Jumat, 22 Oktober 2010

NYONYA SILPA TERLAMBAT DATANG BULAN

Sisa Lebih Penggunaan Anggaran (SILPA) yang terjadi di Kabupaten Sitaro tidak boleh lepas dari pengamatan putra-putri di negeri 47 pulau itu. Persoalan SILPA yang terjadi dua kali dalam jumlah puluhan miliar sepanjang tahun 2008/2009 kemarin harus segera dievaluasi penyebabnya. Beberapa media massa di Manado melangsir berita mengenai gagalnya SKPD-SKPD menyerap anggaran. Beberapa SKPD diberitakan hanya mampu memanfaatkan APBD kurang dari 60% dari anggaran yang dialokasikan. SILPA yang dua tahun simultan membengkak tersebut, telah diketahui oleh pihak legislatif, tetapi anehnya tidak segera ditindaklanjuti dalam hearing dengan SKPD-SKPD terkait. Hal ini menunjukkan betapa proses pengawasan tidak berjalan sesuai harapan konstitusi dan masyarakat.

Sebenarnya apakah yang menyebabkan terjadinya SILPA itu? Mari kita telusuri prosesnya yang dimulai dari keterlambatan penerimaan APBD dari pemerintah pusat. Hal tersebut membuat jajaran pemerintah daerah sulit menyesuaikan mata anggaran selang bulan-bulan sebelum penerimaan anggaran tersebut tiba di daerah karena kegiatan pembangunan harus tetap berjalan. Di daerah-daerah baru semcam Sitaro akan timbul upaya menggeserkan satu mata anggaran ke mata anggaran yang lain. Misalnya biaya yang dialokasikan untuk membayar gaji guru tidak dicairkan sesuai jadwalnya karena ada kebutuhan lain yang harus dan mendesak dibayarkan. Kebijakan pejabat daerah atas kondisi seperti itu akan menimbulkan gesekan sosial yang berpengaruh terhadap stabilitas pembangunan.

Lain lagi halnya, jika SILPA disebabkan oleh penyerapan yang minimal dari SKPD-SKPD. Benar terjadi efesiensi anggaran bilamana terdapat program-program yang satuan pembiayaanya mengalami penurunan dari estimasi sebelumnya sehingga sisanya harus dikembalikan pada kas daerah dan bisa menjadi salah satu sumber pendapatan untuk APBD tahun berikutnya. Misalnya ada SPPD yang dibatalkan karena programnya batal dilaksanakan, maka seluruh biaya SPPD itu harus dikembalikan dan menjadi SILPA. Sejauh itu terjadi, maka pemerintahan daerah berada dalam sistem kendali keuangan yang sehat. Tetapi bilamana yang terjadi adalah SPPD fiktif dimana kegiatannya batal tetapi biaya SPPD dikucurkan pada orang/pejabat semacam kasus di Talaud, maka itu disebut sebagai tindakan korupsi. Kondisi seperti inilah yang harus diwaspadai oleh seorang bupati dan wakilnya agar dirinya terhindar dari jeratan korupsi. 

Sitaro, sebagai sebuah daerah pemekaran bila dinilai belum memiliki kesiapan infrastruktur dan aparatur daerah yang cakap menyelenggarakan pemerintahan sangat mungkin mendapat sanksi sebagaimana yang diwarning oleh Mendagri saat diwawancarai pada sebuah TV Swasta yang mengatakan "semua daerah pemekaran baru, bila dalam 3 tahun dievaluasi, terdapat kegagalan mengelola APBD yang berpengaruh terhadap kondisi APBN, maka daerah tersebut akan segera digabungkan kembali dengan daerah induknya atau disesuaikan dengan daerah lain yang lebih mendukung pertumbuhan ekonominya".

Sebagai informasi bagi warga Sitaro, bahwa SILPA APBN Republik ini mencapai Rp 38 Triliun pada tahun 2009, pemerintah akhirnya mengalami defisit yang hingga saat ini mencapai Rp 100 triliun. Artinya pemerintah harus mencari hutang baru lagi guna menutup defisit yang terjadi. Saya dan Anda para pembaca budiman, pasti tidak mau Sitaro menjadi daerah dengan SILPA tahun 2008 berjumlah Rp 17 Miliiar, SILPA 2009: Rp 58 Milliar, satu tahun lagi, jika ada NYONYA SILPA lagi, entah seperti apa nasib SITARO.