Sabtu, 06 Februari 2010

MENGOPUR

Mengopur adalah kependekan dari kata mengowe dan puru. Artinya mencari buah pala dengan cara memungut. Mengopur menjadi sebuah istilah sangat lekat di hati siapa saja orang asal pulau Siau yang pernah menjadi anak-anak yang masa-masa sosialisasi kanak-kanaknya, berekspansi melintas kebun-kebun milik orang lain tanpa syarat menggunakan izin masuk kawasan. Tulisan ini mendeskripsikan kenangan penulis tentang apa, siapa, kapan, dimana dan bagaimana mengopur. Dan diakhiri dengan pesan singkat buat pemangku peran.

Apa itu Mengopur?

Mengowe puru adalah kegiatan yang dilakukan anak-anak usia kurang dari 16 tahun untuk menemukan dan mengumpulkan biji pala yang jatuh dari pohonnya. Kami sering mempersingkatnya "mengopur atau mengopure" (bagi rata-rata orang Sangihe, setiap kata yang berakhir konsonan selalu ditambahkan huruf "e" di belakang kata dasar, kecuali di Tagulandang menggunakan huruf 'i'). Peralatan yang diperlukan dalam rangka mengopure adalah “patoka” yang disebut juga “kemeto” yaitu sebutan untuk wadah guna menampung biji pala. Ukurannya bervariasi tergantung penggunanya. Kalau yang menggunakan patoka adalah anak-anak usia 12 tahun. Lebar maximum patoka berkisar 20 cm dikalikan panjang 25 cm. Lebih dari ukuran itu, namanya kemeto. Tentu patoka digunakan untuk aktivitas terbatas oleh anak-anak yang hendak mengowe puru dan kemeto untuk menampung biji pala pada aktivitas panen yang lebih sistematis, seringkali dilakukan oleh orang-orang dewasa.

Demikian kami membedakan antara kemeto dan patoka dalam proporsi pemanfataannya. Baik kemeto dan patoka, kedua-duanya seperti diproses secara alami sehingga mengeras oleh getah pala dan menyerupai tas kulit yang terbuat dari kulit buaya. Semakin keras sebuah patoka atau kemeto, pertanda semakin sering digunakan. Begitu juga penggunanya; sarat pengalaman. Di dalam kemeto biasanya sudah tersedia sebila pisau. Pisau itu untuk membela buah pala yang ditemukan di bawah pohon. Selain itu membantu mengatasi masalah lapar, untuk mengupas buah nenas , buah nangka dan buah kelapa yang ditemukan di tempat-tempat liar (lahan bertuan tetapi tidak digarap).

Siapa Yang Diperbolehkan Mengopur?

Siapa saja anak-anak yang termasuk dalam pasukan mengopure ini? Dari segi umur sudah disebutkan di atas, dari segi strata pendidikan, biasanya yang diperbolehkan oleh tradisi setempat adalah anak-anak SD hingga SMP (sekarang mereka yg mengenyam pendidikan dasar 9 tahun), sedangkan anak-anak remaja yang berada pada level pendidikan SMA sudah malu melakukan aktivitas mengopure ini. Apalagi para orang tua yang sudah menikah. Jika mereka ditemukan sedang melakukan aktivitas mengopure, maka mereka segera menjadi bahan pergunjingan warga kampung. Sesungguhnya tidak ada aturan formal yang membatasinya, hanya saja demikian fenomena itu berlangsung selama bertahun-tahun secara turun menurun.
Sanksi sosialnya berlaku efektif dan fungsional untuk memelihara stabilitas sosial.

Semua pihak akhirnya manut pada aturan tidak tertulis itu. Jadi ada semacam ruang produktif bagi kelompok usia 16 tahun kebawah dalam hal kegiatan agrobisnis pertanian pala di kampungku. Bagi anak-anak kaum elit kampung, semacam anak-anak dari guru-guru atau kepala sekolah, anak-anak kapitalau (kepala kampung) dan pedagang kaya yang hidup mereka berkecukupan diukur dari kepemilikan harta benda (kendaraan dan perahu bermotor), biasanya pada usia layaknya mengopure, justru mereka sibuk dengan pelesiran ke kampung-kampung tetangga atau lebih banyak aktivitasnya dalam kelompok mereka yang sederajat yang biasanya terbangun di pusat-pusat kecamatan.

Kapan Bisa Mengopur?

Setiap hari sejak senin hingga sabtu kecuali minggu, anak-anak belasan tahun di kampungku, usai jam sekolah pukul 13.00, segera setelah makan siang, bergegas mengambil patoka tergantung di sudut dapur dekat para-para yang biasanya digunakan untuk memanaskan biji pala ketika musim hujan tiba. Cuaca cerah sangat baik memulai aktivitas mengopur. Anak-anak ada yang sengaja tidak makan di rumah karena berlomba-lomba saling mendahului.

Musim hujan bukan kendala yang berarti menyurutkan semangat mereka. Hujan berkepanjangan membuat buah pala yang telah matang di beberapa tempat yang lembab dan tanahnya berhumus segera memekarkan buah muda menjadi “lenge” yang putih kemerahan. Tetapi lebih sering buah mudah telah lebih dulu mekar di musim dingin menjadi buantana. Bulan Maret, Juni dan Oktober biasanya masa eksodus burung “aheng” dan “punteng” hendak berkunjung ke komunitas “lengguh” bergabung menjadi mitra kerja sekaligus sahabat baik anak-anak, hingga mereka kian giat mengopur.

Dimana Bisa Mengopur?

Kampung Laghaeng terdiri dari beberapa tempat dengan nama yang berbeda. Soal memberi nama suatu tempat, para moyang di rata-rata pulau Siau sangatlah cermat. Saya boleh merunut dari kesatuan wilayah terbesar yang disebut kampong yang di dalamnya terdapat bagian-bagian wilayah atau anak-anak desa dan dalam satu bagian wilayah terdapat sub-sub bagiannya.
Pada masa orde baru struktur pemerintahan kampong diatur menurut konsep desa sehingga kampong Laghaeng disebut desa Laghaeng dengan tiga dusun. Dusun satu ialah sanumpito, terletak di pesisir utara dari pusat pemerintahan desa. Dusun dua ialah Laghaeng, sebagai pusat pemerintahan kampong. Disini terdapat Pahempang, Tonggeng Laghaeng, Laghaeng, Peliang, Bumbahu dan Tonggeng Bumbahu (Tonggene). Kemudian dusun tiga ialah Batusenggo. Di dalamnya terdapat Sawang, Tarorane dan Lakehe. Letaknya di sebelah selatan Laghaeng induk, berbatasan persis dengan Tonggene. Lantas masih ada dusun 4 yaitu Makoa yang terletak di puncak gunung di sebelah timur Laghaeng. Ke timur Makoa terdapat desa Sawang, sudah masuk wilayah kecamatan Siau Timur (sekarang Siau Timur Selatan).

Semua nama-nama tersebut adalah nama-nama tempat yang berpenghuni. Sepanjang pesisir pantai yang menghubungkan ketiga dusun (Sanumpito – Laghaeng – Batusenggo); terdapat nama-nama tempat tak berpenghuni (hanya terdapat lahan/kebun kelapa, kebun ketela (singkong) dan tumbuhan liar - lamtoro). Tempat-tempat yang menghubungkan Sanumpito-Laghaeng disebut Singkaha, Lohangirung dan Liwua. Struktur tanahnya berpasir dan berbatu di pinggiran pantai. Sedangkan tempat yang menghubungkan antara Laghaeng-Batusenggo adalah Batulepe. Struktur tanahnya berbatu. Tanaman yang cocok disini hanyalah kelapa. Sebaliknya, nama tempat-tempat yang akan dilalui penduduk dari Laghaeng-Makoa-Sawang (Siau Kecamatan Timur) adalah tempat-tempat yang merupakan kebun pala warga di ketiga desa dan atau anak desa itu. Struktur dan ketinggian tanahnya sangat baik untuk perkebunan pala dan kurang cocok untuk tanaman kelapa.

Topografi batas-batas antara anak desa (Sanumpito-Laghaeng-Batusenggo) adalah berbukit. Nama bukit yang memisahkan Laghaeng dengan Sanumpito ialah Bukit Gembalo, sedangkan bukit yang memisahkan Laghaeng dengan Batusenggo ialah Bukit Gumahe. Sebuah anak bukit di antara Bukit Gembalo dan Bukit Gumahe ialah Bowong Peliang. Setiap daratan yang menjorok ke laut dinamakan Tonggeng sehingga ada Tonggeng Laghaeng dan Tonggeng Bumbahu. Di tempatku yaitu Peliang yang terletak di Bumbahu, terdapat nama-nama kebun seperti: Bowong Peliang, Lewae, Batutegi, Dalunge, Lengehe Matei, Pansuhe, Lohange, Nunu, Belase, Gumahe Masana dan Gumahe Marange. Pemberian nama ini ditentukan berdasarkan kondisi tanah dan nama-nama pohon. Tempat yang menjadi tujuan mengopur adalah seluruh kebun yang potensial ditumbuhi tanaman pala. Dengan demikian tidak ada aktivitas mengopur di tempat-tempat yang bernama: Singkaha, Lohangirung, Liwua dan Batulepe karena di tempat-tempat ini sangat jarang dijumpai tanaman pala.

Oleh karena batas alami perbukitan yang terkondisikan seperti itu, otomatis anak-anak Sanumpito tidak diperkenankan untuk mangopur melintas bukit gembalo dan menyebrang ke Laghaeng. Demikian pula anak-anak dari Batusenggo tidak diperkenankan untuk melintas bukit Gumahe untuk mengopur di Laghaeng. Begitu juga anak-anak dari Bumbahu tidak boleh mengopur ke Laghaeng meskipun mereka memiliki kebun sendiri di Laghaeng. Ataupun anak-anak dari Makoa tidak boleh turun ke Laghaeng maupun ke Sawang untuk tujuan mengopur.

Sebaliknya, anak-anak dari Laghaeng tidak diperkenankan memasuki wilayah anak-anak mangopur di daerah kekuasaan anak-anak mengopur di Sanumpito, Bumbahu dan Batusenggo. Bilamana ekspansi wilayah terjadi, maka dalam hitungan beberapa menit, langsung terjadi aksi kejar-kejaran di dalam perkebunan pala. Uniknya, anak-anak dari Makoa seperti kehilangan bagian teritorialnya. Di mata anak-anak mangopure dari Laghaeng, Bumbahu dan Sanumpito, keberadaan anak-anak mengopur dari Makoa adalah sangat terlarang. Wilayah kekuasan mereka hanya sebatas perkebunan pala di kisaran tepi kampungnya dan pergerakannya tidak boleh meluas.

Bagaimana Mengopur?

Secara mendasar terdapat dua kelompok besar yang dapat dibedakan dari cara mendapatkan hasil pala dalam kegiatan agricultur petani di Siau. Cara pertama yaitu melalui pemetikan yang disebut “mengowe awi” dan kedua melalui mengowe puru (mengopur). Sebagaimana dijelaskan di atas, mengowe awi (dalam tulisan ini saya mempersingkat “mengowi”) disebut lebih sistematis dilakukan oleh orang dewasa dengan menggunakan peralatan yang dianggap lebih memadai, terrencana dan dalam skala yang relative besar. Sebaliknya, mengopur serba terbatas dari aspek penggunaan alat maupun penggunanya. Untuk menampung hasil mengowi, petani laki-laki biasanya menggunakan karung dan petani perempuan biasanya menggunakan ‘kahepo’.

Selanjutnya, bagaimana mengatur dan menentukan langkah-langkah pemetikan? Lain kelompok, lain lagi strateginya. Ungkapan ini persis berlaku dalam mekanisme kerja dua kelompok agricultur ini. Mekanisme kerja kelompok mengowe awi (mengowi) baik yang dilakukan secara individu maupun kolektif oleh beberapa orang (upahan) diawali dengan mempersiapkan dan mengidentifikasi lokasi yang menjadi sasaran mengowi. Biasanya dimulai dari tempat-tempat terjauh jangkauannya (di puncak bukit), jika teridentifikasi oleh pemilik kebun, bahwa hasil tanaman pala sudah layak dipanen.

Alat untuk memetik buah pala disebut ‘kekoi’ yang terdiri dari ‘kakambi’ dan ‘sasendeng’. Kakambi digunakan apabila jumlah buah pala yang akan dipetik sangat banyak tetapi tenaga kerja terbatas, sedangkan sasendeng digunakan bilamana pekerjaan pemetikan tidak dilakukan tergesa-gesa. Secara teknis pala yang bertumbuh pada areal kemiringan yang tajam dan tidak berbatu lebih sering menggunakan kakambi. Sedangkan pada areal yang relative landai dan berbatu petani lebih aman menggunakan sasendeng. Jika menggunakan kakambi dalam pemetikan pada areal miring dan luas, maka petani terlebih dahulu memasang alat penahan yang dibuat dari daun-daun kelapa kering. Beberapa petani menggunakan ‘soma’ atau jala ikan yang diatur bertingkat-tingkat. Baik dalam teknik pemetikan menggunakan kakambi maupun sasendeng, seorang petani berpengalaman akan selalu memulainya dari pucuk pohon terlebih dahulu dan berakhir pada pemetikan yang dilakukan dari atas tanah. Mereka tidak memulainya dari bawah atau dari yang mudah terlihat/terdekat mata, selalu harus dimulai dari atas.

Sementara pekerjaan pemetikan sedang berlangsung, sangat tabuh bagi anak-anak mengopur untuk mendekat ke lokasi pemetikan. Jika diketahui oleh sesama rekannya, akan diteriaki sebagai ‘pencuri’ dengan sebutan lebih ringan yaitu “dimuhu” (tindakan masuk tanpa izin ke kebun orang lain untuk mengambil apa yang bukan haknya). Berbeda halnya bilamana aktivitas pemetikan buah pala sudah selesai dilakukan, lalu kelompok anak-anak mengopur bersama-sama diperkenankan masuk menjelajahi seluruh sudut-sudut kebun yang baru saja hasilnya dipanen itu, untuk melakukan apa yang disebut sebagai ‘muleli’ yaitu menemukan dengan cermat buah pala yang tidak sempat ditemukan atau jatuh dari atas pohon pada saat panen baru selesai dilakukan oleh pemilik kebun. Buah pala yang diperoleh dari hasil muleli disebut sebagai ‘tiwatu’. Sanksi social yang diterapkan bagi orang yang melakukan ‘dimuhu’ itu adalah diasingkan dari pergaulan anak-anak mengopur. Dengan sendirinya anak-anak mengopur saling melakukan fungsi control social dalam menjamin tegaknya ‘kode etik’ mengopur.

Kelompok anak-anak mengopur tidak ketinggalan mengidentifikasi berbagai informasi yang berkaitan dengan aktivitas mengowi dari kelompok dewasa. Setelah mengantongi sejumlah informasi dari sesama teman, mereka kemudian mengatur rencana untuk muleli, menemukan tiwatu yang lolos dari jangkauan mata pemilik kebun. Demikian hubungan antara aktivitas kelompok dewasa dengan aktivitas kelompok anak-anak mengopur yang tampak menunjukkan adanya hubungan mutual. Kegiatan mengopur bukan sekedar akibat atau ikutan dari kegiatan mengowi.

Mengopur sesungguhnya adalah kegiatan yang mandiri, produktif dan fungsional terhadap aspek kegiatan lainnya dalam keseluruhan system agribisnis kampong yang memberikan kontribusi positif bagi tingkat kesejahteraan keluarga petani dan melangsungkan keseimbangan alam. Anak-anak mengopur tidak perlu merengek minta belas kasihan orangtua dibelikan buku, buplen dan pensil karena mereka dapat membeli sendiri dari jerih payahnya. Menikmati hiburan film-film video di rumah Lahonsili di Batusenggo pada setiap malam minggu.

Dalam manajemen perencanaan mengopur versi anak-anak kampong, tidak jauh berbeda dengan perencanaan yang dibuat oleh orang-orang dewasa. Setelah memastikan seluruh peralatan mengopur sudah lengkap, barulah anak-anak mengopur mulai beroperasi. Operasi mengopur biasanya dimulai dari kebun-kebun penduduk terjauh. Beberapa anak telah berhasil memetakan tempat-tempat yang banyak menyediakan ‘lengeh’ dan ‘pelohang’. Lengeh adalah buah pala yang sudah masak dan jatuh dari atas pohonnya sedangkan pelohang adalah buah pala yang dikeluarkan dari anus burung, biasanya buah yang lengeh menjadi makanan ‘burung aheng’ dan ‘burung punteng’. Pelohang ditemukan persis pada kebun pala yang dirindangi oleh pohon daihango, pohon aha dan pohon gumahe yang senantiasa dijadikan tempat beristirahat bagi kawanan burung-burung mitra kerja anak-anak mengopur itu. Tempat-tempat yang seperti inilah menjadi ‘tetinamang’ bagi anak-anak mengopure. Tetinamang adalah sebutan bagi suatu tempat yang telah teridentifikasi menyediakan pelohang dan lengeh bagi anak-anak mengopur. Bahkan dalam sehari kadang-kadang seorang anak bisa 3 sampai 5 kali kembali ke tatinamang dan masih menemukan hasil yang diharapkannya dari sana.

Sayangnya tetinamang ini tidak berlangsung lama, karena masih ada orang dewasa yang jahil dan tak paham sama sekali prinsip-prinsip kerja alam. Adalah Yono si pemburu liar dari Batusenggo melengkapi diri dengan senjata angin. Dengan jip dan motor trailnya tampak gagah memanggul senjata seperti sedang ikut berpartisipasi dalam perang di negeri dongeng. Di sakunya tersedia 2 pak peluru terbungkus gardus. Setiap sore Yono mentereng seperti berhasil menaklukan musuh. Membawa 2 ekor aheng seukuran ayam betina kampong tak bernyawa. Tuhe-nya merangkai raga 3 sampai 5 ekor lengguh. Yono meninggalkan hasil ujicoba ketrampilan menembak sejumlah talumisi yang bersarang di tangkai-tangkai pala, bayi talumisi kehilangan induk. Para pahlawan kebunku satu demi satu gugur. Yono bebas melakukan aksinya tanpa izin memburuh dan membunuh.

Pesan Penulis:

Banyak sisi lain yang merupakan penyimpangan terhadap kode etik mengopur bagi anak-anak Laghaeng serta perkembangan cara menanganinya, yang tak diungkap dalam artikel ini. Tetapi penulis hanya bermaksud untuk menegaskan kembali, bahwa mangopur adalah sebuah kearifan local yang perlu dipertimbangkan dalam tata kelola agribisnis pada tataran sangat lokalistik. Di setiap kampong tidak hanya di Laghaeng, pernah hidup kearifan ini. Oleh sebab itu, guna merancang sebuah strategi pengembangan agrobisnis yang hendak melipatgandakan jumlah dan mutu produksi pala di Siau, para pemangku kepentingan hendaklah tidak melupahkan satu tatanan ini.@@@

Tidak ada komentar: