Minggu, 07 Februari 2010

TINUTUAN: DARI MATA TURUN KE PERUT

KOTA Manado pernah ditahbiskan walikota Jimmy Rimba Rogi sebagai Kota Tinutuan. Sebagian warga menggumamkan kerisihan menerima perjulukan ini. Risih karena baru pertama kali kotanya diberi julukan secara formal mengacu pada nama makanan. Meski sebenarnya ini bukan trend baru, karena banyak kota sudah diberi perjulukan sesuai makanan khasnya, misalnya Yogya diberi julukan Kota Gudeg.

Mesti jujur disebut justru tinutuan telah lama dicandrakan dengan nama embel-embel Manado, karena di tingkat nasional makanan ini lebih dikenal dengan nama ‘bubur Manado’. Karena itu logikanya penetapan Manado sebagai Kota Tinutuan galibnya hanyalah sekadar membayar hutang budi pada sang tinutuan yang telah sekian lama ‘bekerja mengkampanyekan’ brand (merek) Manado di tingkat nasional. Soal merek ini jelas bukan hal sembarangan, karena menurut para ahli pemasaran brand adalah penentu strategis pemasaran dan eksistensi produk, daerah dan diri.

Sebelumnya, citra kota Manado selalu divisikan dalam jargon semacam ‘Bersehati’ dan ‘Berhikmat’, yang bila dirinci kepanjangannya terdiri dari kumpulan kata-kata sifat seperti bersih, serasi, aman, tertib, indah, dan tentram. Pergantian rangkaian kata sifat dengan sebuah kata benda ‘tinutuan’ mesti diberi deskripsi latar belakang memadai, alias uraian rationale-nya. Deskripsi bak pertanggungjawaban verbal itu jika diberikan akan membuat warga kota paham sekaligus mahfum ihwal ‘kebijakan balas budi’ Kota Manado pada sang ‘Tuan Tinu’ (baca: tinutuan) itu.

Praksis Campur Makanan

Menurut amatan saya, harus diakui kreativitas paling besar orang-orang jazirah Manado sebenarnya justru terkait dengan kegiatan campur-mencampur makanan. Makanan baru akan dikolaborasikan dengan makanan yang sudah lama dikenal. Begitu banyak makanan baru di Manado yang hakikatnya tak lain merupakan percampuran saling silang. Katakan yang paling bisa segera diingat adalah midal. Ini adalah percampuran makanan mi kuah khas Manado yang berbumbu nikmat dan diberi cakalang fufu dengan tinutuan. Mi aslinya dari negeri Cina , juga berasal dari Jepang yang dikenal dengan nama soba serta dari Korea. Nama akhiran dal padal midal, berasal dari pedaal yakni nama lain untuk tinutuan khusus di wilayah Minahasa Selatan alias wilayah subetnik Tountemboan.

Daal alias tinutuan itu jelas sudah hakikatnya adalah campur ruah segala macam sayuran segar, kangkung, labu, bayam, gedi yang diberi bubur beras, ditambah ketela, talas dan ubi jalar alias bete and batata. Bahkan di kampung Pinabetengan turut dicampur dengan sambote yang pahit tak keruan itu. Di kalangan penjual makanan pagi hari di seputaran jalan Garuda Manado midal sering disebut saja sebagai ‘campur’.

Saya menduga kata tinutuan dulu merujuk sekadar pada aktivitas mencampur makanan itu dan tidak ada yang tahu mana yang merupakan resep asalnya atau dengan memakai istilah gerai makan franchise KFC (Kentucky Fried Chicken) disebut sebagai original recipe-nya alias resep asli. Dugaan ini saya yakini karena di Mindanao, Filipina -juga terdapat makanan yang disebut tinutuan. Tetapi waspadalah wahai kaum pemamah sayuran alias vegetarist, karena yang dicampur di sana bukanlah sayuran segar nan sehat sentosa itu, tetapi jeroan kolesterol tinggi yang berbahaya bagi perut dan ideologi makan sehat kaum vegetarist.

Di samping campuran bernama midal, tinutuan a la Minahasa itu di Manado juga turut dicampur binte biluhuta (kita singkat saja jadi BB) yang tulen merupakan makanan khas Gorontalo. BB (tolong tidak diasosiasikan dengan Bau Badan yang justru bakal menurunkan selera makan) galibnya adalah percampuran makanan dengan ingredient utama jagung pipilan rebusan yang diberi kuah berbumbu nikmat.

Terakhir ini BB juga mendapat pengayaan alias enrichment dengan hamburan ebi alias udang alus dan parutan kelapa yang membuatnya lebih asyik dan syur. Siapa orang-orang penting dalam mengembangkan makanan jagung BB selalu bersifat anonim. Ini tidak seperti halnya di Amerika dimana ahli nutrisi John Harvey Kellog dicatat sebagai pembuat bubur jagung, corn flake. Atau juga para ahli gizi lain yang membuat sirup, whiski, minyak dan gula rendah kalori dari jagung yang di Indonesia bermerek tropicana.

Yang menarik bahwa jagung yang jadi idola orang Gorontalo itu menurut sejarahnya adalah ole-ole orang-orang ekspansionis merkantilis asal Barat, yang notabene dibenci para penghulu politik di Gorontalo, dan sebagian di antaranya masih berkutat di jalan roda Manado. Tapi meski dibawa pihak Barat, makanan bernama ilmiah Zea mays ini sebenarnya juga dirampas dari wilayah baru Amerika dari suku-suku Indian. Jagung sudah dicocoktanam kaum Indian terhitung sejak paling kurang 4700 tahun lalu. Jagung dalam bahasa Manado disebut milu yang tak lain kontraksi dari kata Portugis milho.
Campuran makanan lain juga bisa ditemukan di pasar-pasar di Kota Manado adalah mi, campur tinutuan, campur kacang merah alias brenebon (Phaseolus Sp.). Kata ‘brenebon’ dari kata Belanda bruineboon yang justru berarti ‘kacang coklat’ jadi kacang merah tidak tahu apakah ada pengaruh politik warna di dalamnya. Dari namanya bijian ini segera bisa kita terka terkait jelas dengan ekspansi-merkantilis Barat. Meski kalau dilacak sebenarnya makanan ini juga diboyong pihak Barat dari Amerika Utara sesudah Colombus (1492). Kadang-kadang campuran makanan terakhir ini diperkaya dengan tetelan sapi terutama bongkol kaki dan kikil. Konon dipercaya agar siapa-siapa yang memakannya mampu menarik ‘roda’.

Tapi pada komunitas Kristen di pasar-pasar Wanea dan Bahu makanan tinutuan kolabarasi brenebon ini paling sering dipermoi dengan kaki babi (Sus vittatus) yang awalnya mulai masuk kandang dan dipelihara di Cina 9000 tahun lalu. Kaki boke dalam kuah kaldu kacang merah jelas merupakan makanan khas asal Eropa. Tetapi kini di dunia Barat, terutama di Amerika Serikat, karena merebaknya kesadaran vegetarian dan kesadaran diet, makanan jenis kolesterol tinggi ini tinggallah dimakan kalangan hitam Afro-Amerika di kafe-kafe kecil dekat apartemen rakyat dekat Manhattan, New York. Adapun orang-orang Manado di New York dan New Jersey datang juga ke sana untuk makan sembari masyuk membayangkan mereka sedang berada di Kawangkoan, Tompaso, Langowan, Pakuure atau Modoinding dalam acara tumpah makan yang diberi nama relijius yaitu, ‘pengucapan syukur’ yang sekian lama diaminkan para tokoh gereja Masihi Minahasa.

Dari Mata Menuju Perut

Tetapi Anda jangan salah, dalam tindak campur-mencampur makanan itu justru terkandung jati diri idealisme orang Manado paling mendasar, yaitu kehendak untuk menerima pergaulan dengan tangan terkembang dan akan dibuktikan dengan praksis perut, yaitu keinginan menjajal makanan dan melakukan eksperimen campur- mencampur makanan.

Kalau perkenalan yang berkesan dan menerbitkan cinta dalam hati biasa dilambangkan orang sebagai peristiwa dari mata turun ke hati, adapun orang-orang Manado menerjang lebih jauh dari kelumrahan itu. Karena, bagi mereka sesudah berterima di hati, kemudian harus diekspresikan dalam tindak makan-minum. Saya menduga tradisi makan ini semacam perterusan juga dari kebiasaan makan pinang dahulu kala, di mana tolok pergaulan hangat dilambangkan dalam tindak makan pinang bersama. Ketika itu tidak ada pertemuan penting, misalnya peristiwa pelamaran gadis pujaan hati, tanpa diawali mamah pinang bersama. Makanya hingga kini peristiwa melamar gadis untuk dibawa ke jenjang perkawinan disebut sebagai peristiwa ‘meminang’.

Jelaslah yang dilakonkan orang Manado dalam bergaul sesama insan adalah peristiwa dari mata turun ke perut. Tetapi, tentu proses ke perut bukan tidak memakai hati dan kepala, malah sangat tulen dilakukan. Memang dalam pengalaman kalau cuma sekadar kesan itu turun ke hati, siapa bisa menjamin akurat ‘membaca’ hati orang. Karena, peribahasa mengatakan ‘dalamnya laut dapat terduga, tapi hati orang siapa yang tahu’.

Tapi, di Manado tamu yang secara sadar mau menerima tawaran makan, merupakan gestur tulen bersahabat. Yang menolak makan karena alasan ideologis syariat agama juga pun masih diterima. Penolakan jenis ini bukanlah penghinaan pada sang tuan rumah, tetapi semacam penegasan jati diri. Karena di Manado meja makan juga menjadi ajang penegasan identitas diri. Tak heran di pesta perkawinan Kristen di Manado selalu ada meja tersendiri bagi kalangan muslim dan kalangan advent yang tidak bisa mencicip makan berdaging babi dan anjing. Penyediaan itu jelas sebuah penghormatan pada identitas dan praktik agamawi yang berbeda. Tetapi siapa pun yang menolak makan minum yang tulus ditawari tuan rumah dalam kosmos beberapa suku Sulawesi Utara bisa tertimpa musibah.

Ideologi Tinutuan

Tinutuan tak pelak mesti disebut adalah simbol kesediaan untuk bercampur baur itu. Inilah sebenarnya pesan yang hendak disuarakan Kota Manado. Makanan ini memang sudah hakikatnya merupakan campur ruah sayuran. Bahkan perkembangan terakhir bisa juga disantap dengan tahu hasil kebudayaan kedelai Cina, perkedel nike yang bukan merek sepatu yang dibuat pengusaha Korea di Tanggerang, tapi nener ikan air tawar biasanya dari danau Tondano dan cakalang fufu alias hasil asapan ikan cakalang (Katsuwonus pelamis) salah satu jenis tuna yang berruaya alias bermigrasi di wilayah Pasifik di antaranya masuk ke Laut Sulawesi.

Tinutuan dalam sejarah Sulawesi Utara sebagaimana sudah terurai di atas berasimilasi dengan mi yang asal Cina. Mi konon diperkenalkan di Eropa oleh Marco Polo yang pulang kampung di Venice tahun 1295, meski sebagian orang menyatakan makanan jenis ini sudah ada di Pulau Sisilia, Itali sejak zaman pemerintahan Islam (827 -1061 M). Karena salah produksi mi Itali menjadi kurus bak tali gitar dan disebut spaghetti.

Jelaslah tinutuan tidak canggung bergaul dengan brenebon dan afdol dengan jagung. Dan karena tinutuan original recipe a la Minahasa sekadar campuran berbagai macam sayuran yang dimasak khusus dan tidak mengandung daging babi dan anjing yang diharamkan kaum muslim dan kaum adventist. Juga, tidak mengandung daging lain semacam sapi yang dihormati masyarakat Hindu. Makanya, tak salah makanan ini bisa jadi semacam makanan pergaulan antar kelompok masyarakat di Manado. Semacam lingua franca lidah dan perut begitu. Jadi pemilihan makanan ini menjadi perjulukan bagi Kota Manado jelas terkandung makna sebuah ikhtiar tulus penerimaan atas pluralisme di Kota Manado. Manado memang menjadi tempat persemaian pergaulan antar bangsa dan ras serta kebersamaan insani. Itu secara politik sudah dibuktikan dengan move Pak Imba yang penatua menggandeng Pak Abdi yang mukmin menjadi pemimpin kota.

Yang menarik bahwa meski tinutuan merupakan percampuran berbagai macam elemen, tetapi unsur-unsur pembentuknya tetaplah terlacak kasat mata, katakan semacam kangkung (Ipomea elongata). Tidak ada yang hilang alias meleleh dalam proses percampuran itu. Karena percampuran yang terjadi bukan peleburan, tapi bersanding bersama pada satu keyakinan hidup bersama alias Bhinneka Tunggal Ika yang sejati. Bukan memangsa mereka yang berbeda. Yang hendak disimbolkan oleh tinutuan bukanlah pluralisme dimana unsur-unsur pembentuk akan dilelehkan sehingga tidak bisa dilacak kasat mata. Karena itu yang hendak didorong bukanlah konsep melting pot a la Amerika Serikat awal, tetapi konsep multikulturalisme di mana unsur pembentuk tetap eksis namun berkomitmen kuat untuk hidup bersama sehati dan seperut.

Jadi jelaslah tinutuan adalah percampuran bukan peleburan. Ini bahkan sudah masuk dalam hati terdalam di samping perut terdalam tentu. Diceritakan seorang ibu Manado yang merelakan anaknya akan diapel pacarnya malam harinya. Sang ibu berpesan, ‘’Nak, ibu senang pacarmu. Tapi kau harus jaga diri. Nanti malam kalau dia mulai cium dan pegang-pegang kau bilang ke ibu yang akan diam di kamar depan, ya!?’’ Anaknya setuju, ‘’Tapi bu, bagaimana caranya?’’ tanya sang anak gadis. ‘’Ah gampang kau pakai saja bahasa simbol nama-nama sayuran. Kalau dia pegang tanganmu kau bilang kangkung. Kalau cium pipi, labu. Kalau bibir, bayam, kalau pegang paha gedi dan seterusnya,’’ jelas sang ibu.

Dan malam harinya. Sang ibu lamat-lamat mendengar dari dalam kamar. ‘’Mama, kangkung. Kangkung labu, kangkung labu. Labu-labu. Bayam, labu bayam, bayam, bayaaam. Gedi, kangkung labu, gedi, kangkung labu, Gedi, gedi, gediiii’’ dan akhirnya erangan mendesah panjang, ‘’ Ma, tinutuan.’’.//Pitres Sombowadile