Sabtu, 31 Agustus 2013

CALEG 2014 DI MATAKU

Banyak sekali teman-teman saya di akun facebook ini adalah Caleg yang aktif berinteraksi dengan masyarakat DuMay. Enam di antaranya Caleg DPRRI dari Bali dan Sulut. Lalu ada juga caleg DPRD Provinsi Sulut dari Dapil Bitung/Minut dan Dapil SaTaS serta Dapil Manado. Yang paling banyak adalah caleg DPRD Kab/Kota dari Wilayah Sulut sampai Papua.

Facebook sebagai salah satu alternatif media yang dapat dimanfaatkan untuk menyampaikan gagasan (interaksi visi) sekaligus mencitrakan diri (interaksi simbolik) pada gilirannya dapat menjadi cerminan tentang sejauh mana kapabilitas seorang legislator, bahkan dapat dibaca seperti apa pola perilaku yang bersangkutan ketika menjadi seorang legislator bilamana dirinya terpilih. Tentunya, saya berangkat dari sebuah asumsi dasar bahwa facebook selaku media sosial adalah perwujudan (manifestasi) dari realitas sosial (termasuk perilaku sosial dan perilaku individu).

Oleh sebab itu, saya tertarik mengamati soal kapabilitas dan orientasi mereka satu demi satu untuk maksud menilai tentang apa yang hendak diperjuangkan sebagai visi dan misi mereka.

Amatan saya sejauh ini, para Caleg telah menunjukkan beberapa karakteristik yang penting dikritisi, sebagai berikut:
  1. Lebih banyak Caleg mengekspresikan diri dengan metode pencitraan simbolik dan sangat jarang di antara mereka menulis tentang isi pikiran tentang apa yg hendak diperjuangkan atau sekurang-kurangnya mempublikasikan program kerja parpolnya maupun program kerja dirinya.
  2. Lebih banyak caleg mengupload foto diri, tetapi membatasi diri dalam berkomunikasi dan berdiskusi guna membahas berbagai persoalan sosial kemasyarakatan yang relevan dengan visi yang hendak diperjuangkannya.
  3. Tidak ada sama sekali caleg yang proaktif mengangkat suatu tema tertentu untuk dikelola menjadi isu strategis bagi dirinya melalui diskusi terfokus bersama sahabat-sahabat mereka, sehingga mereka menerima sejumlah masukan dalam bentuk dukungan maupun kritik terhadap gagasannya. Yang ada justru orang lain yang bekerja selaku konsultan politik para caleg.
Ketiga karakteristik di atas pada akhirnya menuju pada satu kesimpulan bahwa, para caleg kita masih sangat lemah kompetensi dirinya. Lalu bagaimana pendapat saudara-saudara atas wacana dan simpulan sederhana ini.

Jumat, 14 September 2012

Kudeta Identitas

oleh Denni Pinontoan pada 14 September 2012 pukul 22:32 ·

Kuatnya sebuah doktrin mampu menghancurkan sebuah penanda ingatan. Ia bahkan mampu membuat nalar dan kesadaran  menjadi tumpul. Apalagi doktrin yang dominan selalu memiliki kecenderungan untuk mengalahkan yang lain. Pun itu dokrin tentang kebaikan, tapi bila ia telah berubah menjadi ideologi (yang harus selalu) tunggal, ”kebaikan yang lain” pun harus dikalahkan. Doktrin apalagi ideologi tunggal hanya tahu bagaimana ”yang lain” terpinggir atau bahkan hancur.

Hari-hari ini, ”aliran sesat” masih sengaja dihadirkan di ruang publik kita. Juga, yang ”berhala” masih dikonstruksi sebagai stigma untuk yang minor, yang dipinggiran: ”yang lain”. Stigma itu adalah senjata ampuh yang menyingkirkan atau untuk ”menobatkan” yang lain itu. Sejarah bercerita kepada kita, bagaimana era abad gelap di Eropa, hanya karena sesuatu itu ”lain” dan dianggap mengancam, maka sesuatu itu harus musnah dengan stigma ”sesat”, ”bidah.” Padahal, sesuatu itu adalah ”kebenaran.” Namun karena ia ”kebenaran” dari kaum minoritas, maka ia dinamakan ”sesat”. Sementara sesuatu ”yang tidak benar” bahkan ”destruktif,” karena ia milik pemilik kuasa, maka ia menjadi benar, suci dan dengan mudah dikonstruksi menjadi ”firman” atau ”hukum”.

Masih di abad gelap itu, sebuah pemberontakan atas kemapanan yang kemudian berbentuk gerakan kritik, oleh yang dikritik menuduh gerakan itu sebagai bidah. Sebagai sebuah kelompok ”sesat” yang telah keluar dan melawan ”kebenaran” milik yang berkuasa dan mapan, ia harus dihancurkan. Lucunya, di beberapa abad kemudian ketika gerakan kritik itu telah bermetamorfosis menjadi ”agama” yang berkuasa, stigma terhadap dirinya dulu kemudian dipakai untuk menyingkirkan ”yang lain”, yang tidak mau tunduk atau hanya menerima setengah-setengah doktrin dan ideologi tunggalnya.

Tanggal 13 September, hari Kamis, ”ideologi tunggal” itu bekerja lagi. Dua situs budaya di wilayah Pakasaan Tombulu (Kota Tomohon), yaitu Watu Kameya dan Pinawelaan di Kakaskasen dibongkar dan dihancurkan oleh massa. Tapi, massa itu bukan terutama ’jumlah” melainkan sebuah kekuatan. Media cetak lokal (tidak semua) dan media elektronik, radio dan situs-situs berita ikut memberi ”kekuatan” atas destruksi ingatan itu. Judul-judul beritanya mengadopsi khotbah-khotbah agama. Mereka menyebut dua situs yang menyimpan ingatan sejarah dan makna kultural itu sebagai tempat ritual ”aliran sesat” dan praktek ”berhala.” Media kita tiba-tiba menjadi agama, yang merasa paling tahu urusan sorga dan neraka.

Tapi media sebenarnya mengutip pemerintah, kepolisian dan sudah tentu “khotbah” agama. Dengan bahasa yang seragam, bahasa khas agama, menurut massa dua situs itu harus dihancurkan karena ia “sesat”. Para pengikutinya, kata mereka telah meresahkan masyarakat. Seperti agama yang cenderung hitam-putih, begitu juga dengan massa ini. Bagi massa ini, tidak perlu dibedakan mana keresahan itu sebagai akibat dari tindakan personal dan mana situs budaya sebagai milik bersama. Bagi pihak dominan ini, keresahan yang ditimbulkan oleh personal dan situs budaya/sejarah itu adalah sama, sehingga keduanya harus “salah” dan “kalah”, dan mereka sebagai pemilik kuasa wacana harus benar dan menang.

Begitulah sebuah proses ”kudeta” identitas. Tidak ada pengadilan bagi yang tertuduh, yang ada adalah eksekusi di ruang publik. Proses pengambilalihan identitas ini harus dilakukan demi sebuah dominasi dan penundukkan. Konsekuensinya, generasi pewaris identitas harus ditaklukan. Proses menjadi muda ketika generasi ini berada dalam kegamangan di antara proyek rasionalisasi yang materialistis ala kapitalisme dengan proses pembentukan identitas tunggal oleh sebuah kekuasaan yang hegemonik, baik ia yang bernama agama maupun negara.      

Ketika (tanah) Minahasa, yang adalah identitas telah takluk dan diinjak-injak oleh (yang ber-)kuasa itu, tanah yang sudah gersang dan kering ini nantinya akan dipenuhi oleh generasi – yang adalah anak dan cucu kita – yang tak lagi mengenal leluhur mereka: Lumimuut-Toar. Mereka telah  menjadi ”budak-budak” dari dinasti yang menang itu. Mereka akan menjadi ”robot-robot”, yang tanpa rasa, tanpa ingatan, tanpa sejarah. ”Waruga-waruga” kita pun nanti akan mereka gusur. Mengerikan!

Kuranga, 14 September 2012

Selasa, 11 September 2012

LA REGARD


Seluruh isi artikel ini adalah kutipan dari tulisan Wahyu Budi Nugroho yang berjudul "FILOSOFI TATAPAN MATA". Setelah membaca artikel bagus itu, kemudian saya mendapat sebuah postingan dari seorang sahabat yang menemukan foto tua dari museum di Jakarta yang menggambarkan sosok orang laki-laki dari pulau Sangihe. Untuk beberapa hari foto itu sempat kujadikan sebagai foto profil dalam akun facebook baru yang saat ini kumiliki, setelah kehilangan dua akun sebelumnya akibat kerja usil hacker yang tak manusiawi. Sorot mata lelaki itu mirip dengan sorot mataku. Intinya, saya mengamati secara cermat "tatapan mata" seorang nusa man yang sekiranya dapat dikorelasikan pada proposisi teoritik yang dibangun oleh Jean Paul Sartre sebagaimana dideskripsikan oleh Wahyu Budi Nugroho di bawah ini: 
 Tatapan mata atau yang dalam kamus popular filsafat Perancis diistilahkan dengan Le Regard, faktual menyimpan segudang simbol dan makna tersendiri. Terkait hal tersebut, filsuf kenamaan Perancis, Jean Paul Sartre, memiliki perhatian khusus terhadapnya. Lebih jauh dapat disimak pemikirannya mengenai Le Regard di bawah ini.

Menurut Sartre, Le Regard atau “Tatapan Mata” mengandung simbol sebagai berikut:

Simbol Keberanian Yang Bersifat Menantang atau Melawan
Sartre  mencontohkan kode etik dalam dunia Militer. Apabila seorang bawahan atau serdadu diketahui menatap mata seorang jenderal, kolonel atau perwira tinggi lainnya, maka seketika serdadu tersebut dapat dikenai sanksi. Dan, apabila kita cermati, setiap prajurit yang tengah menghadap atasannya, baik sendirian maupun sama-sama, tatapan matanya selalu lurus kedepan, tak satupun dari mereka yang berani menatap langsung mata atasannya, begitu pula dalam kegiatan baris berbaris.

Simbol Mengobjekan/Membendakan/Mempermalukan
Seorang ayah yang tengah “memelototi” anaknya. Ketika Kejadian tersebut tengah berlangsung, apa yang hendak disampaikan ayah pada anaknya yang mungkin telah melakukan kesalahan adalah, anak itu diminta untuk menilai dirinya/tindakannya sendiri melalui sepasang mata membelakak yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian ia ibarat benda yang bebas dinilai, hanya saja, sang anak syarat memberikan penilaiannya sendiri. ketika momen tersebut tengah berlangsung terjadi “perpecahan” dalam diri sang anak, yakni ia sebagai manusia dan ia sebagai benda. Dapatlah dibayangkan, betapa “muaknya” seseorang jika berada dalam situasi dan kondisi demikian.

Simbol Pengekangan
Tatapan mata dapat pula dimaknai sebagai simbol pengekangan. Starte mengambil contoh, apabila kita tengah berbicara sendiri dan tiba-tiba seseorang melihat kita, dengan segera kita akan berpura-pura bernyanyi atau bersiul. Ini membuktikan betapa tatapan mata membuat kita “tak bebas”. Begitu pula, ketika di sebuah kerumunan, kita akan merasa sangat sungkan untuk mengupil ata menggaruk bagian-bagian vital tubuh meskipun gatal yang kita rasakan teramat sangat. (Tentunya ini tidak berlaku bagi yang terlihat sedang berbicara melalui ponsel sambil menggaruk....-)...hehehehe)

Simbol Penjajahan
Penjajahan yang dimaksudkan disini adalah “penjajahan atas dunia indidvidu”. Contohnya mengenai kesendiriannya di sebuah taman. Ketika ia tengah sendiri di tempat itu, kursi taman, air mancur, rerumputan hijau, bunga-bunga dan segala hal yang terdapat di taman itu menjadi objek penglihatannya. Namun, tiba-tiba seseorang hadir di taman itu, ia tak lagi sendirian, kini berganti dirinyalah yang diobjekkan, ia tersipu malu, tertindas, ia pun berkata, “orang itu telah merenggut duniaku…! Dalam momen tersebut, ia merasa dunia seolah memiliki “lubang kecil” yang menyedot segala hal kedalamnya, dan lubang kecil itu adalah tatapan mata seseorang.

Referensi:
Palmer, Donald D, 2003, Sartre Untuk Pemula, Jogjakarta, Kanisius.   


Le Regard Lelaki Dari Pulau Sangihe

MENGUBAH PRAHARA MENJADI PECINTA


Jacky Chan dalam film laga “Who Am I” memberi insipirasi bagi saya untuk menulis artikel ini. Dalam film itu, dia melakoni sosok yang tidak mengenal dirinya pasca pengagalan misi yang berbahaya pada sebuah skenario “pelenyapan jejak” oleh sebuah lembaga misterius. Kemudian saya coba menghubungkan dengan gagasan filsuf idola saya, Plato dan Fromm. Plato adalah pengungkap kebenaran epistemic yang ideal, sedangkan Fromm seorang filsuf yang menekuni dan mendalami psikologi sosial secara bernas. Ide bagi Plato adalah kebenaran. Kebenaran yang menerangkan hakikat. Apapun yang dipikirkan oleh setiap orang adalah hakikat dirinya sendiri. Dengan demikian, pikiran kita adalah jawaban dari pertanyaan siapa aku?

Sementara di dekat saya, seseorang sedang mengalami keadaan yang jauh lebih rumit daripada yang dialami oleh seorang pelakon film sekaliber Jacky Chan. Seorang yang hidupnya selalu dibelit masalah.  Masalahnya berlipat menjadi dilemma. Kemudian bertumbuh dan berkembang menjadi prahara. Dia sering berbisik padaku, hanya untuk mengatakan kemarin dulu ada kontroversi[1], kemarin ada keonaran[2], hari ini ada kekacauan[3], besok ada badai[4], lusa ada chaos[5], dan tulanya ada anomi[6].  Lengkaplah selama enam hari kerja, tak satupun pekerjaan dapat dikerjakan dengan maksimal. Pada hari ketujuh, seharusnya digunakan untuk bersyukur, tetapi justru pada hari itulah kesempatan digunakan untuk mengeluhkan masalahnya kepada orang lain.

Memang manusia tidak dapat dipisahkan dari alam dan orang lain. Semakin bebas manusia semakin ia merasa kesepian, tidak berarti dan terasing. Itulah sebenarnya yang kerapkali ditemukan manusia yang ingin dirinya terbebas dari masalah. Manusia hanya menemukan rasa aman jika bersatu dan bekerjasama dengan orang lain. Lalu, apakah manusia harus lari dari kebebasan? Ya, kita sering melakukannya. Kita ingin orang lain bertanggung jawab atas perbuatan kita,  tidak disalahkan jika ada hal yang salah. Jika situasi menakutkan, kita ingin ada orang yang menjaga kita. Agar selamat, kita bersedia melepaskan kebebasan. Ketika ketakutan, kita mungkin berusaha untuk mengendalikan situasi, sehingga hal itu memberi hasil sesuai keinginan kita.

Ingin Bebas Tetapi Melarikan Diri Dari Kebebasan
Mekanisme “Melarikan Diri Dari Kebebasan” (escape from freedom) dilakukan manusia untuk memperoleh kebersamaan. Ada dua cara untuk memperoleh makna dari kebersamaan dalam kehidupan ini, yaitu: pertama mencapai kebebasan positif dengan berusaha menyatu dengan orang lain, tanpa mengorbankan kebebasan dan integritas pribadi; kedua: memperoleh rasa aman dengan meninggalkan kebebasan dan menyerahkan bulat-bulat individualitas dan integritas diri kepada sesuatu (orang atau lembaga) yang dapat memberi rasa aman.

Cara memperoleh rasa aman dengan berlindung di bawah kekuatan lain adalah mekanisme pelarian. Ada tiga mekanisme pelarian yang terpenting yaitu: authoritarianism, destructiveness, dan automation conformity. Ketiga mekanisme psikis ini seringkali digunakan untuk maksud untuk mendapatkan kembali rasa aman yang pernah diperolehnya pada masa lalu.

Authoritarianism adalah semacam pertentangan antara masochistic melawan sadistic. Yang dimaksud dengan masochistic adalah percaya bahwa dirinya inferior dan tidak adekuat. Perasaan yang kuat akan kebutuhan untuk tergantung kepada orang lain atau lembaga lain. Sedangkan sadistic ialah upaya membuat orang lain sangat tergantung padanya, sangat mengatur dan mendikte orang lain, dan keinginan melihat orang lain menderita. Kemudian destructiveness yaitu perilaku yang berakar dari perasaan kesepian, terisolasi dan tak berdaya. Mencari kekuatan tidak melalui hubungan dengan pihak luar, tetapi berusaha membalas/merusak dan menghancurkan penyebab ketidakamanannya. Menjadi anti-sosial, cruel, and misguided, tapi dirasionalisasikan sebagai “a sense of duty, a god given order, or the love of country”. Contohnya membenci suatu kelompok, ektsrim agama, bahkan patriotisme. Sedangkan automation conformity adalah perilaku yang menghilangkan perbedaan antara diri sendiri dengan orang lain, seperti bunglon yang mengidentifikasikan dirinya sebagai orang lain. Misalnya seorang perempuan yang secara fisikal ayu, tetapi berlagak tomboy atau sebaliknya, lelaki yang berpostur kekar lantas berlagak bencong.

Menurut ahli psikologi sosial, Fromm: ketiga cara tersebut adalah cara yang tidak sehat. Satu-satunya cara yang sehat adalah dengan merangkul kebebasan tersebut dan mengekspresikan diri kita yang sesungguhnya. Bukannya apa yang menurut kita dapat memberi kekuatan pada kita. Karena kekuatan sejati datang dari individualitas dan kebebasan serta melakukan apa yang ingin kita lakukan dan bukannya apa yang semestinya kita lakukan.


Perkembangan Kepribadian
Sejak masa anak-anak, manusia mengalami perkembangan psikologi yang menentukan dalam pembentukan perilaku di masa dewasa. Sebagai anak-anak mereka bertumbuh dan bergerak dari ketergantungan yang kurang bebas menuju ke keadaan otonom (kebebasan penuh). Kemudian bergerak menuju kebebasan yang lebih menakutkan lagi, dan ketegangan tersebut mempengaruhi hubungan orangtua dengan anaknya. Hubungan orang tua dengan anak yang ideal adalah melalui cinta-kasih, yaitu hubungan yang seimbang, yang membantu anak merasa aman, bukannya membuat anak memikul tanggung jawab yang semakin lama semakin membesar. Tetapi kadang-kadang antara anak dan orang tua tetap menjalin terlalu dalam suatu keadaan simbiosis mutualis (ketergantungan) sehingga tanpa disadari membuat anak sulit mandiri. dan dalam beberapa kasus terlalu cepat, mendorong anak terjerembab kedalam keadaan destruktif (merusak). Itulah sebabnya penting sekali dipahami tentang produktivitas keluarga.

Ada dua jenis keluarga yang tidak produktif, yaitu: pertama, Symbiotic families.  Hubungan antar individu yang “tak bisa hidup tanpa orang lain” atau “cannot live without each other”. Beberapa anggota keluarga yang “menjadi korban” atau "swallowed up" oleh anggota keluarga yang lain, sehingga mereka tidak dapat mengembangkan kepribadian mereka secara sepenuhnya. Misalnya seorang perempuan yang pernah mendapat perlakuan pelecehan seksual dari saudara laki-lakinya atau dari ayahnya; kepribadian anak tersebut semata-mata merupakan cerminan dari keinginan orang tua/saudaranya. Anak yang menjadi korban tadi akan menjadi sangat patuh karena takut. Kemudian, di satu sisi anak tersebut akan berusaha mendominasi atau memanipulasi dengan cara sering berbohong bahkan menipu orang tuanya yang dalam keberadaannya adalah untuk melayani anak tadi.

Jenis yang kedua adalah Withdrawing families (cool indifference, if not cold hatefulness) yaitu muncul oleh dua kondisi yaitu 1) adanya rasa ketidak-pedulian yang dingin, dan 2)  adanya rasa kebencian yang dingin. Ketidak-pedulian yang dingin biasanya terjadi pada keluarga-keluarga tradisional/konvensional yang hidup di pedesaan. Orang tua sangat menuntut anak-anaknya (diharapkan meningkatkan standar kehidupan). Hukuman keras merupakan hal yang biasa dilakukan dengan alasan "for your own good." Budaya lain mungkin menggunakan rasa bersalah dan menghilangkan kasih sayang sebagai hukuman. Kedua-duanya menyebabkan anak lebih terpacu untuk meraih keberhasilan dalam apa yang menurut budaya mereka dianggap sukses. Sedangkan jenis kedua, yaitu kebencian yang dingin, biasanya terjadi pada keluarga modern, yang hidup di perkotaan atau di negara-negara yang sudah maju peradabannya.

Perubahan sikap tentang pengasuhan anak membuat banyak orang merasa takut akan efek penggunaan rasa bersalah dan hukuman fisik kepada anak-anak. Gagasan terbaru adalah untuk membesarkan anak sebagai individu yang sederajat dengan orang tua. Seorang bapak harus menjadi sahabat terbaik bagi anak laki-laki; dan seorang ibu harus menjadi belahan jiwa anak perempuannya. Tetapi, dalam proses mengendalikan emosi mereka, orang tua harus tenang, acuh tak acuh atau tidak memihak. Mereka bukan lagi orang tua melainkan teman hidup anak-anak mereka. Anak-Anak tidak mendapat bimbingan riil dari orang dewasa, sehingga mereka kemudian menganut nilai-nilai dari kawan sebaya dan media keluarga berupa televisi, meniru perilaku yang dicontohkan melalui sahabat-sahabat dan media massa maupun media yang dikonsumsi lewat bahan bacaan berupa buku porno dan novel-novel melankolis yang membangkitkan gairah seksual secara tidak terkendali.

Menurut Fromm, semua kebutuhan psikologis muncul dari keinginan kita untuk menjadi simultan, yaitu keinginan yang bersusun secara terus menerus: Ingin Bebas, hidup apa adanya, tetapi juga melarikan diri dari kesepian dan menjadi aman. Fromm mengembangkan konsep existensial dilemma: yaitu konflik antara keterbatasan dan kelebihan manusia. Di satu sisi manusia ingin bebas, ingin dapat menguasai alam dan lingkungannya agar kebutuhannya terpenuhi, tapi di sisi lain kebebasan menyebabkan manusia menjadi terasing dari lingkungannya.

Cinta Produktif  Sebagai Kebutuhan Manusia
Dalam paham keterhubungan (relatedness): Individu sadar bahwa dirinya terpisah dengan alam, tidak berdaya, sadar pula bahwa ada hidup dan mati. Individu memiliki hubungan dengan sekitar. Cara yang ideal untuk mencapai hubungan melalui cinta produktif. Dapat dipenuhi melalui cinta produktif, yang terdiri dari: brotherly love yaitu cinta yang ditujukan kepada jenis kelamin yang sama, erotic love yaitu dengan jenis kelamin yang berbeda, dan motherly love yaitu cinta kepada anak.

Tidak sedikit manusia yang gagal memenuhi kebutuhan cintanya. Cinta sesungguhnya adalah fakta irasional. Suatu kenyataan yang tidak masuk akal tetapi menjadi kebutuhan manusia untuk mengembangkannya ke arah positif dan tidak boleh menghalang-halanginya dengan rasionalisasi. Kita seringkali terjebak pada rasionalisasi yang konyol. Seperti misalnya merasa nyaman menampilkan keindahan, kesedihan, kebahagiaan, keanehan, dan sebagainya. Padahal sesungguhnya kita telah gagal memenuhi kebutuhan cinta melalui cara-cara semacam itu. Kegagalan pememenuhan dalam kondisi yang irasional disebut sebagai narcissism, yaitu fokus hanya dirinya sendiri, tidak mampu menerima dunia di sekitar dalam kerangka obyektif. Mereka menerima sesuatu dari sudut pandang yang subyektif. Uniknya, manusia yang selalu menghubungkan dirinya dengan dunia yang maha luas (misalnya melalui internet, jejaring sosial facebook, tweeter dan sebagainya) sesungguhnya sedang melakukan asimilasi dan sosialisasi sekaligus secara serentak. Tidak heran, di beranda facebook acapkali ditemukan status-status yang seakan-akan mempromosikan kesedihan, kepedihan, keluhan dan yang lain di satu sisi yang berbeda sedang memberikan arahan, kearifan, didikan, orientasi dan sebagainya. Sistem ini sederhananya merupakan pengganti insting pada binatang. Orientasi ini menggambarkan bagaimana manusia telah berkembang, merespon konflik dalam hidupnya. Tiap manusia tidak pernah melakukan salah satu orientasi saja secara murni. Tetapi selalu menampilkan orientasinya secara serentak, pada dua sisi yang kontroversi (bertentangan).

Dari sinilah kita memahami sesungguhnya kebutuhan psikologis manusia dapat dikelompokkan menjadi empat bagian, yaitu:
  1. Transcedence: manusia sadar bahwa dirinya dan lingkungannya, mereka mengetahui bahwa betapa kuat dan menakutkan alam semesta sehingga membuatnya tidak berdaya. Orang ingin mengatasi perasaan takut dan ketidakpastian menghadapi kemarahan dan ketidakmenentuan sekitarnya. Orang butuh peningkatan diri, tidak mau jadi makhluk pasif, bertujuan dan bebas,  manusia harus kreatif dan produktif.
  2. Rootedness: muncul karena hilangnya ikatan primer manusia dengan sekitarnya sehingga manusia membentuk ikatan baru. Contoh: persaudaraan, keterikatan dengan ibu, nasionalisme.
  3. Unity: kebutuhan untuk mengatasi eksistensi keterpisahan antara hakikat binatang dan non binatang dalam diri. Orang dapat mencapai unitas, memperoleh kepuasan (tanpa menyakiti orang lain dan diri sendiri) kalau hakekat kebinatangan dan kemanusiaan dapat didamaikan dan berusaha menjadi manusia seutuhnya melalui berbagi cinta dan kerjasama dengan orang lain.
  4. Identity: kebutuhan untuk menjadi individu yang unik/tidak sama dengan orang lain. Cara tidak sehat adalah conforming.

Sementara ada 4 kebutuhan lain yang berhubungan dengan pemahaman dan aktivitas, yaitu: 1) Kebutuhan akan kerangka orientasi, 2) Kebutuhan akan kerangka pengabdian, 3) Kebutuhan untuk eksitasi-stimulasi, 4) Kebutuhan untuk efektivitas. Kebutuhan akan kerangka orientasi dan pengabdian mencakup kebutuhan untuk memiliki cara pandang yang relatif stabil terhadap dunia dan memiliki tujuan hidup yang mutlak atau Tuhan, sedangkan Kebutuhan untuk eksitasi-stimulasi dan efektivitas mencakup kebutuhan untuk melatih sistem syaraf dan untuk memanfaatkan kemampuan otak. Manusia butuh bukan hanya stimulasi sederhana (extra makanan) akan tetapi stimulasi terus menerus dari lingkungan yang sifatnya mengaktifkan jiwa, dan  kebutuhan untuk menyadari eksistensi diri melawan perasaan tidak mampu dan melatih kompetensi/kemampuan. Selanjutnya, dapatlah ditemukan karakter kepribadian yang sebenarnya.

Sesungguhnya kepribadian berkembang atas dasar aturan-aturan sosial dimana seseorang hidup. Karakter berkembang dan dibentuk oleh social arrangements (pengaturan sosial) dimana individu hidup. Kepribadian individu “sakit” jika ia berada dalam lingkungan masyarakat yang “sakit”. Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut manusia membentuk 2 tipe karakter yaitu: produktif dan non produktif. Manusia mengembangkan karakter sosial untuk dapat mengatasi tuntutan-tuntutan masyarakat. Penyesuaian manusia terhadap masyarakat biasanya merupakan kompromi antara inner needs alias kebutuhan di dalam diri dengan tuntutan dari luar.

Kedua karakter di atas secara otomatis akan membentuk perilaku yang receptive, yaitu perilaku yang menerima segala sesuatu secara pasif, percaya bahwa segala sesuatu yang dibutuhkannya berasal dari luar dirinya orang lain, otoritas, sistem, sangat dependen (Bandingkan dengan kajian Sigmun Freud tentang: oral incorporative, Horney: compliant personality), dan  perilaku yang ditandai dengan tindkan mengumpulkan, mengatur, mempertahankan, menyimpan hak milik, mendapat rasa aman dari hal-hal yang dimilikinya atau disimpannya sendiri (Bandingkan dengan kajian Sigmund Freud tentang: retentive type, Horney: detached type).

Akan tetapi, ketika terjadi kegagalan dalam pembentukan perilaku pada kepribadian seseorang, maka terjadilah karakteristik pribadi sebagai berikut:
  1. Eksploitative dimana individu mengambil apapun yang mereka mau dari orang lain dengan cara memaksa atau menipu, tetapi pemberian sukarela dianggap tidak bernilai (Lhat dalam Freud: oral aggressive, Horney: aggressive type), dan
  2. Marketing  yaitu kepribadian yang menguatkan pandangan bahwa kesuksesan dan kegagalan ditentukan seberapa baik mereka “menjual dirinya sendiri”. Melihat dirinya sebagai komoditi.

Kesimpulan:
Seseorang dengan tipe produktif mempunyai ciri-ciri sifat yang selalu positif,berorientasi tegas pada kehendak untuk tetap hidup, tidak ingin mati atau bunuh diri. Tipe produktif menggunakan seluruh kemampuannya, merealisasikan seluruh potensi yang dimilikinya menjadi seseorang yang:
  1. Accepting yaitu orang yang memiliki keyakinan atas kemampuan sendiri, bebas (independen) aktif, berpikir positif, menerima keberadaan diri dan orang lain apa adanya. 
  2. Preserving yaitu orang yang memanfaatkan segala sesuatu untuk terus menerus dapat memberi keuntungan bagi diri sendiri dan orang lain
  3. Taking yaitu orang yang bekerja sama dengan orang lain berdasarkan tujuan bersama, kejujuran, dan sikap rasional.  
  4. Exchanging yaitu  orang yang memperoleh keuntungan tanpa merugikan orang lain, memberi kepuasan dan layanan dari produk yang dijualnya.

Saran
Dari artikel ini saya menyarankan kepada seseorang yang dekat yang pernah kukenal dan akan selalu kukenang, mohon pahamilah bahwa:
  1. Hidup adalah potensialitas primer. Mencintai kehidupan dan sangat mempedulikan kesejahteraan orang lain. Orang yang begini namanya Biophilus. Kematian, potensi sekundernya muncul jika daya hidup dikecewakan. Orang yang tertarik dengan kematian, kesakitan, kerusakan dan kehancuran, menyelesaikan masalah dengan kekerasan, namanya Necrophilus.
  2. Kejahatan sesungguhnya adalah penghalang bagi cinta produktif. Setiap orang memiliki kesempatan sama untuk menjadi manusia seutuhnya. Manusia saling berhubungan dalam persaudaraan dan solidaritas sehingga tidak ada kesepian, keterisolasian & keputusasaan.
  3. Pencinta kematian dan kerusakan, menghancurkan demi kehancuran, mencoba untuk mengurangi manusia, merendahkan kemanusiaan, lebih memilih mesin yang kaku nalarnya daripada manusia yang elegan dan iklas hatinya,. Jadilah pribadi yang biophilous, berkepribadian yang sehat.
  4. Di pucuk cinta kehidupan dan di pucuk cinta kematian terdapat biophilia dan necrophila. Berapa banyak? Itu tergantung seberapa kuat orientasimu.

Catatan Kaki:
[1] Keadaan yang bertentangan
[2] Ditandai dengan sedikit kekacauan
[3] Keadaan yang rumit
[4] Kecelakaan
[5] Keadaan tanpa nilai
[6] Perilaku tanpa arah, apatis, sinis dan atau gejala ketidakseimbangan psikologis yang melahirkan perilaku menyimpang



Minggu, 15 April 2012

AKU YANG BERCINTA, ORANG LAIN YANG MEMILIKI (Kontraktor Sitaro Korban Sistem)

Jangan salah sangka atau cepat berburuk sangka dengan para kontraktor yang selama ini telah bekerja dalam sistem yang korup. Para kontraktor adalah warga atau pi...hak lain yang bukan warga Sitaro yang dengan sadar sedang berusaha bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup seperti lazimnya profesi lain seperti dosen, guru, pengacara, polisi, hakim, wartawan, petani, nelayan, pedagang, dsb. Lahan yang menjadi garapan kontraktor adalah paket-paket proyek yang terdapat dalam sistem dan tata kelola kegiatan-kegiatan pembangunan yang bersumber dari dana Negara (APBD). Yang menjadi masalah utama adalah jika kita tidak berprofesi sebagai kontraktor lalu bertindak menjadi kontraktor. Artinya, kita telah berusaha mencari lebih dengan cara yang tidak etis. Gampang sekali menjadi penjahat (koruptor).

APBD terdiri dari tiga komponen sebagai sumbernya, yaitu: 1) Bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), 2) Bersumber dari APBN yang disebut sebagai Dana Perimbangan, dan 3) Bersumber dari usaha daerah lain-lain. Sumber dari PAD berasal dari pembayaran pajak-pajak dan pembayaran retribusi. Sumber APBN atau Dana Perimbangan terdiri dari tiga bentuk yakni Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK) dan Dana Bagi Hasil. Baik DAK maupun DAU semuanya jelas aturannya. Pemerintah Daerah tidak boleh melakukan lobby sehingga tidak ada biaya untuk lobby. Kecuali Dana Bagi Hasil ini masih bisa dilakukan lobby oleh bupati atau pemerintah daerah.

Para kontraktor di Sitaro gampang ditipu oleh politisi yang memegang kekuasaan. Penguasa seringkali berdalih bahwa untuk mendapatkan banyak proyek ke Sitaro, maka syaratnya setiap kontraktor harus menjadi mitra pemerintah (baca: penguasa). Dengan liciknya kemudian mereka (penguasa) mengharuskan adanya pungutan dalam bentuk uang muka ketika item proyek itu berada dalam RANCANGAN APBD dan hendak di APBDkan. Pada kesempatan ini mereka berjanji kepada kontraktor bahwa item-item yang sudah mereka bayar akan menjadi bagian yang akan mereka kerjakan. Padahal sesungguhnya kontraktor diwajibkan oleh negara hanya untuk membayar pajak yaitu PPH dan PPN yang totalnya bisa 12% sampai 15% dari total pagu.

Yang menjadi lahan garapan para kontraktor di daerah adalah kegiatan-kegiatan pembangunan yang bersumber dari APBN atau Dana Perimbangan. Semua prosedur dalam kegiatan-kegiatan pembangunan yang bersumber dari DAK dan DAU ini sudah diatur oleh peraturan pemerintah sehingga tidak ada lagi potongan biaya lain-lain selain kewajiban membayar pajak apalagi kewajiban membayar fee atau uang muka atau uang untuk loby proyek ke pusat. Semua sudah diatur. Melanggar aturan berarti melakukan korupsi.

Kenyataannya di Sitaro lain. Pelaksanaan pekerjaan proyek dengan hasil buruk bukan penyebab masalah, tetapi sebagai akibatnya. Inti masalah adalah pada dana yang tidak cukup membiayai pekerjaan proyek pembangunan dengan kualitas baik. Mengapa? Karena sejak item proyek masih belum berbentuk proyek beneran dalam APBD, sudah terlebih dahulu dipungut biaya. Setelah proyek hendak ditenderkan, maka si kontraktor yang sudah membayar uang mukanya itu harus kerja keras mengawal item yang sudah dibayarnya itu supaya lolos, jika terjadi sedikit kesalahan pada dokumen lelang, maka bisa saja si pembayar item proyek itu tidak berhasil memenangkan item yang sudah dibayarnya tadi. Disinilah seringkali para kontraktor mengamuk kepada panitia, penguasa dan merepotkan bupati selaku pemerintah. Tetapi semua akan menjadi redah manakala pemenang proyek dari yang belum membayar uang muka tadi kemudian mengganti biaya itu kepada pembayar uang muka pertama. Ibarat aku yang bercinta tetapi orang yang memiliki.

Bagi yang aman dan dinyatakan lolos, dia akan dituntut pada akhir pekerjaannya untuk membayar fee 10 sampai 15% lagi kepada penguasa. Derita itu seakan tiada akhir. Dengan demikian total seluruh dana yang dipotong adalah minimal 22% dan maksimal 30%. Jika 20% kontraktor mengambil keuntungan dari hasil kerjanya, maka pekerjaan proyek tersebut hanya akan selesai dengan biaya 50% dari total pagu. Artinya, jika kontraktor dimintakan menyelesaikan proyek jalan sepanjang 1 kilometer, maka yang harus terealisasi hanya 500 meter. Trik lainnya adalah menyelesaikan 1 kilometer dengan daya tahan bangunan selama 10 tahun, dikonstruksikan hanya untuk ketahanan 5 tahun. Pada scenario terakhir ini, rakyatlah yang dirugikan. Laste, Negara bangkrut. The End.
 

Kamis, 02 Februari 2012

PERUBAHAN STRUKTUR SOSIAL MASYARAKAT SITARO


D. Brilman (2000) mengelompokkan struktur masyarakat Siau pada masa kerajaan (abad 15 sampai abad 18) menjadi 4 kelompok, yakni:
  1. Kelompok Bangsawan yaitu raja dan para jogugu. Raja merupakan pemegang kekuasaan tertinggi yang didampingi oleh Komolang Bobatung Datu yaitu kelompok setingkat raja dengan peran memberi arahan kepada raja dalam pengambilan keputusan kerajaan. Termasuk dalam kelompok bangsawan juga adalah elit lokal pada bagian-bagian kecil semacam kecamatan dan desa yang dipimpin oleh wahani atau sangaji  serta pemimpin-pemimpin kecil yang disebut kapitalau  dan di tingkat lindongan (semacam lingkungan) oleh seorang mayore labo. Sedangkan proses yudikatif dijalankan oleh seorang hukung mayore yang berfungsi sebagai hakim. Tetapi raja dan para jogugu bertindak sebagai anggota ketika proses penegakan keadilan dilangsungkan atas kearifan seorang hukung mayore, meskipun dia berada pada level terkecil dalam struktur yang luas.
  2. Kelompok warga bebas.Kelompok ini adalah mereka (atau keluarga) yang tidak pernah terhukum.
  3. Kelompok budak yang dibebaskan adalah mereka yang pernah terhukum sebelumnya tetapi telah menjalankan hukumannya dan memperoleh pembebasan dari majikan. Majikan pada umumnya adalah mereka yang tadinya berperkara dengan orang yang terhukum, sehingga yang terhukum dan keturunannya harus menjadi budak sepanjang hidup mereka 
  4. Kelompok budak. Kelompok ini adalah mereka (keluarga dan keturunannya) yang telah terhukum.
Dari uraian Brilman di atas, 4 faksi dapat diperas lagi menjadi 3 kelas sosial, yaitu: 1) Kelas bangsawan, 2) Kelas warga bebas dan 3) Kelas budak. Dengan sistem pemerintahan dan kontrol sosial yang ketat seperti ini, maka kehidupan bermasyarakat berlangsung damai dan sangat tertib meskipun strukturnya demikian kompleks. Karena sanksi sosialnya sangat kuat, sehingga konflik dapat tereliminasi. Kondisi ini tentunya berbeda dengan penyelenggaraan sistem pemerintahan dan sistem hukum di tempat dan waktu yang lain.

Karl Heinrich Marx (5 May 1818 – 14 March 1883) mengatakan masyarakat Eropa pada abad 18 terbagi menjadi 2 kelas sosial, yaitu:
  1. Kelas Borjuis yang terdiri dari kelompok pemilik tanah yang umumnya adalah bangsawan dan kroni-kroninya yang dihadiahi tanah oleh kalangan istana serta elit-elit gereja yang merupakan sekutunya.
  2. Kelas Proletar yaitu rakyat jelata, baik mereka yang merdeka maupun para budak atau kelompok pekerja. 
Kelompok borjuis menjadi pengumpul kapital (materi/uang) yang menguasai mesin produksi dan alat produksi (tanah) sedangkan rakyat jelata menguasai tenaga kerja. Revolusi tak terhindarkan ketika kesenjangan ekonomi antara proletar dan borjuis semakin melebar, si borjuis menjadi semakin kaya sedangkan si proletar menjadi semakin miskin.   
 Saya mengamati sekarang ini struktur masyarakat Siau pada masa otonomi daerah menjadi 5 kelompok, yakni:
  1. Kelompok Politisi dan Pengusaha. Kelompok ini kini menjadi penguasa, merumuskan kebijakan-kebijakan dan arah pembangunan daerah. Kelompok ini mengumpulkan modal (kapital) dan sebagian menguasai tanah dalam skala yang besar.  
  2. Kelompok Birokrasi, Gereja dan Adat. Kelompok ini kini menjadi instrumen pendukung Kelompok Penguasa tetapi memiliki interaksi yang sangat erat dengan kelompok paling rendah dalam strata sosial.  
  3. Kelompok Diaspora. Kelompok ini terdiri dari kelompok pelaut dan sanak saudara yang berada di luar daerah mempunyai interaksi yang lemah dengan semua strata sosial karena tidak selalu berada dalam realitas kebersamaan.
  4. Kelompok Petani. Kelompok ini adalah mereka (keluarga) pemilik tanah yang aktivitas sosial ekonominya dikendalikan oleh kebijakan penguasa (pemerintah).
  5. Kelompok Buruh. Kelompok ini adalah mereka yang tidak memiliki tanah baik warga pribumi yang tidak dapat membagikan tanahnya ke satuan-satuan yang kecil sehingga harus menjual tanah mereka kepada kelompok pengusaha maupun mereka yang bukan pribumi atau pedagang-pedagang kecil yang mengadu peruntungan mereka.  
Saya tidak banyak mengulas bagaimana interaksi sosial berlangsung secara vertikal maupun horisontal. Saya hanya mengingatkan bahwa sebuah sistem (mekanis ataupun organis) dengan rentang kendalinya akan sangat mempengaruhi integrasi suatu masyarakat sebagai  kesatuan hukum. Jangan percaya pada angka-angka pertumbuhan ekonomi makro, tetapi resapi dan maknai lingkungan sekitar. Lihat apakah ada saudara kita yang lapar dan tolonglah mereka. Tahukah anda, semakin besar pengelompokan (faksi) dalam struktur sosial, maka semakin lebar kesenjangan dan semakin tinggi potensi konflik sosial baik vertikal maupun horisontal?

Selasa, 31 Januari 2012

PERGESERAN NILAI ADAT SANGIHE


Budaya sangat menentukan bagi kemajuan suatu bangsa, demikian Huntington sering mengingatkan kita tentang peranan budaya. Budaya yang baik dapat berjalan baik bilamana kita memahami kelahirannya dan terus menerus mengawal sampai akhirnya tujuan kemanusiaan itu bisa dicapai. Fukuyama mengatakan, budaya dapat memajukan manusia sekaligus dapat menghancurkan manusia. Tetapi Van Peursen mengatakan dengan budaya juga kita bisa mengembangkan strategi pembangunan suatu bangsa. Budaya dalam kajian ini merupakan adat yang hidup dan berlaku sebagai pandangan hidup suatu bangsa harus dapat dipetakan sebaik-baiknya pada posisi yang tidak gampang dikontaminasikan oleh kepentingan sesaat yang merugikan kemaslahatan hidup banyak orang.

Disorientasi Kemurnian Adat 
Khusus tentang adat Sangihe saya mencermati sedang mengalami disorientasi pada dimensi ontologis dan praksis lalu sedang bergerak cenderung menggeser subtansi atau nilai-nilai orisinilnya, akibat “campur tangan berlebihan” dari para penguasa yang duduk dalam struktur pemerintahan modern. Fenomena ini nampak jelas ketika terjadi pengalihan kekuasaan dari bupati lama ke bupati yang baru dan pada saat peran tokoh adat dituntut untuk memberikan gelar adat kepada mereka yang dinilai berprestasi dalam melaksanakan peran-peran sosial di tengah-tengah masyarakat. Menyongsong penyelenggaraan pesta adat Tulude 31 Januari 2012 nanti, Dewan Adat Sangihe merencanakan hendak memberikan gelar adat kepada saudara Olly Dondokambey, Yasti Supredjo Mokoagow, Vanda Sarundajang dan Syarief Hasan. Beberapa wartawan meminta pendapat dari saya terkait dengan hal menjernihkan persoalan siapa sebenarnya yang berhak menerima gelar adat. 

Mari kita perhatikan dengan seksama, bahwasanya budaya Sangihe berbentuk dua muka, yaitu: egaliter dan hierarkis. Budaya egaliter dianut oleh mereka yang membentuk kehidupannya di laut dan kedua adalah mereka yang membentuk kehidupannya di darat. Para pemimpin dan masyarakat laut memiliki perilaku yang bercorak terbuka sebaliknya pemimpin dan masyarakat yang hidupnya bergantung dari tanah memiliki corak hidup yang hierarkis tertutup. Implikasinya adalah masyarakat laut lebih bersifat progresif sedangkan masyarakat daratan lebih bersifat konservatif. Pelaut menginginkan perubahan pola yang benar-benar baru dengan pendekatan yang revolusioner, sedangkan masyarakat darat cenderung mempertahankan pola lama dengan pendekatan yang evolusioner. Kondisi ini membuat masyarakat Sangihe senantiasa berada pada dua ranah dalam melakukan perubahan sosial. Bahkan dalam memberikan gelar adat sekalipun, kadang-kadang melenceng dari pertimbangan-pertimbangan atau kriteria adat yang tepat. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa kriteria yang tepat dalam memberikan adat sesuai dengan corak budaya Sangihe?

Saya berpendapat, pertimbangkan dengan sangat teliti tiga elemen berikut ini: Pertama, siapa subjek (pribadi) yang akan diberi gelar adat, kemudian kedua, apa prestasinya (predikat) terkait dengan kemaslahatan hidup banyak orang, dan ketiga adalah apakah subjek itu mampu melaksanakan peranan (predikat)nya dalam ruang dan waktu yang lama? Ketiga pertanyaan di atas mewakili tiga tingkat kelayakan karakter taumata malunsemahe (manusia) yang dianugerahi gelar adat, sekaligus tiga tingkat prestasi pada tiga media (laut atau air, darat atau gunung dan langit atau udara) serta tiga dimensi waktu (masa lalu, masa kini dan masa depan).

Taumata malunsemahe adalah taumata yang berada pada standar tertinggi tingkat kemanusiaan Sangihe yang ditempuh melalui sederet pengalaman hidup memanusiakan manusia lain (banyak). Perilaku taumata malunsemahe terdiri dari kombinasi 3 perilaku dasar yakni: mateleng, matelang dan mateling. Taumata disebut memiliki watak mateleng apabila di dalam dirinya terdapat sifat diam, rajin dan setia pada pengabdiannya. Taumata disebut matelang apabila kualitas fisik (paduan antara kekuatan dan kerajinan) dan kualitas psikhis (kombinasi kematangan dan ketekunan) menjadi satu.

Taumata disebut mateling apabila kualitas mateleng dan kualitas matelang berpadu dalam keseimbangan. Itulah sebabnya sangat sulit memenuhi kriteria ini dalam mewujudkan Taumata Malunsemahe. Pada umumnya yang dapat diwujudkan adalah Taumata Mateleng dan Taumata Matelang. Oleh sebab itu gelar adat sebaiknya mengacu pada pencapaian tingkatan kemanusiaan Mateleng dan Matelang untuk peraih prestasi yang aktif. Sedangkan prestasi yang diraih oleh Taumata Mateling manakala taumata sudah berada pada kondisi pasif tetapi memiliki kemampuan mateleng dan matelang sekaligus. Taumata Mateleng berhak mendapat reward gelar berupa perunggu, Taumata Matelang berhak mendapat reward perak dan Taumata Mateling berhak mendapat reward emas.

Menjadi sangat bias makna bilamana ternyata taumata yang dianugerahi gelar adat (matelang dan mateling) adalah orang luar yang tidak dikenal oleh bangsanya sendiri dan tidak berprestasi bagi bangsanya sendiri. Oleh sebab itu menurut hemat saya, bercermin dari budaya KITE, maka gelar-gelar adat dapat diberikan kepada:
  1. Orang-orang yang berasal dari dalam (Tau Kite) dan orang-orang dari luar (bukan Tau Kite) tetapi aktif membangun bangsa KITE dapat diberikan gelar adat dengan predikat MATELENG. Simbolnya adalah perunggu dan pakaian kebesarannya adalah kain kofo berwarna merah. Inilah simbol dari keagungang Mawendo.
  2. Orang-orang dalam (Tau Kite) yang aktif membangun bangsa KITE berhak mendapatkan gelar adat dengan predikat MATELANG. Simbolnya adalah perak dengan pakaian kebesaran adalah kain kofo berwarna putih. Inilah simbol dari keagungan Aditinggi.
  3. Orang-orang dalam (Tau Kite) yang tidak aktif membangun tetapi sudah mendapatkan kedua gelar (Mateleng dan Matelang) semasa pengabdiannya dan sampai pada usia yang tidak produktif secara fisik, tetapi masih membuat karya-karya intelektual untuk kemaslahatan bangsa, kepada merekalah pantas mendapatkan predikat sebagai MATELING. Simbolnya adalah emas dengan pakaian kebesaran kain kofo berwarna kuning. Inilah simbol keagungan Genggona Langi.
Mengenai bidang gelarnya akan ditambahkan pada ketiga predikat yang disandang. Misalnya: Mateleng U Wanua, Matelang U Wanua dan Mateling U Wanua.

Komodifikasi Berlapis
Upaya reposisi nilai-nilai adat pada pemberian gelar adat yang selama ini dinilai telah dipengaruhi oleh muatan-muatan politik ekonomi kekuasaan (pemerintah dalam arti luas). Artikel tersebut mendapat respon positif dari Dr Ivan Kaunang yang mengulas tentang fenomena kebudayaan yang didefinisikan sebagai Komodifikasi Berlapis.

Di dunia ini sarat dengan berbagai kepentingan, tidak ada aktivitas tanpa diselubungi kepentingan, karena kepentingan adalah tujuan dari pemikiran dan tindakan manusia. Oleh kepentingannya manusia berbudaya. Kepentingan bergerak ke dua arah, yaitu positif dan negatif. Itulah sebabnya adat sebagai produk kebudayaan juga mengalami perubahan ketika kepentingan itu bersentuhan dan muncul ke permukaan kehidupan manusia. Pada tataran tertentu potret adat ternyata mengalami perubahan dari bentuk aslinya. Perubahan pada gerak linier (berkembang) secara bertingkat-tingkat atau berlapis-lapis sesuai dengan kepentingan tadi. Ada yang diarahkan untuk kepentingan politik, pariwisata, ekonomi dan lain sebagainya. (Ivan R.B. Kaunang dalam bukunya berjudul: Maengket: Kristalisasi Politik Identitas (ke)Minahasa(an)).

Kaunang (http://www.facebook.com/profile.php?id=1548422365 dalam artikel saya) selanjutnya mengatakan, komodifikasi dimaknai sebagai sesuatu yang sebelumnya bukan dibuat/diproduksi untuk dijual, tetapi sekarang sudah dijual (Konsep Piliang, dalam Dunia yang dilipat). Komodifikasi Berlapis, yaitu suatu realitas yang tidak lagi melihat suatu produk utama yang dijual untuk dikonsumsi secara massifikasi tetapi produk lain yang melapisinya, seperti yang dijual gelar adat, tetapi tujuannya, misalnya untuk politik, untuk ideologi tertentu, untuk mendapat jabatan, untuk hal lainnya diluar gelar adat.. Mungkin pencitraan, mungkin juga makna lain supaya dilihat berbudaya, tahu adat atau memang tidak tahu adat.

Dalam konteks adat Sangihe yang dikomodifikasikan berlapis untuk kepentingan bukan adat; jika dibiarkan berlangsung terus akan melahirkan produk pertama: Generasi "bega adate" (tidak tahu adat) yang berciri: warna biru, agak cair dan sangat mudah terurai seperti tinja bayi. Jika generasi bega adate terus melakukan komodifikasi pada lapisan kedua, maka akan lahir sebuah generasi lapisan kedua yang disebut sebagai generasi “tai adate”(tidak mempunyai adat) yang ciri-cirinya: bercorak kuning, panas kalau masih baru, rapuh (mudah hancur) dan busuk. Ibarat tinja orang dewasa. Selanjutnya, jika generasi tai adate terus menerus melakukan komodifikasi pada lapisan ketiga yaitu akumulasi dari tai adate. Budaya kite, hidup di dua ranah yaitu darat dan laut dengan dua corak bahasa: Sasalili dan Sasahara. Mereka (tai adate) yang “menjual” adat di laut akan mengalami kehancuran (tercerai-berai), sebagian akan dimakan ikan dan sebagian akan terurai secara alami dengan lingkungan sekitar laut. Tetapi bagi mereka (tai adate) yang “menjual” adate di darat, mereka akan ditelan bumi, terurai seluruhnya oleh tanah. Pada komodifikasi lapisan ketiga ini, kehidupan (kebudayaan) bangsa Sangihe akan mengalami krisis pada tiga situasi genting, yaitu:
  1. Mengalami kecemasan besar (The Great Dellusion)
  2. Mengalami kekacauan besar (The Great Dissruption)
  3. Mengalami kematian besar (The Great Deceasion)
Saya pikir penyebab utama dari terjadinya situasi “disorientasi makna budaya” adalah lemahnya pengetahuan mengenai nilai-nilai luhur kebudayaan kite. Kita yang hidup di masa "post modern" seolah-olah bukan merupakan rangkaian dari masa lalu, ada semacam "missing link" kebudayaan. Mobilitas budaya kite yang bergerak sentripetal dan saling berbenturan karena tak beraturan, menurut saya disebabkan oleh adanya "kesadaran semu" sebagai dorongan kepentingan-kepentingan politik ekonomi yg bersifat sementara. Juga merupakan implikasi negatif (bias) dari perilaku budaya kite pada tataran keluarga yakni sikap mughaghelare atau mahungge. Perilaku bias ini yang menjadi dominan.

Tetapi coba perhatikan dengan seksama, tidak ada satupun bahasa kite (asli) yang bermakna terima kasih. yang ada hanyalah kata “tarimakase” sebagai serapan dari bahasa lain. Mengapa demikian? alasanya karena perilaku Taumata Sangihe dibentuk dari 3 komponen; mateleng, matelang, mateling yang pada akhirnya terwujudlah taumata malunsemahe (damai & sejahtera) secara otonom. Simpulan saya, Orang Sanger bukan orang yang tidak tahu berterima-kasih, tetapi orang yang tahu menghargai (menghormati). Itulah esensi dari mahungge. Dengan mengucapkan kata "tarimakase" maka besok atau tahun depan atau sepuluh tahun depan orang yang dihargai itu segera dilupakan. Tetapi hungge tidak demikian, orang yang berjasa itu tidak pernah dilupakan. Bagi Orang Sanger, mati bukan berarti kehilangan nafas dan jiwa, melainkan dilupakan jasanya untuk selama-lamanya. Sedangkan hidup adalah kehormatan.

Secara sosiologis, "mahungge" adalah sebuah respon terhadap stimulan dari luar yang geraknya terhubung secara timbal balik dan berlangsung terus menerus dalam waktu yang relatif lama (kronis). sebaliknya "tarimakase" adalah respon manusia pada umumnya terhadap stimulan positif yang berlangsung seketika (akut). Saya kira kadar dalam ukuran “tarimakase” yang kita berikan kepada orang yang berjasa kepada kemaslahatan hidup Bangsa Sangihe terlalu kecil nilainya. Kite Bangsa Sangihe harus memberikan nilai besar yang disebut hungge, oleh sebab itu berikanlah gelar adat sebagai matelang u wanua kepada mereka yang berjasa itu dengan jubah putih sebagai pakaian kebesaran.

Badanisasi Dewan Adat 
Dewan Adat Sangihe (DAS) kini berubah menjadi Badan Adat Sangihe (BAS). Sebelumnya, DAS merupakan institusi informal yang berada di luar struktur institusi formal, lembaga pemerintahan daerah. Lembaga adat selama ini otonom dan independen dalam menyelenggarakan fungsinya, seperti halnya lembaga agama dan organisasi-organisasi massa lainnya. Akan tetapi pelaksanaan fungsi lembaga adat tentunya bersinergi dengan fungsi lembaga searas (lembbaga formal = agama dan ormas) maupun lembaga yang tidak searas (lembaga formal = Bupati dan wakilnya, DPRD, TNI dan Polri, Hakim dan Jaksa selaku unsur-unsur Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif di daerah).

Bilamana kita cermati mengenai peranan lembaga-lembaga informal, dapat diidentifikasi dominasi dari peran lembaga agama lebih signifikan daripada dua lembaga lainnya (ormas dan adat). Lembaga agama memiliki struktur yang lebih luas dan memadai untuk menyelenggarakan fungsi sampai pada satuan terkecil di jemaat bahkan kelompok-kelompok pelayanan yang terdiri dari sejumlah keluarga-keluarga. Seluruh komponen strukturnya menjadi fungsional sehingga menjamin kelangsungan hidup institusi. Bahkan sekarang ini cenderung mengarah ke penguatan teritorial yang bisa menggiring anggotanya pada pembentukan faksi-faksi, sebagai cikal bakal penyebab terjadinya konflik horizontal. Sebaliknya institusi adat dan ormas tidak mengakar sampai ke satuan-satuan terkecil dalam masyarakat sehingga fungsinyapun mengalami percepatan yang sangat lamban.

Interaksi yang terbangun antara institusi formal dengan institusi informal seharusnya berlangsung secara horizontal, tetapi realitas justru menerangkan lain, interaksi berlangsung secara vertikal (hierarkis). Dengan demikian hubungan kerja antara personil Dewan Adat dengan Pemerintah Daerah (yang didominasi peran eksekutif) mudah sekali saling berkolaborasi dalam berbagai upaya yang terkait dengan kepentingan-kepentingan politik praktis yang pada akhirnya membuat kedudukan Dewan Adat yang otonom dan independen tadi bergeser dan labil. Berkolaborasinya kepentingan-kepentingan tersebut tidak menimbulkan banyak resiko pada pengambilan keputusan strategis di kedua lembaga, baik Eksekutif Daerah maupun Dewan Adat.

Ada dua alasan yang mungkin dapat dirasionalisasikan dalam kaitan pergeseran posisi Dewan Adat ke Badan Adat yang saya sebut sebagai “Perselingkuhan Fungsi” ini. Kedua alasan yang bersifat situasional itu antara lain:
  1. Rendahnya tingkat resistensi internal dalam struktur Dewan Adat yang sangat ramping (sederhana) dan tidak mengakar, sehingga memungkinkan munculnya situasi kerja antar kedua lembaga pada satu kepentingan yang sama, tanpa gejolak yang berarti. Kondisi ini memberi ruang yang besar pada kedua lembaga untuk memperkuat dan melanggengkan kerjasama yang berlangsung dalam hubungan patron-klien dan strukturnya bersifat hierarkis (atasan-bawahan).
  2. Menguatnya fungsi kontrol dari media massa untuk melakukan kritik terhadap posisi independen Dewan Adat dalam bingkai informalnya. Ketika disadari terjadi penguatan pada fungsi kontrol media, maka kedua lembaga (Dewan Adat dan Eksekutif daerah) mengambil jalan alternatif dengan meleburkan sebagian dari fungsi adat yang dapat dikomodifikasikan untuk kepentingan (tujuan-tujuan) politik praktis kedalam struktur birokrasi pemerintah daerah melalui pelembagaan Dewan Adat menjadi Badan Adat.
Berlangsungnya dua situasi di atas dalam waktu bersamaan dan moral pemerintah dituntut untuk memenuhi rasa tanggungjawab yang besar sebagai balas budi atas supporting pihak lain yang berkontribusi dalam tatanan pemerintahan serta adanya kehendak untuk memberikan penghargaan kolektif yang setinggi-tingginya melalui peran adat, tanpa harus mengorbankan kemurnian adat itu sendiri, maka pemerintah daerah mengambil langkah untuk membadanisasikan Dewan Adat sebagai bentuk “komodifikasi berlapis” dimana lapisan adat pada tataran ini ditujukan untuk kepentingan politik. Hal yang sama nilainya bilamana bentuk-bentuk semacam ini digunakan untuk tujuan perencanaan dan pengembangan bidang pariwisata, ekonomi, pendidikan, sosial dan lain-lain.

Dengan adanya komodifikasi berlapis tersebut, maka struktur penyelenggaraan fungsi adat mengalami perubahan yang menyolok. Menurut pendapat saya, badanisasi boleh dilakukan tanpa membubarkan Dewan Adat, sebab peranan Dewan Adat tidak sekedar melaksanakan seremoni-seremoni adat tetapi jauh lebih luas untuk melindungi dan mempertahankan nilai-nilai adat agar tetap lestari serta melakukan pengendalian terhadap fungsi adat yang masih relevan diterima dalam kehidupan bermasyarakat. Saya memahami kehadiran Badan Adat bertujuan untuk melengkapi kebutuhan-kebutuhan praktis yang diperlukan pemerintah daerah dalam tata kelola pemerintahan yang mudah dikendalikan oleh mesin birokrasi, mudah mendapatkan suntikan dana bersumber APBD dan dapat dibangun secara terrencana. Kedepan diharapkan, pemerintah daerah dapat melakukan maksimalisasi fungsi pada Badan Adat agar bersinergi dengan SKPD lain yang bertalian fungsinya semacam Dinas Pariwisata, tetapi tetap berkoordinasi dengan Dewan Adat dalam hal memelihara kemurnian adat.

Membangun adat boleh saja melalui badanisasi lembaga adat, tetapi tidak boleh memusnahkan kemurnian adat dengan membubarkan Dewan Adat. Tanpa adat, kita ibarat tinggal di suatu tempat tanpa alamat. Dengan adanya Badan Adat bukan berarti disitulah kemurnian adat. Tetapi kemurnian adat berada pada Dewan Adat. Hal ini jangan sampai menimbulkan kebingunangan dan “sesat pikir” kepada para peneliti kebudayaan Sangihe yang mencari kemurnian adat. Sebagai bangsa Sangihe, kita tahu persis kemana mencari alamat palsu dan kemana mencari alamat yang murni.