Sabtu, 06 Februari 2010

SEKILAS ALABADIRI: DARI MANA INSPIRASINYA

ALABADIRI di abad pertengahan adalah nama khusus bagi kelompok prajurit penjaga keamanan raja. Dikenal di lingkungan Kerajaan Tabukan, Kerajaan Tagulandang, Kerajaan Siau, Kerajaan Manganitu dan Kerajaan Kolongan.

Sangat mungkin pertama kali dikenal di Tagulandang dan Tabukan yang diserap dari Maluku (Ternate). Di Kerajaan (Kesultanan) Ternate menurut uraian Residen Maluku F.S.A. de Clercq (Bijdragen tot de kennis der Residentie Ternate, 1890) prajurit khusus ini disebut albahdir, yaitu untuk empat prajurit dengan pakaian pelindung dari logam dan helm tembaga yang bergerak di depan pasukan Sultan Ternate pada upacara-upacara formal kesultanan.

Bagi lidah orang Sangihe, semua kata serapan akan dilaraskan dengan lafal bahasa Sangihe. Untuk kata yang akhirnya adalah konsonan biasanya akan ditambahkan vokal di belakang kata serapan baru itu. Khusus bahasa Sangihe dialek di pulau Sangihe biasanya akan diberi tambahan bunyi hidup ‘e’ . Sedang untuk penambahan bunyi ‘i’ biasa dilakukan penutur bahasa Sangihe dialek Tagulandang. Makanya, sangat mungkin kata ‘alabadiri’ terbentuk pertama di kawasan Nusa Utara di Tagulandang dan kemudian di pakai luas di seluruh kawasan Sangihe-Talaud dan Sitaro.

Dari Ternate, secara geofragis Kerajaan Tagulandang jelas akan duluan ditemui dalam perjalanan garis lurus. Dalam masa pemerintahan Sultan Ternate ke 7 (atau Kulano ke 25), Sultan Baabullah bangsa Portugis berhasil diusir dari benteng Gamalama yaitu tahun 1570. Rakyat Ternate bangkit amarahnya pada Portugis setelah kapten benteng Portugis Lopez de Musquita membunuh Sultan Khairun di benteng Gammalamma.

Pasca berhasil mengusir Portugis dari Ternate Sultan Baabullah merasa sangat kuat dan dia berhasil memperluas wilayah kesultanan ke Utara dan Selatan. Di kenal dengan kekuasaan Ternate pada 72 pulau. Di antaranya, ke wilayah Kawasan Sangihe Talaud Sitaro, ke Sarangani dan terus ke Mindanao. Bahkan juga ke kepulauan Marshal di Samudera Pasifik. Proses pengislaman dari Ternate mulai dilakukan dari Ternate, meski sebelumnya Islam oleh kelompok Islam lain ( ahlulbait ) sudah masuk Sangihe via Sulu dan Mindanao. Sangihe dan Tagulandang dalam sejarah tercatat menjadi vasaal Ternate. Sedang, kerajaan Siau mengikat pakta perlindungan dengan Spanyol di Manila. Dalam masa ini dapat disebut berbagai pengaruh khas Ternate masuk ke Tagulandang dan Sangihe (Kerajaan Tabukan).

Meski kata alabadiri di kawasan Nusa Utara (Sangihe, Talaud dan Sitaro) adalah serapan Ternate namun pun sebenarnya kata itu juga asal tulennya dari Eropa, yaitu hallberd atau hallberdier di Inggris; Hallebarde, dalam bahasa Perancis modern yang diturunkan dari bahasa Perancis tua alabarde. Ini juga sebenarnya dimasukkan dari bahasa Itali tua alabarda. Dan disebut awal mula kata ini dari bahasa Jerman Tinggi Menengah helmbarde, yang merupakan kata bentukan dari halmbarte (helm berarti gagang dan barte dari bahasa Jerman Tinggi Tua barta yang berarti ‘kapak’). Biasanya kapaknya bermata dua. Atau, satu mata kapak biasa dan satunya mata tombak, sedang di ujung gagang ada runcingan sehingga berfungsi juga sebagai tombak (lihat gambar samping). Sedang gagangnya bisa dilapisi logam sehingga bisa dipakai juga untuk menangkis serbuan pedang musuh, misalnya.
Jadi jelas kata asal Eropa ini aslinya menunjuk sebuah tongkat (tombak) berukuran lebih tinggi sedikit dari pembawanya yang bagian sebelum ujungnya ada kapak dua mata sedang ujungnya runcing. Senjata ini dalam banyak dokumen disebut sebagai senjata khas di benua Eropa pada abad 15 dan 16. Di kenal sekali di Swiss, karena pernah dipergunakan para petani negara itu dulu kala dalam membunuh Duke of Burgundi yang mengakhiri perang orang-orang Burgundi.

Hallberdier menunjuk kepada prajurit yang memakai senjata halberd. Ini yang diacu oleh kata albahdir di Ternate dan ‘alabadiri’ di Sangihe.

Terkait dengan prajurit khusus ini di Sangihe secara khusus pada tahun 1962 diperkenalkan ke publik sebuah tarian istana Tabukan yang menggambarkan para prajurit penjaga istana Tabukan yang disebut Tari Alabadiri. Ditarikan semua oleh laki-laki. Sebelumnya, tari ini sekadar diperagakan dalam lingkungan istana baik di Kerajaan Tabukan, Kerajaan Siau dan Kerajaan Kolongan. Hanya atas permintaan bupati Harry Sutojo (tahun 1961) tari ini kemudian secara adat diperbolehkan diperagakan di luar istana. Kini tari ini bisa ditemui di beberapa tempat di Sangihe dan Talaud (di pulau Karakelang). Yang pasti tiap tahun ditampilkan di acara adat Tulude pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe, karena filosofinya tentang hubungan pemerintah dan rakyat.

Dalam sebuah misi kesenian Kabupaten Sangihe Talaud keluar daerah tahun 1962 tarian alabadiri ini pertama kali ditampilkan ke luar wilayah Sangihe dan Talaud. Beberapa raja Tabukan sangat erat dihubungkan dalam pengembangan jenis tari ini di lingkungan israna, namun yang paling banyak diacu adalah Raja Markus Jacobus Dalero (1718-1724). Meski dalam catatan buku tim ‘’Misi Kesenian Daerah Tingkat II Sangihe-Talaud 1962’’ itu diberikan uraian oleh budayawan Sangihe D. Madonsa tari ini sudah dimainkan sejak abad ke XV di Tabukan di zaman Raja Makaampo Wawengehe, di Siau pada zaman Raja Lokongbanua II dan di Kerajaan Kolongan pada zaman Raja Pontorolage. Yang artinya jauh sebelum Dalero yang merupakan tokoh Tabukan di abad ke 17-18.

Dalam booklet tim misi kesenian itu diuraikan tarian Alabadiri memakai beberapa alat kelengkapan. Pertama adalah musik pengiring yang berupa tambor (bisa juga tanggonggong) dan nyanyian pengiring .
Para penari mem-bawa alat (properti) berupa:
(a) Kubalang yaitu tongkat yang ujungnya ada kem-bang warna putih dengan
kelopak hijau dan di atasnya bertengger patung seekor burung untuk menyimbolkan rakyat yang berhati suci murni dan tetap setia pada pemerintah yang hidup dan matinya dengan rakyat.
(b) Kaliau, yaitu sejenis perisai sebagai perlambang pertahanan nusa dan bangsa.
(c). Tokoting, yaitu alat yang menamsilkan kesiagaan rakyat berjaga-jaga menurut tempat dan waktu.
(d). Sondang, yaitu pisau sejenis rencong sebagai alat penuntut keadilan dan kebenaran.
(e). Sinsing ialah cincin sebagai simbol alat pengikat hubungan silaturahim bangsa yaitu mengikat hubungan antara rakyat dan pemerintah.

Tarian ini ditampilan dalam sepuluh bentuk gerakan yang memberi pelajaran persepsi tentang hubungan ideal pemerintah dan rakyat. Pitres Sombowadile

Tidak ada komentar: