Kamis, 18 November 2010

BAZAR TAHUNAN PELAUT NUSA UTARA (Sebuah Inspirasi Awal)

Saya kagum dengan kecanggihan teknologi facebook yang mampu menghubungkan orang per orang dalam tempo yang sama di tempat yang berbeda.Kekaguman ini hendaknya disandingkan dengan pemikiran zionisme (meskipun mungkin berbeda prinsipnya dengan zionisme Israel) yang selama ini terus dipikirkan oleh sekelompok orang dari nusa utara untuk menjalin interaksi orang-orang nusa utara sejagat bumi ini agar kelak mereka dapat kembali ke kampung halaman masing-masing dalam suatu pawai panjang selama sepekan.

Begitu baiknya gagasan ini dapat diteruskan oleh teman-teman pelaut yang sudah berhasil mengarungi ketujuh samudera di belahan bumi ini supaya mereka dapat menyelenggarakan sebuah bazar di atas kapal yang pelaksanaannya dilakukan secara bergilir di tiga kabupaten SaTaS. Gagasan ini akan mendatangkan keuntungan bagi lancarnya proses pembangunan di perbatasan yang kurang mendapat perhatian pusat itu. Kita harus melakukan sesuatu bagi bangsa sendiri, agar uang yang dibawah ke negeri kita bisa lebih banyak beredar disana.

Alangkah bahagianya, pasar serba ada semacam pasar BERSEHATI Manado, tiba-tiba menjelma menjadi sebuah kapal dan dapat hadir pada bulan desember di pelabuhan Ulu Siau, Tahuna dan Lirung. Semoga gagasan ini dapat segera terwujud. Dengan sendirinya gerakan komunitas pelaut Nusa Utara semacam ini merupakan jawaban untuk mendekatkan pelayanan sosial ekonomi kepada masyarakat perbatasan yang serba terbatas karena pembatasan kebijakan negara. Gerakan ini menjadi alternatif bagi kebijakan membangun kekuatan civil society yang lebih mapan. Tetapi saya tahu, membangun gerakan ini tidak mudah. Kita memerlukan solidaritas yang sangat kuat sebagai perekat. 

KEMISKINAN USA: Perang Amerika Vs American

Saya membaca sebuah artikel menarik di sebuah situs VOA (www.voanews.com) yang concern dengan permasalahan sosial di Amerika Serikat. Amrik yg katanya negara kaya dan adidaya, ternyata sepanjang tahun 2008-2009 tak berdaya menanggung beban 15% keluarga yang rawan makanan. Kerawanan ini berlangsung pada keluarga-keluarga yang tersubsisten (terpinggirkan), antara lain keluarga dengan status single parent dan para pengemis jalanan. Kondisi ini secara implisit dimanfaatkan oleh Obama ketika mencalonkan diri menjadi presiden Amrik dan alhasil, Obama menjadi presiden yang dipercaya mampu melakukan perubahan.

Fenomena kemiskinan seperti itu wajar terjadi ketika sebuah negara dipimpin oleh seseorang yang berhaluan politik "suka perang". Haluan kiri ini dimiliki oleh kelompok elit partai republik seperti Bush dan para pendahulunya yang mempunyai kebijakan sebangun, yaitu mengutamakan politik luar negeri, ketimbang mengurus urusan perut rakyatnya. Pandangan ini sangat kontradiktif dengan pandangan kaum demokrat semacam Obama yang lebih menyukai urusan pembenahan masalah-masalah dalam negerinya.

Boleh dikata, di Amrik, ada dua paham politik yang hidup dan terus menerus secara bergantian "berseteru" yaitu 1) paham internasional dengan haluan politik luar negeri; dan 2) paham nasional dengan haluan politik dalam negeri yang beroerientasi pada perbaikan kondisi ekonomi negara pasca kebijakan dan misi perang dunia selesai dilakukan. Paham pertama dipelopori oleh kelompok partai republik sedangkan kelompok kedua dipelopori oleh partai demokrat. Jadi kedua parpol tersebut melekat status yang sangat kontradiktif. Kalau kita cermat mengamati, siklus pemerintahan di negri Paman Sam itu hanya berganti pada dua aras dimaksud. Presiden terpilih dari partai republik kebijakannya dominan mengurus "perang dunia" untuk alasan stabilitas internasional dengan pengalokasian sejumlah besar anggaran pada kebutuhan persenjataan. Ketika anggaran menipis, rakyat kemudian memilih mengganti presidennya dari kelompok demokrat yang secara implisit diberikan mandat untuk membenahi ekonomi dalam negeri (popoji/dompet) yang menipis akibat perang.

Saya melihat bahwa Amerika tidak mempunyai musuh fisik setiap kali dia melakukan perang. Musuhnya adalah dirinya sendiri. Tidak ada satu negarapun yang dia takuti, selain rakyatnya sendiri. Ketika 15% American (baca: rakyat Amerika) terpuruk akibat kemiskinan dan ketahanan pangan, maka seluruh Amerika mulai berpikir panjang untuk mengganti presiden mereka.Temuan kemiskinan tahun 2008-2009 tersebut merupakan pesan moral kepada Obama untuk membenahi Amerika dengan kearifan yang dimilikinya.

Dalam hubungannya dengan Pemilu Sela, dimana Obama mengalami kekalahan, saya justru melihat sebagai sebuah gerakan politik yang dipertontonkan warga Amrik tentang keberhasilan Obama membenahi aspek-aspek yang pincang dalam sistem ekonomi politik negaranya. OLeh sebab itu rakyat Amerika ada alasan untuk mempertahankan Obama pada pemilu berikutnya. Sebab bagi AMERICAN, penguasa tidak begitu penting artinya, tetapi bagi AMERIKA yang jauh lebih penting artinya adalah perdamaian dunia.

PERILAKU PETANI PALA SIAU DI ANTARA BUDAYA KAPITAL DAN BUDAYA LOKAL


Saya masih terus berpikir mengenai kemungkinan ke arah mana bergesernya perilaku petani pala di pulau Siau setelah Raja Lemuel David mengeluarkan titah untuk menanam pala (miristica fragan - nutmeg) sebagai jenis komoditi yang sangat laris di Eropa ini agar ditanam oleh seluruh warga Kedatuan Siau ratusan tahun yang lalu, hingga sekarang dan kedepan nanti. Pada akhir abad 19 petani pala Siau berhasil menembus prestasi emas kualitas kalibrasi (CN) pada level ketiga dari tiga kategori kalibrasi tertinggi dalam standar mutu pala nasional. Dalam keterbatasan pengetahuanku, hingga saat ini belum ada satupun daerah di Indonesia yang berhasil menembus level itu. Kalaupun kita amati, tampaknya sebagian warga Siau telah beralih orientasi kerja pada sektor-sektor jasa seperti jasa transportasi ojek untuk mengatasi kebutuhan hidup. Kondisi ini bilamana dibiarkan tanpa penanganan secepatnya, akan mengubah struktur ekonomi masyarakat dan mengganggu stabilitas ekonomi daerah.

Nafas Otda Tersumbat, Rakyat Melarat

Pada masa pemerintahan bersama dengan kabupaten Sangihe, terdapat sebuah regulasi kalau tidak salah yaitu perda nomor 8 tahun 1995 yang mengatur tentang tata niaga hasil komoditi petani. Dalam era otonomi daerah di abad 20 ini, diharapkan prestasi sebagaimana yang disebutkan di atas dapat lebih ditingkatkan ke level yang lebih tinggi atau minimal dapat dipertahankan. Sudah tentu membutuhkan sebuah regulasi dari pemerintah daerah otonom. Sudah 3 tahun lamanya warga Siau menjalankan pemerintahan Otda, belum satupun kebijakan yang dilahirkan pemerintah daerah sebagai upaya dalam mengendalikan aspek produksi, konsumsi, distribusi dan investasi dari hasil komoditi pala ini.

Sepertinya pemerintah lebih tertarik untuk mendatangkan investor daripada membenahi perilaku petani melalui regulasi-regulasi yang strategis. Dengan kehadiran investor, justru perilaku rakyat akan segera berubah drastis dari perilaku ramah lingkungan menjadi perilaku yang rakus dan memproduksi tanpa pertimbangan-pertimbangan mempertahankan keseimbangan alam. Petani akan menggunakan sarana-sarana produksi untuk mengejar nilai lebih. Sementara sebagian warga dengan modal kepemilikan lahan yang terbatas akan teralienasi dan terdegradasi secara sosial. Kehadiran investor dalam kondisi perilaku produktif belum dimaksimalkan, hanya akan menyumbat beberapa peran kearifan lokal yang kini terpelihara fungsional dalam tata kelola hasil pertanian pala.

Bagi saya kondisi ini dapat dikatakan sebagai upaya yang hendak menggiring perilaku petani menjadi petani yang berorientasi pada modal dan sarana-sarana produksi, bukannya hendak melestarikan perilaku asli petani sebagai petani yang rajin, teliti dan bersahabat dengan alam. Saya tidak menolak adanya perubahan dalam struktur agribisnis kita. Pandangan konservatif diperlukan dalam kerangka membangun sebuah struktur masyarakat industri yang disertai dengan pembangunan suprastruktur yang jelas arahnya. Tujuan harus ditetapkan secara jelas. Mencapai tujuan tersebut memerlukan metode yang terukur agar mudah dikendalikan.

Saya kira, pekerjaan pemerintah jauh lebih mudah dari pekerjaan petani yang berusaha mempertahankan nilai-nilai kearifan lokalnya dari hantaman dampak negatif globalisasi dan industrialisasi dunia. Tetapi alangkah indahnya bilamana keseimbangan alam yang dipelihara oleh petani itu tumbuh subur dalam iklim usaha masyarakat dan dibawah kendali pemerintahan yang membela rakyat dan alam sekitarnya.


Budaya Kapital Vs Budaya Lokal

Melalui tulisan ini saya hendak memaparkan salah satu contoh fakta sosial yang kini diderita oleh warga Siau. Misalnya kebiasaan kerja petani dalam aspek produksi. Teknologi sebagai sarana produksi yang digunakan petani dalam pemetikan buah pala ada dua jenis. Jenis pertama adalah sasendeng dan jenis kedua adalah kakambi. Sasendeng bentuknya lonjong dan mempunyai ruang penampung untuk mengumpulkan buah pala terpetik. Sedangkan sasendeng memiliki pengait tanpa penampung sehingga buah jatuh ke tanah dan menyebabkan banyak buah yang rusak. Biasanya, jika buah pala melimpah dan tenaga kerja kurang, maka petani dengan institusi lokalnya yang disebut mapalose atau makiwera yaitu semacam fungsi gotong royong (mapalose dilakukan secara bergilir dan bersifat reguler sedangkan makiwera bersifat insidentil) dapat menggunakan sasendeng, agar dalam sekali kerja hasil panen seluruhnya dapat dipetik meskipun dengan resiko tingkat residu yang besar pula. Tetapi dengan menggunakan sasendeng, petani dapat menyeleksi buah pala dengan cermat dan mengurangi tingkat residu. Kelemahan menggunakan sasendeng adalah pada pemanfaatan waktu yang panjang.

Kedua alat produksi tersebut masih digunakan hingga sekarang dan tidak bisa digantikan dengan alat yang lebih modern. Mengapa? Karena untuk mengganti fungsi sasendeng menjadi lebih baik dari fungsi sebelumnya, petani membutuhkan cost yang besar. Misalnya inovasi teknologi menjawab kebutuhan petani dengan peralatan yang mampu mendeteksi pala tua dari kumpulan pala muda dengan keakuratan yang lebih baik dari faktor manusia, maka untuk membuat peralatan yang serba digital atau otomatis tersebut, diperlukan biaya tinggi dan sulit dijangkau oleh petani kecil.

Kalaupun teknologi semacam itu diadakan dengan terpaksa dan ditransformasikan kepada masyarakat, maka petani-petani dengan luas lahan yang besar yang mampu memanfaatkannya. Dengan demikian, akan mendorong terjadi kesenjangan sosial yang makin besar antara petani kecil dan besar yang berimplikasi terjadi perubahan sosial dengan struktur yang tidak seimbang (kemiskinan struktural). Oleh sebab itu, fungsi kedua alat produksi tersebut di atas mesti dipertahankan sebagai sebuah teknologi yang tepat guna.

Belum lagi dampak lainnya yaitu ancaman kerusakan terhadap keseimbangan dan kelangsungan alam. Ada semacam kebiasaan petani yang dulu ada tetapi kini telah hilang, yaitu sebuah kearifan lokal tentang larangan memetik buah pala di pucuk pohon, karena bagian itu adalah bagian yang harus dibagikan kepada alam. Di pucuk pohon pala biasanya terdapat banyak sekali buah yang disediakan untuk makanan burung aheng. Ketika kebiasaan ini mulai menghilang dan karena kerakusan manusia yang tidak memberikan lagi sebagian dari hak alam serta adanya perbuatan-perbuatan buruk para pemburuh liar, maka burung aheng pun sudah tak ada yang bertengger di pucuk pala. Pelohang sebagai buah pala hasil olahan perut burung aheng yang dipercaya memiliki kualitas paling baikpun lenyap dari pandangan petani saat ini. Demikian pula fulli cair yang dikeluarkan aheng menjadi salah satu unsur hara tanah yang tidak lagi menyumbang tingkat kesuburan tanah milik petani.            


Lalu apa yang dapat dilakukan oleh rakyat jika pemerintahnya lemah seperti ini?

Saya pikir bukan saat yang tepat menunggu lahirnya kebijakan dari sebuah pemerintahan yang kurang peka dan tidak responsif terhadap sumber pendapatan daerah yang sangat potensial dikembangkan itu. Warga Siau dan warga Sitaro pada umumnya, harus segera berbenah diri. Tidak perlu menunggu, segera hentikan penjualan atau penggadaian lahan, segera sadari bahwa bergerak pindah ke sektor jasa seperti jasa ojek adalah sebuah tindakan bodoh yang sifatnya sementara yang tidak dapat menjamin kelangsungan hidup warga untuk kurun waktu yang lama dan kembalilah berkonsentrasi untuk mengelola kebun pala.

Generasi muda sebagai salah satu pilar dan agen pembangunan, baik yang masih kuliah dan yang berada di kampung halaman, berbuatlah sesuatu. Setelah berilmu, kembali ke daerah dan rumuskan alternatif solusi sebagai jalan keluar bagi permasalahan daerah. Ubahlah orientasi berpikir bahwa menjadi PNS lebih baik status sosialnya daripada menjadi petani pala. Kini saatnya kita berkampanye untuk perubahan tanpa meninggalkan identitas dan corak budaya lokal dalam pertarungan dengan kebudayaan global. Mari ciptakan tatanan masyarakat industri yang bersahabat dengan lingkungan alam. 

Kamis, 11 November 2010

DANA UNTUK DESA (sebuah catatan fiskal)

Oleh: Sonny Mumbunan
 
Jepara di penghujung Oktober 2010. Balai pertemuan di kabupaten itu disesaki warga perwakilan desa. Kepala desa dan perangkat desa dari berbagai desa di seantero dan sekitar Jepara berkumpul di balai itu. Hadirin mengenakan batik warna cokelat, sebagian juga memakai peci. Mereka duduk menyaksikan pentas seni serta mendengarkan pidato yang bergelora, di dalam balai yang panas dan cukup bikin gerah. Pertemuan itu digelar Parade Nusantara, sebuah wadah nasional yang memperjuangkan aspirasi rakyat desa. Di balai itu, para wakil desa menuntut agar negara menganggarkan 10 persen APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) bagi desa.

Apa argumentasi dibalik tuntutan itu? Problem seperti apa yang mungkin tersirat dari tuntutan itu? Perangkat fiskal apa yang pas untuk tuntutan itu?

Sebagai sebuah aspirasi, tuntutan itu cukup masuk akal. Sekalipun desa merupakan tulang punggung republik, saat ini secara umum desa kita dapat dibilang mirip sebuah tulang punggung yang ringkih. Ringkih lantaran mayoritas desa adalah terbelakang dan miskin. Secara struktural, keterbelakangan dan kemiskinan itu dapat ditelusuri dari pembatasan terlembaga atas potensi dan kapasitas desa. Sebagai akibat dari pembatasan terlembaga tersebut, desa, tempat di mana sebaran penduduk kita sebagian besar berada, menjadi tergantung, tertinggal dan minim prakarsa. Politik fiskal merupakan salah satu saluran pelembagaan pembatasan itu.

Pelibatan desa yang lebih konsisten serta demokratisasi yang lebih dalam atas akses sumberdaya di desa adalah kunci. Jalan bagi upaya pemberdayaan desa menjadi terbuka dengan pelibatan dan demokratisasi itu. Pemberdayaan desa dapat dicapai, antara lain, melalui politik fiskal yang secara sengaja memobilisasi sumberdaya keuangan untuk dialokasikan bagi desa. Mobilisasi sumberdaya fiskal yang mengabdi pada tujuan-tujuan pengembangan desa.

Bukan semata soal 10 persen 

Proporsi 10 persen dalam tuntutan desa itu sendiri merupakan perihal empiris – bukan substansi. Besar proporsi itu bisa 10, 15, 20 atau bahkan bisa kurang dari 10 persen. Pertanyaan pokok bukanlah tentang besaran proporsi. Berapa persen persisnya proporsi anggaran untuk desa itu akan terjawab bila posisi politik fiskal mengambil garis tegas, seperti apa imajinasi kita tentang desa di masa datang. Teknik estimasi yang memadai atas kebutuhan fiskal serta ketersediaan dan akses data desa selanjutnya akan membantu imajinasi tersebut menjadi lebih kongkret. Jadi, saya pikir, hal lebih penting dalam wacana Dana untuk Desa barangkali adalah alasan dibalik tuntutan alokasi tersebut. Alasan itu pasti tidak muncul begitu saja dari ruang hampa. Ia lahir dari sejumlah keterbatasan instrumen fiskal yang kita miliki saat ini terkait pengembangan dan pemberdayaan desa.

Contoh pertama: instrumen fiskal saat ini tidak memfasilitasi pemberian gaji dan tunjangan tetap bagi kepala dan perangkat desa. Kendati mereka sehari-hari bekerja penuh-waktu melayani warga masyarakat laiknya para aparatur negara formal dalam sistem penyelenggaraan pemerintahan kita. Tunjangan pensiun saat purna tugas pun masih absen.

Contoh kedua: instrumen fiskal untuk pembiayaan perangkat desa saat ini masih bergantung pada kondisi keuangan desa. Dengan demikian, sebuah desa miskin akan menggaji perangkat desa secara tidak memadai. Padahal, guna menjamin standar pelayanan publik yang bermartabat, dibutuhkan standar penggajian yang memadai secara nasional. Bukan standar gaji desa per desa.

Contoh ketiga: instrumen fiskal yang ada untuk desa cenderung berperan sebagai turunan – bahkan residu – dari sistem dana perimbangan kita. Dalam  mekanisme saat ini, pemangku tanggung jawab anggaran berada pada jurisdiksi fiskal setingkat kabupaten. Sementara desa terkesan sekedar menjalankan grant programs kabupaten, tanpa diberi diskresi penuh. Diskresi adalah kebebasan untuk mengambil keputusan terkait kewenangan anggaran (decision assignment). Padahal, kalau saja kita hendak konsisten menjalankan otonomi daerah, jantung desentralisasi semestinya berdetak pada jurisdiksi fiskal terendah, utamanya untuk peran-peran publik yang lebih efektif apabila diserahkan pada desa. Kita tahu, tidak ada yang lebih kenal keinginan dan harapan warga desa sebaik desa itu sendiri.

Ini tidak berarti bahwa seluruh fungsi publik harus diserahkan pada tingkat desa. Desa memiliki keterbatasan untuk menyelenggarakan fungsi publik. Khususnya fungsi publik yang faedahnya merembes keluar atau melebihi batas desa dan dinikmati warga di luar desa bersangkutan (para ekonom menyebutnya benefit spillovers). Kalau begini ceritanya, maka sebaiknya fungsi-fungsi itu diselenggarakan oleh struktur lebih tinggi dari desa, seperti kabupaten atau provinsi. Misalnya untuk program penciptaan lapangan pekerjaan yang masal.

Sebagian kalangan beranggapan bahwa usul 10 persen APBN untuk desa kurang realistis. Anggapan ini dapat dimaklumi mengingat keterbatasan anggaran kita. Menambah anggaran baru juga bukan usul yang menarik bagi sebuah rejim yang sedang melancarkan disiplin fiskal. Meskipun besaran kebutuhan anggaran dan implikasi anggaran harus diuji secara empiris, terdapat alasan bahwa anggapan ini bisa saja tidak sepenuhnya benar. Perlu digarisbawahi bahwa usul 10 persen untuk desa itu dijalankan serentak dengan re-organisasi skema-skema dana desa yang sudah ada. Saat ini skema-skema dana desa tersebar dalam berbagai departemen pemerintah dan di berbagai sektor pembangunan, melalui beragam intrumen fiskal dan mekanisme alokasi anggaran.

Re-organisasi berbagai skema ini menjadi skema dana desa yang tunggal dan lebih terpadu memungkinkan efisiensi dan efektifitas penggunaan sumberdaya fiskal. Efisiensi dan efektifitas itu mungkin tercapai antara lain dengan turunnya biaya transaksi (transaction costs) pengelolaan anggaran saat ini. Anggaran hanya bertukar tempat, ke posisi baru yang lebih pantas. Bila hal ini terbukti maka usul 10 persen anggaran tidak serta merta berarti penambahan anggaran baru secara dramatis.

Instrumen apa?

Sejumlah keterbatasan instrumen fiskal yang ada saat ini untuk desa sudah disinggung. Sebagai jalan keluar dari keterbatasan-keterbatasan itu, dibutuhkan instrumen fiskal baru yang didanai dari anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN).

Instrumen itu idealnya mengandung karakter sebuah sectoral block grant. Instrumen ini berkarakter “sektoral” karena akan digunakan murni untuk pemenuhan dan pelaksanaan fungsi-fungsi publik di dan terkait desa, bukan untuk sektor di luar itu. Pada saat bersamaan, instrumen ini punya karakter “block grant” karena akan menjadi sumber keuangan desa di mana desa memiliki otonomi penuh dalam menentukan penggunaan dan pengelolaan dana desa.

Pelaksanaan grant ini dapat berjalan beriringan dengan instrumen pembiyaan yang telah ada di daerah – seperti dari Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dari Dana Bagi Hasil, baik dari pajak atau sumberdaya alam.

Alokasi dana desa: dua mekanisme, dua kriteria

Bagaimana dana block grant itu akan disalurkan kepada desa? Paling kurang dibutuhkan dua mekanisme. Mekanisme pertama diperlukan di tahap alokasi awal. Pada tahap ini, berapa besar proporsi yang akan dialokasikan untuk desa perlu ditentukan sedari awal. Dalam prakteknya, mekanisme ini sangat mirip dengan ditetapkannya proporsi sebesar 26 persen dari pendapatan domestik neto (PDN) kita untuk dana alokasi umum (DAU), sebagaimana diatur dalam Undang-Undang perimbangan keuangan daerah.

Mekanisme kedua diperlukan pada tahap alokasi anggaran dari kabupaten ke desa. Pada tahap ini, alokasi dana sectoral block grant yang diserahkan melalui kabupaten itu akan disalurkan pada desa dengan merujuk pada kombinasi dua kriteria berikut.

Pertama, kriteria pembagian rata (equal share) bagi seluruh desa di mana setiap desa memperoleh jumlah yang sama guna menjamin tersedianya standar tingkat pelayanan publik yang setara di seluruh negeri. Kedua, kriteria proporsional dengan mana setiap desa akan menerima dana berdasarkan karakter desa bersangkutan. Kriteria proporsional itu misalnya berkaitan dengan luas desa, kepadatan penduduk, kapasitas fiskal desa, jumlah penduduk miskin, kerentanan terhadap bencana atau rawan pangan, dan lain sebagainya. Kriteria ini bertujuan menjamin keadilan bagi desa yang memiliki karakteristik berbeda-beda. Desa berpenduduk sedikit, misalnya, tak patut menerima dana desa lebih besar ketimbang desa berpenduduk banyak.

Mem-PNS-kan perangkat desa?

Ada anggapan, tuntutan dana desa terkait dengan keinginan  kepala desa dan perangkat desa agar mereka diangkat menjadi Pegawai Negeri Sipil. Selain keliru, anggapan ini sekaligus juga problematis. Pertama, terkait persoalan prasyarat dasar, sebagian besar kepala desa dan perangkat desa kita berusia di atas usia masuk PNS dan berpendidikan di bawah SMA. Kedua, dalam struktur pemerintahan kita, desa punya sejarah otonomi yang mencerminkan keunikan desa. Menjadikan perangkat desa sebagai PNS berarti memformalkan desa, mirip struktur sebuah kelurahan. Perangkat desa bisa datang dari luar desa bersangkutan. Dengan mobilitas seperti ini, keterikatan dengan desa bersangkutan cenderung menjadi lebih longgar, hal mana merugikan desa.

Implikasi fiskal seperti apa yang mungkin muncul?

Dalam skenario baru yang diajukan, kabupaten masih tetap akan berperan sebagai pemangku anggaran sebagaimana diatur dalam sistem perimbangan keuangan antara pusat dan daerah kita saat ini. Akan tetapi otonomi pengelolaan dana telah diturunkan kepada tingkat desa. Selanjutnya, dana desa yang diajukan di atas kemudian akan membiayai (a) belanja perangkat desa dan (b) belanja pembangunan di desa.

Berkenaan dengan belanja perangkat desa, gaji dan tunjangan tetap harus menjadi bagian instrumen fiskal yang baru. Hal ini penting dalam merancang alokasi dana untuk desa. Dari hitungan saya, menggunakan data APBD tahun 2010 seluruh kabupaten di Indonesia, secara rata-rata sebesar 60,9 persen dari pendapatan asli kabupaten plus dana perimbangan yang diterima kabupaten dipakai untuk belanja pegawai. Bila dipecah lagi, dari besaran itu 55 persen digunakan untuk belanja pegawai tidak langsung. Contohnya, untuk membayar gaji dan tunjangan PNS. Sisanya, 5,9 persen, digunakan untuk belanja pegawai langsung, misalnya untuk membayar honorarium atau upah kerja.

Ada persoalan di sini. Selama ini, gaji dan tunjangan PNS disalurkan melalui mekanisme yang disebut “alokasi dasar”. Alokasi dasar ini ditentukan secara bersamaan dengan perhitungan celah fiskal, yakni celah antara kebutuhan dan kapasitas keuangan sebuah daerah, dalam penentuan Dana Alokasi Umum (DAU) bagi kabupaten. Sementara itu, seperti sudah dikemukakan sebelumnya, kepala desa dan perangkat desa bukan, dan tidak perlu menjadi, PNS. Apa yang mereka butuhkan adalah gaji dan tunjangan yang tetap; katakanlah, dengan basis setingkat golongan PNS IIA. Menurut hemat saya, kendati memerlukan sejumlah penyesuaian di tingkat praktis, secara konseptual gaji dan tunjangan yang bersifat tetap ini dapat dijadikan landasan untuk menggabungkan alokasi pengeluaran rutin kepala desa dan perangkat desa dalam struktur “alokasi dasar” di penentuan DAU. Pengeluaran rutin ini harus dianggap dan terhitung sebagai bagian dari proporsi keseluruhan yang diajukan untuk dana desa.

“Elite capture”

Dalam usulan reformasi dana desa, pengawasan penggunaan dana tetap akan dilakukan oleh pemerintah kabupaten yang, sebagai pemangku anggaran, bakal dituntut tanggung jawabnya terkait penggunaan akhir dana untuk desa.

Terkait kapasitas perangkat desa yang terbatas dalam mengelola anggaran dan sumber keuangan yang besar, seperti kerapkali dikhawatirkan banyak pihak selama ini, pemerintah kabupaten dapat memberdayakan pegawai negeri sipil (PNS) pendamping desa untuk membimbing perangkat desa dalam pengelolaan anggaran.

Penggunaan dana desa rentan bocor dan tak efisien. Desa kita punya persoalan cukup akut untuk itu. Seperti di tempat lain, korupsi dan inefisiensi sangat mungkin berlangsung juga di desa. Romantisme atas desa kadang kala mengelabui mata kita dari persoalan elite capture, di mana elit-elit desa yang tampak lugu itu begitu cerdik mengalihkan sumberdaya publik untuk kepentingan diri. Penyusunan anggaran secara partisipatoris dan demokratik, macam mekanisme Musrenbang desa, berguna untuk memastikan efektifitas dan transparansi sepanjang perencanaan, penggangaran, dan penggunaan anggaran.

Akhirnya

Hal-hal tersebut di atas adalah sumbangan pemikiran dan usulan perubahan kebijakan fiskal yang berpotensi memberdayakan desa. Di aras hukum, sebagian isi usulan politik fiskal yang lebih berpihak pada kepentingan desa ini akan tidak lagi sejalan dengan Pasal 68 (tentang sumber keuangan) dari Peraturan Pemerintah nomor 72 tahun 2005 tentang desa. Peraturan ini butuh revisi.

Menutup catatan ini, saya jadi ingat Raden Ajeng Kartini. Dulu, puteri bupati Jepara itu menulis banyak sekali surat, artikel dan catatan tentang keterbelakangan bangsanya. Di penghujung Oktober 2010, kalau saja masih hidup, boleh jadi Kartini bakal menulis perihal pertemuan di balai yang panas dan bikin gerah itu. ***


 Catatan:

1. Untuk penjelasan teoretis tentang sistem perimbangan keuangan dan penjelasan teknis bagaimana sistem ini dijalankan di Indonesia, lihat S. Mumbunan (2010), Ecological fiscal transfers in Indonesia, disertasi doktoral tak diterbitkan, Universitas Leipzig, Jerman.

2. Dilema antara partisipasi publik dan peran pengawasan pemerintah dalam kaitannya dengan korupsi dan elite capture, diulas dengan begitu memikat oleh Benjamin Olken (2007), “Monitoring corruption: Evidence from a field experiment in Indonesia”, Journal of Political Economy 115 (2), hal. 200-249. Kajian Olken menggunakan eksperimen di 400 desa di Indonesia untuk kasus pembangunan jalan.