Sabtu, 06 Februari 2010

MENGGANTI BHINEKA TUNGGAL IKAN DENGAN TORANG SAMUA BASUDARA

Kondisi damai, tentram dan sentosa Manado yang dibanggakan kini bukanlah prestasi satu dua pihak. Tapi merupakan buah dari kerja bersama antara pemerintah dan peran significant masyarakat sipil. Slogan kemudian dibuat Gubernur Mangindaan untuk merangkum kondisi yang mesti terus dipertahankan itu sebagai etika Torang Samua Basudara. Komitmen itu kini dipertajam dengan program Tahun Kasih di masa kepemimpinan Sondkah-Sualang yang mencoba hendak melakukan upaya proliferasi (pengembang-biakan) kehidupan kerukunan bersama khas Sulut tersebut. Juga penguatan dengan membentuk lembaga-lembaga kerjasama antar umat beragama di daerah di masa pemerintahan Gubernur Sinyo Sarundajang kini.

Beberapa pihak dapat disebut melakukan peranan penting dalam menciptakan kondisi Manado sekarang ini. Yang pantas disebut adalah:

1) Kalangan LSM dan aktor-aktor kunci pemimpin umat.

Berbagai forum lintas agama membahas masalah-masalah antar agama dilakukan. Bahkan sempat membuat jaringan kampanye bersama dengan mempergunakan berbagai media publik (radio, koran dan jalur online) dan media alternatif lain (poster, selebaran, spanduk dll). Kajian-kajian sempat menawarkan gagasan-gagasan dialog mutakhir. Juga membahas tema perdamaian sebagaimana dirumuskan Hans Kung, there is no peace among nations without peace among religions. Serta tawaran Etika Globalnya.

2) Organisasi-organisasi masyarakat dan pemuda terutama yang terkait dengan institusi agama.

Berperan dalam berbicara ke kalangan umatnya masing-masing tentang nilai sakral dari perdamaian, dialog serta pluralitas. Kemajuan fenomenal dapat dilihat pada ceramah reguler KH Arifin Assagaf di Radio Al Chairaat untuk umat muslim, tetapi didengar juga kalangan Kristen di bagian Utara Manado (wilayah yang paling heterogen dari sisi agama dan etnik) dan menyejukkan hati kalangan Kristen. Eksplosi dapat dihindari, pada masa-masa susah ketika orang menyebut-nyebut adanya konsep kerusuhan berantai di kota-kota ATM (Ambon-Ternate-Manado).

3) Media Publik dan Khusus

Media dengan praktik pemberitaan yang menjauhkan diri dari upaya sengaja atau tidak sengaja menyulut sentimen dan konflik. Praktik media perang dan damai sebagaimana yang pernah dirumuskan Johan Galtung diwaspadai benar. Jika konflik di beberapa daerah lain dituduh turut dipicu media -- sebagai misal konflik Poso akibat pemberitaan Harian Mercusuar dan konflik antar agama yang diperparah oleh pecahnya media ke dalam dua kubu yang bertikai – di Manado kesadaran peran damai media dalam mencegah konflik multikultur relatif lebih maju. Mengingat perkataan Bertolt Brecht dalam Geschicten vom Herrn Keuner) yang mengatakan: Jika koran dipandang sebagai sarana membuat kekacauan, koran pun dapat digunakan sebagai sarana untuk menciptakan ketertiban.

Tapi bukan koran saja yang berperan dalam memberikan berita menyejukkan, tapi juga kalangan radio yang juga melakukan serangkaian kegiatan perdamaian.

4) Pemerintah dengan segenap aparatnya.

Setiap potensi konflik bisa cepat ditangkal oleh pemerintah lewat berbagai kegiatannya. Di banyak kesempatan pejabat-pejabat selalu berpesan tentang keindahan kerukunan hidup antar pemeluk agama dan mengembangkan dialog antaragama. Terutama ketika sedang beracara dengan umat agama tertentu.

Kekerasan Atas Nama Agama

Sungguh kita trenyuh melihat banyak aksi kekerasan yang dilakukan orang atas nama agama. Kenyataan ini agak sulit dimengerti karena posisi sebenarnya dari agama adalah anugerah sukacita bagi manusia. Juga agama (dalam lingkungan Kristen) dipahami sebagai pembawa kabar sukacita dan cinta kasih. Dalam Islam agama dilihat sebagai rahmatan lil -‘alamin (rahmat bagi alam).

Tapi kenapa justru mewujud jadi sekumpulan korban mati mengenaskan, darah yang tumpah ruah dan bagian-bagian tubuh yang berserakan, kesedihan, penderitaan, dukacita, dendam serta kebencian. Atau menjadi peristiwa kelabu yang mengakibatkan gedung WTC New York rusak berantakan dengan ribuan nyawa melayang. Hal yang sama masih berlangsung pasca dua kali bom Bali, dan dua kali bom Hotel J.W. Marryot.

Manuver Osama bin Laden

Sekelompok orang di bawah organisasi yang didalangi Osama bin Muhammad bin Awad bin Laden dituduh berada di balik tragedi WTC di New York tahun lalu. Osama memang kuat dihubungkan terlibat karena sikap penentangannya yang garang terhadap semua kepentingan Amerika Serikat di seluruh dunia. Atau terhadap semua kekuatan Salibis dan Zionis. Artinya terhadap semua kekuatan umat Kristen dan Yahudi.

Rekor kekerasan Osama yang ditujukan pada Amerika Serikat dan bukti-bukti lain membuatnya dituduh berada di balik aksi-aksi kekerasan melawan kekuatan salibis dan zionis. Osama sebenarnya adalah salah seorang pejuang yang dibantu pihak Amerika Serikat melawan tentara Uni Soviet yang menduduki Afganistan. Ketika kawan dan gurunya Syaikh Abdullah Azzam meninggal di Peshawar dia kehilangan semangat dan kembali ke Saudi Arabia di mana keluarga miliarder bin Laden dan bisnis keluarganya berada.

Ketika Irak menginvasi Kuwait, kerajaan Arab Saudi yang ketakutan revolusi bakal berkibar ke negara tersebut, Bin Laden menawarkan diri hendak mempertahankan negerinya dari kemungkinan invasi. Tetapi, pemerintah kerajaan malah berpaling pada proteksi yang disediakan pemerintah Amerika Serikat. Bin Laden kecewa. Dia berpendapat tentara Amerika telah mengotori negara Al-Haramain (negara dengan dua tempat suci Islam di Makkah dan Madinah) dengan kegemaran pesta dan kaset-kaset Madonna.

Dia melakukan oposisi keras terhadap keputusan pemerintah Arab berkolaborasi dengan Amerika Serikat itu. Akibatnya pemerintah Arab Saudi kerajaan menahannya di Jeddah. Tahun 1991 dia memutuskan meninggalkan Arab Saudi dan pada tahun 1992 sudah berada di Khartoum, ibukota Sudan. Kota tempat berseliwerannya berbagai jaringan spionase dunia. Di sana dia diduga keras menjadi donatur banyak aksi terorisme dunia.

Bin Laden punya koneksi khusus dengan kelompok radikal Mesir yang bermarkas di Khartoum di antaranya Al-Jihad Al-Islami yang pimpinan terkenalnya adalah Dr. Ayman Al-Zawahiri yang merupakan salah satu orang lingkaran dalam Osama. Tokoh ini disebut-sebut binasa dalam perang Amerika Serikat dan pendukungnya terhadap rezim Taliban dan pengikut Osama.

Tahun 1994 pemerintah Arab Saudi mencabut kewarganegaraan Osama. Dan dua tahun setelah itu, tepatnya tanggal 23 Agustus 1996 tercatat merupakan titik balik penting dari posisi Osama yakni dari seorang Islam moderat -- yang bekerja membangun berbagai fasilitas publik (jalan) di Khartoum, maklum dia memang seorang insinyur sipil dan hobbi bertani -- menjadi tokoh yang menyuarakan sikap anti Amerika secara konsisten.

Pada tanggal itu dia membuat deklarasi jihad yang menyerukan pemuda-pemuda Islam membunuh semua penjajah Amerika di kerajaan Arab Saudi. ‘’Dinding-dinding penindasan dan penghinaan tidak dapat dihancurkan kecuali dengan hujaman peluru,’’ demikian bunyi salah satu kalimat deklarasinya yang selalu disiarkan CNN sebagai bukti ideologi kekerasan Osama.

Februari 1998, dia melakukan pertemuan dengan para kelompok ekstremis fundamentalis Islam, di antaranya kelompok Al-Jihad Al-Islami. Dalam pertemuan ini Bin Laden mengajak untuk menyerang semua kepentingan Amerika di manapun berada.

Agustus tahun itu juga dua kedutaan besar AS di Kenya dan Tanzania diledakkan dengan korban ratusan orang. Dua hari pemboman itu Madeleine Albright memastikan Bin Laden adalah tersangka utama. AS kemudian dalam selang waktu 13 hari membalas Osama dengan meluncurkan 60 rudal Tomhawk ke markas Osama di Khost. Tapi Osama selamat. Malah dia berjanji akan membalas setiap tindakan Amerika Serikat.

Pada tanggal 11 September 2001 terbukti gedung menara kembar WTC New York hancur ditabrak oleh dua pesawat penerbangan sipil oleh kaum teroris. Ribuan orang di gedung itu terkubur. Ini serangan kedua setelah tahun 1993, WTC New York juga dihantam bom yang menewaskan 6 orang dan melukai ribuan orang. Tahun 1995 pihak AS berhasil meringkus Ramzi Yousef (otak peledakan pertama WTC 1993) yang ditangkap di Pakistan.

Yang pantas diceritakan dalam perjalanan helikopter yang membawanya ke kantor pusat FBI New York melintasi samudera Atlantik . Ramzi dengan bangga menceritakan rencana sebenarnya atas WTC yakni akan menanam perangkat berhulu ledak yang besar di gedung WTC bertingkat 110 lantai itu yang diperkirakannya akan memakan korban 250.000 orang korban dalam dan luar gedung.

Skenario teror yang diceritakan Ramzi itu gagal dilakukan karena dia tidak dapat membeli dinamit yang cukup dan akhirnya memutuskan untuk sekadar meledakkan yang kecil saja tahun 1993. Rencana itu akhirnya bisa dilaksanakan dengan mempergunakan dua pesawat terbang yang diterbangkan menerjang gedung WTC pada 11 September 2001 yang sama-sama kita ketahui. Berbagai pemboman lain juga dihubungkan dengan aksi teror Osama dengan jaringan Al Qaeda-nya.

Tapi apa sebenarnya yang mendorong tokoh semacam Osama menggelar aksi kekerasan? Ideologi apa yang merasukinya? Jawaban semacam itu bisa disimak dari wawancaranya dengan Time dan Nations (lihat buku Osama bin Laden Melawan Amerika, Ahmad Dumyathi Bashori/editor, Mizzan, 2001). Secara singkat dapat disebut Osama memandang gerakan kekerasannya sebagai misi suci agama yang dilakukan untuk melawan kekuatan-kekuatan yang mengancam agamanya. Osama menyerukan jalan Jihad bersenjata melawan Amerika Serikat dan Israel.

Kata Osama pada Time, ‘’Front Internasional untuk Jihad melawan AS dan Israel—dengan pertolongan Allah Swt -- telah mengeluarkan fatwa kepada segenap umat Islam untuk berjihad dengan tujuan membebaskan tempat-tempat suci. Umat Muhammad SAW telah menanggapi seruan dan ajakan ini. Kalau memang anjuran jihad melawan Yahudi dan AS untuk membebaskan Masjid Al-Aqsa dan Masjid Al-Haram diasumsikan sebagai perbuatan kriminal biarkan sejarah sebagai saksi bahwa saya adalah kriminal. Tugas kami hanya menganjurkan dan dengan inayah Allah SWT. Kami lakukan itu. Alhamdulillah, beberapa orang telah merespons seruan ini.’’

Dalam wawancara dengan Nations tampak jelas uraian bahwa Osama mempergunakan teks-teks suci untuk menyokong gerakannya. Osama membuat pemaparan bahwa negeri-negeri muslim sudah jatuh dalam tekanan kaum asing Salibis-Zionis Amerika Serikat dan Israel. Mulai dari Irak, Libia, Suriah, Lebanon, Sudan, Yordania, Mesir dan Somalia. Dan tidak ada jalan lain bagi dunia muslim selain harus mengangkat senjata dan melakukan kekerasan sembari mengutip ayat Al-Baqarah [2]: 216. ‘’Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, pada dia amat baik bagimu, dan mencintai sesuatu, padahal dia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.’’ Ketakutan untuk berperang (jihad) di kalangan masyarakat muslim disebut Osama sebagai malapetaka dunia muslim.

Pada bagian lain wawancaranya dia mengatakan: ‘’ Muslim harus memperhatikan benar ayat-ayat tentang loyalitas, keimanan dan jihad. Mereka tidak boleh menjalin hubungan dengan Yahudi dan Kristen karena Allah Swt telah menerangkan dalam kitabnya, ‘’Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim (QS Al-Ma’idah [5]: 51)

Kekerasan Atas Nama Agama Yang Lain

Tapi sesungguhnya kekerasan yang dilakukan atas nama agama terjadi oleh banyak kelompok di semua agama – agama besar dunia, bukan hanya kalangan Islam. Banyak pembunuhan dan pembantaian dalam sejarah yang menunjukkan kaitan spirit agama dalam tindakan kekerasan yang sangat berdarah-darah. Dan sekali lagi ini bukan fenomena satu agama saja, tetapi lintas agama-agama. Kekerasan dan teror atas nama agama itu biasa dilakukan oleh kelompok sempalan dalam agama tertentu yang merasa perbuatan itu merupakan upaya taat kepada Tuhan, (lihat buku Dr. Alwi Shihab, Islam Inklusif, Mizzan, 1999).

Shihab mencatat fenomena kekerasan mewarnai kekerasan sejarah kehidupan keagamaan. Dalam kajiannya, pada masa formatif Islam, tiga dari empat khulafa al–rasyidun dibunuh oleh tangan-tangan kelompok ekstremis. Khalifah keempat Sayyidina Ali bin Abi Tahlib dibunuh oleh kelompok Khawarij, yaitu ekstremis yang membenarkan tindakan kekerasan dalam mengubah status quo.

Di kalangan Kristen lumuran darah akibat ekstremitas pemahaman keagamaan pun tidak kalah banyaknya. Misalnya, eksekusi yang dilancarkan kalangan mainstream Kristen kepada kelompok sekte yang lazim dinamakan kaum sempalan (heretic) juga mewarnai sejarah Kristen yang melahirkan peristiwa Black Bartolomy di Eropa. Atau dosa gereja Jerman terhadap kaum Yahudi di zaman NAZI. Hingga kini perseteruan agama di Belfast, Inggris, belum kunjung usai dan menemukan formula solusinya.

Di dunia modern kini kekerasan atas nama agama tidak kunjung redup ternyata. Dalam dekade terakhir ini saja tercatat beberapa tindakan kekerasan yang disulut kelompok keagamaan yang ekstrem. Misalnya, kelompok Takfir wal Hijrah di Mesir yang bertanggungjawab atas pembunuhan Anwar Sadat Oktober 1981 saat menghadiri acara parade militer. Tahun 1984 Indira Gandhi, dibunuh oleh dua bodyguard-nya sendiri dari kelompok Sikh yang melakukan balas dendam atas kebijakan Indira yang dinilai merugikan Kaum Sikh, juga didorong oleh motivasi keagamaan.

Selanjutnya pembunuhan perdana menteri Israel Yitzhak Rabin oleh aktivis kaum fundamentalis Yahudi Haredim, Yigal Amir. Ciri kelompok ini adalah militansi, atau ketangguhan berjuang untuk mencapai tujuan, baik melalui ide ataupun senjata. Ketika Rabin terbunuh kelompok Haredim justru merayakannya bahkan mereka mengumpul dana untuk membayar biaya sewa pengacara yang akan membela Yigal Amir. Dalam keterangan dipengadilan Yigal Amir menyatakan tindaknya sebagai ‘’tugas keagamaan saya sesuai dengan anjuran halakha (hukum agama Yahudi).’’

Di Indonesia banyak kasus bisa kita tunjuk sebagai kekerasan atas nama agama. Apa yang terjadi di Maluku dan Maluku Utara yang ceritanya beredar dari mulut ke mulut di Manado adalah contoh kekerasan yang penderitanya adalah kalangan Kristen. Sama halnya cerita sejenis yang dibawah para mantan penduduk Maluku yang berada di Makassar yang menceritakan bagaimana kalangan Islam yang jadi korbannya.

Medan pembantaian yang lain adalah Poso yang hingga kini masih terus meledak sewaktu-waktu. Kalangan Kristen yang melarikan diri ke Manado, hingga kini masih ada di barak-barak penampungan. Cerita mereka tentang kenasiban mereka membuat kita sedih atas prestasi buruk manusia Indonesia yang menyebut dirinya masyarakat berbudi pekerti dan beragama.

Reinterpretasi Bhinneka Tunggal Ika

Konsep yang biasa dipakai untuk menangkal terjadinya perpecahan sosial di Indonesia sudah lama dirumuskan para pendiri republik ini -- terutama sangat direkomendasikan oleh Mr. Muhammad Yamin – yakni konsep Bhinneka Tunggal Ika yang biasanya diterjemahkan menjadi ‘berbeda-beda tetapi satu jua.’

Ceritanya, sewaktu Republik Indonesia digagas menjadi wadah negara bagi bangsa-bangsa Nusantara bekas jajahan Belanda, Yamin memilih frase Bhinneka Tunggal Ika (BTI) untuk melukiskan bagaimana sekian entitas berbeda bisa menjadi satu. Frase ini adalah kutipan Yamin dari kalimat Mpu Tantular dalam salah satu karya kakawin (satu bentuk sastra tulis Jawa Kuno) berjudul Sutasoma.

Menurut kajian S. Supomo, mantan dosen di ANU Australia, karya ini diperkirakan ditulis antara tahun 1367-1389, artinya semboyan BTI sudah berusia 600 tahun lebih (lihat tulisan S. Supomo, Tantular dan Karyanya, dalam 1000 Tahun Nusantara, Kompas, 2000).

Tidak ada penjelasan memadai bagi para aktivis kemerdekaan Indonesia, di tahun 1945, soal mengapa frase Tantular itu yang dipilih Yamin untuk menjadi kalimat mujarab persatuan Indonesia. Kecuali menurut Yamin ada beberapa orang yang tahu tentang karya sastra kakawin itu terutama beberapa tokoh Jawa dan Bali.

Tapi, setelah membaca telisikan kritis ahli naskah kuno seperti S. Supomo, saya bersimpulan BTI sebenarnya bukanlah filsafat hidup yang memang sudah dijalankan dan ihwal kemujarabannya hendak dikampanyekan dalam karya Mpu Tantular ini. BTI ternyata lebih merupakan kalimat bijaksana penulis kakawin yang hendak ditawarkan untuk permakluman bersama.

Frase itu muncul dalam kakawin Sutosoma saat pertempuran antara Porusada dan Sutasoma. Porusada, dikisahkan adalah raksasa pemakan daging manusia yang berjanji akan mempersembahkan korban berupa seratus orang raja kepada Betara Kala. Dia telah berhasil mengumpulkan seratus kepala raja, namun Betara Kala masih meminta tambahan seorang lagi, yaitu Sutasoma, raja dari kerajaan Hastina yang diceritakan merupakan penjelmaan Buddha.

Dalam pertempuran keduanya, Porusada merubah dirinya menjadi Siwa, sedang Sutasoma menampakkan citra diri sebagai Buddha. Porusada sebagai Siwa, saking marahnya merubah dirinya sebagai Api Kala yang akan membakar seluruh bumi. Sutasoma, dengan hati buddhisnya, demi menyadari api itu bakal membakar semua kehidupan bumi tidak terkecuali, sebelum waktunya, segera secara sukarela menyerahkan diri kepada Porusada untuk diserahkan kepada Kala.

Ajaib, justru tindak Sutasoma itu menyebabkan hati Porusada mengalami perubahan total, keganasannya sebagai raksasa lenyap diganti dengan rasa kasih sayang kepada sesama mahkluk. Bahkan Betara Kala sendiri diceritakan hatinya tersentuh. Hatinya jadi dipenuhi kasih sayang dan minta menjadi murid Sutasoma.

Dalam kakawin Sutasoma itulah, pada saat Porusada menampakkan citra Siwa dengan Api Kalanya, para dewa kuatir dunia akan benar-benar binasa, karena itu para dewa turun ke bumi untuk melerai. Untuk menenangkan Siwa, para Dewa mengatakan bahwa tidak mungkin dia (Siwa) dapat mengalahkan Sutasoma -- yang adalah penjelmaan Buddha—karena walau Buddha dan Siwa dua subtansi yang berlainan, tidak mungkin keduanya dipisahkan.

Nah ketika itu para dewa mengatakan kalimat perdamaian berbunyi: ‘’... Jinatwa kalawan Siwatatwa tunggal/bhinneka tunggal ika tan hana dharma mangrwa...’’. Ini diterjemahkan S. Supomo: ‘’ Pada hakikatnya yang paling dalam Buddha dan Siwa adalah satu/ (keduanya) itu berbeda, (tetapi) itu satu, tak ada dharma yang mendua ‘’ .

Jelaslah pertempuran dua tokoh tadi ditampilkan Tantular sebagai analogi perselisihan atas dasar inspirasi agama masa itu, yaitu antara agama Syiwa dan Buddha. Pertempuran sengit yang akan meluluhlantakkan bumi. Adapun pandangan dan sikap agama Tantular dapat disimpulkan yaitu dalam posisi hendak merujukkan dua entitas jatidiri agamawi itu atau posisi sinkretis.

Pandangan sikretis untuk dua agama yang berbeda itu tidaklah aneh ketika itu. Sinkretisme Buddha-Syiwa dapat diamati pada tulisan suci Jawa Smaradahana Hyang Kamahayanikan, yang berusaha untuk mengsinkretiskan dewa Trimurti Hindu dengan dewa-dewa Buddha Mahayana. Sehubungan dengan ini, R.C. Majumdar menyatakan bahwa gabungan antara Syiwa dan Buddha merupakan ciri khas agama masyarakat Jawa. Bahkan dalam teologi Hindu Bali modern, Buddha dianggap sebagai adik Syiwa. (lihat R.C. Majumdar, Hindu Colonies in the Far East, Calcuta, Firma K.L. Mukhopadhay, 1963 halaman 99).

Jelaslah dari kutipan di atas pada konteks apa Bhinneka Tunggal Ika dipakai Mpu Tantular, yaitu dalam konteks memperdamaikan bahkan menggabungkan dua agama India/Dharma. Karena itu, jelaslah pemakaian BTI kini harus diinterpretasikan kembali dari arti ‘’(keduanya) itu berbeda, (tetapi) itu satu,’’ menjadi pluralitas di konteks Indonesia kini. Karena penggabungan agama tidak bisa diterima oleh agama-agama besar, meski saling pengaruh dan saling memberi inspirasi sudah terbukti terjadi dalam kajian sejarah agama-agama.

Keharusan BTI direinterpretasikan pada Indonesia hari ini, memang harus dilakukan ketika agama-agama dominan yang ada bukan lagi Syiwa dan Buddha atau agama-agama India, tapi agama-agama Semitisme agama-agama Abrahamic. Masa agama-agama India dan proses Indianisasi di bumi Nusantara dihitung punya rentang waktu satu millenium dan berakhir dengan masuknya Islam abad keenam belas kecuali di Bali yang bertahan hingga kini.

Konflik Indonesia hari ini justru lebih kaya dari konflik dua agama Dharma dalam Kakawin Sutasoma. Pasca Hindu dan Buddha, agama-agama monoteistik Abraham (Abrahamic Religions) tercatat masuk ke Nusantara mulai dari agama Islam, Kristen dan Yahudi. Antara agama-agama Abraham ini satu sama lain punya luka-luka sejarah dan klaim kebenaran Allah yang eksklusif antar mereka. Dan, upaya untuk mendekatkan mereka dilakukan lewat pendekatan pluralitas.

Saya mengusulkan BTI perlu diterjemahkan lagi ke dalam khazanah konflik agama-agama Abraham. Saya usulkan pada tataran sosial BTI diterjemahkan menjadi etika sosial: menerima pluralisme dan membentuk persaudaraan di atasnya atau Torang Samua Basudara. Karena, pluralisme akan memberi pintu bagi persatuan yang harmonis dan ikhlas serta menolak penyatuan atau penyeragaman (sinkretis). Dan dalam falsafah Torang Samua Basudara (mengingat percakapan dengan Mantan Gubernur Mangindaan) melihat perbedaan itu dimulai dari satu asal yang sama, yaitu dari Bapa Orang Beriman Abraham.

Pluralitas yang dimaksud mengutip Alwi Shihab mencakup:
Pertama: tidak semata menunjuk pada kenyataan tentang adanya kemajemukan. Namun yang dimaksud adalah keterlibatan aktif terhadap kenyataan kemajemukan itu. Seseorang baru bisa disebut menyandang paham pluralisme apabila ia dapat berinteraksi positif dalam lingkungan kemajemukan tadi. Dengan kata lain, pengertian pluralisme agama adalah bahwa tiap pemeluk agama dituntut bukan saja mengakui keberadaan dan hak agama lain, tapi terlibat dalam usaha memahami perbedaan dan persamaan guna tercapainya kerukunan.

Kedua, pluralisme harus dibedakan dengan kosmopolitanisme. Karena konsep ini hanya menunjuk pada suatu realitas di mana aneka ragam agama, ras, bangsa hidup berdampingan di suatu lokasi.

Ketiga, konsep pluralisme tidak dapat disamakan dengan relativisme. Karena seorang relativis berasumsi bahwa kebenaran ditentukan oleh pandangan hidup atau kerangka berpikir seseorang.

Keempat, pluralisme agama bukanlah sinkretisme, yakni menciptakan agama baru dengan memadukan unsur-unsur tertentu ajaran agama ke sebagian ajaran atau keseluruhan ajaran agama lain.

Semangat Torang Samua Basudara

Dari pemahaman dan uraian pluralitas itulah semangat Torang Samua Basudara diturunkan. Menurut Mangindaan, Torang Basudara diderivasi karena agama-agama utama Indonesia kini (terutama Islam, Kristen dan Yahudi) berasal dari satu keluarga Abraham. Menurut saya kerinduan lama untuk memberikan uraian detil terhadap praksis hidup Torang Samua Basudara a la masyarakat Manado sudah saya mulai dan bisa dilanjutkan pihak-pihak lain. Uraian ini akan sangat terbuka untuk disempurnakan oleh mereka-mereka yang berkepentingan dengan upaya untuk memberi uraian yang ilmiah dan komprehensif atas falsafah Torang Samua Basudara yang intinya adalah mengingatkan asal persaudaraan agama-agama besar Semitik di dalam Bapa Abraham.

Secara kebetulan juga Karen Armstrong (bukunya Sejarah Tuhan, Missan 2001) berhasil sekilas membeberkan hubungan (meski agak jauh) antara agama-agama di Timur Tengah dengan agama-agama (Dharma) di India. Karena itu falsafah Torang Samua Basudara tidak sebatas relevan untuk agama-agama Semitik Abrahamik tetapi juga meluas untuk agama-agama Hindia dan agama-agama lain. Dan tidak sebatas omong, tetapi terwujud dalam tindakan.

Berkaitan dengan itu, sudah saatnya di Manado dibuka sebuah pusat kajian agama-agama Abrahamic. Hanya dengan demikian, orang Manado bisa terus menerus bisa memberikan pertanggungjawaban kebudayaan untuk praksis kehidupannya yang khas berkaitan dengan semboyan Torang Samua Basudara.

Tapi rasanya ini semua baru sebuah mimpi saja. Maklumlah karena untuk mengurus masalah kecil saja semacam masalah sampah dan korupsi saja ternyata tidak becus. Tapi, biarlah sekurangnya saya punya mimpi. I have a dream, begitu Marthin Luther King.///Pitres Sombowadile*

Tidak ada komentar: