan jiwa taumata Siau. Makna mateleng dalam penyelenggaraan upacara “mundeno kabalre” menandakan bahwa tingkat kepekaan sudah berada pada level tertinggi sehingga perlu dimateraikan atau dikukuhkan. Air dipercaya memiliki kekuatan magis yang dapat menyatukan alam roh dan alam nyata, dan air hanya dapat diserap oleh tanah. Pengukuhan yang transenden sifatnya itu dituntut harus dapat menimbulkan konsekuensi yang nyata atau terjangkau oleh pancaindera seperti misalnya tubuh menjadi kebal dari parang, bedil atau benda-benda tajam yang digunakan pihak lain dengan maksud menjahati pribadi orang Siau. Bilamana seorang pemuda telah dimandikan menurut tradisi ini, dia akan diuji, lengan akan dipotong dengan parang yang sangat tajam, punggung akan ditebas dengan kapak yang sangat tajam, kemudian dijatuhkan pada lereng-lereng berbatu terjal. Jika melalui ketiga tahapan pengujian ini seseorang tidak mendapatkan luka, maka berarti dia lulus ujian kabalre dan diperbolehkan untuk merantau (lagi).

Barangkali itulah salah satu alasan, mengapa orang Siau lebih suka bekerja sebagai pelaut atau mengelola laut daripada bekerja di darat. Tetapi darat menjadi tumpuan bagi kehidupan dasar. Darat (tanah) adalah tempat berpijak sekaligus kunci awal dan akhir dari kehidupan. Semoga mereka (orang laut) tidak sedang menghindar menyentuh atau disentuh tanah. Tanah bagi beberapa orang laut (perantau) menjadi sesuatu yang dihindari dalam petualangan selama masa hidupnya, tetapi menjadi teman abadi di akhir hidupnya. Mateleng diibaratkan seperti orang yang mampu berdiri sendiri pada landasan hidup dengan kedua kakinya sambil memegang sejumlah kewajiban berat di tangannya yaitu kewajiban memanusiakan manusia. Manusia mateleng adalah manusia otonom pada level 1 tingkat kemanusiaan Taumata Siau. Reward bagi pejuang di kancah mateleng adalah perunggu.


2. Matelang
Matelang dalam bahasa Taumata Siau berarti telah mencapai tingkat keseimbangan tertentu sebagai manusia Siau yang memiliki kemampuan mengharmonisasikan keragamanan yang rumit, menyelaraskan yang bengkok dengan yang lurus, memadu-seimbangkan manfaat dari nilai-nilai positif dan nilai-nilai negatif. Sikap Taumata Siau selalu rasional. Rasionalitas itu terbentuk sejak proses pembentukan kepribadian mateleng. Makna matelang tidak bergantung pada umur seseorang. Bisa saja seseorang tidak pernah disebut matelang sampai akhir hayatnya di usia yang dewasa dalam standar nominal. Makna matelang berkaitan erat dengan makna mateleng. Mateleng merupakan pribadi dengan banyak pengetahuan dan pengalamannya harus menjalani ujian pada tahapan berikutnya, yaitu ujian untuk keseimbangan.

Budaya laut yang demikian kuat terbangun dalam kehidupan bermasyarakat semakin membuat struktur sosial terdeferensiasikan pada dua ranah, yaitu ranah orang darat (tanah) dan ranah orang laut (air). Muncul kemudian corak inklusif pada penggunaan bahasa yaitu adanya bahasa laut yang disebut sasahara dan bahasa darat yang disebut sasalili. Orang darat yang orientasinya ke tanah mengembangkan sasalili, sedangkan orang laut yang orientasinya ke air menggunakan sasahara dalam mengembangkan karakteristik dirinya.

Pada tataran tertentu banyak hal disebut dengan berbeda makna, tetapi satu tujuan yang sama.. Bagi orang darat (orang kebanyakan) makna perahu adalah media yang digunakan untuk melaut. Tetapi bagi orang laut perahu adalah “rumah” mereka. Oleh sebab itu, kata perahu disebut oleh orang darat dengan sangat entengnya sebagai sakaeng (sasalili), sedangkan orang laut tidak menyebut, melainkan mengungkapkannya dengan makna yang sangat mendalam (menyentuh) sebagai malring batangeng u watangeng (sasahara) yang berarti ”ini rumahku di lautan”.

Kita akan menemukan demikian banyak kata, pepatah, syair dan karya sastra yang dilahirkan dalam dua corak identitas orang Siau dalam struktur masyarakatnya itu. Beberapa diantaranya sebagai berikut:
  1. Untuk menunjukkan objek yang bukan manusia seperti: nama-nama ikan, antara lain: belau (sasahara), kemboleng (sasalili) artinya ikan hiu; tolre peti (sasahara), pani (sasalili) artinya ikan tuna; tendalung (sasalili), boto pusige (sasahara) artinya ikan layar; mansohokang (sasahara), senempa (sasalili) artinya cumi-cumi; mahenang (sasahara).
  2. Untuk menunjukkan objek orang (manusia) seperti: laming (sasahara); ungke (sasalili) artinya laki-laki; sangiang (sasahara); uto (sasalili) artinya perempuan.
  3. Untuk menunjukkan aktivitas, antara lain: pato-pato (sasahara), leto-leto (sasalili) artinya terapung; medaraung (sasahara), mesenggo (sasalili) artinya berlayar; mamuna (sasahara), mapule (sasalili) artinya pulang; mengeto (sasahara), medepuhang (sasalili) artinya memasak; nietoe (sasahara), nikaalra(sasalili) artinya hasil ikan yang didapat.
Laut (air) dan tanah menjadi simbol yang sangat sakral dalam kehidupan manusia Siau. Laut sebagai simbol kehidupan dan kekuatan, sedangkan tanah adalah simbol kelahiran dan kematian. Api merupakan simbol pengetahuan sedangkan angin adalah simbol kehendak. Gunung adalah simbol perlindungan dan keteguhan sedangkan logam adalah simbol kemuliaan. Demikianlah orang Siau memaknai fenomena dan benda-benda alam dalam irama kehidupan mereka.

Tanah yang pada umumnya berwarna cokelat atau abu-abu, secara verbal dimaknai sebagai keadaan bolra yang berarti kotor atau kusut. Orang Siau yang orientasi hidupnya ke laut membentuk dirinya sebagai orang yang berperilaku bersih, menghindari tanah sebagai simbol “kekotoran”. Semakin kelaut, semakin bersih, dan lawannya adalah semakin ke darat atau semakin ke gunung, maka semakin kotor. Niscaya, pergaulan hidup orang laut dengan orang darat menjadi renggang, solidaritas sosial melemah dan akhirnya bangunan perilaku Mateleng yang sudah dipatrikan sejak masa kecil menjadi goyah. Semakin luas pergaulan orang laut (perantau), semakin banyak mereka menyentuh, menerima, menampung budaya-budaya asing dan beradaptasi dengan budaya asing itu sehingga sedikit banyak terpengaruh dengan nilai-nilai baru atau minimal melahirkan corak yang lebih terkini. Perantau dengan tingkat mateleng yang lemah akan menghasilkan perilaku yang jauh menyimpang dari nilai kematelengan dan tidak mungkin dapat menjadi pribadi yang matelang.  

Ketika mereka kembali ke darat (kampung halaman) dan berasimilasi dengan lingkungan asalnya, maka akan segera nampak perbedaan yang menyolok, bahwa orang yang baru kembali memiliki tingkat kemajuan budaya yang lebih baik daripada yang tinggal di kampungnya. Para pelaut biasanya akan membawa banyak perubahan dari aspek penampilan atau cara berpakaian. Misalnya menggunakan setelan celana blue jeans dan arloji rolex dianggap sebagai suatu kemajuan yang diraih melalui serangkaian prestasi sekaligus prestise orang laut sedangkan pakaian dari setelan kofo dan gelang dari kamasilrang (akar bahar) dianggap sebagai bolra atau kotor atau udik. Sebaliknya orang darat atau orang yang mendiami kampung halamannya atau mereka yang tidak memilih berlayar beranggapan bahwa para pelaut telah terkontaminasi dengan nilai-nilai budaya asing dan dianggap sebagai “becek” atau lota yaitu tanah yang basah akibat kena air yang jauh lebih kotor dari tanah (kotor) itu sendiri.

Tradisi belayar (melaut) terbentuk sebagai komponen baru dalam struktur sosial masyarakat sekaligus menjadi media baru untuk pijakan kehidupan dari sebagian taumata Siau. Sebagian lainnya masih eksis melanjutkan kehidupannya pada pijakan lama yaitu mengelola tanah. Orang yang berhasil membentuk karakter mateleng menjadi matelang adalah seorang yang mampu menyeimbangkan atau mendamaikan seteru paham berbeda itu. Meskipun dirinya adalah bagian dari salah satu paham, tetapi cara berpikirnya dan cara bertindaknya dapat diterima oleh kedua belah pihak secara seimbang. Pada tingkat ini, struktur masyarakat mengajarkan kepada setiap individu bahwa damai adalah tujuan dari hidup bersama.

Jika mateleng diibaratkan seperti orang yang mampu berdiri sendiri pada landasan hidup dengan kedua kakinya sambil memegang sejumlah kewajiban berat di tangannya yaitu kewajiban memanusiakan manusia dalam kepekaan, maka matelang ibarat orang yang telah berdiri dengan sebelah kakinya tetapi terus memegang sejumlah kewajiban di tangannya yaitu kewajiban memanusiakan manusia dalam keseimbangan. Manusia matelang adalah manusia otonom pada level 2 tingkat kemanusiaan Taumata Siau. Reward bagi pejuang di kancah matelang adalah perak.

3. Mateling
Kepribadian taumata (manusia) setelah melewati bentuk watak mateleng dan watak matelang pada akhirnya mencapai bentuk yang sempurna yaitu watak mateling. Sifat diam (mengendalikan lidah), rajin bekerja dan setia mendengar merupakan komponen-komponen perilaku yang membentuk kepekaan pada watak mateleng, entah itu kepekaan pribadi maupun kepekaan lingkungan (alam dan sosial). Dengan demikian taumata disebut memiliki watak mateleng apabila di dalam dirinya terdapat sifat diam, rajin dan setia. Sedangkan corak watak matelang dimulai dari sifat setia yang telah mengakar pada watak mateleng, kemudian diasah melalui ujian (seleksi) alami di ajang yang lebih luas (laut-perantau) sebagai ruang terbuka untuk menguji kadar kedewasaan taumata. Mereka yang lulus ujian adalah mereka yang mendapatkan keseimbangan dari pelbagai fenomena paradoks yang mempengaruhi perilaku.

Kejadian keseimbangan pada tingkat matelang terjadi ketika momentum fenomena paradoks (positif dan negatif, putih dan hitam, siang dan malam, kronis dan akut saling) saling bertautan pada besaran muatan yang sama untuk kurun waktu tertentu dan berlangsung pada ruang tertentu. Mateleng merupakan integrasi dari sifat diam, rajin dan patuh. Dengan kata lain: sifat patuh adalah hasil penjumlahan dari sifat diam dan rajin (tekun) yang dapat diformulasikan sebagai berikut: Setia = Tekun + Diam. Jadi, pada tingkat pertama, kunci dari kesetiaan adalah diam dalam ketekunan. Pada tingkat kedua, matelang merupakan integrasi dari sifat setia, kuat (matang) dan seimbang (stabil), sehingga formulasinya adalah: Stabil = Kuat + Rajin (makna kerja) atau Matang + Tekun (makna sifat). Taumata dalam tindakan akan nampak dari kualitas fisik yakni perpaduan antara kekuatan dan kerajinan, sedangkan taumata dalam psikhis akan nampak dari kombinasi kematangan dan ketekunan. Bagi taumata Sangihe (Siau pada khususnya), karakteristik dasar taumata menjadi kuat apabila landasannya dibentuk dari watak mateleng dan matelang.

Bagaimanapun kuatnya, keseimbangan pada tingkat matelang belumlah paripurna. Taumata matelang meyakini bahwa kesempurnaan itu ada, berada pada ketiadaan. Jalan masuk kesana adalah kesenyapan. Tingkat kemanusiaan taumata akan naik lagi pada tataran berikutnya yang disebut sebagai mateling.  Itulah sebabnya ada tradisi mengamalre (bertapa) dalam kehidupan taumata tradisional, yang umumnya dilakukan di dalam liang-liang yang sulit dijangkau oleh orang awam. Dengan bertapa taumata lebih memperkokoh stabilitas antara mateleng dan mateling dalam dirinya. Dengan bertapa taumata memperoleh pencerahan. Taumata mateling pada akhirnya sanggup menata kualitas kematelingannya berdasarkan pada kualitas kematelengan dan kualitas kematelangannya.

Mateling merupakan kata kerja pasif sekaligus kata sifat yang mengandung tiga komposisi makna integral, yaitu: seimbang, berhikmat dan diam (pasif). Dalam kondisi mateling ini, kerja sebagai aspek fisikal (aktif) dalam pengertian harafiah melemah seiring usia taumata (waktu), tetapi watak mateleng dan matelang makin menguat. Penguatan terjadi pada saat taumata dalam kondisi keseimbangan (matelang) melakukan kerja pasif. Kerja pasif itu adalah diam. Mateling dengan demikian berada di posisi puncak yang terhubung ke mateleng dan matelang. Mateling adalah pengendali mateleng dan matelang.

Pada konstruksi bangunan sosial yang lebih kompleks atau yang sederhananya disebut sebagai masyarakat, maka mateling adalah sasasa; yakni sebuah regulasi yang mengatur tentang cara-cara sasalili (mateleng) dan sasahara (matelang) agar senantiasa berada dalam keadaan malunsemahe. Taumata Mateling adalah taumata yang dibentuk karakternya dari kemanunggalan mateleng dan matelang. Taumata mateling sangat mahir berperan di tiga ranah ilmu pengetahuan yang mencakup epistemilogi, ontologi dan praksis. Kepadanyalah semua orang berpaut, baik mereka yang mateleng maupun mereka yang matelang.

Dengan pemahaman kental tentang makna mateling seperti yang saya uraikan ini, barangkali itulah yang menyebabkan orang Siau (Sangihe) sangat menghormati leluhur mereka. Orang tua sampai akhir hayatnya tidak akan pernah dipantijompokan, melainkan diurus sedemikian rupa oleh generasi-generasinya, bahkan kubur leluhurnya enggan jauh dari rumah dimana mereka tinggali.Jika anda berkunjung ke Siau, hampir di setiap sudut atau di samping rumah mereka anda akan menemukan kuburan. Maaf, itu kubur (mateling) bukan kerkoft (budaya asing).  Anda dituntut hormat bukan takut.