Sabtu, 06 Februari 2010

DIPERLUKAN STUDI MIGRASI ORANG NUSA UTARA DI INDONESIA

BUKU Alex Ulaen, Nusa Utara Dari Lintasan Perdagangan ke Daerah Perbatasan (Sinar Harapan, 2003) membeberkan jumlah orang Sangihe-Talaud yang mukim di luar daerahnya ternyata jauh lebih banyak daripada yang tinggal di kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud. Secara kasar data tahun 2000 membeberkan jumlah penduduk di Sangihe-Talaud (kini secara administratif terbagi ke dalam Kabupaten Sangihe, Kabupaten Talaud, Kabupaten Sitaro) adalah 261.473 jiwa (sudah termasuk kaum pendatang), sedang di wilayah lain Provinsi Sulawesi Utara (termasuk Gorontalo ketika itu) adalah 476.648 jiwa.

Jika diperbandingkan angka-angkanya nyaris pada nisbah 1 : 3. Tentu nisbah (ratio) itu akan makin besar kalau jumlah orang Sangihe di Makassar, Surabaya (Tanjung Perak), Jakarta (Tanjung Priok), Batam, Medan, Balikpapan, Bali dan Nusa Tenggara, Ternate, Ambon dan Papua ikut diperhitungkan. Sayang sejauh ini tidak tersedia data akurat berapa persis jumlah orang Sangihe dan Talaud Indonesia serta pola ketersebarannnya di dalam negeri. Yang sudah jelas teramati di mana pun mereka berada di Indonesia mereka tidak akan lupa menghimpunkan diri dalam kerukunan kekeluargaan, semacam IKIST di Jakarta, KKST di Makassar, IKSAT di Bitung, dan BAMUKIST di Manado.

Angka-angka jumlah dan nisbah di atas jelas juga akan jadi makin membesar lagi mengingat banyaknya jumlah orang Sangihe-Talaud yang bermukim permanen di luar negeri. Yang paling dekat adalah yang berada di Mindanao, Filipina. Namun mereka juga berada di Singapura, Malaysia, Palau di samping di Eropa dan Amerika Serikat (California).

Sebagian besar orang Sangihe-Talaud di luar negeri berada di Filipina. Maklum memang kepulauan Sangihe dan Kepulauan Talaud merupakan wilayah batas negara Indonesia ke negara tetangga Filipina. Memang jauh hari sebelum negara Indonesia terbentuk hubungan masyarakat dan kerajaan-kerajaan antara Sangihe-Talaud dan Filipina (Mindanao dan Sulu) sudah berlangsung berabad-abad. Di tingkat elit misalnya terjadi perkawinan antar keluarga kerajaan, juga di tingkat masyarakat. Beberapa silsilah keluarga dalam beberapa buku membuktikan itu.

Di Filipina Shinzo Hayase tahun 2001 dalam Histotico-Geographical World of Sangir: An Ethno-History of East Maritime Southeast Asia yang dikutip dalam buku Alex Ulaen menyatakan ada 7.483 orang Sangihe-Talaud yang tersebar di Republik Filipina. Namun tahun 2003 keluar data dari Konsulat Indonesia di Davao yang menyatakan ada 10.855 orang Sangihe-Talaud. Namun mereka tidak terdaftar di imigrasi Filipina .

Data jumlah orang Sangihe-Talaud ini simpang siur dengan data yang dikeluarkan pihak berkompeten lain Filipina yang menyebut angka yang lebih besar, yaitu antara sampai 20.000. Bahkan, menteri luar negeri Filipina Blas Ople saat berkunjung ke Manado tahun 2006 menyebut angka orang Indonesia yang tidak terdaftar di negaranya adalah 50.000 jiwa.

Terlepas dari perbedaan angka-angka itu, namun yang tak terbantahkan orang-orang Sangihe-Talaud jelas merupakan komunitas yang sudah ruaya (migrasi) ke berbagai penjuru. Bahkan ruayanya itu bahkan tidak sekadar merupakan fenomena nasional sebagaimana migrasi sirkuler penduduk-penduduk desa miskin ke kota, namun juga sudah mempunyai implikasi-implikasi internasional, paling kurang bilateral..

Juga terlepas dari detil angka-angka itu, yang pasti migrasi terjadi dengan berbagai latar sebab. Yaitu secara garis besar diklasifikasikan sebagai faktor pendorong (push factor) dan faktor penarik (pull factor). Faktor pendorong adalah semua alasan yang membuat orang-orang Sangihe-Talaud terdorong untuk meninggalkan daerahnya. Bencana alam yang terjadi di daerah kepulauan Sangihe-Talaud (terutama gunung api yang meletus reguler dan siklis) merupakan alasan orang untuk meninggalkan pulau-pulau Sangihe dan Sitaro. Mereka ingin menyelamatkan diri dari ancaman letusan. Dan itu dilakukan dengan permanen berpindah tempat mukim ke luar Sangihe, Siau dan Tagulandang. Ini salah satu faktor pendorong alamiah.

Faktor pendorong lain adalah kesulitan ekonomi yang dialami orang-orang Sangihe-Talaud di daerahnya. Sumber utama daerah ini mestinya adalah perikanan dan kelautan, karena luas wilayahnya 95% adalah laut. Namun ternyata, daerah potensial ikan ini kini sekadar dijadikan daerah penangkapan ikan oleh armada penangkapan ikan daerah lain. Juga pengolahan hasil perikanan malah dilakukan di wilayah lain, makanya banyak komunitas Sangihe-Talaud yang kemudian memilih berpindah ke wilayah itu, yaitu Kota Bitung.

Di samping itu, salah satu sumber hidup, yaitu perdagangan dengan pihak-pihak di Filipina yang dulu pernah membuat daerah ini berjaya, kini tidak dapat dilakukan karena berbagai pembatasan dan pengekangan yang dilakukan negara atas nama kepentingan keamanan (Indonesia dan Filipina). Maka, sebuah daerah perbatasan yang tidak dapat memanfaatkan peluang outsourcing-nya, sedang pembangunan semata berorientasi ke pusat selama berpuluh-puluh tahun itu menciptakan kutukan ekonomi di daerah perbatasan. Akibatnya, kemiskinan mendera-dera di daerah perbatasan. Salah satunya buktinya adalah identifikasi program IDT (Inpres Desa Tertinggal) selang tahun 1980-an hingga 1990-an yang tegas menyatakan semua desa Kabupaten Sangihe dan Talaud (belum mekar) adalah desa miskin dan tertinggal.

Dalam kondisi kemiskinan itu tentu peluang solusi kehidupan akan selalu dicari di luar. Dan tak terbendungkan berbondong-bondonglah jumlah orang Sangihe dan Talaud yang meninggalkan desa-desa pesisirnya untuk pergi ke daerah-daerah dengan kegiatan ekonomi yang lebih menjanjikan. Pertama, niatnya sekadar mencari peluang hidup dan tetap berkala pulang ke kampung halaman. Ini yang disebut sebagai migrasi musiman. Namun kemudian, atas alasan-alasan lain kemudian pindah secara permanen memboyong anggota keluarganya pindah tempat. Ini sudah migrasi permanen.

Sayangnya, meskipun sudah pindah ternyata dominan kondisi hidup mereka tetap masih dalam lingkaran kemiskinan. Maklum mereka sekadar berakses ke sektor ekonomi informal (pembantu rumah tangga, buruh perkebunan dan buruh konstruksi) karena latar pendidikannya yang rendah. Namun, banyak pula yang pantas disebut berhasil setelah puluhan tahun berjuang di rantau. Mereka dapat menyekolahkan anak secara memadai dan menikmati kondisi kehidupan yang lebih baik dibanding saudara-saudaranya yang di kampung asal.

Di samping faktor pendotong, kepergian orang-orang Sangihe-Talaud dari kampung halaman mereka juga karena daya tarik daerah tujuan. Kota di sekitar daerah asal, misalnya, menawarkan daya tarik kehidupan ekonomi, hiburan, pendidikan dan kesejahteraan sosial yang jauh memadai dibanding di daerah asalnya.

Jelaslah, keberadaan orang-orang Sangihe dan Talaud di rantau kini terjadi atas dorongan yang kompleks yang meliputi dua klasifikasi alasan di atas.

Sejauh ini upaya meneliti keberadaan mereka dapat disebut tidak memadai. Hanya ada beberapa studi saja yang pernah dilakukan yaitu lebih banyak fokus pada migrasi orang Sangihe-Talaud ke Filipina. Di antara beberapa nama yang tercatat pernah melakukan studi ini adalah: Shinzo Hayase, Evelyn Tan Cullamar, Aswatini Rahadjo dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Alex J. Ulaen.

Sejauh ini studi tentang migrasi orang-orang SaTaS dalam lingkungan Indonesia sangat kurang, kalau bukan malah belum ada. Karena itulah menjadi penting untuk dirintis. Penelitian itu jika dilakukan akan bermanfaat untuk:

1). Mengungkapan secara lebih mendetail tentang kondisi masyarakat Sangihe-Talaud di rantau yaitu terkait dengan jumlahnya, klasifikasi usia.
2). Mengungkapkan tentang alasan keberangkatan mereka dari daerah asal mereka dan ihwal kedatangan mereka di daerah rantau.
3). Mengungkapkan tingkat kehidupan mereka yaitu meliputi pendapatan ekonomi, kondisi pendidikan, organisasi sosial serta tradisi budaya asli yang masih mereka jalankan.
4). Mengungkapkan permasalahan-permasalahan sosial yang mereka hadapi bersama.
5). Mengungkapkan potensi sosial politik mereka di daerah rantau.
6). Mengungkapkan komitmen mereka dengan daerah asal, dalam artian mengungkapkan apakah mereka dapat menjadi kekuatan untuk menggerakkan pembangunan di Kabupaten Sangihe, Kabupaten Talaud dan Kabupaten Sitaro ke depan.

Untuk melakukan penelitian ini jelas dibutuhkan sumberdaya. Karena itu kini ditantang kawan-kawan di universitas-universitas melakukannya. Pitres Sombowadile (Center for Alternative Policy)

Tidak ada komentar: