Rabu, 17 Februari 2010

Asal-Usul Manusia Sangihe Talaud

Oleh : Iverdixon Tinungki

Peta genetika yang kini terbuka luas, setidaknya memberikan cukup sinar atas tabir rahasia sebuah pertanyaan besar: Dari manakah nenek moyang kita berasal? Dari manakah kita datang? Meskipun masih menyisakan sejumlah teka-teki, tapi dibanding masa sebelumnya, dunia antropologi saat ini melakukan lompatan besar dalam menyusun peta genetis yang menjelaskan mata rantai persebaran umat manusia di suluruh bumi. Penjelasan-penjelasan yang lebih ilmiah ini mulai menggeser keyakinan klan-klan umat manusia diberbagai tempat akan cerita ke-asal-an manusia yang bersumber dari mite dan legenda.
Seperti klan lain di Indonesia, orang Sangihe Talaud sebagai sebuah indigenous, dalam kurun ribuan tahun hidup dalam mite dan legenda tersendiri, yang pada akhirnya melahirkan system nilai dalam kehidupan mereka. Tapi apakah dengan demikian membedakan ke-asal-an etnik ini dengan suku bangsa lain di jazirah Nusantara? Kajian antropologi kebudayaan pada masa sebelumnya menjelaskan orang Sangihe Talaud merupakan rumpun manusia berbahasa Milanesia yang berasal dari migrasi Asia pada 40.000 tahun SM. Kemudian disusul pada masa yang lebih muda sekitar 3.000 tahun SM dari Formosa yang berbahasa Austronesia. Penemuan terbaru yang lebih mengejutkan yang berhasil mematahkan terori linguistic di atas, adalah adanya kemungkinan nenek moyang suluruh klan di Indonesia berasal dari Nias-Mentawai, dengan ciri gen dari masa yang lebih tua sebelum migrasi Formosa.
Agak berbeda dengan sejumlah anasir antropologi kebudayaan, hasil peneletian gen manusia saat ini memberikan cerita tentang pengembaraan panjang leluhur manusia di seluruh dunia yang disebut berasal dari Afrika sejak 50.000 tahun silam yang berekspansi ke Eurasia. Perhitungan para paleoantropolog dan pakar genetika menyebutkan homo sapiens ini berasal dari 200.000 tahun silam dan berhasil mengembangkan keturunan sebanyak enam setengah miliar jiwa. Hal ini dibuktikan dengan pemetaan gen yang menunjukkan 99,9 persen kesamaan kode-kode genetika atau genom manusia di seluruh dunia. Sisanya 1 persen hanya menegaskan perbedaan individual seperti warna mata atau resiko penyakit. Perjalanan panjang itu pun telah membawa sejumlah perubahan lain seperti mutasi neurologist yang menciptakan perbedaan bahasa lisan dan juga sebuah perubahan wajah dan ras baru.
Lalu, benarkah setiap manusia yang pernah hidup di bumi berasal dari seorang ibu Hawa Mitokondrial dan ayah Adam Kromosom Y yang hidup pada 150.000 tahun silam di Afrika? Pertanyaan ini masih membuahkan kegelisahan para ahli untuk mengungkap jawaban yang memuaskan. Yang pasti sejumlah artefak masa lalu, menunjukkan adanya migrasi umat manusia dari suatu tempat ketempat yang lain. Dan setiap klan atau etnik telah hidup dalam milenia pada sebuah tempat hingga mengalami sujumlah mutasi budaya dan tunduk pada masing-masing dewa serta melahirkan mite-mite baru dalam kehidupan kelompok masing-masing.
Bila masuk lebih dalam menelisik aneka budaya lisan di masyarakat Sangihe Talaud, kita dipertemu dengan cerita jejak nenek moyang lebih unik dan menarik seperti pengakuan adanya para pendatang (homo sapiens) yang dalam bahasa setempat disebut sebagai Ampuang (manusia biasa). Selain para pendatang ini juga ada dua jenis manusia lain yang telah ada di sana dari masa sebelumnya yaitu Ansuang (raksasa) dan Apapuhang (manusia kerdil). Untuk dua jenis manusia terakhir itu, hingga kini belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Rujukkan terhadap keberadaan mereka masih terbatas pada kepercayaan adanya beberapa artefak seperti bekas kaki dalam ukuran besar yang terpahat di bebatuan yang bisa saja tercipta akibat fenomena alam. Apakah mereka merupakan penyimpangan genetika pada masa itu kemudian diabadikan dalam sejumlah mite dan legenda? Ini masih sebuah pertanyaan.
Sejumlah legenda pun ikut memperkaya kesimpangsiuran jejak asal muasal manusia Sangihe Talaud. Dari kepercayaan turun-temurun. Pulau-pulau Sangihe Talaud konon tercipta dari air mata seorang bidadari. Dari bidadari inilah manusia Sangihe dilahirkan. Ini sebabnya nama Sangihe itu berasal dari kata Sangi (tagis}. Di pulau-pulaud Talaud, penyebutan Porodisa untuk kawasan itu justru dikaitkan dengan anggapan dimana manusia Talaud adalah keturunan Wando Ruata, yaitu seorang manusia gaib yang berasal dari Surga. Padahal kata Porodisa menurut teori linguistic justru merupakan mutasi neurologist bahasa lisan dari bahasa Spanyol: Paradiso (surga). Kata Sangi di Sangihe sendiri merupakan mutasi dari kata Melayu: tangis. Mite lainnya bercerita tentang manusia yang berasal dari telur buaya. Ada juga yang beranggapan terjadi dari evolusi pelepah pisang secara mistis menjadi manusia.
Kepercayaan terhadap dewa dewi dan system nilai budaya orang Sangihe Talaud ini menujukan adanya persinggung dengan system nilai di tempat lain seperti teori keseimbangan alam, memiliki kesamaan dengan teori Fun She dan Esho Funi dalam pemahaman Hindu kuno. Kepercayaan “Manna” atau kepercayaan terhadap adanya kekuatan mekanis dalam alam yang mempengaruhi peri kehidupan manusia, bukan tidak mungkin merupakan interpretasi lain akibat mutasi dari pemahaman kaum semitik akan Tuhan. Demikian pula dengan budaya ritual persembahan kurban yang mengunakan symbol darah Manusia yang di pukul sampai mati.
Manusia Sangihe Talaud sejak masa purba, juga mengakui adanya zat suci pencipta alam semesta dan manusia yang di sebut “Doeata,Ruata”, juga dinamakan ”Ghenggona”. Di bawahnya, bertahta banyak roh Ompung (Roh penguasa laut), dan Empung (roh penguasa daratan). Dewa-dewi ini berhadirat di gunung dan lembah-lembah, di laut, di sehamparan karang. Di cerocok dan tanjung. Di pohon, dan dalam angin. Di cahya, bahkan bisikan bayu. Di segala tempat, ruang, dan suasana.
Kendati begitu, eksplorasi yang lebih ilmiah terhadap asal usul manusia Sangihe Talaud, yang telah ada saat ini baru sebatas dari masa abad ke 14. Bermula pada periode Migrasi Kerajaan Bowontehu 1399-1500. Disusul periode Kerajaan Manado 1500-1678. Dan terakhir periode kerajaan-kerajaan Sangihe Talaud dari 1425-1951.
Gumansalangi (Upung Dellu) sebagai Kulano tertua kerajaan Tabukan atau Tampunglawo, yang bermukim di gunung Sahendarumang bersama Ondoasa (Sangiang Killa), istrinya, adalah anak dari Humansandulage bersama istrinya Tendensehiwu, yang mendarat di Bowontehu pada awal mula migrasi Bowontehu, Desember 1399. Mereka melakukan pelayaran dari Molibagu melalui Pulau Ruang, Tagulandang, Biaro, Siau terus ke Mangindano (Mindanau-Filipina), kemudian balik ke pulau Sangir – Kauhis dan mendaki gunung Sahendarumang, dimana mereka dan para pengikut mendirikan kerajaan Tampunglawo sebagai kerajaan tertua di Tabukan, yang pada periode kemudian melebar hingga ke seluruh kawasan kepulauan Sangihe dan Talaud.
Sementara Bulango bermigrasi dari Bowontehu pada 1570 menuju Tagulandang dimana anaknya bernama ratu Lohoraung mendirikan kerajaan Tagulandang di pulau itu bersama para pengikutnya.
Bulango adalah saudara dari Lokongbanua II, raja pertama kerajaan Siau. Keduanya adalah anak dari raja Mokodoludut dengan istrinya Abunia dari kerajaan Bowontehu. Sedangkan Raja Bolaang Mangondow pertama, Yayubongkai, adalah juga putra Mokoduludut. Ini sebabnya ada kesamaan budaya dan marga antara orang Bolaang Mangondow dan orang Sangihe Talaud. Perubahan budaya di kedua etnik ini lebih dipengaruhi oleh alkulturasi pasca masuknya agama-agama semitik, (Kristen-Islam) di kedua kawasan etnik itu.
Untuk wilayah Kauhis-Manganitu, semuanya berasal dari keturunan Gumansalangi hingga keturunannya bernama Tolosang pada 1600 mendirikan kerajaan Kauhis- Manganitu. Demikian pula di Tahuna pada 1580 Tatehe Woba mendirikan kerajaan di sana, juga di Kendahe yang didirikan oleh Mehegelangi. Raja Kendahe ini anak dari Syarif Mansur dan istrinya Taupanglawo.
Sebelum periode migrasi Bowontehu (Manado Tua) pada 1399, kawasan itu telah dihuni manusia selama enam generasi. Tapi hal terpenting dalam hubungan kekeluargaan oranga Sangihe Talaud dan Bolang Mangondow, dipercaya karena berasal dari Migrasi Bowontehu.

KASUS ELLY LASUT DAN LELANG IKAN

Saya buta dengan dinamika politik mutakhir di Sulawesi Utara. Hari-hari ini, menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) provinsi, berita para kandidat cukup meraja di halaman media massa di Sulawesi Utara. Dengan maksud melepas kangen dengan kampung saya, hari ini saya baca Tribun Manado, harian yang dikelola kelompok Kompas-Gramedia, lewat berita online. Di harian itu, berita Elly Lasut, salah satu kandidat dan kini pejabat bupati Kepulauan Talaud, menjadi berita utama. Elly telah jadi tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi oleh Kejati Sulut.

Dugaan korupsi Elly bukan kabar baru. Awal 2007, saya sempat bercakap-cakap dan bertukar cerita dengan beberapa pegiat anti-korupsi di Sulawesi Utara. Salah satu dari mereka punya bukti dugaan korupsi tersebut. Setidaknya begitu yang ia utarakan.

Di daerah, seperti di Sulawesi Utara, membongkar korupsi relatif mudah dilakukan. Terdapat banyak orang yang bersedia memasok data-data dugaan korupsi, terutama mereka yang merasa dirugikan oleh pelaku, macam kontraktor yang kalah proyek, atau birokrat yang tak jadi diangkat. Data bukan soal. Begitu juga Whistle blower. Apa yang kurang? Barangkali Sulawesi Utara masih terus mencari pegiat anti-korupsi militan dan punya integritas. Ini masih begitu kurang, kalau bukan belum ada.

Data adalah satu syarat penting, tapi jauh dari syarat cukup. Dengan data, seorang pegiat anti-korupsi bisa berubah menjadi tukang peras para pejabat. Dengan data, ia juga bisa baku tawar untuk sejumlah privilese pribadi -- minta uang, minta proyek, minta makan, minta posisi. Bekerja dalam sebuah kelompok atau jejaring yang demokratis, menjadi syarat utama guna menekan kemungkinan-kemungkinan di atas. Kalau tidak, beragam kompromi sangat mungkin jadi akhir cerita. Lebih dari itu, gerakan anti-korupsi dapat berhasil dan punya daya tonjok, tentu, andaikata ia disokong masyarakat secara luas dan masal. Dan dilancarkan penuh perhitungan. Tidak nekad.

Catatan lain barangkali adalah kelemahan analitik terkait korupsi. Analisa korupsi, termasuk dari para pakar, rasanya belum cukup membumi. Di tempat pertama, ini bukan karena sebagian pakar itu masih dapat dibeli, baik tubuh atau jiwa mereka, sehingga mereka berkepentingan untuk membangun analisa kurang jujur. Melainkan, karena korupsi di daerah punya kerumitan yang khas. Antara lain, social proximity yang pendek. Dengan enteng, Torang dapat memaki Neoliberalisme yang abstrak. Torang dapat pula mengumpat dana talangan Century yang heboh di Jawa. Tapi, Torang harus putar otak saat berhadapmuka dengan Om, Tante, Saudara, atau anggota Majelis Jemaat gereja sendiri, yang korupsi.

Terakhir, satu sketsa kasar terkait kelembagaan dan dinamika aktor. Saat membaca berita Tribun Manado, saya berpikir begini. Mungkin, kasus Elly sepatutnya dilihat sebagai sebuah proses tawar-menawar belaka. Di mana Kejati boleh jadi sedang memainkan peran titipan (pada aras institusi) dan peran sendiri (pada aras kepentingan individu), secara serempak. Dengan begitu, barangkali kasus itu tak beda jauh dengan proses yang dapat kita amati di pasar lelang ikan di Manado. Penjual dan pembeli senang, ikan pun pindah tangan.

Bagaimanapun juga ini masa menjelang Pilkada, ketika mesin-mesin pencitraan membuat kita sulit membaui amis ikan, dan cepat tenggelam dalam fantasi kenikmatan ikan bakar. Tapi, tamang, soal pokok mungkin bukan di situ.

Sulawesi Utara sedang paceklik pegiat anti-korupsi yang militan. Semilitan Robert Wolter Monginsidi, tuama dari kampung ikan itu.***Sonny Mumbunan