Jumat, 03 Desember 2010

MAKIWERA DAN MAPALOSE

Saya hanya ingin mendeskripsikan suatu aktivitas yang ajek tapi kini sebelum lenyap, sebaiknya terlebih dahulu saya uraikan apa yang menurut saya substansi. Masyarakat Siau mengenal dua bentuk kegiatan kolektif dalam memenuhi kebutuhan hidup mereka. Kegiatan dimaksud adalah Makiwera dan Mapalose. Menarik sekali mempelajari karakteristik masyarakat Siau dari kedua aspek kerja kolektif ini. Saya mencoba mencermati dari perjalanan sejarah agar dapat membedakan apakah kedua bentuk pranata tersebut merupakan produk lokal atau hanya adopsi dari budaya tetangga.

Mapalose
Mapalose seperti halnya mapalus (di Minahasa) dapat dikatakan sebagai kegiatan, usaha atau kerja yang dilakukan secara kolektif oleh banyak orang dengan semangat bergotong-royong. Saya tdak menemukan kebiasaan mapalose pada kisah-kisah zaman kedatuan ketika tatanan membentuk struktur masyarakat Siau yang diwarnai oleh budaya feodal akibat penguasaan bangsa-bangsa Eropa seperti Spanyol, Portugis dan Belanda. Oleh sebab itu saya menduga Mapalose tidak muncul sebagai kebiasaan ajek orang-orang Siau yang lama kelamaan menjadi norma bersifat mengikat sehingga berimplikasi pada tatanan sosial secara total. Saya justru menduga, mapalose merupakan adopsi dari komunitas Minahasa yang diinternalisasikan kedalam struktur kebudayaan masyarakat Siau pada abad ke 19.

Istilah Mapalus sendiri dalam lingkup komunitas Minahasa yang berorientasi daratan, lebih sering digunakan untuk usaha-usaha bersama dalam bidang pertanian, seperti bercocok tanam dan melakukan panen dimana kedua kegiatan tersebut melibatkan banyak tenaga kerja. Bagi masyarakat Minahasa, mapalus dilakukan secara bergilir dari satu keluarga ke keluarga yang lain. Kegiatan ditandai dengan diketuknya tetengkorang pada pukul 05.00 subuh untuk oleh seorang yang ditugaskan melakukan fungsi komunikasi massa. Para petani lalu bergegas bangun tidur dan bergerak menuju kebun milik saudara mereka yang terjadwal gilirannya. Pekerjaan dilakukan sampai jam makan siang, lalu mereka pulang ke rumah untuk makan dan melanjutkan sisa pekerjaan sampai matahari terbenam. Keesokan harinya giliran keluarga yang lain sebagaimana kesepakatan yang dibangun sebelumnya.

Pada tahun 1900 sampai 1980an, mapalus berlangsung dalam aktivitas masyarakat Siau meskipun tidak semua proses dilakukan sama persis dengan masyarakat Minahasa. Mapalus di Siau disebut Mapalose yang pelaksanaannya diawali dengan sebuah musyawarah bersama setiap anggota keluarga yang mempunyai kepentingan pekerjaan yang mungkin dapat dikerjakan dengan melibatkan banyak orang. Tetapi saya tidak pernah menemukan praktek Mapalose dilakukan untuk kepentingan pekerjaan yang berkaitan dengan pengelolaan hasil laut. Bagi saya, orientasi kerja masyarakat Siau yang paling tua dan paling lama bertahan adalah dalam bidang kelautan dan perikanan. Bidang pertanian/perkebunan terutama komoditi pala dan jenis palawija lainnya efektif berlangsung sejak zaman pemerintahan raja Lemuel David yaitu 3 abad setelah tatanan kedatuan yang berorientasi kemaritiman terbentuk. 

Makiwera
Mapalose lain halnya dengan Makiwera. Makiwera adalah aktivitas yang diselenggarakan oleh satu keluarga dengan mengundang dan melibatkan keluarga-keluarga lain dalam komunitas yang sama atau kelompok kekerabatan. Dalam konteks makiwera, tidak ada sebuah kesepakatan yang dibangun bersama, tetapi dimulai dengan adanya kebutuhan keluarga tertentu yang mengharuskan penyelenggaraannya melibatkan banyak tenaga kerja. Ruang lingkup pekerjaan dalam konteks makiwera meluas sampai pada bidang pengelolaan kelautan.

Perbedaan makiwera dari mapalose sangat kontras. Makiwera tidak mengandung unsur wajib, apalagi mengikat anggota masyarakat. Akan tetapi, jika anggota keluarga dalam kesatuannya tidak dapat hadir selain alasan cacat atau sakit keras dengan sendirinya akan teralienasi secara sosial dari kehidupan bersama (sebuah sanksi tidak tertulis yang paling ditakuti oleh warga Siau).

Kegiatan makiwera benar-benar diselenggarakan bilamana individu (kepala keluarga) betul-betul tidak mampu menyelenggarakan pekerjaannya dengan tenaga dan sumber dayanya yang terbatas. Penyelenggara hanya sekedar menyediakan keperluan makan dan minum sedangkan peralatan dan tenaga kerja disumbang oleh anggota keluarga dalam kesatuan masyarakat setempat. Dengan demikian dalam makiwera, tenaga kerja tidak dapat digantikan dengan sejumlah uang karena persoalan mendasar letaknya bukan pada ada atau tidak ada uang, akan tetapi ketiadaan tenaga kerja.

Perubahan Struktur Masyarakat Sebagai Dampak Perubahan Teknologi.
Saya mengamati aktivitas yang dilakukan masyarakat di kampung halamanku. Pada setiap kali panen cengkih, banyak sekali warga kampung bermigrasi ke luar dengan tujuan tanah Minahasa untuk maksud bekerja menjadi buruh tani dalam pemetikan cengkih, tetapi saya cermati, tidak ada satupun ada periode balik, dimana orang Minahasa datang ke Siau untuk melakukan pemetikan pala atau bekerja di sektor kelautan dan perikanan. Mungkin karena memetik pala memerlukan sejumlah ketrampilan yang rumit dibandingkan memetik buah cengkih.

Ketika para migran itu kembali ke kampung halaman, mereka lantas menerapkan metode-metode kerja kolektif semacam mapalus itu kedalam kebiasaan sehari-hari. Kebiasaan itu disebut dengan nama "mapalose". Penambahan huruf "e" saja yang membedakan pengertian dengan kata mapalus dalam bahasa Minahasa. Uniknya, mapalose pun hanya diterapkan pada aktivitas dalam bidang pertanian/perkebunan, misalnya dalam urusan menebang dan mengelola kayu untuk keperluan membangun rumah penduduk atau membuat perahu pelang.

Bagi masyarakat di Sanumpito, Laghaeng, Bumbahu dan Makoa, pada umumnya mapalose digunakan sebagai pendekatan untuk jenis pekerjaan pengelolaan kayu bagi kepentingan membangun rumah sedangkan bagi masyarakat di Batusenggo yang kala itu (sekitar tahun 80-an) mapalose digunakan untuk dua kepentingan baik mengelola kayu untuk keperluan membangun rumah dan membuat perahu pelang. Tetapi sangat jarang bagi masyarakat Batusenggo ketika hendak melaut menggunakan pendekatan mapalose maupun makiwera. Alasannya karena hasil tangkapan tidak bisa dibagikan secara merata disebabkan oleh faktor kepemilikan perahu dan alat penangkap lain yang dominan merupakan milik pribadi/perorangan.

Dewasa ini, ketika teknologi menjawab dengan mudah, efektif dan efesien atas berbagai keperluan masyarakat terkait dengan pengelolaan hasil hutan terutama kayu, yaitu mengganti fungsi peralatan gergaji besar dengan kehadiran mesin pemotong kayu, maka perlahan namun pasti peranan mapalose dan makiwera mulai luntur. Kerja kolektif sudah mulai hilang, kecuali dalam urusan mengangkut hasil olahan kayu dari kebun ke rumah di kampung yang masih menggunakan tenaga manusia. Untuk urusan mengangkut inilah diperlukan kerja kolektif. Dan biasanya pendekatan yang digunakan adalah makiwera saja. Peranan mapalose maupun makiwera menjadi terbatas dan mungkin akan segera hilang dari tatanan struktur sosial ekonomi masyarakat Siau yang segera akan diganti dengan peralatan lain seiring dengan dibangunnya berbagai infrastruktur jalan-jalan produksi di setiap desa.

Kondisi ini akan segera berlangsung dalam waktu dekat sebagai konsekuensi logis pembangunan daerah pedesaan di pulau Siau dan Sitaro pada umumnya. Saya berharap, pemerintah daerah harus dapat memformulasikan kebijakan-kebijakannya tanpa mengabaikan nilai-nilai sosial yang bermanfaat bagi kemaslahatan hidup banyak orang. Semoga kelak akan terbangun masyarakat desa dengan tingkat solidaritas sosial yang tinggi sebagai alat perekat agar terhindar dari konflik vertikal maupun konflik horisontal dalam kehidupan bermasyarakat.

Rabu, 01 Desember 2010

Agropolitan Sitaro: Sebuah Rencana Pembunuhan Massal

Agropolitan adalah istilah dalam bidang pertanian. Istilah ini dikenal sejak tahun 1970. Pertama kali dicetuskan oleh seorang Planolog Amerika bernama John Friedmann. Secara harafiah agropolitan dapat diartikan sebagai "agro : pertanian, politan: kota", jadi, kota pertanian. Konsep agropolitan ini digunakan sebagai strategi untuk mengurangi disparitas yang berlebihan dari pesatnya perkembangan kota sementara desa-desa bergerak sangat lamban.

Secara garis besar konsep agropolitan mengetengahkan prinsip-prinsip sebagai berikut:
  1. Sebuah modul kota dasar (basic urban module) yang terdiri dari kecamatan-kecamatan yang otonom, dibangun pada kawasan desa berkepadatan tinggi atau kawasan peri urban. (populasi 10.000-15.000 jiwa, tersebar di area seluas 10-15 km2).
  2. Setiap kecamatan memiliki pusat pelayanan yang dapat diakses dengan mudah dari segala penjuru di kecamatan tersebut, baik dengan kaki maupun sepeda, selama 20 menit atau kurang.
  3. Setiap pusat pelayanan memiliki komplemen pelayanan dan fasilitas publik terstandarisasi.
  4. Dipilih satu kecamatan pusat (area desa-kota yang telah mengalami transformasi spasial paling besar) untuk dibangun agroindustri terkait.
  5. Lokasi dan sistem transportasi di wilayah argoindustri dan pusat pelayanan harus memungkinkan para petani untuk menglaju (commuting).
  6. Kecamatan-kecamatan dikembangkan berdasarkan konsep perwilayahan komoditas yang menghasilkan satu komoditas atau bahan mentah utama dan beberapa komoditas penunjang sesuai kebutuhan.
  7. Setiap kecamatan didorong untuk membentuk satuan usaha yang optimal dan selanjutnya diorganisasikan dalam wadah koperasi, perusahaan kecil dan menengah.
  8. Industri manukfatur kecil harus terdistribusi di tiap kecamatan dan di sepanjang jaringan jalan utama.
Saya membaca harian Komentar, Jumat 26 November 2010 tentang Fokus Pengembangan Tanaman Pala, Penyusunan Master Plan Agropolitan Wilayah Sitaro. Berita ini tidak mengungkap secara detil ihwal substansi maupun teknis strategis, tetapi cukup memberi kesan, adanya perhatian Pemkab dalam menangani permasalahan agrobisnis maupun agriindustri.

Saya berharap pemerintah kita cermat memilih dan menerapkan model yang relevan dengan karakteristik petani dan wilayahnya. Selaku wilayah kepulauan yang jauh dari wilayah kota (baca: Manado) sebagai pusat kegiatan bisnis, model agropolitan saya nilai belum cukup memadai memenuhi  delapan kriteria yang disebutkan di atas. Bahkan saya tidak setuju kalau infrastruktur terlebih dulu dibangun, sementara perilaku petani untuk menghasilkan produk terbaiknya belum dapat dibenahi.

Menurut saya, pembangunan infrastruktur dibalik slogan pembangunan model agropolitan yang muluk itu nantinya akan menghasilkan sekumpulan benda-benda mati (monument) yang tidak dapat dimanfaatkan oleh petani akibat dari belum terbentuknya perilaku yang diharapkan dapat menunjang terselanggarakannya mekanisme yang bisa membuat petani survive. Saya harus tegaskan, pembangunan monumental sudah cukup. Petani kita butuh pembangunan mental produktif yang mulai pudar akhir-akhir ini.

Untuk rencana pengembangan yang berkaitan dengan transformasi industri harus melalui pengkajian yang cermat tentang kepemilikan lahan, baik untuk keperluan membangun pabrik maupun perluasan lahan perkebunan yang dominan perkebunan rakyat itu. Konsep agropolitan yang kini sedang ramai dibicarakan berhasil itu, belum tentu dapat diterapkan secara ideal di Sitaro yang wilayahnya sangat kecil dan jauh dari Manado.Sitaro membutuhkan strategi agrobisnis yang mampu memproteksi segenap kearifan lokal yang fungsional. Teknologi dapat ditransformasikan melalui perkembangan perilaku pada bidang produksi, konsumsi, distribusi dan investasi. Komponen perilaku yang hendak dibentuk tersebut meliputi pengetahuan, persepsi, preferensi dan sikap petani untuk mau berkembang secara otonom.

Tetapi bilamana pemerintah bersih-keras menerapkan model ini tanpa mempertimbangkan pembentukan perilaku petani, niscaya ini merupakan sebuah upaya sistematis untuk membunuh secara massal seluruh petani pala Siau dengan biaya yang dikucurkan Pemerintah Pusat sehingga kelak di suatu saat nanti yang dominan beroperasi di Siau adalah koorporasi-koorporasi besar yang lebih rakus dari kerakusan para tengkulak-tengkulak yang ada sekarang ini.  

Kamis, 18 November 2010

BAZAR TAHUNAN PELAUT NUSA UTARA (Sebuah Inspirasi Awal)

Saya kagum dengan kecanggihan teknologi facebook yang mampu menghubungkan orang per orang dalam tempo yang sama di tempat yang berbeda.Kekaguman ini hendaknya disandingkan dengan pemikiran zionisme (meskipun mungkin berbeda prinsipnya dengan zionisme Israel) yang selama ini terus dipikirkan oleh sekelompok orang dari nusa utara untuk menjalin interaksi orang-orang nusa utara sejagat bumi ini agar kelak mereka dapat kembali ke kampung halaman masing-masing dalam suatu pawai panjang selama sepekan.

Begitu baiknya gagasan ini dapat diteruskan oleh teman-teman pelaut yang sudah berhasil mengarungi ketujuh samudera di belahan bumi ini supaya mereka dapat menyelenggarakan sebuah bazar di atas kapal yang pelaksanaannya dilakukan secara bergilir di tiga kabupaten SaTaS. Gagasan ini akan mendatangkan keuntungan bagi lancarnya proses pembangunan di perbatasan yang kurang mendapat perhatian pusat itu. Kita harus melakukan sesuatu bagi bangsa sendiri, agar uang yang dibawah ke negeri kita bisa lebih banyak beredar disana.

Alangkah bahagianya, pasar serba ada semacam pasar BERSEHATI Manado, tiba-tiba menjelma menjadi sebuah kapal dan dapat hadir pada bulan desember di pelabuhan Ulu Siau, Tahuna dan Lirung. Semoga gagasan ini dapat segera terwujud. Dengan sendirinya gerakan komunitas pelaut Nusa Utara semacam ini merupakan jawaban untuk mendekatkan pelayanan sosial ekonomi kepada masyarakat perbatasan yang serba terbatas karena pembatasan kebijakan negara. Gerakan ini menjadi alternatif bagi kebijakan membangun kekuatan civil society yang lebih mapan. Tetapi saya tahu, membangun gerakan ini tidak mudah. Kita memerlukan solidaritas yang sangat kuat sebagai perekat. 

KEMISKINAN USA: Perang Amerika Vs American

Saya membaca sebuah artikel menarik di sebuah situs VOA (www.voanews.com) yang concern dengan permasalahan sosial di Amerika Serikat. Amrik yg katanya negara kaya dan adidaya, ternyata sepanjang tahun 2008-2009 tak berdaya menanggung beban 15% keluarga yang rawan makanan. Kerawanan ini berlangsung pada keluarga-keluarga yang tersubsisten (terpinggirkan), antara lain keluarga dengan status single parent dan para pengemis jalanan. Kondisi ini secara implisit dimanfaatkan oleh Obama ketika mencalonkan diri menjadi presiden Amrik dan alhasil, Obama menjadi presiden yang dipercaya mampu melakukan perubahan.

Fenomena kemiskinan seperti itu wajar terjadi ketika sebuah negara dipimpin oleh seseorang yang berhaluan politik "suka perang". Haluan kiri ini dimiliki oleh kelompok elit partai republik seperti Bush dan para pendahulunya yang mempunyai kebijakan sebangun, yaitu mengutamakan politik luar negeri, ketimbang mengurus urusan perut rakyatnya. Pandangan ini sangat kontradiktif dengan pandangan kaum demokrat semacam Obama yang lebih menyukai urusan pembenahan masalah-masalah dalam negerinya.

Boleh dikata, di Amrik, ada dua paham politik yang hidup dan terus menerus secara bergantian "berseteru" yaitu 1) paham internasional dengan haluan politik luar negeri; dan 2) paham nasional dengan haluan politik dalam negeri yang beroerientasi pada perbaikan kondisi ekonomi negara pasca kebijakan dan misi perang dunia selesai dilakukan. Paham pertama dipelopori oleh kelompok partai republik sedangkan kelompok kedua dipelopori oleh partai demokrat. Jadi kedua parpol tersebut melekat status yang sangat kontradiktif. Kalau kita cermat mengamati, siklus pemerintahan di negri Paman Sam itu hanya berganti pada dua aras dimaksud. Presiden terpilih dari partai republik kebijakannya dominan mengurus "perang dunia" untuk alasan stabilitas internasional dengan pengalokasian sejumlah besar anggaran pada kebutuhan persenjataan. Ketika anggaran menipis, rakyat kemudian memilih mengganti presidennya dari kelompok demokrat yang secara implisit diberikan mandat untuk membenahi ekonomi dalam negeri (popoji/dompet) yang menipis akibat perang.

Saya melihat bahwa Amerika tidak mempunyai musuh fisik setiap kali dia melakukan perang. Musuhnya adalah dirinya sendiri. Tidak ada satu negarapun yang dia takuti, selain rakyatnya sendiri. Ketika 15% American (baca: rakyat Amerika) terpuruk akibat kemiskinan dan ketahanan pangan, maka seluruh Amerika mulai berpikir panjang untuk mengganti presiden mereka.Temuan kemiskinan tahun 2008-2009 tersebut merupakan pesan moral kepada Obama untuk membenahi Amerika dengan kearifan yang dimilikinya.

Dalam hubungannya dengan Pemilu Sela, dimana Obama mengalami kekalahan, saya justru melihat sebagai sebuah gerakan politik yang dipertontonkan warga Amrik tentang keberhasilan Obama membenahi aspek-aspek yang pincang dalam sistem ekonomi politik negaranya. OLeh sebab itu rakyat Amerika ada alasan untuk mempertahankan Obama pada pemilu berikutnya. Sebab bagi AMERICAN, penguasa tidak begitu penting artinya, tetapi bagi AMERIKA yang jauh lebih penting artinya adalah perdamaian dunia.

PERILAKU PETANI PALA SIAU DI ANTARA BUDAYA KAPITAL DAN BUDAYA LOKAL


Saya masih terus berpikir mengenai kemungkinan ke arah mana bergesernya perilaku petani pala di pulau Siau setelah Raja Lemuel David mengeluarkan titah untuk menanam pala (miristica fragan - nutmeg) sebagai jenis komoditi yang sangat laris di Eropa ini agar ditanam oleh seluruh warga Kedatuan Siau ratusan tahun yang lalu, hingga sekarang dan kedepan nanti. Pada akhir abad 19 petani pala Siau berhasil menembus prestasi emas kualitas kalibrasi (CN) pada level ketiga dari tiga kategori kalibrasi tertinggi dalam standar mutu pala nasional. Dalam keterbatasan pengetahuanku, hingga saat ini belum ada satupun daerah di Indonesia yang berhasil menembus level itu. Kalaupun kita amati, tampaknya sebagian warga Siau telah beralih orientasi kerja pada sektor-sektor jasa seperti jasa transportasi ojek untuk mengatasi kebutuhan hidup. Kondisi ini bilamana dibiarkan tanpa penanganan secepatnya, akan mengubah struktur ekonomi masyarakat dan mengganggu stabilitas ekonomi daerah.

Nafas Otda Tersumbat, Rakyat Melarat

Pada masa pemerintahan bersama dengan kabupaten Sangihe, terdapat sebuah regulasi kalau tidak salah yaitu perda nomor 8 tahun 1995 yang mengatur tentang tata niaga hasil komoditi petani. Dalam era otonomi daerah di abad 20 ini, diharapkan prestasi sebagaimana yang disebutkan di atas dapat lebih ditingkatkan ke level yang lebih tinggi atau minimal dapat dipertahankan. Sudah tentu membutuhkan sebuah regulasi dari pemerintah daerah otonom. Sudah 3 tahun lamanya warga Siau menjalankan pemerintahan Otda, belum satupun kebijakan yang dilahirkan pemerintah daerah sebagai upaya dalam mengendalikan aspek produksi, konsumsi, distribusi dan investasi dari hasil komoditi pala ini.

Sepertinya pemerintah lebih tertarik untuk mendatangkan investor daripada membenahi perilaku petani melalui regulasi-regulasi yang strategis. Dengan kehadiran investor, justru perilaku rakyat akan segera berubah drastis dari perilaku ramah lingkungan menjadi perilaku yang rakus dan memproduksi tanpa pertimbangan-pertimbangan mempertahankan keseimbangan alam. Petani akan menggunakan sarana-sarana produksi untuk mengejar nilai lebih. Sementara sebagian warga dengan modal kepemilikan lahan yang terbatas akan teralienasi dan terdegradasi secara sosial. Kehadiran investor dalam kondisi perilaku produktif belum dimaksimalkan, hanya akan menyumbat beberapa peran kearifan lokal yang kini terpelihara fungsional dalam tata kelola hasil pertanian pala.

Bagi saya kondisi ini dapat dikatakan sebagai upaya yang hendak menggiring perilaku petani menjadi petani yang berorientasi pada modal dan sarana-sarana produksi, bukannya hendak melestarikan perilaku asli petani sebagai petani yang rajin, teliti dan bersahabat dengan alam. Saya tidak menolak adanya perubahan dalam struktur agribisnis kita. Pandangan konservatif diperlukan dalam kerangka membangun sebuah struktur masyarakat industri yang disertai dengan pembangunan suprastruktur yang jelas arahnya. Tujuan harus ditetapkan secara jelas. Mencapai tujuan tersebut memerlukan metode yang terukur agar mudah dikendalikan.

Saya kira, pekerjaan pemerintah jauh lebih mudah dari pekerjaan petani yang berusaha mempertahankan nilai-nilai kearifan lokalnya dari hantaman dampak negatif globalisasi dan industrialisasi dunia. Tetapi alangkah indahnya bilamana keseimbangan alam yang dipelihara oleh petani itu tumbuh subur dalam iklim usaha masyarakat dan dibawah kendali pemerintahan yang membela rakyat dan alam sekitarnya.


Budaya Kapital Vs Budaya Lokal

Melalui tulisan ini saya hendak memaparkan salah satu contoh fakta sosial yang kini diderita oleh warga Siau. Misalnya kebiasaan kerja petani dalam aspek produksi. Teknologi sebagai sarana produksi yang digunakan petani dalam pemetikan buah pala ada dua jenis. Jenis pertama adalah sasendeng dan jenis kedua adalah kakambi. Sasendeng bentuknya lonjong dan mempunyai ruang penampung untuk mengumpulkan buah pala terpetik. Sedangkan sasendeng memiliki pengait tanpa penampung sehingga buah jatuh ke tanah dan menyebabkan banyak buah yang rusak. Biasanya, jika buah pala melimpah dan tenaga kerja kurang, maka petani dengan institusi lokalnya yang disebut mapalose atau makiwera yaitu semacam fungsi gotong royong (mapalose dilakukan secara bergilir dan bersifat reguler sedangkan makiwera bersifat insidentil) dapat menggunakan sasendeng, agar dalam sekali kerja hasil panen seluruhnya dapat dipetik meskipun dengan resiko tingkat residu yang besar pula. Tetapi dengan menggunakan sasendeng, petani dapat menyeleksi buah pala dengan cermat dan mengurangi tingkat residu. Kelemahan menggunakan sasendeng adalah pada pemanfaatan waktu yang panjang.

Kedua alat produksi tersebut masih digunakan hingga sekarang dan tidak bisa digantikan dengan alat yang lebih modern. Mengapa? Karena untuk mengganti fungsi sasendeng menjadi lebih baik dari fungsi sebelumnya, petani membutuhkan cost yang besar. Misalnya inovasi teknologi menjawab kebutuhan petani dengan peralatan yang mampu mendeteksi pala tua dari kumpulan pala muda dengan keakuratan yang lebih baik dari faktor manusia, maka untuk membuat peralatan yang serba digital atau otomatis tersebut, diperlukan biaya tinggi dan sulit dijangkau oleh petani kecil.

Kalaupun teknologi semacam itu diadakan dengan terpaksa dan ditransformasikan kepada masyarakat, maka petani-petani dengan luas lahan yang besar yang mampu memanfaatkannya. Dengan demikian, akan mendorong terjadi kesenjangan sosial yang makin besar antara petani kecil dan besar yang berimplikasi terjadi perubahan sosial dengan struktur yang tidak seimbang (kemiskinan struktural). Oleh sebab itu, fungsi kedua alat produksi tersebut di atas mesti dipertahankan sebagai sebuah teknologi yang tepat guna.

Belum lagi dampak lainnya yaitu ancaman kerusakan terhadap keseimbangan dan kelangsungan alam. Ada semacam kebiasaan petani yang dulu ada tetapi kini telah hilang, yaitu sebuah kearifan lokal tentang larangan memetik buah pala di pucuk pohon, karena bagian itu adalah bagian yang harus dibagikan kepada alam. Di pucuk pohon pala biasanya terdapat banyak sekali buah yang disediakan untuk makanan burung aheng. Ketika kebiasaan ini mulai menghilang dan karena kerakusan manusia yang tidak memberikan lagi sebagian dari hak alam serta adanya perbuatan-perbuatan buruk para pemburuh liar, maka burung aheng pun sudah tak ada yang bertengger di pucuk pala. Pelohang sebagai buah pala hasil olahan perut burung aheng yang dipercaya memiliki kualitas paling baikpun lenyap dari pandangan petani saat ini. Demikian pula fulli cair yang dikeluarkan aheng menjadi salah satu unsur hara tanah yang tidak lagi menyumbang tingkat kesuburan tanah milik petani.            


Lalu apa yang dapat dilakukan oleh rakyat jika pemerintahnya lemah seperti ini?

Saya pikir bukan saat yang tepat menunggu lahirnya kebijakan dari sebuah pemerintahan yang kurang peka dan tidak responsif terhadap sumber pendapatan daerah yang sangat potensial dikembangkan itu. Warga Siau dan warga Sitaro pada umumnya, harus segera berbenah diri. Tidak perlu menunggu, segera hentikan penjualan atau penggadaian lahan, segera sadari bahwa bergerak pindah ke sektor jasa seperti jasa ojek adalah sebuah tindakan bodoh yang sifatnya sementara yang tidak dapat menjamin kelangsungan hidup warga untuk kurun waktu yang lama dan kembalilah berkonsentrasi untuk mengelola kebun pala.

Generasi muda sebagai salah satu pilar dan agen pembangunan, baik yang masih kuliah dan yang berada di kampung halaman, berbuatlah sesuatu. Setelah berilmu, kembali ke daerah dan rumuskan alternatif solusi sebagai jalan keluar bagi permasalahan daerah. Ubahlah orientasi berpikir bahwa menjadi PNS lebih baik status sosialnya daripada menjadi petani pala. Kini saatnya kita berkampanye untuk perubahan tanpa meninggalkan identitas dan corak budaya lokal dalam pertarungan dengan kebudayaan global. Mari ciptakan tatanan masyarakat industri yang bersahabat dengan lingkungan alam. 

Kamis, 11 November 2010

DANA UNTUK DESA (sebuah catatan fiskal)

Oleh: Sonny Mumbunan
 
Jepara di penghujung Oktober 2010. Balai pertemuan di kabupaten itu disesaki warga perwakilan desa. Kepala desa dan perangkat desa dari berbagai desa di seantero dan sekitar Jepara berkumpul di balai itu. Hadirin mengenakan batik warna cokelat, sebagian juga memakai peci. Mereka duduk menyaksikan pentas seni serta mendengarkan pidato yang bergelora, di dalam balai yang panas dan cukup bikin gerah. Pertemuan itu digelar Parade Nusantara, sebuah wadah nasional yang memperjuangkan aspirasi rakyat desa. Di balai itu, para wakil desa menuntut agar negara menganggarkan 10 persen APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) bagi desa.

Apa argumentasi dibalik tuntutan itu? Problem seperti apa yang mungkin tersirat dari tuntutan itu? Perangkat fiskal apa yang pas untuk tuntutan itu?

Sebagai sebuah aspirasi, tuntutan itu cukup masuk akal. Sekalipun desa merupakan tulang punggung republik, saat ini secara umum desa kita dapat dibilang mirip sebuah tulang punggung yang ringkih. Ringkih lantaran mayoritas desa adalah terbelakang dan miskin. Secara struktural, keterbelakangan dan kemiskinan itu dapat ditelusuri dari pembatasan terlembaga atas potensi dan kapasitas desa. Sebagai akibat dari pembatasan terlembaga tersebut, desa, tempat di mana sebaran penduduk kita sebagian besar berada, menjadi tergantung, tertinggal dan minim prakarsa. Politik fiskal merupakan salah satu saluran pelembagaan pembatasan itu.

Pelibatan desa yang lebih konsisten serta demokratisasi yang lebih dalam atas akses sumberdaya di desa adalah kunci. Jalan bagi upaya pemberdayaan desa menjadi terbuka dengan pelibatan dan demokratisasi itu. Pemberdayaan desa dapat dicapai, antara lain, melalui politik fiskal yang secara sengaja memobilisasi sumberdaya keuangan untuk dialokasikan bagi desa. Mobilisasi sumberdaya fiskal yang mengabdi pada tujuan-tujuan pengembangan desa.

Bukan semata soal 10 persen 

Proporsi 10 persen dalam tuntutan desa itu sendiri merupakan perihal empiris – bukan substansi. Besar proporsi itu bisa 10, 15, 20 atau bahkan bisa kurang dari 10 persen. Pertanyaan pokok bukanlah tentang besaran proporsi. Berapa persen persisnya proporsi anggaran untuk desa itu akan terjawab bila posisi politik fiskal mengambil garis tegas, seperti apa imajinasi kita tentang desa di masa datang. Teknik estimasi yang memadai atas kebutuhan fiskal serta ketersediaan dan akses data desa selanjutnya akan membantu imajinasi tersebut menjadi lebih kongkret. Jadi, saya pikir, hal lebih penting dalam wacana Dana untuk Desa barangkali adalah alasan dibalik tuntutan alokasi tersebut. Alasan itu pasti tidak muncul begitu saja dari ruang hampa. Ia lahir dari sejumlah keterbatasan instrumen fiskal yang kita miliki saat ini terkait pengembangan dan pemberdayaan desa.

Contoh pertama: instrumen fiskal saat ini tidak memfasilitasi pemberian gaji dan tunjangan tetap bagi kepala dan perangkat desa. Kendati mereka sehari-hari bekerja penuh-waktu melayani warga masyarakat laiknya para aparatur negara formal dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan kita. Tunjangan pensiun saat purna tugas pun masih absen.

Contoh kedua: instrumen fiskal untuk pembiayaan perangkat desa saat ini masih bergantung pada kondisi keuangan desa. Dengan demikian, sebuah desa miskin akan menggaji perangkat desa secara tidak memadai. Padahal, guna menjamin standar pelayanan publik yang bermartabat, dibutuhkan standar penggajian yang memadai secara nasional. Bukan standar gaji desa per desa.

Contoh ketiga: instrumen fiskal yang ada untuk desa cenderung berperan sebagai turunan – bahkan residu – dari sistem dana perimbangan kita. Dalam  mekanisme saat ini, pemangku tanggung jawab anggaran berada pada jurisdiksi fiskal setingkat kabupaten. Sementara desa terkesan sekedar menjalankan grant programs kabupaten, tanpa diberi diskresi penuh. Diskresi adalah kebebasan untuk mengambil keputusan terkait kewenangan anggaran (decision assignment). Padahal, kalau saja kita hendak konsisten menjalankan otonomi daerah, jantung desentralisasi semestinya berdetak pada jurisdiksi fiskal terendah, utamanya untuk peran-peran publik yang lebih efektif apabila diserahkan pada desa. Kita tahu, tidak ada yang lebih kenal keinginan dan harapan warga desa sebaik desa itu sendiri.

Ini tidak berarti bahwa seluruh fungsi publik harus diserahkan pada tingkat desa. Desa memiliki keterbatasan untuk menyelenggarakan fungsi publik. Khususnya fungsi publik yang faedahnya merembes keluar atau melebihi batas desa dan dinikmati warga di luar desa bersangkutan (para ekonom menyebutnya benefit spillovers). Kalau begini ceritanya, maka sebaiknya fungsi-fungsi itu diselenggarakan oleh struktur lebih tinggi dari desa, seperti kabupaten atau provinsi. Misalnya untuk program penciptaan lapangan pekerjaan yang masal.

Sebagian kalangan beranggapan bahwa usul 10 persen APBN untuk desa kurang realistis. Anggapan ini dapat dimaklumi mengingat keterbatasan anggaran kita. Menambah anggaran baru juga bukan usul yang menarik bagi sebuah rejim yang sedang melancarkan disiplin fiskal. Meskipun besaran kebutuhan anggaran dan implikasi anggaran harus diuji secara empiris, terdapat alasan bahwa anggapan ini bisa saja tidak sepenuhnya benar. Perlu digarisbawahi bahwa usul 10 persen untuk desa itu dijalankan serentak dengan re-organisasi skema-skema dana desa yang sudah ada. Saat ini skema-skema dana desa tersebar dalam berbagai departemen pemerintah dan di berbagai sektor pembangunan, melalui beragam intrumen fiskal dan mekanisme alokasi anggaran.

Re-organisasi berbagai skema ini menjadi skema dana desa yang tunggal dan lebih terpadu memungkinkan efisiensi dan efektifitas penggunaan sumberdaya fiskal. Efisiensi dan efektifitas itu mungkin tercapai antara lain dengan turunnya biaya transaksi (transaction costs) pengelolaan anggaran saat ini. Anggaran hanya bertukar tempat, ke posisi baru yang lebih pantas. Bila hal ini terbukti maka usul 10 persen anggaran tidak serta merta berarti penambahan anggaran baru secara dramatis.

Instrumen apa?

Sejumlah keterbatasan instrumen fiskal yang ada saat ini untuk desa sudah disinggung. Sebagai jalan keluar dari keterbatasan-keterbatasan itu, dibutuhkan instrumen fiskal baru yang didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Instrumen itu idealnya mengandung karakter sebuah sectoral block grant. Instrumen ini berkarakter “sektoral” karena akan digunakan murni untuk pemenuhan dan pelaksanaan fungsi-fungsi publik di dan terkait desa, bukan untuk sektor di luar itu. Pada saat bersamaan, instrumen ini punya karakter “block grant” karena akan menjadi sumber keuangan desa di mana desa memiliki otonomi penuh dalam menentukan penggunaan dan pengelolaan dana desa.

Pelaksanaan grant ini dapat berjalan beriringan dengan instrumen pembiyaan yang telah ada di daerah – seperti dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dari Dana Bagi Hasil, baik dari pajak atau sumberdaya alam.

Alokasi dana desa: dua mekanisme, dua kriteria

Bagaimana dana block grant itu akan disalurkan kepada desa? Paling kurang dibutuhkan dua mekanisme. Mekanisme pertama diperlukan di tahap alokasi awal. Pada tahap ini, berapa besar proporsi yang akan dialokasikan untuk desa perlu ditentukan sedari awal. Dalam prakteknya, mekanisme ini sangat mirip dengan ditetapkannya proporsi sebesar 26 persen dari pendapatan domestik neto (PDN) kita untuk dana alokasi umum (DAU), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang perimbangan keuangan daerah.

Mekanisme kedua diperlukan pada tahap alokasi anggaran dari kabupaten ke desa. Pada tahap ini, alokasi dana sectoral block grant yang diserahkan melalui kabupaten itu akan disalurkan pada desa dengan merujuk pada kombinasi dua kriteria berikut.

Pertama, kriteria pembagian rata (equal share) bagi seluruh desa di mana setiap desa memperoleh jumlah yang sama guna menjamin tersedianya standar tingkat pelayanan publik yang setara di seluruh negeri. Kedua, kriteria proporsional dengan mana setiap desa akan menerima dana berdasarkan karakter desa bersangkutan. Kriteria proporsional itu misalnya berkaitan dengan luas desa, kepadatan penduduk, kapasitas fiskal desa, jumlah penduduk miskin, kerentanan terhadap bencana atau rawan pangan, dan lain sebagainya. Kriteria ini bertujuan menjamin keadilan bagi desa yang memiliki karakteristik berbeda-beda. Desa berpenduduk sedikit, misalnya, tak patut menerima dana desa lebih besar ketimbang desa berpenduduk banyak.

Mem-PNS-kan perangkat desa?

Ada anggapan, tuntutan dana desa terkait dengan keinginan  kepala desa dan perangkat desa agar mereka diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Selain keliru, anggapan ini sekaligus juga problematis. Pertama, terkait persoalan prasyarat dasar, sebagian besar kepala desa dan perangkat desa kita berusia di atas usia masuk PNS dan berpendidikan di bawah SMA. Kedua, dalam struktur pemerintahan kita, desa punya sejarah otonomi yang mencerminkan keunikan desa. Menjadikan perangkat desa sebagai PNS berarti memformalkan desa, mirip struktur sebuah kelurahan. Perangkat desa bisa datang dari luar desa bersangkutan. Dengan mobilitas seperti ini, keterikatan dengan desa bersangkutan cenderung menjadi lebih longgar, hal mana merugikan desa.

Implikasi fiskal seperti apa yang mungkin muncul?

Dalam skenario baru yang diajukan, kabupaten masih tetap akan berperan sebagai pemangku anggaran sebagaimana diatur dalam sistem perimbangan keuangan antara pusat dan daerah kita saat ini. Akan tetapi otonomi pengelolaan dana telah diturunkan kepada tingkat desa. Selanjutnya, dana desa yang diajukan di atas kemudian akan membiayai (a) belanja perangkat desa dan (b) belanja pembangunan di desa.

Berkenaan dengan belanja perangkat desa, gaji dan tunjangan tetap harus menjadi bagian instrumen fiskal yang baru. Hal ini penting dalam merancang alokasi dana untuk desa. Dari hitungan saya, menggunakan data APBD tahun 2010 seluruh kabupaten di Indonesia, secara rata-rata sebesar 60,9 persen dari pendapatan asli kabupaten plus dana perimbangan yang diterima kabupaten dipakai untuk belanja pegawai. Bila dipecah lagi, dari besaran itu 55 persen digunakan untuk belanja pegawai tidak langsung. Contohnya, untuk membayar gaji dan tunjangan PNS. Sisanya, 5,9 persen, digunakan untuk belanja pegawai langsung, misalnya untuk membayar honorarium atau upah kerja.

Ada persoalan di sini. Selama ini, gaji dan tunjangan PNS disalurkan melalui mekanisme yang disebut “alokasi dasar”. Alokasi dasar ini ditentukan secara bersamaan dengan perhitungan celah fiskal, yakni celah antara kebutuhan dan kapasitas keuangan sebuah daerah, dalam penentuan Dana Alokasi Umum (DAU) bagi kabupaten. Sementara itu, seperti sudah dikemukakan sebelumnya, kepala desa dan perangkat desa bukan, dan tidak perlu menjadi, PNS. Apa yang mereka butuhkan adalah gaji dan tunjangan yang tetap; katakanlah, dengan basis setingkat golongan PNS IIA. Menurut hemat saya, kendati memerlukan sejumlah penyesuaian di tingkat praktis, secara konseptual gaji dan tunjangan yang bersifat tetap ini dapat dijadikan landasan untuk menggabungkan alokasi pengeluaran rutin kepala desa dan perangkat desa dalam struktur “alokasi dasar” di penentuan DAU. Pengeluaran rutin ini harus dianggap dan terhitung sebagai bagian dari proporsi keseluruhan yang diajukan untuk dana desa.

“Elite capture”

Dalam usulan reformasi dana desa, pengawasan penggunaan dana tetap akan dilakukan oleh pemerintah kabupaten yang, sebagai pemangku anggaran, bakal dituntut tanggung jawabnya terkait penggunaan akhir dana untuk desa.

Terkait kapasitas perangkat desa yang terbatas dalam mengelola anggaran dan sumber keuangan yang besar, seperti kerapkali dikhawatirkan banyak pihak selama ini, pemerintah kabupaten dapat memberdayakan pegawai negeri sipil (PNS) pendamping desa untuk membimbing perangkat desa dalam pengelolaan anggaran.

Penggunaan dana desa rentan bocor dan tak efisien. Desa kita punya persoalan cukup akut untuk itu. Seperti di tempat lain, korupsi dan inefisiensi sangat mungkin berlangsung juga di desa. Romantisme atas desa kadang kala mengelabui mata kita dari persoalan elite capture, di mana elit-elit desa yang tampak lugu itu begitu cerdik mengalihkan sumberdaya publik untuk kepentingan diri. Penyusunan anggaran secara partisipatoris dan demokratik, macam mekanisme Musrenbang desa, berguna untuk memastikan efektifitas dan transparansi sepanjang perencanaan, penggangaran, dan penggunaan anggaran.

Akhirnya

Hal-hal tersebut di atas adalah sumbangan pemikiran dan usulan perubahan kebijakan fiskal yang berpotensi memberdayakan desa. Di aras hukum, sebagian isi usulan politik fiskal yang lebih berpihak pada kepentingan desa ini akan tidak lagi sejalan dengan Pasal 68 (tentang sumber keuangan) dari Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 tentang desa. Peraturan ini butuh revisi.

Menutup catatan ini, saya jadi ingat Raden Ajeng Kartini. Dulu, puteri bupati Jepara itu menulis banyak sekali surat, artikel dan catatan tentang keterbelakangan bangsanya. Di penghujung Oktober 2010, kalau saja masih hidup, boleh jadi Kartini bakal menulis perihal pertemuan di balai yang panas dan bikin gerah itu. ***


 Catatan:

1. Untuk penjelasan teoretis tentang sistem perimbangan keuangan dan penjelasan teknis bagaimana sistem ini dijalankan di Indonesia, lihat S. Mumbunan (2010), Ecological fiscal transfers in Indonesia, disertasi doktoral tak diterbitkan, Universitas Leipzig, Jerman.

2. Dilema antara partisipasi publik dan peran pengawasan pemerintah dalam kaitannya dengan korupsi dan elite capture, diulas dengan begitu memikat oleh Benjamin Olken (2007), “Monitoring corruption: Evidence from a field experiment in Indonesia”, Journal of Political Economy 115 (2), hal. 200-249. Kajian Olken menggunakan eksperimen di 400 desa di Indonesia untuk kasus pembangunan jalan.

Jumat, 22 Oktober 2010

NYONYA SILPA TERLAMBAT DATANG BULAN

Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA) yang terjadi di Kabupaten Sitaro tidak boleh lepas dari pengamatan putra-putri di negeri 47 pulau itu. Persoalan SILPA yang terjadi dua kali dalam jumlah puluhan miliar sepanjang tahun 2008/2009 kemarin harus segera dievaluasi penyebabnya. Beberapa media massa di Manado melangsir berita mengenai gagalnya SKPD-SKPD menyerap anggaran. Beberapa SKPD diberitakan hanya mampu memanfaatkan APBD kurang dari 60% dari anggaran yang dialokasikan. SILPA yang dua tahun simultan membengkak tersebut, telah diketahui oleh pihak legislatif, tetapi anehnya tidak segera ditindaklanjuti dalam hearing dengan SKPD-SKPD terkait. Hal ini menunjukkan betapa proses pengawasan tidak berjalan sesuai harapan konstitusi dan masyarakat.

Sebenarnya apakah yang menyebabkan terjadinya SILPA itu? Mari kita telusuri prosesnya yang dimulai dari keterlambatan penerimaan APBD dari pemerintah pusat. Hal tersebut membuat jajaran pemerintah daerah sulit menyesuaikan mata anggaran selang bulan-bulan sebelum penerimaan anggaran tersebut tiba di daerah karena kegiatan pembangunan harus tetap berjalan. Di daerah-daerah baru semcam Sitaro akan timbul upaya menggeserkan satu mata anggaran ke mata anggaran yang lain. Misalnya biaya yang dialokasikan untuk membayar gaji guru tidak dicairkan sesuai jadwalnya karena ada kebutuhan lain yang harus dan mendesak dibayarkan. Kebijakan pejabat daerah atas kondisi seperti itu akan menimbulkan gesekan sosial yang berpengaruh terhadap stabilitas pembangunan.

Lain lagi halnya, jika SILPA disebabkan oleh penyerapan yang minimal dari SKPD-SKPD. Benar terjadi efesiensi anggaran bilamana terdapat program-program yang satuan pembiayaanya mengalami penurunan dari estimasi sebelumnya sehingga sisanya harus dikembalikan pada kas daerah dan bisa menjadi salah satu sumber pendapatan untuk APBD tahun berikutnya. Misalnya ada SPPD yang dibatalkan karena programnya batal dilaksanakan, maka seluruh biaya SPPD itu harus dikembalikan dan menjadi SILPA. Sejauh itu terjadi, maka pemerintahan daerah berada dalam sistem kendali keuangan yang sehat. Tetapi bilamana yang terjadi adalah SPPD fiktif dimana kegiatannya batal tetapi biaya SPPD dikucurkan pada orang/pejabat semacam kasus di Talaud, maka itu disebut sebagai tindakan korupsi. Kondisi seperti inilah yang harus diwaspadai oleh seorang bupati dan wakilnya agar dirinya terhindar dari jeratan korupsi. 

Sitaro, sebagai sebuah daerah pemekaran bila dinilai belum memiliki kesiapan infrastruktur dan aparatur daerah yang cakap menyelenggarakan pemerintahan sangat mungkin mendapat sanksi sebagaimana yang diwarning oleh Mendagri saat diwawancarai pada sebuah TV Swasta yang mengatakan "semua daerah pemekaran baru, bila dalam 3 tahun dievaluasi, terdapat kegagalan mengelola APBD yang berpengaruh terhadap kondisi APBN, maka daerah tersebut akan segera digabungkan kembali dengan daerah induknya atau disesuaikan dengan daerah lain yang lebih mendukung pertumbuhan ekonominya".

Sebagai informasi bagi warga Sitaro, bahwa SILPA APBN Republik ini mencapai Rp 38 Triliun pada tahun 2009, pemerintah akhirnya mengalami defisit yang hingga saat ini mencapai Rp 100 triliun. Artinya pemerintah harus mencari hutang baru lagi guna menutup defisit yang terjadi. Saya dan Anda para pembaca budiman, pasti tidak mau Sitaro menjadi daerah dengan SILPA tahun 2008 berjumlah Rp 17 Miliiar, SILPA 2009: Rp 58 Milliar, satu tahun lagi, jika ada NYONYA SILPA lagi, entah seperti apa nasib SITARO.

Kamis, 30 September 2010

KARANGETANG ANTARA BENCANA DAN RENCANA

Ikhwal Nama Karangetang
Gunung Api Karangetang dalam beberapa catatan diberi nama sebagai "Api Siau" demikian juga catatan lain yang berkaitan dengan sejarah misionari Belanda zaman dulu yang konon membaptis Gunung Api itu dengan nama "Johanes" sekalian dengan Gunung yang lebih kecil berdampingan dengan Karangetang yaitu Gunung Tamata yang dibaptis dengan nama "Johana". Sebelum kedatangan misionari ke pulau Siau untuk menyebarkan agama Kristen Protestan, terdapat kepercayaan tua yang meyakini bahwa di kubah gunung yang aktif itu hiduplah seorang pria sakti yang bernama Ampuang Tatetu. Ampuang Tatetu adalah sosok yang berjubah serba putih, berjenggot putih hingga ke tanah dan memiliki seekor ayam putih (uhise). Pria sakti itu akan keluar dari kubah bilamana bala rakyat melakukan perbuatan-perbuatan yang melanggar norma susila. Beliau kemudian murka dan memuntahkan api untuk meminta korban hingga rakyat menyadari adanya pelanggaran kesusilaan yang mereka lakukan itu.

Bagi warga pulau Siau, Karangetang berarti "yang tertinggi". Saat itu, setiap hal yang bermakna tertinggi dikelompokkan dalam bahasa laut (sasahara) sebagai "aditinggi" yaitu sebuah simbol keagungan yang senantiasa diaktualisasikan dalam warna putih, sedangkan pasangannya adalah "mawendo" yang melambangkan keberanian dan diwujudkan dalam warna merah. Itulah sebabnya kedua warna Merah dan Putih menjadi warna sangat sakral dalam kehidupan kedatuan Siau kala itu yang dipenuhi dengan panji-panji kedatuan diposisikan sebagai simbol eksistensi kedatuan. Mawendo (merah) dan aditinggi (putih) keduanya disakralkan sebagai "seka-saka".


Letusan Beruntun, Letusan Beruntung
Letusan gunung api Karangetang benar-benar heboh di Indonesia. Gunung yang puncak bagian selatan berketinggian 1.827 meter dpl dan puncak bagian utara 1.874 meter dpl itu meletus terakhir pada rabu 23 sampai kamis 24 September 2010. Ketinggian gunung bisa berubah-ubah sesuai dengan aktivitasnya. Pada tahun 2005 tinggi Karangetang dilaporkan menjadi 1.984 m.dpl. Letusan terbesar terjadi pada tahun 1974, semua penduduk di Siau diminta mengungsi. Kemudian terjadi lagi letusan yang tak kalah dahsyatnya pada tahun 1984, 1985, 1992, 1996, 1998.

Karangetang memiliki empat kawah, yaitu: Kawa 1 terletak di puncak selatan, kawah 2 terletak di puncak utara, kawah 3 terletak di puncak utara dan kawah 4 terletak di lekukan antara kedua puncak. Kawah 1 dan 4 telah dipenuhi doma lava. Selain itu masih terdapat dua kawah di bagian selatan dan bagian lereng arah barat laut.

Sekurang-kurangnya ada empat jenis aktivitas Gunung Karangetang, antara lain:

  1. Aktivitas mengeluarkan lahar panas yang terjadi beruntun dari tahun ke tahun, baik melalui letusan besar maupun letusan kecil. Pada tiap letusan senantiasa menghasilkan material batu keras dan pasir dalam jumlah yang sangat besar sehingga mempengaruhi ketinggian gunung. Di sisi lain material yang dikeluarkan Karangetang mendatangkan keuntungan bagi warga Siau untuk membangun rumah.
  2. Aktivitas mengeluarkan awan panas yang sempat terjadi tahun 1992 dan menelan 8 orang korban warga kampung Dame Kecamatan Siau Timur.
  3. Aktivitas mengeluarkan abu panas. Abu tersebut kemudian menjadi pupuk alam yang menyuburkan tanah petani.
  4. Aktivitas mengeluarkan lahar dingin seperti yang terjadi pada tanggal 6 Agustus 2010 yang lalu menghantam kampung Kinali Kecamatan Siau Barat Selatan dan menelan 4 orang korban meninggal dunia.
Letusan terakhir yang terjadi dan lahar menyasar kawasan perkampungan Hekang, Basaha dan Keting dipahami masyarakat lokal sebagai berkat bukan kutukan. Apa pasalnya? Dalam beberapa tahun terakhir kegiatan pembangunan berjalan sangat cepat dan membutuhkan bahan material yang tidak sedikit. Beberapa media massa melaporkan Sitaro kekurangan material berupa batu dasar dan pasir, sehingga letusan Karangetang itupun dipandang sebagai berkat bagi warga Sitaro yang kini sedang aktif membangun.


Belajar Dari Sifat Stratovulcano
Beberapa referensi mencatat letusan besar pertama gunung api Karangetang mempunyai tipe stratovulcano yang pertama kali meletus pada tahun 1675. Letusan gunung jenis stratovolcano terjadi mirip sebotol air berkarbonasi dibuka. Setelah volume kritis dari magma dan gas terakumulasi, hambatan disediakan oleh kerucut vulkanik diatasi, letusan akan terjadi secara tiba-tiba. Itulah yang terjadi pada Gunung Karangetang.

Dalam sebuah artikel yang ditulis Siwi Tri Puji, disebutkan pada tahun 1991, Gunung Unzen di Pulau Kyushu sekitar 40 km (25 mil) timur Nagasaki, Jepang, terbangun dari tidur 200 tahunnya untuk menghasilkan kubah lava baru di puncaknya. Kubah yang runtuh menghasilkan abu arus destruktif yang menyapu bawah lereng dengan kecepatan tinggi 200 km/jam. Unzen adalah salah satu dari lebih dari 75 gunung berapi aktif di Jepang; letusan tahun 1792 menewaskan lebih dari 15 orang dan merupakan bencana gunung api terburuk dalam sejarah negara itu.Fenomena yang sama terjadi pada April 1815 saat Gunung Tambora di Pulau Sumbawa mencatatkan letusan paling kuat dalam sejarah. Awan vulkanik Tambora menurunkan suhu global sebanyak 3°C. Setahun setelah letusan itu, sebagian besar dari belahan utara bumi mengalami suhu dingin tajam selama bulan-bulan musim panas. Bahkan di beberapa bagian Eropa dan di Amerika Utara, pada tahun 1816 mengalami apa yang dikenal sebagai "tahun tanpa musim panas". Debu vulkanik juga berbahaya bagi kesehatan jika terhirup, dan juga merupakan ancaman bagi properti dengan akumulasi yang cukup tinggi. Ketebalan debu 30 cm saja sudah cukup untuk membuat sebuah bangunan sederhana runtuh.

Belajar dari kasus tersebut di atas, mestinya setiap gunung api di SaTas sudah harus ditangani pemerintah secara serius agar ada upaya pencegahan (preventif) secara dini. Tetapi hingga sekarang, kebijakan pemerintah dalam soal satu ini masih jauh dari harapan masyarakat.


Bagaimana Pemerintah Menyikapi Bencana dan Menyusun Rencana?
Nampaknya peran pemerintah Sitaro hanya sebatas memberikan pengumuman untuk bersiaga, belum sampai pada upaya menyiapkan perlengkapan untuk keperluan evakuasi apalagi upaya untuk menyediakan perlengkapan teknologi yang mampu mendeteksi aktivitas rutin yang lebih memadai serta institusi dan kebijakan yang memadai terkait manajemen pengelolaan bencana alam.

Sitaro perlu "Kepala Kampung Siaga Bencana" yang difasilitasi dengan sejumlah pengetahuan, kecakapan dan perlengkapan dalam menyikapi kerawanan bencana alam. Hal ini harus dapat disiapkan sesegera mungkin mengingat aktivitas yang sudah sangat simultan akhir-akhir ini. Persoalan biaya sesungguhnya telah dijawab oleh pemerintah pusat melalui DAK dalam jumlah puluhan milliar, hanya saja masih belum jelas pemanfaatannya.

Demikian pula pelibatan para tokoh-tokoh informal seperti tua-tua adat dan tokoh-tokoh agama serta Majelis Tua-Tua Kampung perlu mendapatkan pengetahuan yang cukup mengenai penyusunan kebijakan lokal yang ramah lingkungan dan berorientasi pada upaya preventif agar terhindar dari dampak bencana alam.

Pendekatan formal semacam membentuk Satkorlak Penanggulangan Bencana yang diinstitusikan lewat Perda, meskipun saat ini masih belum ditetapkan sebagai Perda, sesungguhnya kurang efektif dibandingkan dengan pendekatan informal yang ditawarkan melalui artikel ini. Justru dengan adanya Satkorlak tersebut akan dinilai sebagai institusi yang hanya akan menghabiskan uang negara dengan percuma.

Senin, 06 September 2010

INFRASTUKTUR PELABUHAN MANADO DINILAI PARAH

Kasus terakhir akibat dari parahnya pengelolaan pelabuhan Manado adalah meninggalnya dua orang anggota DPR RI persis di depan mulut pelabuhan. Zeth Walo selaku salah satu pengurus Assosiasi kepelabuhanan mengatakan penyebab peristiwa naas itu diduga kuat karena di tempat kejadian merupakan tempat pecahnya ombak. Kebetulan saja saat perahu yang digunakan para korban ketika masuk ke pelabuhan mendapat terpaan angin barat seketika. Lantaran di kompleks pelabuhan terjadi pendangkalan selama 10 tahun terakhir ini belum pernah dikeruk, sehingga pecahan ombak menjadi besar dan kurang diantisipasi oleh semua pihak yang berkompeten. Padahal persoalan ini sudah menjadi sorotan dalam setiap agenda tentang pengelolaan pelabuhan Manado, demikian pengakuan Walo saat saya dan kawan KORAKORA mampir minum kopi di cafenya di bilangan pelabuhan.

Pada kesempatan itu, hadir pula Capt. Victor Tambelangi, M.Mar., yang mempertanyakan berbagai kelemahan layanan infrastruktur yang tidak lagi memadai dan mengancam keselamatan penumpang yang menyalahi prosedur regulasi pelayaran yang baik dan benar. Tambelangi menegaskan mulai dari layanan tangga naik penumpang yang tidak diperkenankan menggunakan papan yang hanya digantung pada tali di depan pintu kapal. Prosedur yang benar bilamana kondisi datar dari dermaga ke pintu masuk, maka jembatan yang menghubungkan dermaga dengan pintu kapal harus mempunyai jaring atau minimal tempat untuk menjadi pegangan. Sedangkan tangga yang posisinya tinggi, harus dibuat anak tangga tetapi tetap menggunakan jaring. Dengan demikian bila terjadi kecelakaan, maka tidak menimbulkan korban dan kerugian yang fatal. Jangan heran bilamana di pelabuhan Manado sudah sering terjadi manusia jatuh dari atas tangga bahkan mayat pernah jatuh juga. ungkap Walo.

Percakapan kedua tokoh yang kompeten dalam bidang kepelabuhanan itu menarik perhatian beberapa orang yang sedang sharing pendapat di cafe kecil itu. Capten yang malang melintang di lautan dan pelabuhan internasional itu mengatakan bahwa dirinya berkompetensi untuk mengaudit semua aktivitas di pelabuhan Manado. Semoga dari kunjungannya di kampung halamannya Hiung, beliau segera dapat membenahi pelabuhan Manado melalui peran strategis yang melekat pada dirinya dan mendorong kalangan profesional (shipping lines, port company, logistic company), serta serta pihak pemerintah (perhubungan laut, ADPEL, kepabeanan), untuk dapat memberikan gambaran langsung tentang penerapan Modern Port Management di dalam sebuah kondisi nyata di Manado dan pelabuhan-pelabuhan kecil lainnya di SaTaS.

Keanehan Perilaku Politik Masyarakat Manado dan Boven Digoel Papua di Pemilukada

Ada dua momentum Pemilukada yang penting digarisbawahi pada tahun 2010 ini, yaitu Pemilukada yang berlangsung di Kota Manado dan Pemilukada di Kabupaten Boven Digoel Papua. Pemilukada Manado akan diulang lantaran adanya pengerahan PNS dan jajaran kepala lingkungan untuk mendukung pasangan calon walikota Lumentut - Mangindaan. Sedangkan pemilukada di Boven Digoel dimenangkan oleh Yusak Yawulo yang sedang ditahan oleh KPK. Kedua fenomena tersebut jelas berada pada dua ranah berbeda, yaitu ranah politik dan ranah hukum. Saya tidak membahas dari kedua perspektif di atas. Dalam tulisan ini saya mencoba memahami aspek sosiologis yang berkaitan dengan perilaku politik masyarakat di kedua tempat.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat Boven Digoel Papua memiliki sumber daya manusia yang tertinggal dibandingkan dengan masyarakat kota Manado. Dengan demikian perilaku politik masyarakat Manado dapat dikategorikan lebih rasional daripada masyarakat Boven Digoel Papua. Tetapi kenyataan politik berbicara lain, masyarakat Manado masih dipengaruhi oleh para PNS dan kepala-kepala lingkungan melalui berbagai intervensi.

Sikap rasional mengandung arti konsisten terhadap pilihan politik. Oleh sebab itu, pilihan masyarakat benar-benar diletakkan pada pengetahuan pemilih tentang citra figur calon, persepsi pemilih tentang citra figur calon dan preferensi pemilih tentang citra figur calon. Akumulasi ketiga aspek sosio-politik ini akan membentuk sikap politik individu yang rasional. Tentu saja, rasionalitas pemilih tergantung dari tingkat pendidikan. Semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin konsisten pemilih pada pilihan rasional. Dalil ini sepertinya tidak berlaku bagi masyarakat Manado. Sebaliknya berlaku pada masyarakat Boven Digoel Papua yang konon memiliki tingkat pendidikan lebih rendah dari masyarakat Manado. Meskipun Yusak telah ditahan oleh KPK selaku lembaga resmi terkait kasus korupsi yang notabene mampu membuat rekor baik menjadi sangat buruk itu, toch pada akhirnya menjadi pemenang Pemilukada.

LEGISLATOR KRITIS HARUS TERIMA KRITIK

Hari ini saya membaca sebuah berita di Koran Komentar tentang tanggapan seorang legislator Sitaro, Elians Bawole yang diberitakan melakukan counter terhadap kritikan yang dilayangkan oleh Sumitro Jakobus mengatasnamakan tokoh dari Tagulandang. Saya mengenal baik Sumitro dan keluarganya sebagai orang Tagulandang yang dapat dikategorikan selama ini mengikuti dinamika pemerintahan di Sitaro sejak menjadi praktisi salah satu parpol terbesar di Sangihe hingga kabupaten Sitaro menjadi kabupaten definitif. Demikian juga dengan Elians Bawole yang sudah sejak awal saya sering membaca komentar-komentar kritisnya sejak dirinya masih berstatus mahasiswa dan menjadi aktivis di beberapa lembaga di kota Manado. Kedua putra asli Tagulandang ini memiliki daya kritis yang cukup tajam.Kini Elians menjadi salah satu wakil rakyat yang duduk di parlemen Sitaro dan memangku jabatan selaku wakil ketua yang oleh Sumitro sedang gencar-gencar dikritisi kinerja lembaga daerah yang mencatut status representatif rakyat itu.

Dalam berita tersebut Elians menyarankan agar Sumitro dapat menyampaikan kritikannya secara proporsional dan objektif. Pengakuan Elians bahwa Parlemen Sitaro sudah menunjukkan kinerjanya yang dapat dibuktikan dengan ditetapkannya berbagai Ranperda (sayang sekali Komentar tidak menelusuri Ranperda apa saja yang telah ditetapkan oleh DPRD). Kedua kata di atas, (proporsional dan objektif) memiliki makna yang bisa bias jika salah digunakan dan ditujukan pada subjek maupun objek yang kurang kompeten atau tidak kapabel.Tetapi tudingan Elians tentang Sumitro bukanlah tokoh masyarakat Tagulandang, menurut saya justru pernyataan yang tidak objektif. Saya tidak ingin masuk campur dalam urusan emosional mereka. Tetapi lantaran media adalah milik publik, maka tanggapan balik sebagai respon Elians terhadap kritik Sumitro menjadi patut diperbincangkan dalam konteks publik.

Melalui tulisan ini saya menyampaikan kesedihan melihat kedua putra Tagulandang dan juga tokoh pemuda yang pantas diteladani itu sedang beradu argumen yang kurang berbobot, sekaligus sedih menikmati tulisan wartawan yang tendesius dan tidak mencerminkan subtansi sebuah berita. Bagi saya Elians baru saja kehilangan wibawanya selaku wakil rakyat dari ranah publik. Media publik adalah sarana bagi rakyat untuk menyuarakan aspirasinya baik itu bersifat pribadi maupun massal. Dengan demikian tidak kutemukan satupun kesalahan dalam pendapat Sumitro yang telah disampaikannya melalui berbagai media. Barangkali yang dimaksud Elians dengan tidak proporsional adalah menyangkut mekanisme formal yang harus ditempuh oleh Sumitro dalam mengapresiasi kinerja parlemen, sehingga dirinya menilai Sumitro telah salah menyampaikan kritikan. Bukankah dahulu juga, Elians sering melakukan hal yang serupa dengan Sumitro bilamana menyampaikan gagasan kritisnya terhadap akselerasi pembangunan dan peran ataupun kinerja lembaga daerah dalam menjalankan fungsinya agar tetap fungsional?

Di sisi lain, wartawan yang menulis beritanya masih belum profesional karena hanya mempertontonkan kebobrokan emosi pejabat daerah secara terang-terangan. Pelajaran yang penting disimak dari adu argumen ini adalah bagaimana masyarakat pembaca dapat memilah persoalan pribadi, persoalan teknis dari banyak hal yang menjadi substansi pentingnya sebuah berita diseleksi. Tidak ada muatan yang positif dapat dipetik dari substansi berita itu, justru sebaliknya akan mendorong perselisihan antara Sumitro dan Elians menjadi lebih tajam.

Semoga kedua saudaraku yang sama-sama kritis itu tidak terjebak dalam permainan wartawan yang bisa berdampak konflik terbuka itu.

Makalehi Berdaya, Mawelogang Berjaya

Sebuah fakta yang tidak dapat disangkali bahwa sejak dulu kala orang-orang dari Makalehi bagi beberapa orang Siau yang berpandangan feodal seringkali dipandang miris. Pandangan itu berawal dari aktivitas sekelompok pedagang di pasar Ondong. Bagi pedagang-pedagang Siau dan juga pembeli di pulau pala itu, melekat label bahwa orang Makalehi identik dengan ikan asin (kina garang) dan kangkung. Mengapa demikian? Karena orang-orang Makalehi rajin mengelola ikan asin dan memproduksi pisang dan kangkung dari danau kecil di perut pulau terluar di Kabupaten Sitaro itu.

Pandangan tentang kina garang dan kangkong tersebut diatas secara sosial menempatkan status orang-orang Makalehi lebih rendah daripada status sosial orang-orang di Pulau Siau yang memproduksi pala sebagai komoditi sangat membanggakan. Di pulau Makalehi memang sulit ditumbuhi pohon pala karena struktur tanah yang tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman yang satu itu. Tetapi sebagai mahkluk sosial yang harus survive, warga kampung Makalehi dituntut menyesuaikan dengan kondisi lingkungan alam sekitarnya.

Tanpa malu akibat pendiskreditan sosial, penduduk pulau Makalehi tidak lantas merasa teralienasi dari kesatuan sosial saudara-saudara mereka yang mendiami pulau Siau. Mereka tidak lagi mengusik kepemilikan bersama atas kebun dan tanaman pala yang dikuasai oleh saudara-saudaranya di pulau Siau. Mereka tetap berjuang mempertahankan kehidupannya melalui usaha-usaha yang halal dan mengembangkan pola berdagang yang khas perbatasan ke ibukota provinsi (Manado). Sementara di kampungnya sendiri, penduduk menjadi terlatih menahan diri hidup hemat dengan memaksimalkan produksi rumah tangga secara konvensional. Implikasinya adalah terbentuk manajemen keuangan yang efektif dan efesien dalam ruang lingkup keluarga inti. Setiap keluarga menjadi waspada dan tak pernah terlena oleh gilang gemilang harta.

Beberapa di antara mereka hidup merantau di kota Manado dan membentuk komunitas sosial yang melembaga dalam kurun waktu yang cukup lama. Sebut saja ada Rukun Makalehi yang berbasis di Manado Utara dan meluas jangkauannya ke Kota Bitung. Lembaga ini hanya merupakan sekumpulan orang-orang yang diikat oleh solidaritas sosial untuk membangun kampungnya. Ikatan solidaritas ini menjadi sangat kuat dan dengan mudah membuka akses keluar daerah bahkan keluar negeri (negara lain: seperti Belanda).

Saya belajar banyak dari cara kerja mereka. Saudara mereka yang di Belanda mengirimkan sejumlah bantuan sosial untuk membangun gedung gereja dan sedikit biaya untuk membuat jalan setapak. Si pemohon bantuan hanyalah seorang kuli di sebuah toko kecil di bilangan Tikala Manado, tetapi ia dituntut harus membuat laporan keuangan secara terperinci dan tentunya sangat bertanggungjawab, meskipun mereka adalah sanak saudara. Dengan demikian terbangun kepercayaan yang sangat kuat dalam interaksi kekeluargaan itu. Hal ini membuat hubungan itu berlangsung lama dan tetap sehat sehingga akhirnya berpola menjadi sebuah perilaku sosial yang positif bagi pengembangan masyarakat. Bagi saya, masyarakat Makalehi menjadi berdaya bukan lantaran sentuhan program-program pemberdayaan masyarakat yang digalakan oleh pemerintah selaku agen pembangunan, melainkan karena sikap bertanggungjawab dari masyarakat untuk merespon kondisi alamnya sehingga mampu survive bahkan dapat mengembangkan diri menjadi lebih baik dari hari ke hari. Alhasil, kini Makalehi mencatat prestasi terbaiknya sejajar dengan masyarakat petani pala Siau yang pernah membuat sejarah sebagai petani dengan hasil pala terbaiknya.

Rabu, 18 Agustus 2010

Dugaan Korupsi di Sangihe

Dalam urusan pengelolaan keuangan negara, Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe pada tahun 2007 mendapat opini disclaimer dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Berbagai masalah keuangan dari dana APBD ditemukan oleh badan negara yang secara konstitusional paling berkompeten memeriksa pemanfaatan dan pengelolaan dana negara itu. Untunglah, pada tahun 2008, predikat pemanfaatan keuangan daerah ini berubah ke opini Wajar Dengan Pengecualian (WDP), (lihat pernyataan BPK Perwakilan Sulawesi Utara, pada Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe untuk Tahun Anggaran 2008 Nomor: 03.1/LHP-LK/XIX.MND/I/2009 Tanggal 21 April 2009 halaman iii). Tetapi, ternyata pada dokumen lain yang tidak terpisah dari Laporan Hasil Pemeriksaan BPK Perwakilan Sulawesi Utara itu, BPK membeber berbagai permasalahan pemanfaatan keuangan negara di kabupaten perbatasan Utara Indonesia ini. Dokumen itu bernama: Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Sistem Pengendalian Intern Perundang-undangan Dalam Kerangka Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe untuk Tahun Anggaran 2008 Nomor 03.3/LHP-LK/XIX.MND/I/2009 Tanggal 21 April 2009.

Dari sekian banyak temuan masalah keuangan oleh pihak BPK itu, beberapa serta merta pantas diklasifikasikan sebagai kasus keuangan ringan, yang dapat langsung diperbaiki oleh pemerintah Kabupaten Sangihe. Namun, beberapa kasus bertendensi tindak pidana yang kejadiannya bukan saja melanggar berbagai aturan pengelolaan dana daerah, tetapi potensial merugikan keuangan negara dan karenannya pantas diduga sebagai praktik korupsi yang akar pelakunya pantas dituduh berasal dari kepala.

Terduga terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh pihak-pihak di dalam tubuh Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe selang tahun 2004-2008, secara khusus yang melibatkan Bupati Sangihe, sebagai aktor utama, di belakangnya. Tentu kebenaran ihwal keterlibatan pihak-pihak secara persis tentu hanya dapat diungkap lewat penyelidikan dan penyidikan pihak berwenang.

Dokumen utama yang dijadikan pokok dari uraian ini adalah dokumen Laporan Hasil Pemeriksaan Atas Sistem Pengendalian Intern Perundang-undangan Dalam Kerangka Pemeriksaan Laporan Keuangan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe untuk Tahun Anggaran 2008 Nomor 03.3/LHP-LK/XIX.MND/I/2009 Tanggal 21 April 2009. Berbagai telisikan pribadi dan hasil investigasi media yang mengangkat masalah ini memperkaya duduk soal masalah yang dikuak dalam dokumen BPK tersebut di atas. Meski, mempergunakan dokumen BPK yang dimaksud tetapi beberapa tafsiran atas temuan berbeda, terutama berkaitan dengan dugaan korupsi. Ihwal apakah terjadi tindak korupsi jelas harus dikuak lanjut oleh lembaga-lembaga negara lain, di antaranya dengan mempergunakan dan mengembangkan hasil temuan pemeriksaan BPK itu.

Senin, 16 Agustus 2010

Gunde

Gunde adalah tarian asli dari masyarakat SaTaS yang ditemukan sejak masa kedatuan zaman dulu sekitar abad ke 15. Gunde berasal dari kata "gundeng" yang berarti pelayan istana. Pekerjaan para gundeng masa itu, antara lain mencatat berbagai keperluan datu (raja) dan keluarganya di dalam ...kedatuan. Selain itu juga mencatat berbagai hal terkait dengan fungsi penyelenggaraan kekuasaan datu. Dalam menjalankan fungsi kedatuan, datu dibantu oleh "Komolang Bobatung Datu", yaitu mereka yang bertugas untuk memberikan nasehat terkait penyelenggaraan pemerintahan kepada datu sehingga pemerintahan dapat berjalan efektif sesuai dengan kebutuhan dan kehendak bala rakyat.
Demikian penting peranan para gundeng dalam menegakkan kebijakan datu sekaligus menjamin keamanan lingkungan internal kedatuan. Para gundeng tidak diposisikan sebagai budak, melainkan pelayan datu yang bertanggungjawab, mereka mendapatkan perlakuan istimewa dari bala rakyat, bahkan dikategorikan sebagai kelompok terhormat dalam struktur dan tatanan nilai kedatuan. Mereka tidak berani mengambil harta kekayaan kedatuan karena loyalitas mereka pada nilai-nilai bersama, bukan sekedar kepatuhan pada datu. Datu pun demikian, ia tidak mengumpulkan harta kekayaan untuk kepentingan memperkaya diri meskipun hal itu memungkinkan dia untuk melakukan dengan otoritas yang dimilikinya. Sebaliknya seperti yang pernah dilakukan datu Lemuel David, memerintahkan rakyat untuk menanam pala di seantero wilayah kedatuan menjadi milik rakyat.
Peranan gundeng masa lalu itu relevan dengan peranan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam era otda dewasa ini. Demikian juga kearifan dan kebijaksanaan datu waktu itu sangat relevan dengan posisi bupati dan wakilnya saat ini. Mereka bekerja mengurus segala keperluan daerah (baca: rakyat). Realitas yang terjadi dewasa ini justru mengalami distorsi peran sehingga rakyat mulai bangkit untuk melakukan perlawanan. Resistensi mulai terjadi di beberapa kelas sosial yang berpotensi terjadinya chaos dalam sistem pemerintahan baik internal (sesama PNS dalam satu instansi) maupun eksternal (inter dan antar instansi) serta mempengaruhi stabilitas tatanan kehidupan bersama di Sitaro. Pejabat membeli hak milik masyarakat dari hasil gajinya selaku pejabat negara, pejabat yang lain melakukan korupsi, pejabat yang lain lagi sibuk memindah-mindahkan staf dari satu tempat ke tempat lain tanpa alasan yang jelas, proyek-proyek batal ditenderkan, proyek-proyek yang ditenderkan tidak mempunyai output yang terukur dan hanya menghasilkan monumen-monumen yang mubazir, arah pembangunan tidak memiliki konsep strategis. Para gundeng yang direkrut saat ini justru banyak yang bukan putra daerah sehingga mereka bebas menari-nari di atas penderitaan rakyat Sitaro setelah mereka dinyatakan lulus dari tes CPNS.
Komponen pemerintahan lain yaitu DPRD, belum sedikitpun mencerminkan ciri-ciri seperti yang diperankan oleh KBD (Komolang Bobatung Datu), karena sebagian besar belum memahami peranannya dalam fungsi legislasi. Untuk maksud menemukan peranan itu mereka lebih banyak keluar daerah untuk mengikuti berbagai "pelatihan ketangkasan" agar bisa menjadi kompeten sepanjang lima tahun masa jabatan mereka dan pada lima tahun berikutnya mereka hampir pasti tidak terpilih lagi.
Oleh karena itu saudara-saudaraku, marilah kita belajar pada tatanan nilai yang pernah kita cetak sebagai sebuah bangsa yang sangat bermartabat di masa lampau. Seharusnya kita berkembang kearah progres yang lebih baik dari masa lalu. Pergerakan hendaknya dibangun di atas nilai-nilai bersama. Kita adalah bangsa yang kuat nilai persatuan dan kesatuannya. Mengapa hari ini seakan-akan kita sudah lupa pada filosofi yang pernah digagas oleh pendahulu-pendahulu kita, yaitu: Taumatang Siau Kere Kiasong Tahiti, Maning Tontongang Mang Mu Tumbiki, dimana maknanya adalah orang-orang Siau (baca: Sitaro) takan mudah jatuh meski digoncang kerasnya kehidupan. Hiduplah rakyatku. Bangkitlah dan bersatu melawan kelaliman di negeri kita.

Tantangan Perempuan Pesisir Indonesia

Negara kita memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang ke-2 setelah kanada). Wilayah perairan Indonesia adalah 75,3% dari total wilayah NKRI (9,8juta Km2). Laut Indonesia memiliki sekitar 8.500 spesies ikan, 555 jenis rumput laut dan 950 jenis terumbu karang. Kemiskinan dan keterbelakangan lekat dengan keluarga nelayan yang bergelut dengan kekayaan laut (70% nelayan Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan) 82% nelayan berpendidikan sekolah dasar kebawah sehingga tidak mampu memanfaatkan potensi laut secara optimal & pengolahan ikan menjadi terbatas (segar & kering). Sarana & prasarana tidak memadai (kapal kecil & teknologi rendah, BBM susah, fasilitas pendingin minim, lembaga pembiayaan tidak mendukung, dll).
Pembangunan membutuhkan tenaga dan fikiran perempuan dan laki-laki. Pemberian kesempatan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki sebagai pelaksana pembangunan berarti Inefisiensi. Demikian juga pemberian kesempatan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki dalam menikmati hasil pembangunan berarti melanggar HAM. Fakta menunjukan bahwa perempuan kurang dapat berpartisipasi dan menikmati akses/fasilitas: Pendidikan, Kesehatan; Pekerjaan; Upah yang sama untuk jenis pekerjaan yang sama; Akses ke kredit; Kesempatan mewakili Daerah di forum nasional/nasional di forum internasional; dsb.
Rendahnya angka HDI Indonesia (Index Pembangunan Manusia Indonesia thn 2002 urutan 112 dari 175 negara or terburuk di ASEAN) disebabkan oleh rendahya kualitas hidup perempuan Indonesia yang notabene jumlahnya lebih dari 50% Penduduk Indonesia. Mengingat besarnya jumlah perempuan Indonesia dan rendahnya kualitas hidup perempuan, maka peningkatan HDI (Human Development Index) Indonesia hanya bisa dilakukan dengan meningkatkan kualitas SDM-nya.
Perempuan yang belum melek huruf sebanyak 14,06% (di desa 19,20% sementara pria 9,63%). Perempuan yang berhasil menyelesaikan pendidikan SLTP keatas 36,9% sementara pria sebanyak 46%. Perempuan yang menikmati pendidikan tinggi 3,06% sementara pria 4,17%. (Susenas, 2000). Angka kematian ibu karena hamil, melahirkan dan nifas tinggi yaitu 307/100.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian Balita sebesar 46/1000 kelahiran hidup. Rendahnya kualitas hidup perempuan dibidang kesehatan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, perilaku masyarakat termasuk perempuan sendiri, pelayanan kesehatan dan faktor keturunan. Sementara perilaku masyarakat dipengaruhi oleh pengetahuan, pendidikan, pelatihan, akses terhadap informasi, sarana, dukungan sosial, dsb.
Banyaknya perempuan Indonesia yang bekerja sebagai TKW (pembantu rumah tangga), prostitusi dan trafficking menunjukan permasalahan perempuan dibidang ekonomi tidak terlepas dari kemiskinan. Perempuan dari keluarga miskin sulit berfikir jernih dan terbuka dalam menatap kedepan. Penerapan teknologi Pertanian dan adanya industrialisasi menyebabkan perempuan terlempar dari pekerjaan pertanian, beralih menjadi buruh pabrik atau berusaha pada skala mikro. Krisis keuangan berakibat pada banyaknya buruh di-PHK. Perempuan rentan terhadap PHK. Di perkotaan perempuan ini banyak yang bergelut di sektor informal (PKL). Permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha mikro umumnya berkaitan dengan: modal, kualitas produk dan pasar. Khusus untuk PKL, mereka juga dihadapkan oleh masalah keamanan berusaha.
Tantangan Intern (dari dalam diri perempuan) adalah 1. Sulit saving pendapatan, untuk menambah tingkat pendidikan dirinya atau anak perempuannya, 2. Merasa cukup dengan “bekal” yang dimilikinya dan enggan meningkatkan pendidikannya, sehingga menyebabkan rendahnya kreativitas, 3. Sulit meningkatkan Rasa Percaya diri, dan 4. Sulit merubah Attitude (cara berfikir, merasa dan bertingkahlaku). Sedangkan Tantangan Ekstern (dari luar diri Perempuan) antara lain: 1) Adanya pandangan bahwa pelaksana pembangunan adalah pria sementara fungsi perempuan hanya dibatasi pada “sumur, dapur dan kasur”. 2) Pandangan “miring” terhadap perempuan berstatus Janda (terlebih pada janda yang masih muda, cantik dan ramah), 3.“Women Vs Women” yaitu perempuan tidak rela bila “bos” dan/atau “bawahan” suaminya, perempuan sadar/tidak sadar hal ini akan membatasi akses perempuan pada dunia kerja sehingga perempuan sulit mendapatkan lapangan kerja, dan 4. Terbatasnya sarana/prasarana; keamanan lingkungan perempuan sulit/tidak berani keluar rumah untuk bekerja.
Jumlah perempuan lebih dari 50% jumlah penduduk Indonesia. Jika jumlah yang besar tersebut tidak dioptimalkan fungsi dan perannya, niscaya hanya akan menjadi beban pembangunan. Agar fungsi dan peran perempuan (terutama pesisir) dalam pembangunan Indonesia bisa optimal, maka kualitas SDM perempuan harus ditingkatkan. Peningkatan SDM tidak harus menunggu program pemerintah, kita semua (individu/ organisasi terlebih organisasi perempuan) berkewajiban meningkatkan SDM Perempuan Indonesia. Peningkatan pendidikan tidak harus formal, tapi juga bisa secara non formal maupun informal. Kalau perempuan dan organisasi perempuan Indonesia bersatu, bahu membahu berjuang meningkatkan SDM perempuan (yang juga berarti SDM Indonesia) tanpa diwarnai “kecurigaan” dan ketakutan antar perempuan niscaya negara kita akan segera sejahtera.
Semoga perempuan Indonesia makin berjaya.

Pemiskinan Struktural

Masyarakat petani pala di Siau sejak beratus tahun yang lalu, kurang lebih dimulai tahun 1818, raja Lemuel David telah menginstruksikan agar rakyat menanam pala di atas tanah kebunnya sendiri. Mereka kemudian memiliki kebun itu dan mewariskannya kepada anak-anak cucu hingga pada generasi ke tiga dan keempat dewasa ini. Pada tahun-tahun kemudian, Brillman pernah mencatat dalam bukunya Kabar Baik Dari Bibir Pasifik, bahwa pada tahun 1935 di Ulu sudah terdapat pedagang-pedagang Cina yang membeli hasil pertanian pala dari penduduk Siau dan dijual ke Eropa. Sepanjang sejarah, kontribusi tanaman miristica franganhouts ini sangat signifikan menopang kebutuhan masyarakat untuk bertahan hidup. Pernah sekali membuat terobosan sebagai pala terbaik dunia sekitar tahun 1980-an.
Pada masa krisis ekonomi melanda bangsa-bangsa di dunia, para petani pala Siau justru hidup dengan bergelimang uang. Ada yang dapat membangun rumah saudara-saudaranya di rantau, membeli lemari es, memasang teghel rumah, renovasi rumah menjadi bertingkat, hingga kaleng-kaleng bir berseliweran di kebun-kebun pala karena petani mengkonsumsi jerih payah mereka secara "berlebihan/konsumtif". Oleh sebab itu, para pelaku usaha dalam bidang yang lain melihat kesempatan itu sebagai peluang untuk mengembangkan usaha di Siau. Kondisi dadakan ini terjadi kurang lebih selama 2 tahun.
Datanglah kemudian para migran dari kota-kota (Manado/Gorontalo, Makasar dan Jawa) membentuk komunitas rural di dekat pasar Ulu dan pasar Ondong. Komunitas rural ini bertahan hidup lebih baik dari penduduk lokal. Ketika krisis ekonomi relatif membaik, maka terjadi situasi normal dan masyarakat yang tak sempat mengelola penghasilannya dengan maksimal kembali menjadi miskin, ada yang telah mengadaikan atau menyewakan kebunnya kepada pembeli (orang cina) untuk menebus hutang mereka bahkan ada yang menjual hak kepemilikan atas tanah dan kebun mereka kepada orang cina, makasar dan para pendatang lainnya. Akhirnya tidak sedikit orang-orang asing yang tadinya tidak memiliki lahan atau kebun pala, sekarang sudah memilikinya. Tuan tanah menjadi tamu di negerinya sendiri. Inilah yang dinamakan sebagai kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh mobilitas sosial vertikal yang terstruktur.
Pada situasi seperti ini, pemerintah seharusnya bersikap proaktif dalam mengantisipasi berkembangnya fenomena konflik sosial yang bakal terjadi dikemudian hari, akibat dari struktur yang berubah drastis itu. Saat dimana masyarakat menjadi lapar (miskin), maka sangat rentan terhadap konflik sosial. Ironisnya, saya mendapat kabar dari sumber yang sangat terpercaya tentang sebuah upaya yang tengah dilakukan oleh salah satu pejabat daerah di Kabupaten Kepulauan Sitaro. Kabar itu mengenai adanya usaha dari sekelompok orang yang sengaja diorganisir untuk mendapatkan sejumlah informasi dari penduduk di kampung-kampung yang berniat untuk menjual tanah hak milik yang di atasnya terdapat tanaman pala. Setelah mendapatkan informasi yang memadai, maka sang pejabat itu melakukan transaksi baik pembelian dengan perpindahan hak penuh kepada pembeli, maupun dengan sistem jual gadai atau sistem sewa.
Jelaslah bahwa pemerintah Sitaro sengaja membiarkan fenomena ini terjadi, mala nimbrung bersama kelompok kapitalis lain untuk turut menyengsarakan rakyatnya sendiri, setelah mereka selesai menguras uang negara, lantas semakin rakus mengeksploitasi hak milik rakyatnya. Mereka sengaja tidak membuat regulasi terhadap pengelolaan komoditi unggulan itu untuk kepentingan membangun kesejahteraan rakyat. Kemungkinan lain adalah mereka tidak tahu cara membuat regulasi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Visi dan misi yang disampaikan sewaktu Pilkada dan Pemilu yang lalu tak satupun terbukti. Sebaliknya di Sitaro kini justru tengah terjadi sebuah misi yang sangat mustahil, yaitu Misi Pemiskinan Struktural. Kelak disuatu waktu nanti, saudara-saudara kita yang hidup disana akan jatuh miskin dan menjadi peminta-minta di ruas-ruas jalan Ondong dan Ulu, menjadi orang gila yang duduk di leput-leput, anak-anak kita senantiasa meratap, menjadi anak-anak yang kurang gizi dan pembodohan terjadi dimana-mana. Berdiam dirikah kita bila fenomena itu dibiarkan...???

Segenggam Garam Atasi Segunung Masalah

Kisah ini untuk kekasihku yang paling aku cintai dan saudara2ku yang aku kasihi. Simaklah baik-baik.

Suatu ketika, seorang gadis muda yang sedang dirundung banyak masalah. Langkahnya gontai, raut mukanya muram. Ia berjalan menyusuri telaga kecil dan singgah di sebuah pondok. Di pondok itu ada seorang kakek. Tanpa buang waktu gadis kecil itu menceritakan semua masalahnya. Kakek yang bijaksana mendengarkannya dengan seksama. Lalu kakek mengambil segenggam garam dan sebuah gelas berisi air minum. Ditaburkanlah garam itu ke dalam gelas, lalu diaduknya perlahan.
Coba kamu minum ini dan katakan bagaimana rasanya" ujar pak tua itu.
Pahit, pahit sekali!!!... jawab si gadis sambil meludah kesamping luar pondok.
Kakek itu sedikit tersenyum. Ia lalu mengajak gadis ini berjalan menyusuri tepi telaga. Kedua orang itu berjalan berdampingan dan akhirnya sampailah mereka ke bagian telaga yang paling tenang. Kakek itu lalu kembali menaburkan segenggam garam ke dalam telaga itu.
Coba ambil air dari telaga ini dan minumlah, saran kakek.
Saat gadis itu selesai mereguk air itu, pak tua berkata lagi: "bagaimana rasanya?."
Segar,... sahut si gadis. Apakah kamu merasakan garam di dalam air itu? tanya pak tua lagi. Tidak....., jawab si gadis lugu itu.

Dengan bijak Kakek itu menepuk-nepuk punggung si anak muda . ia lalu mengajaknya duduk berhadapan, bersimpuh di samping telaga itu.
Katanya: "anak muda, dengarlah... pahitnya kehidupan adalah layaknya segenggam garam, tak lebih dan tak kurang. jumlah dan rasa pahit itu sama dan memang akan tetap sama. Tapi, kepahitan yang kita rasakan akan sangat tergantung dari wadah yang kita miliki. Kepahitan itu akan didasarkan dari perasaan tempat kita meletakkan segalanya. Itu semua akan tergantung pada hati kita. Jadi, saat kamu merasakan kepahitan dan kegagalan dalam hidup, hanya ada satu hal yang bisa kamu lakukan, yaitu lapangkanlah dadamu menerima semuanya lantas luaskanlah hatimu untuk menampung setiap kepahitan itu.

Kakek itu memberikan nasehat penutup, "hatimu, perasaanmu dan kalbumu adalah wadah itu, yaitu tempat kamu menampung segala-galanya selama hidup. Jadi, jangan jadikan hatimu seperti gelas, buatlah laksana telaga yang mampu meredam setiap kepahitan dan mengubahnya menjadi kesegaran dan kebahagiaan. Keduanya lalu beranjak pulang. Mereka sama-sama belajar hari itu. Kakek bijak itu kembali menyimpan "segenggam garam", untuk anak muda yang lain yang sering datang padanya membawa keresahan jiwa.

Saudara2ku: Tetaplah hidup dalam harmoni yang indah. Ketahuilah, dalam memberikan nama bagi anakku "Marsel "Field" Kaghoo, kata ditengahnya mengandung makna Hati Yang Lapang.

Minggu, 13 Juni 2010

Mengejar Mimpi (1)


Dari puncak bukit kecil disebut rukue, kala matahari agak meninggi, mulai ada sedikit keraguan dan buru-buru kami memandang ke tengah-tengah kampung Sanumpito, bila pucuk tiang bendera kosong berarti kelas belum masuk, sebaliknya bila merah putih tlah berkibar di ujung tiangnya, kelas sedang berlangsung. Itulah simbol yang kami tandai bilamana dalam tiga per empat perjalanan menuju SDN Inpres Sanumpito yang bebas biaya pendidikannya tetapi sungguh jauh lokasinya bagi anak seukuran kami. Aku harus bagun pagi-pagi membersihkan tempat tidur, dapur dan halaman rumah, baru berangkat ke sekolah dengan "titania" bertelapak sobek karena aus selama 4 tahun pemakaian tak diganti-ganti. Sekali waktu, bendera telah berkibar dan aku ngotot meneruskan perjalanan. Tiga kawanku yang lain menyatakan kembali ke kampung. Karena kerasnya tekadku sebagai "pengkhianat" dalam perspektif kerdil mereka, akupun dihajar dengan mistar kayu di betisku, sebelum nanti dihajar guru karena terlambat.

Situasi itu sering terjadi, hingga pelajaran tentang makna yang lain akhirnya mengubah pandangan kami sekeluarga tentang bahayanya sekolah jauh. Aku terkapar hilang kesadaran setelah pelajaran siang dilanjutkan less sore dan aku bertahan tidak makan siang itu. Sore pukul 5 less usai, aku melangkah gontai pulang ke rumah, kulahap sebuah pala muda di jalan menuju kampungku. Entah karena zat apa dalam buah pala itu, membuat aku seketika tertidur di sebuah regel di Liwua. Akupun kaget terbangun pukul 21.00 dan pamanku berada di samping sambil meneteskan air matanya. Air mata yang membuat aku siuman. Keesokkan hari aku dipindahkan ke SD YPK Laghaeng, sekolah yang berada di belakang rumah kami. Tapi di sekolah itu aku harus bayar. Tidak apa2, kata paman,...... karena tinggal sekelas lagi aku segra tamat. Sejak saat itu aku sangat berkeinginan menjadi guru.

Setahun kemudian kepala kampung mendapat kehormatan untuk memberikan secara langsung lembaran Nilai Ebtanas Tertinggi dari puluhan siswa berseragam putih merah. Aku, anak tanpa ayah yang kerap ditinggalkan kerabatnya karena eksodus, menerima lembaran itu dari tangan kepala kampung. Uniknya, aku itu tidak tercatat sebagai juara. Aku menempati posisi keempat dalam hierarki penjuaraan sekolah. Di tempat pertama diduduki oleh putri sekretaris kampung. Demikian sekolah mengeluarkan kebijakan tentang kategori prestasi anak didik di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Kristen milik Jemaat Efrata Laghaeng. Aku tidak melakukan protes, karena belum begitu mengerti dengan waham besar para penentu kebijakan internal sekolah. Aku menjadi siswa pendiam dengan sejuta heran dan seribu tanya.

Nyaris Mati
Nepo tetanggaku, nama lain dari Charlis, memberiku hadiah sepiring teh benda menyerupai gula yang nampak membeku. Maklum karena aku suka gula-gula. Kunikmati gula-gula itu sebagai hadiah bagi sang juara empat yang diberikan dengan tulus hati oleh seseorang yang kuanggap sebagai kakak sendiri. Hadiah Nepo adalah Pupuk Urea. Sungguh aku tidak tahu barang itu. Tubuhku tiba-tiba lemas dan rahangku seakan-akan tak bisa digerakkan lagi. Oma segera melakukan tindakan pertolongan mengambil kuah kelapa tua dan aku dipaksa minum, hingga akhirnya nyawaku terselamatkan.

Aku menapaki SMP bertempur dengan kerasnya kehidupan yang setingkat lebih keras dari kondisi sewaktu SD. Karena di Manado, bibiku harus menyelesaikan studi diploma gurunya, maka seluruh pasukan produktif harus eksodus ke Manado untuk membantu membiayai pendidikan bibiku dengan bekerja sebagai buruh kasar. Aku tertinggal seorang diri dengan satu keyakinan akan dapat melewati masa-masa sulit kala itu yang belum diketahui. Prestasi akademik tidak mengalami perubahan signifikan, pengalaman baru mengelola organisasi selaku sekretaris OSIS cukup membuat diri terlatih berhadap-hadapan dengan banyak orang. Tapi soal makan, aku tidak selalu menempatkan pada posisi urgen sehingga selalu saja mengalami lapar berat. Pantang bagiku naik turun dapur tetangga hanya untuk sesuap nasi. Aku lebih suka mengopur dan menemukan buah2 pala tua (lengeh) di kebun untuk konsumsiku, kehidupan keras layaknya Tarzan. Kulihat ada pohon pisang sepatu yang ditanam opaku di kebun, separuhnya sudah masak. Kupotong pisang itu dan kubawa pulang ke rumah tempat aku ditinggalkan kerabat, yaitu di rumah orang tua rohani. Kebetulan dia seorang gembala gereja yang sangat feodal. Peluhku seember, karena memikul buah pisang itu, tetapi satu saja kupetik dari sesikat yang masak, membuat sang gembala naik pitam. Kenapa? Menurutnya, aku melanggar etika. Entahlah etika apa? tiba-tiba telapak tangannya yang besar menghantam pipi kiriku, pisang yang kumakan muncrat tiba-tiba dan aku terjatuh pada 12 anak tangga, berakhir di jalan besar. Tulang pada bahu kiriku patah, aku menjadi cacat seumur hidup. Aku ditolong oleh seorang yang mahir memulihkan patah tulang, tetapi katanya, aku sudah sulit ditolong lagi, karena patahan itu mengandung kekuatan gaib. Oh....... aku kesakitan..... sungguh sangat kesakitan. Tapi aku tidak boleh lalai ke sekolah.

Akhirnya SMP Talawid mencetak beberapa jebolan yang memiliki kualitas, seperti Fidel Malumbot dan Elgien Kahuweka, aku yang selalu tak pernah bertengger pada posisi satu karena harus kuakui Fidel masih jauh lebih ulet belajar daripada aku. Aku sangat yakin beberapa kawan lain yang menyandang gelar juara, adalah mereka yang ditopang oleh kebijakan internal sekolah yang sarat nepotisme. Satu hal yang harus kucatat dalam masa-masa SMP ini, yaitu layanan Perpustakaan tidak sehebat waktu aku sekolah di SD Inpres di Sanumpito. Di SMP Talawid Filial Laghaeng tidak tersedia perpustakaan, semuanya tersedia di sekolah induk. Aku semakin jarang membaca di sekolah dan bahan bacaanku lebih banyak tentang kisah historik para pejuang-pejuang gereja semacam Calvin dan Kisah Perang Salib serta kisah-kisah dari Yunani. Kedua buku itu kuperoleh dari Yayasan Anugerah yang kebetulan diikuti oleh pamanku. Rumah kami sering bocor dilempari orang tak dikenal bilamana kelompok ibadah jemaat anugerah itu sedang melakukan ritual peribadatan di rumah kami. Stigma ajaran sesat menjadi label bagi keluarga kami. Kami dipandang sebagai keluarga yang unik dan wajar kalau diisolir.

Kisah-Kasih di SMA
Menanjak ke jenjang SMA, aku hidup dengan pamanku yang saat itu menikahi seorang mantri bertugas di kampung Kanang. Disana aku bekerja memproduksi pion pagar untuk pembangunan gereja. Pagi-pagi pukul 05.00 aku harus bangun mengambil pasir di pantai Kanang yang jaraknya kurang lebih sekilo dari kampung. Setelah itu diproduksi pagi sebanyak 10 buah, pulang sekolah harus mengambil pasir lagi dan memproduksi 10 buah lagi. Demikian hari-hari produktif itu dilewati sepanjang 3 tahun. Sebagai pekerjaan sampingan aku diberi tanggungjawab mengasuh anak. Anderson dan adiknya.

Di sekolah aku sering berperan sebagai orang yang memimpin barisan ketika kami hendak apel pagi. Prestasi akademikku cukup bersaing dengan 40-an kawan yang terpilih dari segi kecerdasan intelektual di jurusan Fisika (A1) yang kala itu dikenal umum sebagai jurusan milik kaum yang kutu buku dan suka repot-repot berhitung. Aku tidak sehebat Liefson Jakobus, Noldy Salindeho, Wenny Kansil, Wati, Mega, Frieds Albert, atau Max Munaung. Tapi aku masih senasib dengan Max Munaung, karena kami berasal dari latar belakang keluarga dan hidup dalam getir yang nyaris sama, tentu selain nama depan kami sama-sama Max. Bedanya, Max dibesarkan dengan pendampingan orang-orang kuat dan tegar bertarung dengan kehidupan, sedangkan aku dibiarkan sendiri tanpa pendamping. Dari cara berpakaian kami sangat berbeda, Max tampil seperti "begal-begalan" lantaran sering ditegur guru akibat perbuatannya melawan aturan, bajunya selalu kelihatan kusam, ukurannya lebih besar dari ukuran badannya dan ujung bajunya sering dilipat-lipat dan dibiarkan di luar celana. Aku sendiri sosok pendiam dan kelihatan feminim padahal dari bentuk wajahku, Lombroso (filsuf kriminologi) bisa menilai aku ini type penjahat..... syukurlah belum satupun kami di kelas saat itu belajar tentang teori Lombroso sehingga aku terhindar dari stigma yang pernah menimpaku kala SD dulu.

Singkatnya, saat duduk di bangku SMA Ulu Siau, aku menjadi manusia yang banyak belajar hal-hal positif. Dalam kehidupan berorganisasi aku bertumbuh menjadi sosok yang mengenal banyak watak dan perilaku manusia dalam organisasi sehingga kurasakan cukup sebagai pengetahuan untuk memahami makna kehidupan bersama. Kegiatan-kegiatan yang bermuatan sejarah mulai kukenal ketika Silvia Janis salah satu pengurus OSIS mengusulkan untuk melakukan napaktilas keliling Siau. Ide itu kebetulan relevan dengan obsesiku untuk mengunjungi setiap kampung di pulau Siau. Akhirnya kami berhasil melakukannya, masuk dari kampung Kanang dan keluar dari kampung Lehi dalam perjalanan pagi hingga sore hari. Dari sanalah aku mengenal dengan baik kisah patriotik sang panglima kora-kora "Hengkengu Naung" semasa kedatuan Siau dipimpin oleh datu Batahi.

Dari perspektif kacamata kuda, aku harus mengatakan bahwa jebolan SMA Ulu Siau Angkatan 1992 memiliki kreativitas yang cukup tinggi dan pantas disebut angkatan paling berprestasi dalam sejarah sekolah ini, demikian pengakuan Kepsek setelah menerima laporan OSIS yang kami serahkan kepadanya. Betapa tidak, selain memiliki tim sepak bola yang tak terkalahkan, mempunyai pasukan drum band yang tangkas dan mengagumkan, siswa-siswinya memiliki sejumlah ide kreatif yang diimplemtasikan melalui program-program OSIS, guna mengharumkan nama baik sekolah. Sulit dilupahkan.

Kelompok drum band yang paling heboh itu dimajoreti oleh empat putri cantik secara bergantian, Iske Luntungan, Sista Liuntuhaseng, Merry Makasenda dan Silvia Janis. Dalam sekali aksi biasanya diterjunkan berpasangan, Iske menjadi mayoret utama dan Silvia Janis menjadi mitranya pada barisan kedua, demikian juga bila Sista menjadi mayoret utama, maka Merry menjadi mayoret di barisan kedua. Man dan Lion mendapat kepercayaan untuk mendentumkan bass, mereka meliuk-liuk mendemonstrasikan kepiawaian masing-masing, meski Man kelihatan lebih kecil dari drumnya, tetapi kecepatan dan ketepatan pukulan tidak pernah salah. Baik Man maupun Lion memiliki karakter tersendiri memainkan bass dan bariton, sehingga seringkali mata penonton terfokus pada penampilan kedua remaja itu.

Hampir seluruh isi kelasku terpakai dalam pasukan drum band itu, kecuali aku dan Sosipater Pangumpia. Walahuallam, aku dan Sosipater memang tak berbakat dalam soal music. Sosi, ayo kita pergi dari keributan ini, ujarku pada Sosi yang sering terlihat hampir kehilangan rasa percaya dirinya. Aku mengajak kawanku satu ini ke perpustakaan untuk membaca buku-buku sejarah, karena aku tahu dia tidak berminat pada buku-buku aljabar apalagi aritmatika yang dipenuhi logaritma tak kunjung pernah dipahaminya. Tapi aku sungguh heran Sosipater bisa lulus dari kelas dua Fisika. Dia berani seperti Hengkengunaung kakek buyutnya dari Kiawang.

Bakatnya memahami sejarah, banyak terbantu oleh Enci Urbanus, yang kebetulan beliau adalah guru jurusan sosial. Suara enci Urbanus menggemuruh bak kegemparan Medelu bila sedang menuangkan ilmu…. Tanpa suara keras enci Urbanus, Sosipater pasti kesulitan memahami perilaku patriotisme eyangnya dari Kiawang yang dijuluki Panglima Perang Korakora, yaitu Hengkengunaung. Maklum telinga kawan karibku itu mengalami gangguan koneksi sejak masa kecilnya. Bukan karena akibat perang menaklukkan kesaktian Makaampo atau dalam rangkaian ekspansi militer dengan armada lautnya, melainkan karena serangan penyakit malaria tropika yang pernah mewabah, semasa layanan kesehatan prima belum maksimal sebagai agenda pembangunan masa orde baru. Kiawang relatif jauh dari pusat kota yang merupakan centra layanan kesehatan masyarakat di pulau Siau kala itu.

Sosi demikian saya memanggilnya, sangat tidak bahagia bila Pak Guru Tumbio mengajar Bahasa Indonesia. Sosi sering murung seperti sedang merenung nasib sial sepanjang Pak Tumbio terus menerus menggunakan lelucon dan sekali-sekali mengiris bathin pribadi feminism itu. Ketika seisi kelas menyambut dengan gelak tawa atas guyonan pak Tumbio, Sosi menunduk malu seraya menyembunyikan senyum. Dia sebenarnya ingin ketawa lepas. Tapi katanya ia masih lebih malu kalau suara ketawa yang dikiranya biasa-biasa saja justru akan menjadi sangat mengganggu suasana atau memicu penyakit jantung Pak Tumbio menjadi kambuh. Sosi benar-benar sosok yang sangat manusiawi dalam kelas kami.

Misteri Batu Giok
Kawan, jangan pernah mengira air tenang tak ada buayanya. Justru di air tenanglah, sering kita jumpai banyak hal yang sensasional. Pernah ada suatu masa, rencanaku gagal dan tersisa hanya harapan. Sebuah harapan yang selalu membuat aku terdorong untuk bangkit. Aku menyimpan banyak kisah bersama seseorang dalam banyak keterbatasan sekaligus kelebihannya yang kubanggakan. Perasaan itu telah lama kupendam dalam sanubari terdalam. Karena itu sulit dideteksi. Sekedar untuk sebuah pembenaran semu, orang semacam aku, yang mendapat tanggungjawab memimpin apel pagi, sudah wajib hukumnya untuk tiba lebih awal dari semua siswa lain.

Dalam pembagian tugas menyapu ruang kelas, aku dan beberapa teman mendapat giliran setiap hari selasa. Bukan saja hari selasa aku sendiri datang lebih awal sebelum sunset di ufuk timur terbit. Setiap hari. Setiap pagi benar. Untuk apa? Bukan untuk memimpin pasukan, bukan pula untuk tunaikan kewajiban membersihkan kelas. Hanya untuk satu hal yang tak pernah kutemukan sejak tiga tahun berselang. Yaitu dia. Dia berkilau, menyebut namanya saja aku harus pandai melafal bahasa asing dan cerdas memahami tulisan kanji, sering membaca banyak referensi tentang mite nusa-nusa sangihe yang terangkai dalam tajuk Sang Ian. Kisah ratapan airmata A-Hung yang menjelmakan sederet pulau dimana kami tinggali sekarang. Yaitu sebuah kisah abad ke 3, jauh sebelum Sense Madunde diperbincangkan dalam dongeng sebelum tidur.

Tapi kisah ini bukan tentang A-Hung dan Sang Ian atau kisah tentang Sense Madunde dan Bidadari bungsu. Ini adalah kisahku, kisah antara aku dan Nioe Sioe Lie… kisah yang menyimpan terlampau banyak misteri. Misteri tentang batu giok. Nioe Sioe Lie adalah sebuah batu giok yang berkilau. Dia memiliki kekuatan dasyat. Kekuatan untuk menarik. Berada di dekatnya, akan terserap oleh kemilau cahayanya. Bahkan bila sedang marah, ia hanya bertutur dengan suara yang sulit di dengar oleh telinga normal. Aku sering bertanya pada Sosipater. Sosi, apakah kau pernah mendengar suara batu giok? Sosi tersenyum lebar, lalu menunduk. Kataku lagi, Sosi…. Jangan-jangan kau batu giok laki-laki ya?.... Sosipater menunduk lagi. Tapi kali ini dia sudah tidak senyum. Aku tidak berani bertanya lagi.

Masih lebih baik aku bertanya langsung pada batu giok yang sedang kubicarakan. Aku terus menerus membiasakan diri untuk menatap matanya. Dia menunduk, menepi, kadang-kadang terlihat sedang membenci. Kala dia mulai menaru simpati, dia menunduk lagi…… sejurus kemudian dia bangkit dan berjalan… seakan-akan berada di pinggir ruas yang sangat sempit, pada sebuah jalan raya yang maha luas. Mataku membelalak lebar. Kuamati sekitarnya, jangan-jangan ada sesuatu yang tak terlihat kasat mata menghalau jalannya. Mataku tidak mampu menembus dimensi metafisis itu… saat kudekati, yang terjangkau dengan panca inderaku hanyalah wangi bunga endemic dari khayangan. Raganya telah menjauh, seolah-olah sudah terbang kembali ke khayangan meninggalkan harumnya, bisik hidungku sekedar membantu rabun mataku itu. Mungkin, gumamku…. Mereka yang dari khayangan memiliki sifat malu berlebihan dan sering meninggalkan misteri untuk dipecahkan oleh manusia seperti aku.

Aku mencoba dan terus mencoba mendekatinya. Aku harus bisa mendekatinya dan akan kucuri hatinya, kumasukan dalam suling bambu, aku ingin mendendangkan syair lagu-lagu indah dari suling itu di dekatmu… dalam dekapanku. Tetapi bagaimana caranya? Aku butuh bantuan seseorang. Pilihan paling dekat waktu itu adalah Telly Kabuhung. Aku berharap Telly dapat menyampaikan maksud hatiku. Telly adalah sosok yang baik hati, tidak sombong lagi penyayang. Lengkap. Telly its ok. Sewindu lamanya Telly berikhtiar membantuku, menyampaikan aspirasi politik dalam orasi-orasi yang hanya dilakukan pada waktu mereka pulang sekolah. Trik sudah beberapa kali dilakukan. Hasilnya nihil.

Nioe Sioe Lie pujaanku tak kunjung keluar sedikitpun dari balik kamarnya. Dia kutu buku paling setia menghabiskan hari-harinya untuk aktivitas memoles kemilau gioknya. Jarak terjauh dari aktivitas selain sekolah adalah mengganti jadwal jaga tokoh bapaknya. Kali ini aku harus menggunakan intrik, dengan berpura-pura membeli sesuatu di tokonya sambil berharap sedang dijaga oleh Nioe Sioe Lie. Aku melakukan survey guna memastikan calon kekasihku ada disana. Terlihat jelas wajah ayu di balik laci tidak lain dia yang kudambakan. Benar dia ada disana sedang membantu bapaknya. Inilah kesempatanku melancarkan intrik.

Rencana mendadak hendak mencari buku cetak yang ditugaskan bapak Panguliman guru Biologi di kelasku. Aku lupa satu hal. Toko itu tidak pernah menjual buku cetak. Sudah berpuluh-puluh tahun lamanya, toko di bilangan Malele itu hanya menjual barang-barang kelontong. Walahualam….. sudah terlanjur. Aku sudah terlanjur bertanya apakah ada terjual buku cetak biologi SMA Kelas 1 di sini? Bapaknya sontak kaget dan spontan berkata, haiiiya, anak…. Sejak tempo apa jual buku disini?... disini hanya ada “buku-buku” saja. Kali ini aku benar-benar malu. Sangat malu sampai aku harus memaki diriku sendiri; Bodoh…. Bodohnya aku karena melewatkan kesempatan indah ini. Mengapa aku tidak bertanya harga ember saja? Mengapa bukan datang membeli tali Jepang saja atau hal-hal sederhana lain….? Kenapa harus buku?.... dasar kutu busuk…. dasar memang kutu buku… pikiranku buku melulu.

Kawan, aku tidak kecewa. Aku menghibur diri, kelak pada suatu masa, hoki akan memihakku. Hingga tiba waktunya kelasku melakukan kegiatan ekstra belajar sore alias less dalam rangka persiapan ujian kenaikan kelas. Jelaslah selaku anak gedongan, senjataku hanyalah buku catatan harian. Nioe Sioe Lie dilengkapi dengan serial buku cetak yang nyaris lengkap. Setiap buku yang digunakan guru, juga dimiliki Nioe. Dalam masa-masa less itu, tempat duduk kami bertukar. Aku yang tadinya sebangku dengan Sosipater si giok laki-laki itu, kini berpindah dan aku duduk di samping giok perempuan (Nioe Sioe Lie).

Melihat perpindahan posisi tempat duduk demikian, Man Dalughu selaku ketua kelas 1(1) di tetangga kami, mengamati gerak-gerik kami. Beberapa kali dia memergoki dari luar kelas, saat aku sedang memegang jemari lentik sang kekasih yang lama kupendam. Aneh bin ajaib. Nioe Sioe Lie, tidak berkelit sedikitpun saat jari-jari tangannya kusentuh dengan lembut. Jujur saja, aku baru belajar bercinta kala itu. Mulutku terkatup dan sulit dibuka, tegangan darah mungkin sudah tidak normal karena jantungku berdetak keras. Aku ngos-ngosan seperti sedang dikejar hantu. Sungguh aku tidak tahu apa yang sedang diterangkan guru di depan kelas kala itu. Nioe Sioe Lie pun tak berkata apa-apa sepanjang dia merasakan belai lembut jemariku. Aku seperti mengelus-elus batu giok dan keluarlah kesaktiannya…. desau suara yang menakjubkan, yaitu suara jantungku. Aku tidak pernah berkata kalau aku mencintainya, lazim seperti yang selalu dikatakan pasangan yang sedang jatuh cinta dalam sebuah adegan film semacam Lupus yang tenar waktu itu. Sejak saat itu, semua buku cetak bahkan catatan harian milik Nioe Sioe Lie boleh kubawa pulang ke pondok kecilku di Akesimbeka. Aku mendapat restunya. Bagiku, inilah jawaban atas ungkapan cinta yang kusimbolkan dengan mengelus jemari tangannya.

Prestasi OSIS dan Sepeda Motor Kepsek
Organisasi Siswa Intra Sekolah yang dipimpin Liefson Jakobus dan dimotori Sista Liuntuhaseng, sementara aku hanya memberi sedikit warna dalam bayang-bayang wakil sekretaris, namun kami berhasil melaksanakan napaktilas bersejarah itu dan menyelenggarakan beberapa iven pertandingan sepakbola, lomba pidato antar sekolah se Siau. Aku, Jayadi Lontolawa dan Lusye Mangolo merupakan bintang kelas dalam lomba pidato itu. Sementara Frieds Albert alias Hendra Taghulihi yang postur tubuhnya paling jangkung diimbangi Rodly Tamahari (teman sebangkuku), mereka berdua membuat Pak Guru Sada harus melompat jika mau menjewer telinga mereka dalam posisi berdiri.

Lion dan Man Dalughu, dua sosok yang paling nakal dalam kelasku. Ironisnya, Lion memiliki postur tubuh tambun dan siswa paling "ditakuti" di kelas, beliau mantan kakak kelas kami yang harus menunggu nasibnya untuk diluluskan bersama Man sesama bintang kelas sepak bola yang tandem dengan bintang2 dari kelas III Sosial yang dipelopori Winston Maloringan. Winston sebagai bintang sepak bola memiliki obsesi untuk keliling dunia menelusuri detil club-club yang menjadi favoritnya. Sementara kawan setianya yang sering menjadi pimpinan regu supporter kalau tidak mau disebut "pemandu sorak" yaitu Richard Kabuhung, pria lincah dari kompleks Akelabo itu lihai memainkan kata-kata mutiara untuk menyemangati tim sepak bola yang dipimpin Yeldi Merpati Cs dari kelas bahasa.

Kecakapan lain dari Hendra Tagulihi adalah "mengakali" kepala sekolah. Suatu saat, aku dan Hendra menyelesaikan laporan kegiatan bulanan OSIS karena waktu itu Sista mengalami sedikit persoalan dengan kekasihnya, Egriet Tinagari sehingga menyebabkan tugas pelaporan itu terbeban ke pundak saya dan Hendra. Untunglah si jangkung itu masih diidolakan oleh Verra Pande, gadis riang yang tak pernah murung. Menurut Hendra, dia lebih menyayangi Uto Pepi daripada menyambut cinta Verra. Kasihan Verra, dia mencintaimu bertepuk sebelah tangan, kataku pada Hendra.

Untuk menyelesaikan tugas laporan itu sampai tuntas, kami berdua harus begadang semalam suntuk. Tengah malam kami membangunkan kepala sekolah untuk meminjam sepeda motornya. Dengan sukarela kepsek memberikan motor kesayangannya. Tepat pukul 01.00 laporan rampung, aku dan Hendra melaju pada kecepatan normal hingga tiba di perbatasan kampung Dame dan Karalung. Sepeda Motor itu tiba-tiba mengalami pecah ban. Terpaksa perjalanan ke kampung Kanang batal dan kami berdua harus kembali ke Bahu untuk mengembalikan sepeda motor itu kepada pemiliknya dalam keadaan rusak. Sayapun tidur di kamar belakang milik Hendra bila sedang mencari inspirasi untuk membuat tembang-tembang Iwan Fals menjadi indah dinyanyikan dengan melody-melody gitarnya.

Metafak Cinta
Uto Pepi maupun Verra sebenarnya adalah dua bunga kelas yang sangat kental persahabatannya, ukuran tubuh kedua gadis mungil itu hanya sebatas pinggul Hendra. Beda-beda tipis dengan Wenny Kansil. Tetapi dari segi intelektual aku mau jujur, sulit bersaing dengan Wenny dan Uto Pepi.... Bila uto pepi dan verra ditemukan bersama Hendra, sungguh kontras bedanya, bak jari telunjuk berpasangan dengan jari kelingking (verra) dan jempol (pepi). Tetapi mereka unik.... sangat unik dan banyak yang menyukainya bila mereka sedang asyik begadang di perpustakaan.

Pak Oskar Malale guru mata pelajaran olahraga seringkali memergoki ketiga pasang sejoli itu bila sedang enjoy. Untunglah si Noldy dan Wenny hampir selalu tak meninggalkan kelas, mereka lebih memilih berdiam di dalam kelas menunggu bel masuk pasca istirahat berbunyi. Sebaliknya, Sista dan Egrie Tinagari merupakan pasangan yang tak kalah serunya dibanding Noldy dan Wenny. Kedua pasang ini, memberikan makna yang dalam bagi sebuah status berpacaran yang maha dasyat sewaktu SMA.

Demikianlah cinta mereka bersemi dan mereka layak melakukan hubungan itu karena nilai metafak yang terkandung di dalamnya. Mungkin akulah satu-satunya orang yang paling mengerti metafak dibalik hubungan cinta itu. Aku lelaki pendiam yang bertugas mengamati setiap perilaku mereka. Baik Weny-Noldy atau Egry-Sista, mereka adalah pelajaran berharga bagiku memahami kehidupan dari sisi cinta..... Kusimpulkan dari kisah mereka, Cinta hanya untuk cinta.... meskipun kelak mereka tidak harus saling memiliki ataupun mereka harus berpisah karena sebuah alasan, yaitu cinta sejati.

Bidang Fisika yang merupakan jurusan pokok kami sekaligus merupakan pelajaran yang paling kami idolakan bersama Pak Martin yang cerdas mengajar kami teknik merangkai dimmer control yaitu sistem kerja lampu yang dapat diturunkan dayanya pada batas-batas sesuai keinginan pengguna. Tentunya selain Fisika, mata pelajaran yang paling digemari adalah Matematika. Kebetulan yang mengajar Matematika kala itu adalah kakak kandung Liefson, yang kami sapa Enci Tuti Jakobus. Dia bukan saja cerdas, dia memilki kecantikan sekelas Marlyn Moendroe yang sering membuat mata jahil Liong jadi terpanah. Enci Tuti pasti menyadari situasi itu.

Mengunci Kelas
Mata pelajaran lain kurang disenangi adalah bahasa Indonesia, tapi untunglah gurunya, pak guru Tumbio memiliki sejuta jurus untuk membuat siswanya senang belajar bidang studinya. Dia nampak lugu dan sekali-kali agak sedikit keras. Man dan Liong meskipun mereka sedikit lalod (lama loading) tetapi soal kenakalan mereka tidak kalah dengan guru. Suatu saat jam Pak Tumbio harus mengajar bahasa Indonesia terpaksa batal karena kelakuan Man dan Lion yang menyembunyikan kunci pintu kelas sehingga Pak Tumbio tidak bisa masuk. Lion mengancam agar kami berdiam diri. Tidak boleh ada suara keluar sedikitpun dari mulut kami.

Sebagai teman setia, kami sekelas ikut saja pada kedua petinggi kelas itu. Jika tidak, solidaritas kelas kami pasti terganggu. Rodly Tamahari, Risno Pangulimang, Unsong, dan Sosipater Pangumpia selaku pria bersosok lembut hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala pertanda tidak setuju dan terpaksa manut demi solidaritas kelas yg diciptakan Man dan Lion. Ulah kedua lelaki itu sontak membuat lingkungan sekolah menjadi ribut karena Pak Tumbio untuk pertama kalinya mengalami marah besar karena merasa terusir oleh siswa kelas III Fisika.

Menyadari situasi ribut itu, kami sekelas justru semakin diam di dalam kelas menunggu apa yang akan terjadi kemudian. Man Dalughu panik dan membuang kunci dari jendela ke semak-semak di samping kelas. Perbuatan itu coba dilerai oleh Mega dan Wati namun sayang kedua perempuan besar itu gagal menangkap tangan Man yang gesit seperti kilat. Anak kunci pintu kelas melayang ke luar jendela, tak dapat terdeteksi lagi.

Pintu kelas yang tidak dapat dibuka itu harus dibongkar oleh Pak Oskar Malale. Lantas kami dikeluarkan dari kelas dan disuruh berbaris di depan ruang tunggu. Satu-satu kami berbaris menurut derajat ketinggian, dimulai dari yang paling kecil yaitu Verra Pande, kemudian Wenni Kansil dan ketiga Uto Pepi seterusnya Unsong sampai akhirnya di paling belakang terdapat Hendra dan Rodly Tamahari. Karena ulah Man dan Lion itulah, kami semua menjadi korban dijemur di bawah terik matahari pukul 12.00. Kami diwajibkan menjawab secara jujur setiap detil pertanyaan dari guru BP yang bertindak selaku hakim kala itu. Tiga perempuan kecil-kecil itu sudah diadili dan terakhir giliran Uto Pepi nampak pucat pasih setelah menjawab puluhan pertanyaan seolah-olah dituduh melakukan korupsi.

Melihat gelagat Uto pepi yang hampir pingsan itu, serta merta Man yang berdiri di depanku bebisik pelan-pelan, Max, kalo kita jatuh tangkap akang ne?.... kataku.... rencana apa lagi bro?..... Belum selesai pertanyaanku kawan, Man sudah jatuh pingsan. Barisan kami langsung bubar karena strategi kedua yang dilancarkan Man melawan penghakiman hari itu. Barisan yang berjejer itu mengerumuni Man yang sedang pingsan, dan mungkin karena terlampau panas suhu udara di sekitar Man, maka itulah yang membuat dia menjadi pingsan beneran sehingga mulutnya mengeluarkan busa. Man pun dilarikan ke Puskesmas Ulu (kini Rumah Sakit Ulu Siau) untuk mendapatkan pertolongan emergency. Semua guru menjadi panik. Gara-gara persoalan itu, Man tidak masuk kelas selama dua minggu dan aku orang yang setia merawat dia di rumahnya.

Video Terlarang
Dalam bidang penelitian biologi, katak-katak di kompleks Akelabo terpaksa harus bersembunyi jika anak-anak berseragam putih abu-abu sudah mulai merangsek terjun kedalam kolam. Katak-katak percobaan itu lebih banyak dikonsumsi daripada digunakan untuk kepentingan penelitian. Man menggorengnya buat makan siang kami di sebuah pondok yang saya tinggali untuk menyelesaikan studi karena bersiap2 hendak Ebta sekolah dan Ebtanas.

Selesai melakukan kegiatan praktek, dan bell istirahat berbunyi, muncullah gagasan dari Lion dan kawan-kawan untuk nonton film porno. Tempat strategis yang menjadi pilihan kami untuk pemutaran video porno itu adalah di rumah Uto Sandra Maluenseng. Sandra tak bisa menolak, karena mata Lion seperti mata elang menatap penuh ancaman persis menyoroti mata kecil si "anak ayam" kurus. Kasian Uto Sandra.... dia tak sanggup mengelak. Alasan yang sangat masuk akal, rumah terdekat dengan sekolah dan cukup strategis karena jauh dari keramaian kota Ulu.

Kedua orang tua dari Sandra Maluenseng adalah guru, mereka tidak berada di rumah pada jam-jam sekolah seperti itu. Sekali lagi jam pelajaran diganti dengan aksi kuriositas anak muda yang ingin tahu banyak tentang praktek membuat manusia baru. Tetapi kami tidak melakukan hal-hal negatif, karena yang nonton film porno itu hanya laki-laki yang nakal saja. Para perempuan kami, ditugaskan oleh Ketua Osis untuk membuat rujak dari buah pepaya di kintal belakang rumah Sandra.