Selasa, 08 November 2011

TRADISI MENGONGKO: Elegi Pagi di Rerimbun Pala

 
Oleh: Iverdixon Tinungki

Angin darat menyusup turun dari gunung di belakang kampung Bumbiha, di mana ribuan pohon pala tumbuh dengan subur. Angin itu terus menyaput ke depan hingga menggapai pulau Makalehi. Pulau denga...n kampung nelayan yang kini paling dinamis menggarap sector kelautan di kawasan Sitaro. Miliaran rupiah pertahun mampu di raih nelayan Makalehi.

Tapi di Bumbiha ceritanya lain. Masyarakat di sini tak mengantung hidup pada laut. Seperti juga penduduk kampung lain di pulau Siau, mereka justru meraihnya dari limpahan hasil perkebunan pala.
Panen Pala Siau setiap tahunnya mampu meraup Rp 110, 5 miliar. Bagi para pemilik kebun pala tentu campaian produksi ini petanda kelimpahan berkat. Lalu bagaimana nasib ribuan penduduk yang tak memiliki kebun atau para pendatang yang juga mengantung hidup di bawah pohon pala yang jumlahnya lebih dari separoh penduduk pulau ini? Ini sebabnya, Siau, pulau ringgit itu punya sejarah tersendiri atas tradisi Mangongko. Kerajaan masa lampau menetapkan cara-cara mencari hidup kepada mereka yang tidak memiliki kebun pala dengan jalan Mangongko. 

Mangongko adalah cara mencari hidup bagi mereka yang tidak punya kebun pala atau kepada mereka yang mau menambah penghasilan dengan jalan memungut buah-buah pala yang jatuh karena sudah tua (Lenge) di lahan para pemilik kebun. Para pemilik kebun diwajibkan membiarkan siapa saja datang melakukan kegiatan Mangongko di lahan mereka. Asalkan, tidak mengambil atau memetik buah yang masih ada di pohon. Filosofi Mangongko yakni hidup atas pengasihan alam. Bagi masyarakat tradisi, dimana buah pala yang jatuh karena factor alam adalah milik alam. Untuk itu, alam berhak memberikannya kepada siapa saja yang dikasihinya. 

Buah pala biasanya jatuh pada malam hari saat diterpa angin laut. Atau pada waktu pagi saat angin darat berhembus. Tapi bagi para pelaku Mangongko, mereka lebih berharap datangnya angin kencang atau hujan, karena dengan begitu jumlah buah pala masak yang jatuh akan lebih banyak.
Di Bumbiha hingga menyeberang ke beberapa kampung di sekelilingnya, pagi itu aku ikut Mengongko dengan beberapa pemuda. Aku ingin melihat dan mendengar keluh-kesah mereka, atau menangkap denyar tawa mereka ketika mendapatkan hasil yang banyak. Uap dingin dari tanah yang lembab menyerbu tubuhku hingga gigi-gigiku gemeretak. Belum lagi sapuan embun yang menempel di rerumputan membuat pakaianku ikut melembab. 

Di bawah rerimbunan pohon pala terdengar dengungan-dengungan lagu yang samar. Di sana beberapa orang kelihatan sedang melakukan aktivitas yang sama sambil menyanyikan lagu yang kedengaran lirih. Mungkin lagu rohani dengan harapan Tuhan mendekat dan memberikan rahmat padanya. Dengan mata yang tajam setiap orang meneliti semak dan tumpukan daun pala untuk mendapatkan buah pala yang jatuh. Setiap pe Mangongko terus bergerak dari pohon yang satu ke pohon yang lain hingga tak terasa mereka telah menempuh perjalanan beberapa kilo meter. Pada pukul 11.00 kegiatan ini berakhir, dan semuanya kembali ke rumah untuk makan. Kegiatan itu baru dilanjutkan pukul 14.00 hingga pukul 17.00. Saat senja mendekati malam mereka akan mengumpulkan hasil Mangongko-nya untuk di bawah ke warung-warung terdekat untuk di jual dan mendapatkan hasil. Pada malam harinya dengan segelas kopi, elegi pagi itu telah berubah jadi dendang riang.

Tradisi memungut pala di lahan orang ini pada setiap kampung sebutannya berbeda, di kampung Bahu, Siau Timur hingga Buao, Sumpele, Kalai disebut Bajuru. Ada juga yang menyebut Lagowe, sedangkan orang yang melakukan aktivitas memetik buah pala di pohon disebut Mangowe. Tapi di Siau Timur, kata Mangowe juga bermakna sama dengan Mangongko.

Selain Mangongko, ada juga tradisi Meleli atau mencari sisa-sisa buah pala yang tak dipungut pemiliknya saat mereka selesai panen. Biasanya hasil Meleli lebih banyak dibanding hasil Mangongko. Apalagi jika panen itu berada di kebun yang struktur tanahnya miring atau curam. Sebab, para pemilik kebun tak lagi mau mengambil buah yang jatuh di tempat terlalu jauh atau dalam.

Di Bumbiha hingga siang hari, aku sempat bercerita dengan para pe Ngongko saat bertemu di lahan-lahan perkebunan pala. Mereka adalah penduduk setempat dan juga para pendatang dari Pulau Lembe, Bitung dan dari Sungsilo, Likupang. Menurut mereka, tradisi Mangongko merupakan lahan pekerjaan alternative yang cukup memberikan biaya hidup keluarga mereka sehari-hari. Bahkan jika melakukannya secara serius bisa mendapatkan kelebihan untuk membangun rumah atau mensekolahkan anak.

“Pendapatan saya dari Mangongko per hari bisa mencapai 400-sampai 500 biji pala. Bila dijual bisa menghasilkan 75 ribuh rupiah,” papar seorang pe Nongko. Diakuinya, pendapatan tersebut sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Kegiatan tersebut katanya, dilakukan bersama istri dan dua orang anaknya. “Jadi jika penghasilan kami dikumpulkan bisa di atas 100 ribu rupiah sampai 200 ribu rupiah per hari,” jelasnya. 

Sedangkan salah seorang pe Ngongko di kampung yang lain juga mengakui pendapatan mereka sekeluarga bisa satu sampai tiga juta rupiah perbulannya. Dijelaskannya, saat ini harga Pala A mentah Rp. 15.000 per 100 biji. Sedangkan para Kowe kering (Pala B) Rp. 26.000 per kilogram. Sedangkan pala A kering Rp 34.000 per kg, dan Fuli Rp. 53.000 per kg.

Di Bumbiha hari itu, saat malam benar-benar menelungkup, dan lampu-lampu botol minyak tanah mengelip dari rumah-rumah para pe Ngongko di lembah-lembah gunung Karangetang yang menjulang agung, aku menjadi yakin dimana Mangongko tidak sekadar tradisi, tapi kehidupan itu sendiri.***

Senin, 07 November 2011

Menanti Kebijakan Peningkatan Posisi Tawar Komoditi Pala

Oleh: Iverdixon Tinungki


Kawasan Kabupaten Sangihe, Sitaro dan Talaud mempunyai beberapa komoditas unggulan  antara lain  komoditas pala dengan kualitas yang memiliki daya saing di pasaran dunia. Setiap Tahunnya komoditas ini menghasilkan 102,10 miliar rupiah. Sejumlah kebijakan telah dilakukan pemerintah daerah dalam menopang peningkatan produksi. Tapi penetapan harga dasar dan harga maksimum masih merupakan kendala. 

Komoditas pala yang menjadi sumber pendapatan sebagaian besar masyarakat di daerah ini merupakan sumber bahan baku untuk berbagai produk industri baik dalam negeri maupun luar negeri. Dengan demikian, peningkatan produksi dan mutu pala serta  fuli serta kebijakan pemerintah untuk meningkatkan posisi tawar komoditi pala harus terus diupayakan  sehingga memiliki dampak pada peningkatan harga produksi  dan kesejahteraan masyarakat.
Sehubungan dengan permintaan Direktorat Pengawasan dan pengadilan Mutu Barang Departemen Perdagangan, Pemerintah Daerah  Kabupaten Sangihe telah memberikan informasi tentang komoditas Pala dan Fuli dengan permasalahannya kepada para peserta pertemuan Teknis yang di prakarsi oleh Departemen Perdagangan Republik Indonesia beberapa waktu lalu.

Hal itu dimaksudkan agar ada tanggapan dari pada pengambil keputusan dan pembuat kebijakan terhadap Peningkatan Produktivitas Tanaman Pala, Peningkaatan Mutu Pala serta terjadinya peningkatan pendapatan petani, melalui penetapan harga dasar dan harga maksimum.

Kemampuan Produksi  
Menurut pendapat para ahli, kemampuan produksi tanaman pala yang baik, bila menghasilkan 1.500 – 2.000 buah per pohon setahun. Untuk mengukur kemampuan produksi tanaman pala di Kabupaten Sangihe, dengan sengaja di pakai ukuran dari pendapat para ahli tersebut di atas. Sebab ada banyak  hal yang berkaitan dengan kemampuan produksi tanaman pala antara lain  luas lahan tanaman pala, jumlah pohon pala yang menghasilkan serta tingkat hasil produksi pala.

Untuk kepentingan mengukur kemampuan produksi ini,maka dipakai data yang dikeluarkan oleh BPS Kabupaten Sangihe tahun 2004, dengan fokus pada luas lahan tanaman pala, jumlah pohon pala yang menghasilkan serta produksi pala.

Pada tahun 2003 misalnya, luas lahan kebun pala  5.237 Ha dengan jumlah pohon pala menghasilkan buah sebanyak 679.255 pohon, memproduksi 4.787 ton pala dan 356 ton fuli.

Pola yang di pakai untuk mengukur kemampuan produksi  perhektar tanaman pala  adalah membandingkan luas lahan tanaman dengan hasil produksi yang di capai setiap tahun, sedangkan menghitung kemampuan produksi  pohon pala, dihitung dengan cara hasil produksi  per tahun di kalikan dengan 130 buah pala kering dan di bagi dengan jumlah pohon pala yang menghasilkan dalam setahun.

Mutu Pala dan Fuli
Beberapa ahli  berpendapat bahwa mutu produksi Pala dan Fuli  dari Kabupaten Kepulauan Sangihe masih memiliki  mutu terbaik dunia. Menyangkut mutu biji Pala mempunyai kaitan dengan faktor antara lain  jarak tanam, pemeliharaan, cara pemetikan di samping tingkat kandungan minyak pala.
Sedangkan mutu fuli  pala / Bunga Pala  sangat tergantung pada mutu dari buah itu sendiri. Memang standar  pengukuran mutu pala dan fuli yang baku belum di temui, tapi sebagai bahan perbandingan,  dilakukan suatu standar pengukuran mutu pala dan fuli yang berlaku di Kabupaten Kepulauan Sangihe selama ini .
Standar pengukuran yang dimaksud yaitu, 120 – 130  buah pala adalah 1 kg, dan menghasilkan  0,10 kilogram fuli, ini berarti menggambarkan mutu pala maupun fuli  yang lebih baik.

Pentingnya  Sebuah  Kebijakan
Mengacu  pada data di atas, maka  tingkat kemampuan produksi tanaman pala di 3 Kabupaten kawasan perbatasan Indonesia-Filipina itu masih tergolang rendah  bila bandingkan dengan data dari daerah dan negara lain.

Berdasarkan data yang diperoleh dari beberapa literatur  bahwa tingkat  kemampuan  produksi  tanaman pala yang baik bila menghasilkan antara 1.500 sampai 2.000 buah pala per tahun.

Berbagai upaya dan kebijakan yang telah di lakukan oleh pemerintah Daerah melalui Dinas yang terkait  seperti antara lain penyediaan dan pengadaan bibit untuk kebutuhan rehabilitasi tanaman pala, sosialisasi dan penyuluhan  kepada masyarakat petani tentang pengendalian hama dan penyakit tanaman pala serta pemupukan, tapi kenyataanya menunjukkan belum efektifnya kebijakan tersebut.

Dari data yang ada menunjukkan bahwa kemampuan produksi  tanaman pala di daerah Kabupaten  Sangihe, Sitaro dan Talaud   adalah  808 buah perpohonan pada tahun 2002, kemudian menjadi  916  buah pada tahun 2003, atau bila di prosentasikan dari 53% tahun 2002 menjadi  61 %  tahun 2003  ( pohon yang baik menghasilkan  1.500 buah ). Fenomena ini cukup menarik dan membutuhkan upaya yang serius untuk diatasi  bersama oleh setiap stakeholder yang berkepentingan dengan komoditas pala dan fuli yang selama ini masih merupakan produk andalan  daerah.

Disisi lain, kenyataanya menunjukan bahwa daerah 3 di  kabupaten kepulauan  itu  masih mampu memepertahankan posisi ketersediaan Stok nasional dan Kebutuhan pasar dunia sebesar 60% sebagaimana di beritakan oleh beberapa sumber media  cetak selama ini.

Adapun posisi tersebut dapat dibuktikan dengan adanya Volume dan Nilai Perdagangan produk Komoditas Pala dan Fuli selama tahun 2002 dan tahun 2003, dengan patokan harga rata-rata per  kilogram sekitar Rp 22.980 per kg pala dan Rp 46 per kg fuli. Tapi harga ini terus berfluktuasi.

Pada tahun 2002, volume perdagangan sejumlah 3.379 ton dengan nilai sebesar  Rp  77.694.420.000  dan Fuli  sejumlah 321 ton dengan nilai sebesar  Rp. 14.865.510.000. Sedangkan tahun  2003, volume perdagangan  sejumlah 4.787 ton dengan nilai Rp. 88.368.020.000,- dan Fuli sejumlah 356 ton dengan nilai sebesar Rp 14.240.000.000.

Kondisi ini pun terjadi ketika Strutur Permintaan Komoditi Pala dan Fuli berada pada posisi  tawar yang lemah. Artinya pasar yang karena suatu sebab berorientasi kepada pembeli  sehingga penjual harus mencari  calon pembeli ( Buyer’s Market ), dimana dampaknya pun sangat di rasakan oleh petani di daerah ini menjual produk pala dan fuli dengan harga yang rendah dan berfluktuasi hampir setiap saat.  Sebagai contoh kasus tahun 2005, fluktuasi harga dari bulan Agustus ke September untuk pala Rp. 22.000. per kg naik menjadi Rp. 23.000. Sedang fuli dari Rp. 52.000 per kg menjadi Rp. 53.000. Pada bulan Oktober merosot lagi menjadi Rp. 22.000. untuk pala, sedangkan Fuli merosot menjadi Rp. 51.000 per kg.

Untuk itu, betapa pentingnya kebijakan Pemerintah Daerah, Propinsi dan Pusat untuk melakukan berbagai kebijakan melalui penetapan program secara terpadu dan proporsional. Berbagai kebijakan yang di harapkan antara lain  melakukan penelitian Daya Saing Produk, meningkatkan posisi Tawar Komoditi; penetapan Harga Dasar  dan Harga Maksimum, Difersifikasi Produk serta memberikan kesempatan melakukan kegiatan Ekspor bagi pedagang Antara Pulau di daerah ini.

Diharapkan dari berbagai kebijakan tersebut akan mampu memberikan dampak terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat petani, daya saing daerah, menunjang ketersediaan Stok nasional, mengatasi fluktuasi harga, memperluas kesempatan kerja dan meningkatkan efisiensi perdagangan serta menunjang pengembangan daerah perbatasan diera otonomi sekarang.   

Dengan memperhatikan uraian-uraian sebelumnya, maka berikut ini dapat di kemukakan beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari semua stakeholders yaitu:
  1. Perlunya kebijakan untuk meningkatan kemampuan produksi tanaman pala yang masih rendah  guna menunjang ketersediaan  Stok Nasional  memenuhi kebutuhan pasar dan meningkatan kesejahteraan masyarakat petani.
  2. Perlunya kebijakan untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pala dan fuli guna meningkatkan daya saing daerah.
  3. Perlunya kebijakan untuk meningkatkan posisi Tawar Komoditi Pala dan Fuli yang masih lemah  di pasaran  selama ini sehingga  berpengaruh pada tingkat harga dan kesejahteraan masyarakat petani.
  4. Perlunya kebijakan penetapan Harga Dasar dan Harga Maksimum atas Komoditi pala dan fuli guna mengatasi fluktuasi harga yang tidak menguntungkan bagi masyarakat petani.
  5. Perlunya kebijakan untuk difersifikasi Komoditi dan Fuli Pala guna meningkatkan Daya Saing Daerah disamping Perluasan  kesempatan Kerja.
  6. Perlunya kebijakan untuk memberikan kesempatan bagi Pedagang Antar Pulau (PAP) di daerah ini  melakukan Ekspor Pala dan Fuli guna meningkatkan efisiensi perdagangan. ***

Sabtu, 05 November 2011

MEMBACA POLA EQIULIBRIUM "SEGI TIGA EMAS" EKONOMI DUNIA


Saya memahami Uni Eropa terlahir sebagai wadah keuangan negara-negara besar di kawasan Eropa yang bercorak budaya komunal modern. Relatif sama dengan negara-negara di kawasan Asia yang juga berciri komunal, namun agak konvensional. Menurut saya, organisasi besar ini dibangun untuk tujuan mengatasi kemungkinan krisis keuangan global yang akan menghantam negara-negara anggotanya. Ketika Amerika yang ekonominya bercorak liberal berada di ambang krisis keuangan, muncul kemudian negara-negara bercultrul komunal konvensional semacam China dan India menjadi kekuatan baru ekonomi dunia yang setara dengan dua kekuatan adidaya (Amerika - Eropa). Perekonomian dunia seolah-olah terkonstruksi secara makro pada tiga komponen struktural; yakni komponen liberal-individual, komponen komunal-modern dan komponen komunal-konvensial, yang selanjutnya dalam kajian pendek ini saya sebut sebagai: Segi Tiga Emas. Dalam percaturan politik ekonomi dunia, posisi Amerika selalu berada di puncak dari dua kekuatan lainnya. Sedangkan IMF merupakan unsur lain yang tempatnya mungkin berada di dalam struktur dan mungkin juga tidak (berada di luar struktur Segi Tiga Emas).  

Kali ini dikabarkan melalui Vivanews dalam tautan beralamat: http://us.dunia.vivanews.com/news/read/2; bahwa G20 di Chanes Perancis, tengah menyiapkan komitmen untuk mencegah wabah krisis utang. IMF diharapkan berperan penting untuk menambah alokasi utang ke negara-negara pemanfaat sekaligus membenahi mekanisme (baca: regulasi) dalam penyelenggaraan soal utang itu. Di forum tersebut, sengaja digemboskan isu adanya ancaman terjadi krisis sistemik global yang diduga menghantam negara-negara di Asia juga. Benar tidaknya hipotesa ini tentunya akan terbukti bilamana IMF akan mendominasi perannya dalam tata ekonomi dunia. IMF sebagai institusi yang berorientasi laba, mutlak mengutamakan keuntungan dalam berbisnis. Posisi IMF selama ini bagi saya dipandang sebagai variabel dependent yang telah mengikat tiga aras kekuatan sosio-ekonomi dunia yang saya sebut sebagai Segi Tiga Emas di atas. Oleh sebab itu, secara kualitatif peranan IMF menjadi lebih dominan daripada tiga komponen lainnya. Sebaliknya, bila IMF diposisikan diluar sistem dan berkontribusi secara interdependen, maka pengaruh IMF terhadap stabilitas ekonomi dunia bisa diketahui determinasinya dan mudah saja menyeimbangkan stabili ekonomi global, sekaligus menghilangkan stigma buruk terhadap peran IMF yang oleh banyak kalangan dinilai jelek.

Menurut saya perlu dilakukan Reposisi dan Revitalisasi terhadap peran IMF, bukan justru membuat sejumlah regulasi yang hanya menciptakan rasa tidak percaya dan mendorong bertumbuhnya rasa curiga antara negara. Saya setuju apa yang dikemukakan oleh delegasi Jepang yang diwakili Azumi untuk mendorong IMF menjadi lebih proaktif ketimbang membuat banyak regulasi. Hanya saja, proaktif yang dimaksud harus diposisikan pada keadaan tidak adanya intervensi dari negara manapun. Mekanisme yang rumit akan menimbulkan rasa percaya yang kurang seperti yang dilakukan oleh China. (Baca tautan terkait: http://us.dunia.vivanews.com/news/read/2). Tentunya masih diperlukan langkah-langkah konkrit oleh Uni Eropa dalam mengantisipasi kerawanan ekonomi negara-negara anggotanya.

Semoga gagasan ini bermanfaat untuk semua.
Malunsemahe...:)     

Kamis, 03 November 2011

BREAK THE RULES


 Oleh:  Tomy Bawulang pada 03 November 2011 jam 12:27

Break the rules! adalah tema provokatif yang saya angkat dalam presentasi saya untuk Mahasiswa yang mengambil mata kuliah "Building knowledge economy in Asia" (Vanderbilt University). Breaking the rules yang saya maksud bukanlah semacam provokasi anti-sosial atau anti hukum tetapi berupaya memberi dimensi baru dalam berfikir dan melakukan perubahan dalam suatu organisasi. Terlalu sering saya mendengar keluhan dari para pemimpin organisasi tentang begitu sulitnya melakukan perubahan dalam organisasi yang mereka pimpin. Resistansi terhadap perubahan memang merupakan salah satu penyakit kronis hampir semua organisasi baik itu profit, non-profit, maupun organisasi pemerintah (yang terakhir terkenal memiliki tingkat resistansi yang paling tinggi!). 

Dalam satu sesi leadership coaching saya ditanya: Bagaimana cara termudah untuk melakukan perubahan?
saya sempat tersenyum mendengar pertanyaan ini karena pertanyaan ini merupakan pertanyaan banyak orang. Hampir semua orang menginginkan jalan pintas dan serba instan! tidak sabaran untuk menjalani proses demi proses. Apakah Anda termasuk salah satu yang memiliki pertanyaan yang sama? Sambil bercanda saya bilang 'there is no change done overnight!". Dia bilang "yes I know, but if you can suggest, what should i do?"...Saya bilang ok, "This is the secret, Break all existing rules", alias rombak total! ya, Anda harus memiliki keberanian untuk merombak total system dan cara berfikir manusia yang anda pimpin yang sudah terlanjur merasa nyaman dengan existing rules. Ibaratnya jika anda menginginkan segelas air bening, anda tidak akan mendapatkannya jika gelas dan wadah tampungan anda masih berbekas kopi. Anda harus mencuci bersih gelas tersebut.

Melakukan  perubahan memerlukan keberanian dan kesungguhan hati. Perubahan setengah hati bukan hanya menguras tenaga dan sumberdaya tapi juga tidak akan berhasil. Pertanyaan klise yang kemudian muncul adalah bukankah tidak semua sistem yg berlaku itu jelek?. Benar! tidak semua sistem dan aturan organisasi yang berlaku jelek namun mempertahankan system yang baik tanpa melakukan perubahan sedikitpun memiliki resiko yang saya sebut 'efek nostalgia', Orang kemudian akan tetap membanding-bandingkan dan mengenang  'kenyamanan' masa lalu yang justru akan menimbulkan resistansi yang lebih besar terhadap perubahan yang anda inginkan. Solusinya adalah tetaplah lakukan perubahan terhadap sistem yang baik tersebut untuk menjadi lebih baik. Lakukan dengan cara yang berbeda. Prinsipnya, Jangan berharap hasil yang berbeda jika anda tetap melakukannya dengan cara yang sama! beranilah berinovasi dalam melakukan sesuatu!

So, jika anda menginginkan perubahan, jangan ragu break the rules!

If any of you are interested in getting leadership and emotional intelligence tip, follow me on twitter: @learnleadexcell. I'll be sharing with you!

TB,
Nashville,TN
02 November 2011

MALUNSEMAHE


Oleh: Tomy Bawulang pada 22 September 2011 jam 11:47

Malam ini saya diundang untuk mempresentasikan konsep DAMAI dari perspektif INDONESIA dalam acara Night for Peace di Centennial Park Nashville yang di sponsori oleh NPT (Nashville Public Television) dan beberapa NGO yang terlibat aktif dalam rangkaian kegiatan Ten Days For Peace dalam rangka  mengenang peristiwa 9/11. Momentum semangat kebangkitan Sangihenisme yang akhir akhir ini semakin intensive di gaungkan khususnya dalam forum Sangihe Menyala memberi saya inspirasi untuk membawakan konsep damai dlm versi Sangihe yang saya adopsi dari makna filosofisMALUNSEMAHE.

Kenapa MALUNSEMAHE?

Tidak ada catatan yang dapat saya jadikan referensi etimologis maupun semantik tentang kata 'malunsemahe' dalam bahasa Sangihe kuno. Dari pelajaran sekolah minggu yang saya ingat, kata ini memiliki makna yang melebihi makna intrinsik dari kata damai yang kita ketahui sebagai terjemahan kata Peace dalam bahasa Inggris. Bedanya adalah, damai lebih merujuk pada kondisi "dimana tidak ada perang, tidak ada permusuhan, tidak ada kerusuhan, tentram, tenang" (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008,p.312 versi pdf).

Makna ini terlalu harafiah, yang jika diterjemahkan secara bebas maka selama tidak ada permusuhan maka itulah damai. Malunsemahe, lebih menekankan pada makna pragmatis yang mengisyaratkan beberapa kondisi yang harus terpenuhi agar bisa di katakan malunsemahe. 

Pertama, dalam konteks 'subjek' harus minimal ada 'aku dan kamu' atau "ia dan ikau" yang kemudian dalam konteks yang lebih luas harus mencakup "ikami dan ikamene" ("kami dan kamu"). Syarat ini penting karena eksistensi "ia" tidak akan pernah ada tanpa "ikau" . Dengan kata lain 'aku dan kamu' adalah interdependant, saling ketergantungan. Untuk bisa eksis diperlukan co-exist agent. Singkatnya, jika kamu tidak ada maka aku pun tidak akan ada dan vice versa. 

Kedua, Malunsemahe mengisyaratkan 'persatuan dan keutuhan' (unity and completeness). Sebagaimana kamu membuatku ada/exist dan vice versa maka kita harus bersatu dan saling melengkapi untuk bisa mempertahankan existensi tersebut. "Keberadaan dan ketiadaan menjadi sesuatu yang sangat jelas dan tegas, there is nothing in between alias tidak ada ranah abu abu. Jika aku menginginkan kelanggengan maka tidak ada pilihan lain selain aku melanggengkan kamu. Sehingga ancaman bagimu adalah juga ancaman bagiku. Jika konsep ini dipahami oleh semua orang maka sangat mudah untuk menciptakan damai di muka bumi ini. Di sinilah phase yang menuntut  subjek "aku dan kamu"  "ia dan ikau", "ikami-ikamene" (kami dan kalian) harus berintegrasi menjadi satu, menjadi "kita', "ikite" . 

Ketiga berbeda dengan kata damai yang tidak terlalu mempersoalkan kondisi ''well-beingness" (selama kita tidak berperang maka itulah damai), Malunsemahe mengisyaratkan kondisi dimana bukan saja tidak bertengkar, tetapi juga bersama sama harus bisa merasakan kesejahteraan. Dengan kata lain tidak berperang tapi hidup melarat belum bisa di kategorikan Malunsemahe. Konsep 'well beingness' atau kesejahteraan harus terpenuhi agar bisa mencapai suatu kondisi 'malunsemahe'.  Menjadi penting bagi kita untuk mencatatnya bahwa kesejahteraan harus diwujudkan dalam konteks kebesamaan "ikite"  . Semua memiliki hak yang sama untuk sejahtera karena ketika hanya  "Ia dan ikami" yang merasakan kesejahteraan, maka akan terjadi pengingkaran terhadap prasarat pertama dan kedua tadi yang pada akhirnya merupakan awal malapetaka dan kehancuran existensi "ia dan ikami" itu sendiri.

Konsep filosofis kuno malunsemahe ini memiliki makna yang sama dengan konsep "Shalom" dalam bahasa Ibrani, "Shalaam" dalam bahasa Arab, "Sliem" dalam bahasa Malta, atau "Shlomo" dalam bahasa Syria.

Dengan memahami makna ini maka terlalu bodoh jika kita merasa alergi dengan ungkapan salam damai yang selama ini dianggap bukan milik kita. Umat Kristiani alergi dengan salam "Assallammualaikum", umat Muslim alergi dengan sapaan "Shalom", padahal secara substantif keduanya memilki makna yang sama yaitu damai sejahtera atau Malunsemahe

Mengapa konflik terjadi?

Penyebab konflik horisontal yang selama ini terjadi di berbagai belahan dunia termasuk di negara kita sebenarnya dapat dipahami dengan sederhana dari perspektif malunsemahe, yaitu kita terlalu bodoh untuk memahami makna 'peace' yang hakiki. Konsep malunsemahe menjelaskan secara gamblang atau meminjam istilah pak SBY "terang benderang" bahwa, Perang, permusuhan, perselisihan, kebencian terjadi karena "ia" (aku) terlalu dominan dan tidak mengakui existensi "ikau" , ego-centrism di kedepankan sebagai acuan untuk memahami damai.

Konsep inilah yang diangkat penulis dan filsuf Latin Publius Flacius Vegetius Renatus yang terkenal dengan ungkapan Si vis pacem, para bellum(Jika kamu menginginkan damai maka bersiaplah untuk berperang). Suatu konsep yang sangat bertentangan dengan filosofi Malunsemahe masyarakat Sangihe yang secara geografis sangat jauh dan terisolasi dari pusat peradaban dunia.

Sebagai orang Sangihe, malam ini saya merasa bangga dapat menyumbangkan satu konsep sederhana yang berakar dari filosofi Sangihe kepada dunia tentang dunia yang damai dan sejahtera bagi semua orang, dunia yang Malunsemahe......

Sambutlah salam damai saya untukmu dan untuk dunia , M a l u n s e m a h e..!

Tomy "Ungke" Bawulang
Putra Sangihe......

Centennial Park, Nashville Tennessee, September 21st, 2011