Rabu, 18 Agustus 2010

Dugaan Korupsi di Sangihe

Dalam urusan pengelolaan keuangan negara, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe pada tahun 2007 mendapat opini disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Berbagai masalah keuangan dari dana APBD ditemukan oleh badan negara yang secara konstitusional paling berkompeten memeriksa pemanfaatan dan pengelolaan dana negara itu. Untunglah, pada tahun 2008, predikat pemanfaatan keuangan daerah ini berubah ke opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), (lihat pernyataan BPK Perwakilan Sulawesi Utara, pada Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe untuk Tahun Anggaran 2008 Nomor: 03.1/LHP-LK/XIX.MND/I/2009 Tanggal 21 April 2009 halaman iii). Tetapi, ternyata pada dokumen lain yang tidak terpisah dari Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Perwakilan Sulawesi Utara itu, BPK membeber berbagai permasalahan pemanfaatan keuangan negara di kabupaten perbatasan Utara Indonesia ini. Dokumen itu bernama: Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Sistem Pengendalian Intern Perundang-undangan Dalam Kerangka Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe untuk Tahun Anggaran 2008 Nomor 03.3/LHP-LK/XIX.MND/I/2009 Tanggal 21 April 2009.

Dari sekian banyak temuan masalah keuangan oleh pihak BPK itu, beberapa serta merta pantas diklasifikasikan sebagai kasus keuangan ringan, yang dapat langsung diperbaiki oleh pemerintah Kabupaten Sangihe. Namun, beberapa kasus bertendensi tindak pidana yang kejadiannya bukan saja melanggar berbagai aturan pengelolaan dana daerah, tetapi potensial merugikan keuangan negara dan karenannya pantas diduga sebagai praktik korupsi yang akar pelakunya pantas dituduh berasal dari kepala.

Terduga terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak di dalam tubuh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe selang tahun 2004-2008, secara khusus yang melibatkan Bupati Sangihe, sebagai aktor utama, di belakangnya. Tentu kebenaran ihwal keterlibatan pihak-pihak secara persis tentu hanya dapat diungkap lewat penyelidikan dan penyidikan pihak berwenang.

Dokumen utama yang dijadikan pokok dari uraian ini adalah dokumen Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Sistem Pengendalian Intern Perundang-undangan Dalam Kerangka Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe untuk Tahun Anggaran 2008 Nomor 03.3/LHP-LK/XIX.MND/I/2009 Tanggal 21 April 2009. Berbagai telisikan pribadi dan hasil investigasi media yang mengangkat masalah ini memperkaya duduk soal masalah yang dikuak dalam dokumen BPK tersebut di atas. Meski, mempergunakan dokumen BPK yang dimaksud tetapi beberapa tafsiran atas temuan berbeda, terutama berkaitan dengan dugaan korupsi. Ihwal apakah terjadi tindak korupsi jelas harus dikuak lanjut oleh lembaga-lembaga negara lain, di antaranya dengan mempergunakan dan mengembangkan hasil temuan pemeriksaan BPK itu.

Senin, 16 Agustus 2010

Gunde

Gunde adalah tarian asli dari masyarakat SaTaS yang ditemukan sejak masa kedatuan zaman dulu sekitar abad ke 15. Gunde berasal dari kata "gundeng" yang berarti pelayan istana. Pekerjaan para gundeng masa itu, antara lain mencatat berbagai keperluan datu (raja) dan keluarganya di dalam ...kedatuan. Selain itu juga mencatat berbagai hal terkait dengan fungsi penyelenggaraan kekuasaan datu. Dalam menjalankan fungsi kedatuan, datu dibantu oleh "Komolang Bobatung Datu", yaitu mereka yang bertugas untuk memberikan nasehat terkait penyelenggaraan pemerintahan kepada datu sehingga pemerintahan dapat berjalan efektif sesuai dengan kebutuhan dan kehendak bala rakyat.
Demikian penting peranan para gundeng dalam menegakkan kebijakan datu sekaligus menjamin keamanan lingkungan internal kedatuan. Para gundeng tidak diposisikan sebagai budak, melainkan pelayan datu yang bertanggungjawab, mereka mendapatkan perlakuan istimewa dari bala rakyat, bahkan dikategorikan sebagai kelompok terhormat dalam struktur dan tatanan nilai kedatuan. Mereka tidak berani mengambil harta kekayaan kedatuan karena loyalitas mereka pada nilai-nilai bersama, bukan sekedar kepatuhan pada datu. Datu pun demikian, ia tidak mengumpulkan harta kekayaan untuk kepentingan memperkaya diri meskipun hal itu memungkinkan dia untuk melakukan dengan otoritas yang dimilikinya. Sebaliknya seperti yang pernah dilakukan datu Lemuel David, memerintahkan rakyat untuk menanam pala di seantero wilayah kedatuan menjadi milik rakyat.
Peranan gundeng masa lalu itu relevan dengan peranan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam era otda dewasa ini. Demikian juga kearifan dan kebijaksanaan datu waktu itu sangat relevan dengan posisi bupati dan wakilnya saat ini. Mereka bekerja mengurus segala keperluan daerah (baca: rakyat). Realitas yang terjadi dewasa ini justru mengalami distorsi peran sehingga rakyat mulai bangkit untuk melakukan perlawanan. Resistensi mulai terjadi di beberapa kelas sosial yang berpotensi terjadinya chaos dalam sistem pemerintahan baik internal (sesama PNS dalam satu instansi) maupun eksternal (inter dan antar instansi) serta mempengaruhi stabilitas tatanan kehidupan bersama di Sitaro. Pejabat membeli hak milik masyarakat dari hasil gajinya selaku pejabat negara, pejabat yang lain melakukan korupsi, pejabat yang lain lagi sibuk memindah-mindahkan staf dari satu tempat ke tempat lain tanpa alasan yang jelas, proyek-proyek batal ditenderkan, proyek-proyek yang ditenderkan tidak mempunyai output yang terukur dan hanya menghasilkan monumen-monumen yang mubazir, arah pembangunan tidak memiliki konsep strategis. Para gundeng yang direkrut saat ini justru banyak yang bukan putra daerah sehingga mereka bebas menari-nari di atas penderitaan rakyat Sitaro setelah mereka dinyatakan lulus dari tes CPNS.
Komponen pemerintahan lain yaitu DPRD, belum sedikitpun mencerminkan ciri-ciri seperti yang diperankan oleh KBD (Komolang Bobatung Datu), karena sebagian besar belum memahami peranannya dalam fungsi legislasi. Untuk maksud menemukan peranan itu mereka lebih banyak keluar daerah untuk mengikuti berbagai "pelatihan ketangkasan" agar bisa menjadi kompeten sepanjang lima tahun masa jabatan mereka dan pada lima tahun berikutnya mereka hampir pasti tidak terpilih lagi.
Oleh karena itu saudara-saudaraku, marilah kita belajar pada tatanan nilai yang pernah kita cetak sebagai sebuah bangsa yang sangat bermartabat di masa lampau. Seharusnya kita berkembang kearah progres yang lebih baik dari masa lalu. Pergerakan hendaknya dibangun di atas nilai-nilai bersama. Kita adalah bangsa yang kuat nilai persatuan dan kesatuannya. Mengapa hari ini seakan-akan kita sudah lupa pada filosofi yang pernah digagas oleh pendahulu-pendahulu kita, yaitu: Taumatang Siau Kere Kiasong Tahiti, Maning Tontongang Mang Mu Tumbiki, dimana maknanya adalah orang-orang Siau (baca: Sitaro) takan mudah jatuh meski digoncang kerasnya kehidupan. Hiduplah rakyatku. Bangkitlah dan bersatu melawan kelaliman di negeri kita.

Tantangan Perempuan Pesisir Indonesia

Negara kita memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang ke-2 setelah kanada). Wilayah perairan Indonesia adalah 75,3% dari total wilayah NKRI (9,8juta Km2). Laut Indonesia memiliki sekitar 8.500 spesies ikan, 555 jenis rumput laut dan 950 jenis terumbu karang. Kemiskinan dan keterbelakangan lekat dengan keluarga nelayan yang bergelut dengan kekayaan laut (70% nelayan Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan) 82% nelayan berpendidikan sekolah dasar kebawah sehingga tidak mampu memanfaatkan potensi laut secara optimal & pengolahan ikan menjadi terbatas (segar & kering). Sarana & prasarana tidak memadai (kapal kecil & teknologi rendah, BBM susah, fasilitas pendingin minim, lembaga pembiayaan tidak mendukung, dll).
Pembangunan membutuhkan tenaga dan fikiran perempuan dan laki-laki. Pemberian kesempatan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki sebagai pelaksana pembangunan berarti Inefisiensi. Demikian juga pemberian kesempatan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki dalam menikmati hasil pembangunan berarti melanggar HAM. Fakta menunjukan bahwa perempuan kurang dapat berpartisipasi dan menikmati akses/fasilitas: Pendidikan, Kesehatan; Pekerjaan; Upah yang sama untuk jenis pekerjaan yang sama; Akses ke kredit; Kesempatan mewakili Daerah di forum nasional/nasional di forum internasional; dsb.
Rendahnya angka HDI Indonesia (Index Pembangunan Manusia Indonesia thn 2002 urutan 112 dari 175 negara or terburuk di ASEAN) disebabkan oleh rendahya kualitas hidup perempuan Indonesia yang notabene jumlahnya lebih dari 50% Penduduk Indonesia. Mengingat besarnya jumlah perempuan Indonesia dan rendahnya kualitas hidup perempuan, maka peningkatan HDI (Human Development Index) Indonesia hanya bisa dilakukan dengan meningkatkan kualitas SDM-nya.
Perempuan yang belum melek huruf sebanyak 14,06% (di desa 19,20% sementara pria 9,63%). Perempuan yang berhasil menyelesaikan pendidikan SLTP keatas 36,9% sementara pria sebanyak 46%. Perempuan yang menikmati pendidikan tinggi 3,06% sementara pria 4,17%. (Susenas, 2000). Angka kematian ibu karena hamil, melahirkan dan nifas tinggi yaitu 307/100.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian Balita sebesar 46/1000 kelahiran hidup. Rendahnya kualitas hidup perempuan dibidang kesehatan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, perilaku masyarakat termasuk perempuan sendiri, pelayanan kesehatan dan faktor keturunan. Sementara perilaku masyarakat dipengaruhi oleh pengetahuan, pendidikan, pelatihan, akses terhadap informasi, sarana, dukungan sosial, dsb.
Banyaknya perempuan Indonesia yang bekerja sebagai TKW (pembantu rumah tangga), prostitusi dan trafficking menunjukan permasalahan perempuan dibidang ekonomi tidak terlepas dari kemiskinan. Perempuan dari keluarga miskin sulit berfikir jernih dan terbuka dalam menatap kedepan. Penerapan teknologi Pertanian dan adanya industrialisasi menyebabkan perempuan terlempar dari pekerjaan pertanian, beralih menjadi buruh pabrik atau berusaha pada skala mikro. Krisis keuangan berakibat pada banyaknya buruh di-PHK. Perempuan rentan terhadap PHK. Di perkotaan perempuan ini banyak yang bergelut di sektor informal (PKL). Permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha mikro umumnya berkaitan dengan: modal, kualitas produk dan pasar. Khusus untuk PKL, mereka juga dihadapkan oleh masalah keamanan berusaha.
Tantangan Intern (dari dalam diri perempuan) adalah 1. Sulit saving pendapatan, untuk menambah tingkat pendidikan dirinya atau anak perempuannya, 2. Merasa cukup dengan “bekal” yang dimilikinya dan enggan meningkatkan pendidikannya, sehingga menyebabkan rendahnya kreativitas, 3. Sulit meningkatkan Rasa Percaya diri, dan 4. Sulit merubah Attitude (cara berfikir, merasa dan bertingkahlaku). Sedangkan Tantangan Ekstern (dari luar diri Perempuan) antara lain: 1) Adanya pandangan bahwa pelaksana pembangunan adalah pria sementara fungsi perempuan hanya dibatasi pada “sumur, dapur dan kasur”. 2) Pandangan “miring” terhadap perempuan berstatus Janda (terlebih pada janda yang masih muda, cantik dan ramah), 3.“Women Vs Women” yaitu perempuan tidak rela bila “bos” dan/atau “bawahan” suaminya, perempuan sadar/tidak sadar hal ini akan membatasi akses perempuan pada dunia kerja sehingga perempuan sulit mendapatkan lapangan kerja, dan 4. Terbatasnya sarana/prasarana; keamanan lingkungan perempuan sulit/tidak berani keluar rumah untuk bekerja.
Jumlah perempuan lebih dari 50% jumlah penduduk Indonesia. Jika jumlah yang besar tersebut tidak dioptimalkan fungsi dan perannya, niscaya hanya akan menjadi beban pembangunan. Agar fungsi dan peran perempuan (terutama pesisir) dalam pembangunan Indonesia bisa optimal, maka kualitas SDM perempuan harus ditingkatkan. Peningkatan SDM tidak harus menunggu program pemerintah, kita semua (individu/ organisasi terlebih organisasi perempuan) berkewajiban meningkatkan SDM Perempuan Indonesia. Peningkatan pendidikan tidak harus formal, tapi juga bisa secara non formal maupun informal. Kalau perempuan dan organisasi perempuan Indonesia bersatu, bahu membahu berjuang meningkatkan SDM perempuan (yang juga berarti SDM Indonesia) tanpa diwarnai “kecurigaan” dan ketakutan antar perempuan niscaya negara kita akan segera sejahtera.
Semoga perempuan Indonesia makin berjaya.

Pemiskinan Struktural

Masyarakat petani pala di Siau sejak beratus tahun yang lalu, kurang lebih dimulai tahun 1818, raja Lemuel David telah menginstruksikan agar rakyat menanam pala di atas tanah kebunnya sendiri. Mereka kemudian memiliki kebun itu dan mewariskannya kepada anak-anak cucu hingga pada generasi ke tiga dan keempat dewasa ini. Pada tahun-tahun kemudian, Brillman pernah mencatat dalam bukunya Kabar Baik Dari Bibir Pasifik, bahwa pada tahun 1935 di Ulu sudah terdapat pedagang-pedagang Cina yang membeli hasil pertanian pala dari penduduk Siau dan dijual ke Eropa. Sepanjang sejarah, kontribusi tanaman miristica franganhouts ini sangat signifikan menopang kebutuhan masyarakat untuk bertahan hidup. Pernah sekali membuat terobosan sebagai pala terbaik dunia sekitar tahun 1980-an.
Pada masa krisis ekonomi melanda bangsa-bangsa di dunia, para petani pala Siau justru hidup dengan bergelimang uang. Ada yang dapat membangun rumah saudara-saudaranya di rantau, membeli lemari es, memasang teghel rumah, renovasi rumah menjadi bertingkat, hingga kaleng-kaleng bir berseliweran di kebun-kebun pala karena petani mengkonsumsi jerih payah mereka secara "berlebihan/konsumtif". Oleh sebab itu, para pelaku usaha dalam bidang yang lain melihat kesempatan itu sebagai peluang untuk mengembangkan usaha di Siau. Kondisi dadakan ini terjadi kurang lebih selama 2 tahun.
Datanglah kemudian para migran dari kota-kota (Manado/Gorontalo, Makasar dan Jawa) membentuk komunitas rural di dekat pasar Ulu dan pasar Ondong. Komunitas rural ini bertahan hidup lebih baik dari penduduk lokal. Ketika krisis ekonomi relatif membaik, maka terjadi situasi normal dan masyarakat yang tak sempat mengelola penghasilannya dengan maksimal kembali menjadi miskin, ada yang telah mengadaikan atau menyewakan kebunnya kepada pembeli (orang cina) untuk menebus hutang mereka bahkan ada yang menjual hak kepemilikan atas tanah dan kebun mereka kepada orang cina, makasar dan para pendatang lainnya. Akhirnya tidak sedikit orang-orang asing yang tadinya tidak memiliki lahan atau kebun pala, sekarang sudah memilikinya. Tuan tanah menjadi tamu di negerinya sendiri. Inilah yang dinamakan sebagai kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh mobilitas sosial vertikal yang terstruktur.
Pada situasi seperti ini, pemerintah seharusnya bersikap proaktif dalam mengantisipasi berkembangnya fenomena konflik sosial yang bakal terjadi dikemudian hari, akibat dari struktur yang berubah drastis itu. Saat dimana masyarakat menjadi lapar (miskin), maka sangat rentan terhadap konflik sosial. Ironisnya, saya mendapat kabar dari sumber yang sangat terpercaya tentang sebuah upaya yang tengah dilakukan oleh salah satu pejabat daerah di Kabupaten Kepulauan Sitaro. Kabar itu mengenai adanya usaha dari sekelompok orang yang sengaja diorganisir untuk mendapatkan sejumlah informasi dari penduduk di kampung-kampung yang berniat untuk menjual tanah hak milik yang di atasnya terdapat tanaman pala. Setelah mendapatkan informasi yang memadai, maka sang pejabat itu melakukan transaksi baik pembelian dengan perpindahan hak penuh kepada pembeli, maupun dengan sistem jual gadai atau sistem sewa.
Jelaslah bahwa pemerintah Sitaro sengaja membiarkan fenomena ini terjadi, mala nimbrung bersama kelompok kapitalis lain untuk turut menyengsarakan rakyatnya sendiri, setelah mereka selesai menguras uang negara, lantas semakin rakus mengeksploitasi hak milik rakyatnya. Mereka sengaja tidak membuat regulasi terhadap pengelolaan komoditi unggulan itu untuk kepentingan membangun kesejahteraan rakyat. Kemungkinan lain adalah mereka tidak tahu cara membuat regulasi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Visi dan misi yang disampaikan sewaktu Pilkada dan Pemilu yang lalu tak satupun terbukti. Sebaliknya di Sitaro kini justru tengah terjadi sebuah misi yang sangat mustahil, yaitu Misi Pemiskinan Struktural. Kelak disuatu waktu nanti, saudara-saudara kita yang hidup disana akan jatuh miskin dan menjadi peminta-minta di ruas-ruas jalan Ondong dan Ulu, menjadi orang gila yang duduk di leput-leput, anak-anak kita senantiasa meratap, menjadi anak-anak yang kurang gizi dan pembodohan terjadi dimana-mana. Berdiam dirikah kita bila fenomena itu dibiarkan...???

Segenggam Garam Atasi Segunung Masalah

Kisah ini untuk kekasihku yang paling aku cintai dan saudara2ku yang aku kasihi. Simaklah baik-baik.

Suatu ketika, seorang gadis muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai, raut mukanya muram. Ia berjalan menyusuri telaga kecil dan singgah di sebuah pondok. Di pondok itu ada seorang kakek. Tanpa buang waktu gadis kecil itu menceritakan semua masalahnya. Kakek yang bijaksana mendengarkannya dengan seksama. Lalu kakek mengambil segenggam garam dan sebuah gelas berisi air minum. Ditaburkanlah garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan.
Coba kamu minum ini dan katakan bagaimana rasanya" ujar pak tua itu.
Pahit, pahit sekali!!!... jawab si gadis sambil meludah kesamping luar pondok.
Kakek itu sedikit tersenyum. Ia lalu mengajak gadis ini berjalan menyusuri tepi telaga. Kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampailah mereka ke bagian telaga yang paling tenang. Kakek itu lalu kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga itu.
Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah, saran kakek.
Saat gadis itu selesai mereguk air itu, pak tua berkata lagi: "bagaimana rasanya?."
Segar,... sahut si gadis. Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu? tanya pak tua lagi. Tidak....., jawab si gadis lugu itu.

Dengan bijak Kakek itu menepuk-nepuk punggung si anak muda . ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu.
Katanya: "anak muda, dengarlah... pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. jumlah dan rasa pahit itu sama dan memang akan tetap sama. Tapi, kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan, yaitu lapangkanlah dadamu menerima semuanya lantas luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.

Kakek itu memberikan nasehat penutup, "hatimu, perasaanmu dan kalbumu adalah wadah itu, yaitu tempat kamu menampung segala-galanya selama hidup. Jadi, jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan. Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Kakek bijak itu kembali menyimpan "segenggam garam", untuk anak muda yang lain yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.

Saudara2ku: Tetaplah hidup dalam harmoni yang indah. Ketahuilah, dalam memberikan nama bagi anakku "Marsel "Field" Kaghoo, kata ditengahnya mengandung makna Hati Yang Lapang.