Sabtu, 06 Februari 2010

PEREMPUAN BUKAN TAWANAN PERKAWINAN POLITIK (Interpretasi Kisah Putri Maemuna Kerajaan Tabukan)

MEMILIH calon pasangan hidup bukan sekadar soal hidup. Namun, perkara hidup-mati. Ini bukan perkara enteng, apalagi sepele. Karena, perkawinan ibarat membuat peta nasib ke masa depan. Makanya, calon pendamping ke dalam mahligai perkawinan harus diseleksi cermat dan seksama. Soalnya banyak bukti, suami dan istri dalam perkawinan bisa jadi berkat atau kutuk bagi pasangannya. Perkawinan bisa jadi tapak awal ke arah Eden. Namun, jika salah pilih pasangan malah menuju azab sengsara. Bahkan pusara.
Sialnya, bagaimana memilih pasangan yang dapat mendatangkan berkat, sejauh ini, tidak jelas. Demikian pula, bagaimana membaca tanda-tanda pasangan pembawa kutuk. Tak jarang, apa yang kadung diyakini sebagai berkat, ternyata kutuk jua. Apa daya, surga telah jadi bubur. Maksudnya, bubur lava neraka.

Mengantisipasi ketidakpastian itu, di kurun modern penentuan pilihan pasangan ke tahap perkawinan galib diserahkan sebagai wilayah pilihan pihak-pihak yang akan kawin. Ini kebijaksanaan khas zaman modern. Karena memang, jelas keduanya, baik calon pengantin laki maupun yang perempuan jualah yang akan menjalani dan mengalami langsung segenap detak-detik takdir langsung perkawinan itu.
Bagi perempuan modern kini, biasanya, pilihan itu dominan akan didasarkan pada kualitas relasi batin dengan calon suaminya. Relasi itulah yang lazim disebut, cinta. Yaitu, paduan unik jatuh hat, simpati dan empati.

Dalam rumusan lain, di masa modern soal memilih pasangan adalah hak calon pengantin. Hak itu muncul sebagai dampak kebebasan manusia. Sedang cinta tak lain adalah anak kandung kebebasan itu. L’amour est l’enfant de liberté, kata orang Perancis.
Sayangnya kebebasan cinta sebagai hak perempuan merdeka itu tidak dinikmati Maemunah, puteri raja Tabukan nan cantik jelita di abad ke-17. Puteri Maemuna tidak diberi kesempatan menentukan lelaki idaman pendamping hidupnya. Karena dia semata harus tunduk saja pada putusan final ayahnya, Raja Gagudha (garuda) atau dikenal sebagai Raja Udha.

Bagi kita di abad ke-21 kini, nasib Maemuna empat abad lalu itu tak jauh dari takdir perangkap perkawinan yang menjerat seorang tokoh perempuan mulia Indonesia -- yang demikian mentereng disebut oleh W.R. Supratman, Dr. Hurustiati Subandtio dan Pramoedya Ananta Toer sebagai pendekar wanita Indonesia -- yaitu Raden Ajeng Kartini, puteri Jawa flamboyan dan intelek yang hidup di akhir paruh abad ke- 19. Kartini juga masuk ke lembaga perkawinan atas pilihan orang lain, ayahnya: Bupati Jepara, Raden Mas Adipati Ario Sosroninggrat.

Jelaslah dulukala memang pilihan kawin, apalagi bagi perempuan, dianggap wilayah otoritas orang lain, yaitu orangtua dan terutama kaum lelaki. Apalagi bagi seorang penguasa semacam Raja Udha di Tabukan. Para raja zaman itu lazim berpikir bahkan putrinya adalah teritori kekuasaannya. Perempuan harus takluk.
Namun apakah Maemunah sekadar berserah pada lilitan nasib diri dan takdir zaman itu? Itu yang jadi pokok berita dan cerita masa lalu ini.

Kisah Kedatangan Sultan Sibori

Terkisah pada pertengahan 1675 berkunjunglah Sultan Sibori dari Ternate ke istana Kerajaan Tabukan di pesisir Utara pulau Sangihe. Dari laut pasir putih pantai Sahabe depan karatung raja Tabukan berkilau diterpa sinar matahari pagi. Puluhan perahu kora-kora Maluku dan beberapa kapal dengan logo besar VOC serta bendera Belanda berkibar di tiang utama muncul di perairan Utara pulau Sangihe. Istana Tabukan terlihat dari laut. Berdiri di perkampungan Sahabe. Bangunan istana itu berupa rumah panggung besar dengan sebuah tangga depan. Anak tangganya sembilan. Tiang besar penopang rumah panggung itu juga berjumlah sembilan. Istana itu khusus dibuat menampung ratusan orang pada bangsal utamanya. Di belakang istana itulah terlihat pemandangan gunungapi Posong alias Awu Sangihe.

Puncak gunungapi itu menjulang ke angkasa. Dia kelihatan angkuh. Orang lokal sekitarnya selalu gentar melihat puncaknya. Tepat sebelas tahun sebelum kedatangan rombongan Ternate itu gunungapi ini meletus hebat . Dia bagi penduduk lokal adalah penguasa yang sebenarnya. Kerajaan dan istana mampu dibubarkannya. Raja-raja bisa binasa seketika dalam amukan lava, gas panas dan api. Siapa hendak melawannya di pulau kecil semacam Sangihe? Bahkan pulau Sangihe sendiri sebenarnya tak lain sekadar dampak dari kemunculannya.

Tak lama kemudian dari arah laut terlihat tiga perahu kora-kora bergerak seiring menuju pantai. Sosok perahu-perahu itu terlihat megah karena selain layar besar hijau tua bertengger di tiang tengah, tiga perahu juga dipenuhi aneka juntaian panji warna-warni terbuat dari kain sutra Cina dan blacu Portugis. Termasuk sebuah Bendera Belanda dengan kain linen yang ditancap di bagian belakang. Di sisi kiri kanan perahu, para pendayung bergerak ritmik mendorong air laut ke belakang dalam iringan hentakan tifa dan klenengan gong-gong kecil yang berpadu membentuk orkes kulintang yang terdengar sampai ke daratan.

Rakyat sekitar istana Raja Tabukan dan para pembesar kerajaan menghambur keluar dari rumah mereka. Mereka gembira menikmati kemeriahan pemandangan penuh warna serta alunan tetabuhan musik kora-kora. Semua yang tampak dan terdengar dari laut pagi itu sungguh suguhan hiburan. Namun, para serdadu alabadiri Tabukan terlihat berdiri siaga dengan pedang bara terhunus dan perisai kayu. Mereka menunggu aba-aba perang panglima utama alias mayore labo , Pangeran Mehengkalangi yang berdiri pas di samping kiri Raja Udha, ayahnya. Pangeran calon pewaris sah tahta kerajaan ini dini dilibatkan dalam urusan kerajaan. Secara khusus di Tabukan selalu ditugaskan mengurus angkatan perang kerajaan Tabukan.

Seperti tata kunjungan damai biasanya, tiga perahu kora-kora yang sedang menuju pantai itu adalah kelompok pembawa pesan. Di belakangnya siaga puluhan kora-kora membentuk sebuah garis lurus paralel dengan garis pantai. Sedang tak jauh di belakangnya, tampak kapal besar khas galyas Eropa. Di kapal besar itulah pasti sang tamu inti berada.
Dan, lihatlah, tiga perahu kora-kora sudah dekat pantai. Di atasnya tampak para utusan yang ditugaskan secara resmi memberitahukan kunjungan resmi junjungan mereka kulano (penguasa) Ternate ke-32 alias sultan ke-9 Ternate.

Penguasa baru itu bernama Sultan Sibori. Dia adalah pengganti resmi Sultan Mandarsyah, ayahnya. Sultan ini lama dikenal dengan nama Kaitjil Sibori. Gelar ‘Kaitjil’ merupakan sebutan khas pemimpin kerajaan di Maluku Utara. Pernah pula dipakai sebagai panggilan bagi raja di wilayah Sangihe-Talaud-Sitaro. Yaitu dilafalkan agak berbeda sebagai kasili. Gelar ini bahkan tercatat pernah dipakai sampai ke Mindanao. Mungkin karena Kesultanan Ternate pada zaman Sultan Baabullah pernah menjangkau wilayah kekuasaan ke Mindanao bahkan Marshall Island di Selatan Samudera Pasifik.

Kini Kaicil Sibori sedang berada di Sangihe. Dia dan rombongan besarnya sedang melakukan perjalanan dinas mengunjungi wilayah yang pernah diklem sebagai wilayah pengaruh Ternate sejak Sultan Baabullah. Pematokan itu terjadi pasca pasukan gabungan Baabullah dengan gagah berani berhasil mengusir Portugis dari benteng Gammalamma di Ternate setelah Sultan Khairun, ayah Baabullah, terbunuh di benteng itu atas perintah kapten Portugis Lopez de Musquita. Namun Sultan Sibori hanya boleh berekspansi ke Barat, Timur dan Barat. Ke arah Selatan tidak bisa lagi karena akan bertentangan dengan perjanjian yang dibuat ayahnya, Sultan Mandarsyah, dengan VOC. Perjanjian itu mengakibatkan wilayah-wilayah Selatan Ternate dilepas, artinya Kesultanan Ternate diperkecil.

Kita kembali ke prosesi kedatangan para pembawa berita di pantai Tabukan itu. Dari dekat para pejabat kesultanan di perahu itu terlihat mengenakan linen putih, atau kain Calicu karena asalnya yang dari Calcuta. Perahu kora-kora di tengah ditutup tikar tipis terikat tali rotan ke rangka bambu yang dipasang di kora-kora itu . Beberapa orang pembesar terlihat duduk di bawah sombar tikar pembendung sinar matahari itu. Seorang yang nampak lebih tua, duduk di bantal empuk paling depan di perahu kora-kora di tengah yang ukurannya lebih besar. Dia sangat dituakan. Aturannya, dia mestilah berpangkat lebih tinggi dari orang-orang yang duduk di belakangnya. Tepat di sisi kiri-kanan perahu, beberapa serdadu milisi Ternate berdiri siaga lengkap dengan pakaian perang, tombak dan salawaku alias perisai kayu. Kepala mereka diikat kain kepala yang simpulnya di taruh di dahi, hingga menyerupai ujung dasi nyembul depan jidat.

Nampak di depan dan belakang perahu, yaitu yang lebih rendah ke permukaan air laut terlihat barisan pendayung. Mereka nampak sebagai orang-orang berotot dengan dada telanjang dan duduk di atas bangku khusus pada serambi kiri dan kanan perahu. Tarikan dayung mereka semata patuh pada panduan gendang dan gending yang bergema dari haluan. Kedua pemain musik di haluan itu sekaligus berfungsi sebagai pemandu arah serta sewaktu-waktu memberi tanda awas jika ada batang kayu atau beting karang menghadang perahu.
Saat para pejabat di kora-kora utama itu menginjakkan kaki ke pantai para serdadu Ternate sudah siaga menjaganya di pantai. Sedang di tempat yang sama, para pejabat kerajaan Tabukan termasuk Raja Udha berdiri menyambut rombongan pejabat pembuka jalan itu. Sementara pasukan alabadiri tetap dalam formasi siaga di sekeliling para pembesar Tabukan.

Para utusan Ternate mengucapkan tabik assalamualaikum. Yang disambut waallaikumsallam. Salam khas Islam yang memang sudah masuk ke Maluku Utara dan Nusa Utara (Sangihe-Talaud-Sitaro) sebelum Barat masuk. Islam menyebar dari Aceh (Samudra Passai) ke berbagai wilayah Indo-Malaysia kini, yaitu lewat jalur Pantai Selatan Sumatera ke Tenggara terus ke pulau Jawa dan ke Timur ke pulau-pulau Sunda Kecil serta berbelok ke Utara Banda dan masuk ke Ternate serta ikut dibawa ke Sulawesi bagian Utara (Manado, Bolmong dan Gorontalo) dan pulau-pulau Sangihe-Talaud.

Sedang jalur penyebaran Islam Utara Sumatera menyebrang ke semenanjung Malaysia, Malaka, Johor, Borneo Utara, Sulu, Mindanao dan juga masuk ke pulau Sangihe bagian Utara serta Ke Maluku. Ini yang disebut sebagai jalur Malaka-Maluku yang pernah diungkap Kapten Portugis di Ternate, Antonio Galvao yang masyur itu. Berat diduga Islam awal di wilayah Sangihe adalah hasil siar kalangan pedagang Persia. Ajarannya berciri Ahlulbait terbukti dari meluasnya doa (mantra) Baginda Ali di Sangihe . Juga doa kekuatan dengan acuan kepada Ali. Jelaslah tokoh Ali dalam kebudayaan Sangihe itu mengacu pada Sayidina Ali, ponakan Nabi Muhammad SAW yang sekaligus menjadi mantunya karena kawin dengan anak perempuan nabi, Fatimah.

Utusan Ternate itu terlihat berbicara dengan bahasa pengantar Melayu. Sebelumnya seluruh rombongan menerima suguhan pinang, sirih dan kapur sebagai prosesi awal pertemuan. Raja Udha menyambut utusan itu dengan ramah. Sebuah keris emas diserahkan sebagai tanda sambut. Barang hadiah itu tak lama kemudian lantas dibawa naik ke kora-kora utama dan segera didayung bertolak menuju kapal besar Belanda yang labuh di laut sana. Kapal itu juga terlihat bergerak perlahan mendekat ke pantai, namun tetap di belakang barisan puluhan perahu kora-kora.

Tak lama kemudian makin jelas sosok kapal Belanda bertiang tiga itu. Kapal kora-kora yang tadi ke darat didorong para pendayungnya menyandar ke kapal Belanda itu. Dan sekitar 10 menit setelah kapal membuang sauh, dari pantai terlihat sebuah payung besar bergerak perlahan ke arah sisi kiri kapal. Itu pasti payung sultan. Dan pasti di bawahnya berjalan sang sultan. Dia pasti turun dari sisi kiri kapal lewat tangga kecil ke perahu kora-kora sultan yang ukurannya lebih besar lagi dengan hiasan umbul-umbul serta bendera kerajaan bertulisan Arab ‘’Al Muluk Sultan Ternate’’ .

Dan tak lama kemudian perahu sultan sudah bergerak ke darat. Puluhan kora-kora mendampinginya. Sang sultan kelihatan menempati kursi sultan di perahunya. Kursi berbantal empuk itu diberi lapisan kain sutra Cina dan patola India yang pasti mahal harganya. Biasanya ditukar beberapa bahar cengkih ke pedagang Cina, Gujarat atau Persia di Malaka.
Payung berwarna kuning emas dipegang pengawal di samping kursi itu. Semakin dekat kelihatan sosok sang sultan dengan bidang dada berbulu. Berjubah kaftan panjang juga berwarna putih dari bulu domba dengan ikat pinggang lebar. Kulitnya kehitaman. Rambutnya yang panjang dikundai ke atas kepala dan diikat tali-tali akar bahar. Untaian mutiara Banda dicocokkan sepanjang tali itu. Di tangan kanan sultan paling kurang tiga cincin batu delima merah. Sebuah keris emas yang gagangnya bertabur batu manikam terselip di pinggang depan.
Di sisi kiri-kanan perahu kora-kora sultan itu berdiri sebagai penjaganya bukan lagi para serdadu Ternate, tetapi 11 serdadu Kompeni Belanda masing-masing memegang musket bersangkur di ujungnya. Musket itu dipegang seolah selampang menempel menyilang lekat ke dada . Sedang, di pinggang mereka tergantung kelewang panjang terbuat dari besi mengkilap dengan gagang perak tuang.

Sultan memang sengaja meminta para serdadu Kompeni Belanda itu datang mengawalnya dalam perjalanan inspeksi ke wilayah pengaruh Ternate. Pulau Pagenzara (Tagulandang) dan pulau Sangihe merupakan wilayah 72 pulau Sultan Baabullah tahun 1580-an. Dan sejak kontrak Belanda dan Ternate tahun 1607 dan dikukuhkan tahun 1609 dengan Francois Wittart, Ternate sudah menyerahkan semua wilayahnya itu ke dalam perlindungan kekuasaan VOC .

Resminya VOC memang sebuah korporasi atau perusahaan dagang dengan 17 orang pemegang saham di tanah Belanda. Namun perusahaan ini punya kekuasaan pemaksa berupa pasukan tentara yang dapat dbentuknya. Itu bersesuaian dengan keinginan Gubernur Jenderal VOC pendiri Batavia Jan Pieterzoon Coen. Pernah dalam zuratnya ke Belanda, Coen meminta kekuasaan kekerasan diberikan pada VOC. Menurutnya, hakikatnya, perdagangan VOC di Nusantara tidak bisa dipisahkan dari senjata.
Surat kepada tuan-tuan komisaris VOC sepenggalnya dikutip Boxer dalam tulisannya: ‘’…Tuan-tuan tahu dari pengalaman bahwa perdagangan di Asia harus digenjot dan dipertahankan di bawah perlindungan dan kehendak senjata tuan-tuan yang mulia dan bahwa senjata-senjata itu harus dibayar dari keuntungan perdagangan; jadi kita tidak bisa melakukan perdagangan tanpa perang dan perang tanpa dagang…’’.

Sultan Sibori datang ke Tabukan itu dengan jumawa mengaku dirinya adalah Belanda tulen. Menurutnya dia berbeda dari ayahnya, Sultan Mandarsyah, yang disebutnya setengah Belanda. Makanya, sejak lama orang-orang di lingkungan kerajaan Ternate menyebut kulano ini sebagai Pangeran Amsterdam. Dan setelah dipilih Belanda jadi Sultan Ternate, julukannya menjadi Koning van Amsterdam alias Raja Amsterdam. Dan tak sekadar karena nama itu sultan itu dikenal orang Ternate. Namun, karena perilakunya yang memang mentah-mentah mengacu pada teladan buruk tuan-tuan kompeni. Sultan yang satu ini kuat minum anggur hingga mabuk. Sangat mungkin memang diajari para serdadu kompeni di Ternate. Dia doyan makan daging sapi Westaven pilihan, bahkan pernah dipergoki seorang ulama tengah makan bacon daging babi bersama para pembesar Belanda di benteng Belanda, Oranje .

Sultan Sibori sebelum tiba di Tabukan pagi itu dua hari sebelumnya berangkat dari pulau Tagulandang alias Pagenzara. Di sana sultan senang diberi hadiah, di antaranya seorang budak perempuan cantik . Itu jelas bakal menambah koleksi perempuan dalam haremnya. Karena budak itulah maka perjalanannya dari Tagulandang ke pulau Sangir dilayari bukan saja dengan gerak ganas ombak Laut Sulawesi, tetapi juga geliat tubuh budak perempuan, perawan yang diserahkan sebagai ‘wilayah kekuasaannya’. Sultan yang satu ini memang terkenal tidak pernah lalai mengejawantahkan petualangan kekuasaan pada wilayah tubuh perempuan. Dan perahu kora-kora sultan pun tiba di darat. Terlihat sultan dengan tubuh kekar, meski muka sayu kecapean, turun dengan impian tersembunyi di kepala hendak bertemu Puteri Maemunah. Kecantikan puteri ini sudah didengarnya di Ternate. Agenda utama kunjungannya secara pribadi adalah membuktikan cerita itu. Memang kegandrungan sultan akan perempuan-perempuan cantik dan bahenol sudah jadi buah bibir rakyat, termasuk terdengar sampai ke Tabukan.

Sedang, agenda resmi kunjungannya sebenarnya adalah untuk membuat dan bahkan memaksa semua daerah dalam lingkup pengaruh Kesultanan Ternate tunduk pada kebijakan pembatasan penanaman cengkih VOC Belanda. VOC telah mengatur penanaman cengkih dibatasi di beberapa pulau Maluku saja. Di Maluku hanya diperbolehkan penanamannya di pulau Ambon saja.

Sultan pun pagi itu menginjakkan kakinya ke pasir putih pantai Utara pulau Sangihe. Beberapa pergelaran kesenian Islam menyambutnya seperti hadrah dan qasidah. Juga beberapa bentuk kesenian lama seperti musik oli dan musik ganding yang mengiringi tari salo. Kesenian Tarian kerajaan pun disuguhkan di dalam istana. Sesudah tari itu tampillah ke depan seorang perempuan muda dengan kulit mulus putih, paras ayu dan cantik dengan tubuh aduhai. Menjadi lebih aduhai bagi mata lelaki dewasa dengan naluri seksual menggebu semacam Sultan Sibori.

Perempuan muda itu berjalan menuju ke arah sultan dan memberi sebuah keris emas dalam genggamannya. Bentuknya persis sama dengan keris yang dikirimkan ke kapal sebelumnya. Kecuali, bengkokan gagangnya yang melekuk ke kiri. Dua keris emas itu telah dibuat sang empu-nya sebagai pasangan. Laki-laki dan perempuan. Namun pandang mata sultan nan berapi-api tidak jatuh ke kilau keris emas indah itu. Karena dia lebih memilih menjalarkan pandangannya ke wajah perempuan muda di depannya. Lantas jatuh ke bidang dada, terus ke belahan kebaya. Dengan matanya seolah dia ingin menelanjangi perawan depannya itu. Sultan tidak peduli pada keris emas yang sudah digenggamnya. Karena perempuan depannya itu jelas jauh lebih indah dari seribu keris kreasi Empu Gandring sekalipun yang pernah didengar dari para penjelajah Majapahit yang datang membawa gong berpencu ke Ternate beberapa abad sebelumnya.

Perempuan itulah Puteri Maemunah. Sultan pun langsung paham mengapa banyak cerita heboh soal keelokannya. Sultan sendiri sudah menaksir kecantikan dan daya tariknya. Bagi penguasa itu, keris dari puteri itu sudah di genggamannya dan segera harus diikuti oleh putri itu. Maemuna harus menjadi bagian dari kekuasaannya. Dan, sebagai sultan, titah hatinya selalu bersifat niscaya. Harus.
Saat menjalani berbagai prosesi penyambutan tamu dalam karatung Tabukan, pikiran dan terutama mata sultan hanya tertuju ke sosok Maemunah. Perempuan itu penuh muatan daya tarik. Jelas jauh lebih besar keelokannya dibanding pemandangan gunung Gammalamma serta keindahan pulau Makatara. Mengalahkan pesona terumbu karang dan ikan-ikan peri di bawahlaut perairan Banda.

Orang-orang Sangihe biasa menggambarkan kemulusan dan kuning langsat kulitnya, seolah saat Maemunah minum kopi, minuman itu akan terlihat mengalir menuruni leher jenjangnya. Ini jelas hiperbolik, karena leher Maemunah jelas bukan tabung kaca pyrez. Maemuna juga manusia. Bagi lelaki semacam Katjil Sibori dengan jam terbang pergaulan intim dengan perempuan yang seabrek, Maemunah langsung menjadi puncak fantasinya. Namun sayang sekali sultan belum bisa beradu pandang dengan sang puteri. Karena puteri nan elok itu selalu menundukkan kepala. Padahal sultan percaya pada ungkapan Belanda, Bij het eerste gezicht komt de liefde. Pada pandang pertama, datanglah sang cinta.

Terus terang Maemunah sendiri tidak menyimpan rasa khusus pada saat menyerahkan keris itu. Dia sekadar menjalankan tugas yang dititahkan ayahnya. Lebih dari itu, tidak. Dia tidak tahu, apalagi harus bertanggungjawab, atas kobar api asmara di tungku hati sang sultan. Bagi Maemuna tidak ada pandang pertama ke mata sultan yang membuatnya tergelapar jatuh cinta.
Tapi bagi sang sultan, soal rasa cinta itu ada atau tidak ada tidak mengapa. Tepatnya tidak berpengaruh. Dia punya banyak perbendaharaan siasat. Dia tak pernah kalah dalam urusan semacam ini. Terutama karena dia punya kekuasaaan. Kalau punya kekuasaan orang tidak perlu mengalah. Biasanya zaman itu, perempuan yang didambakan dapat diculik untuk dijadikan istri atau budak seks. Sultan dapat melakukannya itu dengan kuasanya, tapi, tentu itu tidak cocok dilakukan terhadap seorang putri semacam Maemunah. Juga akan menghancurkan reputasinya. Cara lain dapat ditempuh. Dan sultan pun bulat hendak mengutarakan niatnya menikahi Maemunah menjadi istrinya.

Perkawinan Politik

Yang jelas sebuah fakta sejarah menyatakan Sultan Sibori yang datang di Tabukan itu akhirnya berhasil menikah dengan Puteri Maimuna. Itu dalam rekontruksi penulis pantas diduga terjadi setelah Sultan Sibori menunaikan tugasnya ‘mengatur’ agar semua penguasa pulau Sangihe berada pada posisi menopang kebijakan monopoli dan pembatasan perkening (perkebunan) rempah di pulau Ambon (cengkeh) dan pulau-pulau Banda saja (pala). Akibat kebijakan ini semua tanaman cengkih di lain tempat harus dimusnahkan secara sukarela atau kalau tidak dengan kekerasan khusus, hongi tochten.

Dalam rangka tugas sultan itu, hal tak diduga terjadi. Di daratan Pulau Sangihe ternyata di luar
Kerajaan Tabukan, yang terikat komitmen dengan Ternate, sudah muncul kerajaan lain yaitu Kerajaan Manganitu. Kerajaan ini muncul sejak tahun 1600-an dengan raja pertama, Liungtolosang alias Tolo. Raja Tolo itu adalah turunan dari garis datuk-datuk Salurang. Seorang puteri dalam garis keturunan Salurang bernama Kaengpatola kawin dengan Pangeran Naleng asal Kerajaan Tagulandang. Adapun Salurang itu sebagaimana dalam catatan sejarah Sangihe adalah satu dari dua unsur pembentuk kerajaan Tabukan tahun 1500-an. Unsur lainnya adalah para datuk Sahabe. Kerajaan Tabukan dimungkinkan terwujud karena Makaampo Wawengehe berhasil mengawini sekaligus dua puteri kulano (pemimpin) Sahabe, Matandatu. Padahal Makaampo sendiri adalah turunan langsung dari para datuk di Salurang.

Kerajaan baru Manganitu itu merasa tidak pernah membuat komitmen dengan Ternate. Apalagi harus tunduk pada kebijakan ekonomi dan politik majikan Ternate, VOC Belanda. Karena itu, Sultan Sibori harus mengurusnya dengan kekerasan. Meski demikian tidak mudah dilakukan. Karena Manganitu adalah sekutu Spanyol yang berpusat di Manila dengan dua benteng pertahanan di pulau Siau dan pos di Kolongan di Barat Daya pulau Sangihe. Raja Manganitu ketiga yang sedang memerintah kala itu adalah Bataha Santiago. Dia adalah lulusan perguruan tinggi Jesuit di Filipina. Juga diperlakukan dengan kekerasan oleh Sultan Sibori, para pangeran serta putri anak-anak Raja Tolo berperang mempertahankan sikap Manganitu yang tidak mau tunduk pada Belanda dan Ternate. Di antaranya para puteri raja. Pertempuran pun berlangsung seru dan seimbang. Sampai akhirnya Belanda dan Ternate dengan licik mengundang Raja Bataha Santiago berunding. Namun, saat perundingan itu, Raja Bataha Santiago alias Raja Jago malah ditawan dan akhirnya dipancung di tanjung Tahuna.

Dengan takluknya Manganitu, tugas resmi Sultan Sibori sebagai aparatus bawahan VOC Belanda sudah rampung. Karena itu waktu dapat dia curahkan sepenuhnya untuk mencapai niat hatinya mempersunting Puteri Maemuna. Dia ingin Maemuna menjadi ole-ole istimewanya saat pulang ke Ternate. Dengan kekuasaaannya, niat itu jelas dapat dengan enteng diwujudkannya. Bukan dengan berupaya merebut hati Puteri Maemuna, namun dengan alasan persekutuan politik. Perkawinan itu jelas tidak diinginkan Puteri Maemuna. Pangeran lain Raja Udha bernama Dalero adalah saksi ihwal kesedihan Puteri Maemuna menerima nasibnya. Maemuna mendesak Dalero mengeluarkan segenap kesaktiannya untuk merubah peta nasibnya. Namun, kesaktian Dalero tak kuasa. Karena putusan mengawinkan Maemuna merupakan kebijakan Raja Udha, ayah mereka. Dalero sekadar membekali Maemuna mantra menepis Sultan Sibori saat di ranjang.

Apa yang dilakukan Raja Udha dengan mengawinkan Maemuna pada penguasa kerajaan lain merupakan kelaziman zaman itu khususnya di Kerajaan Tabukan. Bahkan pantas disebut sebagai mode di hampir semua kerajaan di Maluku Utara, Nusa Utara, Sulu dan Mindanao yang saling berhubungan kawin-mawin. Perkawinan masa itu jelas sangat bermuatan politik. Evelyn Tan Cullamar yang mempelajari relasi orang Nusa Utara ke Mindanao, sebagai latar migrasi mereka ke sana, membenarkan motif semacam itu. Dia menyatakan sejak dulu persekutuan politik secara damai di antara para penguasa di Nusa Utara (Sangihe-Talaud-Sitaro), Maluku Utara dan Mindanao selalu diwadahkan lewat perkawinan-perkawinan. ’’Political alliances cemented through marriages,’’ begitu tulisnya.

Budaya kawin mawin di lingkungan elit bangsawan itu pantas diduga adalah upaya pelanggengan kekuasaan yang ditiru dari khazanah kebiasaan Arab pra-Islam. Kebiasaan ini turut terbawa oleh para penyebar Islam berdarah Arab (termasuk yang sudah tinggal menetap di India, Gujarat) dan oleh orang-orang Persia. Sekadar sebuah contoh, tradisi kawin-mawin pra-Islam itu ternyata pun masih dipertahankan di Timur Tengah hingga zaman mutakhir kini. Buktinya, Raja Abdul Azis tahun 1901 mengawini 300 perempuan dari berbagai latar suku. Itu dilakukan setelah pemimpin dari puak Al-Saud ini berhasil kembali dari pengungsian di Najl dan merebut kampung halamannya, Beduin, dari cengkeraman kekuasaan puak Rashid. Wilayah yang berhasil direbut itu kini menjadi negara Arab Saudi modern yang kaya raya itu.

Perkawinan spektakuler Raja Abdul Aziz itu sengaja dilakukan demi menghimpun dukungan dan ketaatan semua suku pada Raja Abdul Aziz. Akibatnya, jika dalam negara demokrasi pemimpin lahir dari rakyat, sebaliknya pada kasus itu rakyat dilahirkan dari hasil perkawinan pemimpin. Harus disebut demikian, karena setelah seratus tahun rentetan kawin politik itu keluarga Raja Abdul Aziz jumlahnya tercatat mencapai hampir 21 ribu orang. Seribu di antaranya para pangeran dan puteri turunan langsung Raja Abdul Aziz.

Mari kita balik ke perkawinan Sultan Sibori dan Maemuna. Patut disebut perkawinan dengan para penguasa Ternate bagi kerajaan-kerajaan di wilayah Sangihe-Talaud-Sitaro bukan hal baru. Dalam silsilah sejak Willem Sando dan Elinangkati atau silsilah Ampunag I dan Ruatankati banyak perkawinan antar bangsawan semacam pasangan Sibori-Maemuna itu. Meski memang tidak seintens perkawinan antara para bangsawan Tabukan dengan para anggota keluarga Kerajaan Tahuna, Siau, Tagulandang dan Kerajaan Kendahe. Atau perkawinan para bangsawan kerajaan-kerajaan-kerajaan wilayah Sangihe-Talaud-Sitaro dengan para sultan Tugis (Mindanao) dan Sulu, di antaranya yang dicatat Captain Forrest dan dikutip Evelyn Tan Cullamar. Atau lainnya menurut catatan D.B. Adriaan , H.B. Elias , dan Shinzo Hayase-Dominggo M. Non serta Alex Ulaen .

Yang jelas Puteri Maemuna pada akhir 1675 diboyong Sultan Sibori ke Ternate. Sultan telah resmi menikahinya. Namun Maemuna pun sudah membulatkan tekadnya tidak akan pernah menyerahkan tubuhnya pada sang sultan. Maemuna sudah mendengar cerita-cerita tentang nasib para perempuan yang mendampingi sultan ini. Dia sudah mendengar bagaimana Puteri Rooze melarikan diri pulang ke Makassar karena tidak tahan siksa batin sebagai istri sultan ini. Sultan dicatat mempunyai koleksi budak perempuan sedemikian banyak dalam haremnya. Mereka sekadar dianggap sebagai pemuas nafsu semata. Hal yang sama mestinya tidak dilakukan pada para istri (sultana) yang jelas-jelas datang dari latar bangsawan dari kerajaan-kerajaan lain.

Hal yang makin membuat Maemuna defensif tidak menyerahkan dirinya, meski sudah menikah, adalah sebuah kisah cinta Sultan Sibori dengan seorang perempuan Cina di Kampung Cina Ternate. Perempuan itu diceritakan sangat didambakan Sibori. Sayang perempuan itu telah bersuami dan punya anak satu. Namun itu ternyata tidak menghalangi niatnya. Suami dari perempuan Cina itu dibunuh sultan. Jalan sudah terbuka untuk menikahi perempuan Cina idaman itu. Namun sayang ibu perempuan itu masih mencoba menghalang jalannya. Dan akhirnya sang ibu itu pun bernasib naas. Dia juga dibunuh Sultan Sibori, yaitu dengan membenamkan kepalanya ke bak mandi. Sesudahnya niat kawin berciri birahi itu pun terlaksana. Maemuna tidak akan menyerahkan dirinya, meski mati sekalipun di ujung keris atau rencong sekalipun.


Pergumulan Ranjang

Saat-saat mencekam bagi Maemuna itupun datang di Ternate. Sultan sebagai suami sah mendesaknya tidur bersama. Itu sebenarnya sidah diupayakan sejak saat di Tabukan pasca izab kabul perkawinan. Hal yang jelas tidak terlarang bagi sang sultan, karena keduanya sudah resmi suami istri. Sejauh ini tidak ada rincian sejarah apa yang terjadi dalam kamar pengantin Sultan Sibori dan Puteri Maimuna. Yang jelas Puteri Maimuna dalam banyak penggalan kisah tersurat dan tersirat tidak ingin dengan perkawinannya itu. Meski memang tidak ada uraian soal alasannya. Namun, uraian Des Alwi tentang sosok dan sisik Sultan Sibori dalam bukunya, termasuk masalahnya terkait dengan perempuan dan para istrinya mungkin dapat menerangkan kenapa muncul keengganan demikian besar hingga akhirnya Maemuna menolak hubungan ranjang. Dan apa yang dilakukan Maemuna jelas dalam perspektif hukum agama (Islam) bukan tindakan teladan. Karena dalam lembaga perkawinan Islam, lelaki adalah pemimpin perempuan, ar-rijaalu qawwamuuna ala an-nisa (ayat 34 surat an-nisa). Dalam posisi itu, lelaki punya hak dilayani karena fungsi khas suami yang mencari nafkah keluarga. Perempuan wajib melakukkannya.

Jadi apa yang dilakukan Maemuna merupakan pembangkangan atas kewajibannya. Namun apa daya, Maemuna sudah membatu bergeming pada sikapnya itu.Meski demikian permintaan sultan langsung dalam kamar kedaton jelas sulit ditepisnya. Maemuna tidak bisa lari dengan alasan mengada-ada seperti saat di Tabukan. Tidak bisa meminta badai datang menerpa kota pantai Ternate. Juga mustahil berharap gunung Gammalamma meletus, karena gunungapi itu baru beberapa tahun lalu meletus. Juga tidak bisa berharap Portugis datang menyerang dengan meriam besarnya bersama dengan tentara Gowa. Karena Portugis sudah menghilang dari perairan Maluku. Gowa sudah tunduk pada Speelman tujuh tahun sebelumnya setelah penandatangan perjanjian Bungaya. Juga mustahil berharap Spanyol menyerang kembali seperti 70 tahun sebelumnya (1606). Karena bukankah Spanyol justru yang sendiri memutuskan mundur dari benteng Gammalamma ke Siau dan Manila 13 tahun lalu? Mundur semata karena gentar melihat banyaknya armada angkatan laut VOC Belanda berkumpul di Laut Maluku. Hanya itu saja sudah menghilangkan nyali Spanyol.

Maemuna sudah hampir putus asa. Namun jelang putus asa itu dia teringat pada anjuran Dalero soal mantra penolak lelaki di ranjang. Maemuna tidak punya waktu lagi untuk meragukannya, namun semata menaruh harapan satu-satunya pada jalan khas Dalero itu. Dalero justru menyebut doa itu sebagai jalan khas Nabi Ibrahim menyelamatkan Sarah istrinya ditiduri Firaun saat mereka ngungsi ke Mesir. Adapun hasil dan akibatnya jelas believe it or not . H.B. Elias menulis, ‘’Maka kata sahibulhikayat, tibalah Seri Sultan di Ternate dan bersiap bermalam pengantin lanjutnya berbulan madu dengan si bidadari dari Tabukan. Tetapi apa lacur? Begitu Seri Sultan membuka bilik Maimuna ternyata sang puteri tidak ada dan gantinya ada telur ayam sebutir.’’ Tertolonglah Maemuna pertama kali oleh tuah mantra Dalero. Maemuna senang mengingat kasih sayang saudaranya itu. Dalero memang sangat yakin akan kekuatan alam yang dapat digerakkan dengan kata-kata (bera). Ini disebut dalam bahasa Melanesia sebagai mana yang pertama dipakai misionaris Inggris Codrington untuk menyatakan suatu ‘’tenaga sakti penuh rahasia.’’ Di Sangihe diyakini untuk menggerakkan kekuatan itu sekadar diperlukan kekuatan kata khusus yang rahasia adanya. Ada juga kata-kata semacam itu namun sudah dibuka untuk umum, yaitu kata-kata bertuah pada upacara adat.

Yang jelas sultan tentu tidak patah arang dengan niatnya itu. Maka dicobanya sekali lagi mendekati istrinya. Jelas memang tidak ada yang salah pada harapan seorang suami semacam itu. Bahkan harus disebut wajib. Namun sekali lagi setelah masuk ke kamar, terjadi adalah apa yang ditulis lanjut H.B. Elias: ‘’Besok malamnya di ranjang mereka muncul seekor cicak. (Mungkin Maimuna bersembunyi, red.). Peristiwa-peristiwa itu sangat menggemparkan seisi istana Seri Sultan, pun kedengaran kepada Dalero saudarnya di Tabukan. Maemuna berhasil mempertahankan niatnya. Namun justru Pangeran Dalero di Tabukan sontak risau akan nasib saudara perempuannya itu. Maemuna seorang diri saja di Ternate. Memang dua dayang-dayang dan kaneke (juru masak sekaligus juru cicip makanan) ikut mendampinginya ke Ternate, di samping seorang prajurit alabadiri penjaga. Tapi apalah artinya mereka.

Dalero risau akan kemungkinan-kemungkinan buruk akibat dari kejadian-kejadian heboh di kamar pengantin. Sultan tentu marah besar. Pada situasi semacam itu nyawa Maemuna bisa saja jadi taruhannya. Dalero cemas karena risau pernah istri-istri dalam lingkungan kedaton Ternate ditemukan mati terbunuh. Bahkan nyata-nyata dilakukan sultan sebelum Mandarsyah, yaitu Sultan Mudaffar. Dalero jadi lebih panik lagi demi menyadari banyaknya kasus kematian akibat racun yang pernah terjadi di Ternate. Tidak terkecuali korbannya adalah Sultan Bolief yang disebut Sultan Bayang Ullah yang mengundang orang-orang Portugis tinggal di Ternate. Dalero makin cemas lagi mengingat Sultan Mudaffar, Sultan Hamzah, dan Pangeran Daijalo juga diracun. Dalero jadi stress di Tabukan.

Karena itu lanjut tulis H.B. Elias, ‘’Dalero menyiapkan beberapa perahu lalu berlayar menyusul Maimuna ke Ternate. Sesudah tujuh kali ia berlayar mengelilingi pulau Ternate di depan istana Seri Sultan Dalero meloncat dari perahu ke pantai sambil berteriak sekuat-kuatnya, hal mana nyata dalam sasambo kemudian hari: Bansengi Dalero, Bukung kota nambo (Tempik soraknya Dalero Penjuru kota gugur) dan rubuhlah penjuru istana Seri Sultan ke pihak laut (kalau ini memang benar yang secara pemikiran modern suatu yang mustahil, bukan main saktinya Dalero itu)’’

Sekali lagi terhadap kutipan kesaktian Dalero itu pembaca boleh memilih sikap ‘believe it or not’’. Penulis memilih percaya atas kejadian, tapi tidak percaya itu terjadi karena kesaktian Dalero. Kejadian itu mungkin dapat diterangkan secara rasional. Dalam dugaan penulis mungkin saja saat kedatangan Dalero terjadi bencana yang sebelumnya diharapkan Maemuna. Namun yang terjadi adalah sebuah jenis bencana yang sama sekali tidak diketahui oleh Maemuna atau siapapun orang-orang zaman itu. Bencana itu bernama gempa tektonik. Maklum Ternate dan Sangihe memang berada di sekitar pertemuan patahan-patahan aktif yang saling bertabrakan, yang disebut piringan Sangihe (Sangihe plate) dan piringan Halmahera (Halmahera plate). Gempa tektonik sudah terbukti sangat keras dan membahayakan. Diduga saat Dalero datang terjadi gempa hebat yang membuat dinding benteng roboh. Dalam suasana panik itu, tulis H.B. Elias: ‘’Dengan tidak ada syarat apa-apa. Seri Sultan merelakan puteri Maimuna dibawa pulang oleh Dalero.’’

Tentu agak mengernyitkan dahi pembaca, kenapa sri sultan begitu gampang melepaskan Maemuna. Hal ini mungkin dapat diterangkan dari motif cinta sang sultan yang memang sekadar birahi. Kalau itu alasannya, sultan tidak kekurangan stok perempuan cantik. Beberapa istrinya dapat dengan segera memuaskan hasratnya. Apalagi catatan Des Alwi menyebut tentang harem dari penguasa Ternate ini. Yang jelas rombongan perahu kora-kora Dalero dengan Maemuna sebagai penumpang utamanya segera meninggalkan Ternate berlayar di perairan Maluku dan arus akan membantu para pendayung menjelajahi laut. Saat di laut dapat disimpulkan Maemunah telah berhasil mengatasi masalahnya. Juga menegakkan niatnya. Dia adalah pencari cinta. Dia tidak akan menyerahkan dirinya pada orang yang dicintainya. Dan dalam perahu itu dia merasa telah berhasil memenangkan keinginannya. Enam bulan lamanya dia di Ternate dan rasanya kini sangat merdeka keluar dari sangkar perkawinan sebagai persekutuan politik.

Meski sudah berada di laut bersama Puteri Maemuna, namun Dalero yang memilih berada di buritan terus menerus mengarahkan pandangannya ke Ternate yang menjauh. Dia tetap waspada. Sultan bisa saja berubah sikap dan mengejar perahunya. Karena itu Dalero tidak mengambil rute biasa, berlayar lurus ke arah Barat Laut ke Sangihe. Namun, berlayar lurus ke Timur. Itu rute perjalanan yang biasa ditempuh dari Ternate ke arah Bentenan. Dalero ingin berlayar menyusuri daratan pulau Sulawesi dan menghilang dari kemungkinan kejaran armada Ternate di Laut Maluku yang terbuka. Dari pesisir pantai Selatan Utara Sulawesi dia rencananya akan menyusur menuju ke pulau Lembeh. Sesudah itu akan menuju Utara ke arah Sangihe lewat Tagulandang dan Siau.


Cinta Tertambat Di Siau

Perjalanan tiga hari rute pesisir daratan Sulawesi sudah ditempuh. Para pendayung mulai kelelahan, padahal mereka tidak punya barisan pendayung pengganti sebagaimana pada perjalanan perahu besar yang terencana. Juga bahan makanan sudah jauh menipis. Angin sudah tidak banyak membantu. Kenyataan perjaanan laut semacam ini memberi pesan jelas pada Dalero, sang hulubalang, mereka harus singgah di pulau terdekat. Maemuna juga menyatakan ingin mandi air tawar. Pulau Lembeh sudah mereka lewati siang kemarin. Pagi hari keempat itu mereka sudah di dekat pulau Talise. Mereka tahu itu karena ombak dan goyangan lautnya yang khas.

Mereka pun berencana akan singgah di pulau terdekat dalam perjalanan lurus ke Utara. Pulau itu jelas tak lain adalah Tagulandang. Ya, pulau Mandolokang dalam dalam bahasa sasahara, bahasa khusus orang-orang Sangihe saat beraktivitas di laut. Para pendayung saling berbisik soal tujuan perjalanan sesudah disampaikan kapitanlaut yang menerima perintah langsung dari Dalero. ‘’Mandolokang,’’ ujar mereka dengan nada senang. Mereka tidak asing dengan pulau itu. Dalero punya banyak teman di sana. Terlebih, karena ibu mereka memang berasal dari pulau itu. Maka mendayunglah para pendayung penuh semangat. Mereka mengingat betapa asyiknya berbaring di pasir pantai Tulusan yang tenang. Mereka ingin segera menikmati saat-saat membakar ikan. Juga merasakan segarnya kelapa muda di pinggir pantai. Setelah itu, mereka ingin dibuai angin pantai dan tidur pulas di bawah rindang pohon ketapang.

Sesudah setengah hari mendayung perjalanan mereka pun akhirnya melihat jelas pulau Tagulandang depan mereka. Gunung Ruang terlihat di samping kiri Tagulandang. Sedang Pasige di sudut kiri. Mereka tahu jauh di belakang Tagulandang ada gunungapi Karangetang di pulau Siau. Hari sudah lewat siang. Pulau Biaro baru dilewati. Para pendayung berupaya mempercepat gerakan mereka demi tahu tujuan mereka sudah dekat. Namun entah mengapa tiba-tiba saat mendekati Tagulandang Dalero yang kini berdiri di haluan dekat kapitanlaut mengatakan ‘’ Kita ubah ke Karangetang, bukan Mandolokang.’’ Dalero tidak menunjuk tujuan baru itu meski juga sudah terlihat jauh di belakang Tagulandang. Maka tak lama para pendayung pun berbisik satu dengan yang lain. ‘’Bukan Mandolokang, tapi Karangetang’’. Muka mereka jelas berubah cemberut. Di Siau mereka adalah orang asing. Siau bukan kerajaan yang bersahabat. Di sana orang-orang Spanyol bertahan pada dua bentengnya, Santa Rosa dan Gurita. Tapi, apa daya mereka harus menjalankan perintah itu.

Tidak seorang pun dalam perahu itu tahu apa yang ada di benak Dalero saat mengambil putusan tiba-tiba itu. Mungkin Dalero merasa pulau Siau jauh lebih aman untuk persinggahan bagi mereka. Meskipun jelas hubungan Tabukan dan Siau memburuk sejak kematian Raja Pertama Tabukan, Makaampo Wawengehe. Hulubalang Siau bernama Hengkeng u Naung terlibat dalam pembunuhan itu. Mungkin saja Dalero menghitung Tagulandang alias Pagenzara adalah sekutu dekat Ternate. Jika saja, perahu kora-kora Ternate mengejar jelas mereka akan singgah berlabuh di Tagulandang. Atau malah jangan-jangan armada Ternate sudah menunggu mereka di sana. Maemuna akan dibawa kembali kembali ke Ternate.

Dalero sebagai ahli strategi memang dikenal dalam lingkungan Kerajaan Tabukan. Dia pintar membaca kemungkinan-kemungkinan masa depan. Dia juga adalah orang yang menguasai detil tempat semua pulau yang dikunjunginya. Termasuk sebelum jemput Maemuna dia perlu mempelajari detil pulau Ternate, pulau Halmahera dan Tidore berkali-kali. Dia ingin menguasai detil letak dan tempat-tempat strategis pulau itu. Meski demikianm jelas pulau yang paling dikuasainya adalah detil geografi pulau Sangihe. Maemuna yang menyadari mereka justru sedang menuju pulau Siau terlihat lebih senang. Dia paham latar pikiran Dalero. Dan juga dia ingat tempat pemandian ’ake sio’ atau sembilan mata air yang sangat terkenal di Siau. Tempat itu dipercaya merupakan tempat mandi para bidadari dulu kala. Yang justru tidak disadari Maemuna, bahwa penduduk akan serta merta mengiranya satu dari bidadari yang dipercaya merupakan nenek moyang penduduk pulau itu.

Singkat kata perahu mereka mendarat tanpa kesulitan di bagian Utara pantai Ulu. Masuk di antara bebatuan menuju ke arah sebuah pohon ketapang di pinggir pantai. Mereka menghindari rumah penduduk dan benteng Spanyol di Ulu pada bagian yang disebut Lento. Untung saja perahu yang dibawah Dalero bukan perahu kebesaran kerajaan. Dengan demikian, kehadiran tidak akan menarik perhatian penduduk. Hal yang jelas sangat keliru, karena kehadiran Maemuna yang dikira bidadari segera menghebohkan penduduk. Dan memang benar, sepulang Maemuna dari mandi di mata air ke perahu mereka tak lama datanglah undangan sangat bersahabat seorang kurir Raja Siau Franciscus Zaverius Batahi. Mata-mata raja yang disebarkan di seantero pulau untuk melaporkan kedatangan orang-orang asing terutama Ternate, Tagulandang atau pihak kompeni Belanda segera melaporkan kehadiran rombongan dengan bidadari cantik itu ke Raja Batahi. Maka Dalero pun mempertimbangkan datang berkunjung ke istana Siau. Baginya saat itu yang harus dihindari hanyalah pertemuan langsung dengan para prajurit atau orang suruhan Sultan Ternate.

Dalero yakin utusan Ternate mustahil muncul di Siau. Karena, kerajaan Siau tidak bersekutu dengan Ternate apalagi dengan Belanda. Terakhir 32 tahun lalu Siau di bawah pimpinan ayah Batahi, Raja Winsulangi, berperang melawan Belanda dan Ternate. Rakyat Siau juga sangat membenci Belanda atas kejadian penculikan ratusan orang Siau yang dipaksa naik ke dua kapal Belanda dan dibawah untuk dijadikan budak perkening (perkebunan) pala yang dibuka mijnheer en mevrouw Belanda di Banda. Dalero pun memimpin rombongannya berkunjung ke istana Siau yang berpusat di Ondong. Termasuk membawa serta Puteri Maemuna dalam kunjungan itu. Raja Batahi menyambut kunjungan delegasi bangsawan itu secara resmi dengan segala pakaian kebesarannya sebagai seorang raja. Batahi memberikan keris dan puluhan lembar kain bagi Dalero, sedang untuk Maemuna seperangkat perhiasan dan kain sutra Cina.

Perkunjungan itu menjadi sebuah langkah penting dalam hidup Raja Bataha yang baru saja ditinggal mati Boki (istri raja) Doña Anastasia Tatunguan. Boki ini dilaporkan para paderi sebagai penganut Katolik yang memberi suri teladan dalam masa hidupnya, serta dia meninggal layaknya seorang santa (orang suci). Saat bertemu Raja Batahi takjub dengan kecantikan Maemuna. Tak cuma itu, tapi dia sangat terkesan dengan kepribadian Maemuna yang membela hak dirinya sebagai perempuan. Raja Batahi adalah raja Siau yang dididik para padri Jesuit di St, Joseph College di dalam benteng intramuros, Manila. Perangainya halus dan sangat menghargai orang lain. Terutama sosok perempuan. Dia mengacu pada sosok mulia dan suci Bunda Maria. Karena latar itu, dia punya penilaian yang lain atas pribadi Maemuna. Dia bisa paham alasan-alasan mengapa Maemuna meninggalkan Ternate.

Rombongan Dalero akhirnya tinggal di lingkungan istana atas permintaan raja. Pertemuan beberapa kali antara Raja Bataha yang duda itu dengan Maemuna tak dinyana melahirkan nuansa-nuansa tak terduga. Keduanya merasakan saling membutuhkan. Sekurangnya kebutuhan untuk bisa saling bercakap. Ya untuk saling curah hati, curhat. Dan dalam waktu singkat keduanya mulai dirayapi perasaan saling membutuhkan. Puteri Maemuna merasa telah menemukan yang didambanya. Dia merasa cinta sudah datang menambatkan hatinya ke Raja Batahi. Sedang Raja Batahi yakin telah bertemu pribadi perempuan yang setara dalam sikap dan pendirian. Ya perempuan dengan kepribadian kuat dan mau berjuang menegakkan apa yang dirasanya sebagai yang semestinya, sepantasnya dan seharusnya merupakan hak perempuan.

Raja Bataha merasa telah menemukan perempuan pengganti sepadan pasca kemangkatan istrinya. Maemuna pun merasa Raja Batahi adalah pelabuhan tenang bagi perahu jiwanya yang mencari perlindungan. Batahi-lah lelaki yang dicarinya selama ini. Apalagi setelah tragika hidupnya di Ternate. Maka pada sebuah pertemuan Maemuna langsung mengeluarkan cincin di jari manisnya dan memberikannya pada Raja Bataha. Dia menyadari esok akan berangkat ke Tabukan setelah seminggu di pulau Siau. Yang jelas pada pagi saat keberangkatan perahu di pantai dekat benteng Santa Rosa baik Bataha maupun Maemuna merasakan menyesal mengapa dambaan yang baru saja ditemukan akan menjauh dan mungkin saja menghilang. Keduanya, merasa cinta telah tersemai di hati. Orang yang tahu soal itu adalah Dalero. Meski demikian, Bataha dan Maemuna tahu perbedaan yang terbentang antar keduanya, Maemuna yang muslim, sedang Raja Bataha pemeluk teguh Katolik.


Mengejar dan Menculik Kekasih

Merasa telah kehilangan seseorang yang sudah ingin dimilikinya. Cincin pemberian Maemuna di jarinya adalah tanda respon cinta Maemuna. Akhirnya, Raja Batahi membulatkan niat akan langsung menjemput Puteri Maemuna dari Kerajaan Tabukan. Apapun yang terjadi Raja Batahi harus membawa pulang Puteri Maemuna ke Siau. Batahi tak sadar telah mencampurkan urusan cintanya itu menjadi urusan kerajaan. Seperti tulis H.B. Elias: ‘’… Angkatan perahu Dalero bertolak ke Tabukan. Tertinggallah Raja Batahi dengan bersemi cinta kepada sang bidadari yang sudah terbang pergi. Batahi tidak habis akal. Dengan Jogugu D’Arras dan Laksamana Hengkeng u Naung sudah siap dengan Angkatan Lautnya. Batahi ke Salurang, negeri bundanya Tihuwang. Dari sana ia akan menyamar sebagai budak masuk ke istana Raja Udah di Tabukan.

Rencananya adalah menculik Maimuna dibawa lari ke Salurang. Di sana Hengkeng U Naung sudah siap dengan Angkatan Lautnya untuk melakukan taraf terakhir dari perjalanan Romeo & Julet ala Sangihe, ialah membawa pulang dua sejoli ke Siau. Taruh maar, akan berakibat kemarahan Dalero, tetapi itu tidak mengapa. Kekuatan Kerajaan Siau akan dipertaruhkan pada berhasilnya Bataha membawa lari dan memboyong puteri Maimuna. Tidak menjadi persoalan sebagai akibatnya ada kemungkinan timbul peperangan antara Tabukan dan Siau, tetapi keinginan Bataha mau mempersuntingkan Maemuna begitu besar, melebihi segala urusan dan sendi pemerintah. Too the point, tidak bergerak ke kanan atau ke kiri. Batahi hanya merindukan satu perkara, yaitu secara jantan Maemuna harus berada di sisinya.

Begitulah lakon penting raja dan puteri Siau dan Tabukan yang terjadi tahun 1676. Cinta adalah energi rahasia sangat perkasa . Lebih kuat dari maut. Jauh lebih penting dari urusan negara. Jauh lebih kuat dari kekuatan kata penggerak alam (bera) oleh sang maestro Dalero. Karena cinta mampu mencipta keinginan hati bahkan kenekadan. Raja sekalipun kalah oleh keinginan hati. Puteri raja juga tergelepar tak berdaya dalam deraan kekuatan itu. Maka lanjutan tulisan H.B. Elias: ‘’Dan memang lakon yang dimainkan oleh Prins Batahi begitu indah sama seperti ceritera dalam salah satu dongengan dari Puteri Rimba Larangan atau Puteri Di Balik Tirai. Dengan menumpang perahu londe Batahi tiba di Salurang dan dari sana secara menyamar ia diantar ke Istana Raja Udah di Tabukan untuk dijadikan budang (elang). Ia diterima dengan baik oleh Bagida Raja yang gembira memperoleh seorang budak yang tampan dan baik budi pula. Batahi mendapat tempat tidur di pondok budak-budak raja yang barang tentu jauh lebih sederhana dari tempat berteduh seorang raja. Besoknya si budak itu mulai kerja berat dan selanjutnya melakukan tugas sehari-hari di istana raja di Tabukan.

Kalau baginda Raja sangat gembira karena beroleh seorang budak yang setia, rajin sopan apapula tampan pun tidak ada seorang dalam istana raja itu yang mengenal si budak itu atau melihatnya sebelumnya atau bertanyakan dari mana asalnya, ya hampir semua, tetapi ada juga seorang yang lebih gembira dari Baginda Raja ialah Sangiang Maimuna yang segera mengenal cincinya di jari manis budak itu, yang dari menit pertama terus mengenal dalam diri budak itu sang kekasih dan tatunonaung yang betul-betul setia dalam janjinya, rela mencari dan mengikuti kecintaan hati, ke mana saja ia pergi, ke lautan apipun tidak takut asal hati dengan hati bersua. Dengan tanpa setahu sang ayah, Kasili Batahi dan Sangiang Maimuna saling bertemu, dimana Kasili Batahi membentangkan satu rencana yang berani penuh dengan lakon gelora dan badai percintaan…’’

Penyamaran itu jelas sangat rapih. Raja Batahi bercampur baur di antara para budak di rumah panggung besar Tabukan. Dia bercampur baur dengan para pencukur kepala di dapur. Juga belajar menyanyikan lagu-lagu para budak saat mencukur kelapa, kakalumpang. Bahkan Dalero yang terkenal dalam sejarah Kerajaan Tabukan sebagai orang yang waspada pun kecele. Kemungkinan saja Dalero sebenarnya tahu soal itu. Malah mungkin Maemuna sendiriyang berterus terang kepadanya. Karena hubungan batin keduanya. Dan itu diceritakan Maemuna di saat-saat akhir memutuskan akan pergi diam-diam lari ke Siau. Dalero sangat menghormati keputusan hati Maemuna. Sebagaimana dia juga percaya pada keinginan hatinya. Dalil sikap pribadi Dalero ini terbukti di masa-masa kemudian saat dia berniat menceraikan istrinya, Susana Loholawo dan ingin kawin dengan pujaan hatinya Puteri Salontingo. Tindakan itu tidak dizinkan pendeta De Leeuw. Dia bahkan berupaya para pejabat di Ternate dan Batavia untuk meminta izin itu. Sayang dia gagal memperolehnya.
Yang sudah jelas Dalero tak menghadang manuver Raja Batahi, karena dia tahu tidak ada jalan lain bagi keduanya untuk bersatu. Dan akhirnya operasi penculikan Puteri Maemuna oleh Raja Batahi atas dasar cinta kedunya itupun terjadi. Seperti tulis H.B. Elias: ‘’ …Dan pada satu pagi hari langit yang cerah, ada yang masih enak mendengkur karena masih subuh dan fajar mulai merekah, seisi Istana Raja Udah sudah ribut dan panik, karena ternyata sang intan jelita Sangiang Maimuna sudah tidak ada di pembaringannya, pun budak yang belum sebulan berselang diterima juga minggat menghilang entah ke mana perginya. Dan sementara jawaban dan penjelasan mengenai kejadian yang tiba-tiba mengkagetkan itu belum rampung dalam keterangan-keterangan yang diminta oleh Baginda Raja Udah itu, Kasili Batahi dan Sangiang Maimuna sudah berada di biduk hidup romantika yang penuh cinta berahi penuh asyik masyuk penuh saling meminta dan memberi ucapan kesayangan dan gerakan kemesrahan yang tak ada habis-habisnya dalam malam pengantin dan bulan madu yang mereka sendiri rencanakan, bina dan selenggarakan.Dengan diiringi sorak kemenangan, Hengkeng u Naung membawa pulang dua sejoli itu yang menumpang perahu Angkatan Lautnya dari Salurang ke Ondong…’’

Perkawinan nekad keduanya itu tidak banyak diketahui orang. Dan memang sengaja disembunyikan, terutama karena posisi Maemuna sebagai istri yang dinikahi resmi Sultan Sibori. Namun berita semacam itu jelas tak bisa dibendung. Tak lama berita soal bidadari Tabukan yang diculik dan dikawini Raja Siau Batahi tiba di pihak Belanda di Ternate awal tahun 1677. Sangat mungkin via Tagulandang atau via mata-mata di benteng Amsterdam di Manado.


Penundukan Siau

Cerita penculikan itu akhirnya diketahui juga Raja Tabukan Udha. Raja marah, tapi dia belum ambil niat melakukan apa-apa atas Siau. Berita itu ternyata sangat strategis bagi Belanda. Robertus Padtbrugge Gubernur Maluku VOC ke 21 yang dilantik tahun 1677 melihat nilai penting informasi itu. Dia pun segera menyampaikan informasi penting dari Siau itu ke Sultan Sibori. Sultan sontak marah. Dia merasa dilecehkan. Apalagi memang Padtbrugge mengomporinya. Seperti biasa pihak Belanda akan memanfaatkan setiap masalah yang timbul di antara para penguasa pribumi Nusantara. Bahkan Belanda akan memperuncingnya. Dan, kalau konflik itu pecah, Belanda akan memancing keuntungan baginya. Biasanya Belanda mendapat kompensasi wilayah kekuasaan atau keleluasan menerapkan kebijakan dagang monopoli khusus. Belanda makin jaya, sedang penguasa pribumi terus merosot kuasanya. Devide et impera.Jujurnya, Sultab Sibori inginnya tak percaya pada berita itu. Namun, info itu datang dari pihak yang sangat terpercaya. Kompeni Belanda merupakan mitra kekuasaannya. Dua tahun sebelumnya Belanda menolongnya naik tahta.

Kejadian di Siau itu jelas akan menghapus rumor yang diciptakan di Ternate soal Puteri Maemuna. Di Ternate beredar luas kepergian Puteri Maimuna dari kedaton Ternate, karena dia hamil sebelum dinikahi sultan. Cerita itu menyebut puteri dari Utara itu melahirkan setelah enam bulan di Ternate. Nah, perkawinan Puteri Maemuna dengan Raja Batahi dari Siau-Spanyol yang merupakan musuh Ternate-Belanda itu tegas membantah rumor sesat itu. Perkawinan itu menegaskan tidak benar Puteri Maemuna hamil dan diusir pulang. Malah dapat saja muncul simpulan, kepergiannya itu sama kejadiannya dengan larinya Puteri Rooze ke Makassar. Simpulan yang pasti akan mencoreng reputasi Sultan Sibori sebagai raja. Terutama reputasinya sebagai suami dan laki-laki. Maka, nyala kemarahan terus membesar di dada Sultan Sibori. Sultan sontak menyatakan setuju dengan permintaan gubernur Patbrugge untuk menyerang Siau.

Rencana itu sebelumnya sudah dibicarakan Padtbrugge ke Dewan Kerajaan. Padtbrugge juga melobi agar dewan kesultanan mendesak sultan mengumumkan perang pada Siau. Artinya, pasca persetujuan sultan semua pememgang kekuasaan Ternate sudah pada garis sikap yang sama. Kesultanan akan menyerang Kerajaan Siau untuk memberi pelajaran pada Raja Batahi yang menculik istri raja. Para penguasa di Ternate menjadi lupa beberapa tahu sebelumnya mereka pernah menyambut hangat kedatangan Raja Batahi ke Ternate. Kala itu Raja Batahi khusus berkunjung untuk mengantar Pendeta Montanus yang bertandang ke Siau untuk dijadikan ladang penginjilan gereja Protestan Belanda. Pada waktu itu Raja Batahi diberi sambutan hangat. Benteng Oranye membunyikan tembakan meriam kehormatan.

Perubahan sikap Ternate yang sangat cepat itu disambut Belanda. Belanda merasa kini saatnya mengusir Spanyol jauh ke Utara. Spanyol tidak boleh berada di wilayah sekitar Maluku. Dan pulau Siau adalah wilayah (enclave) Spanyol yang tersisa di Nusa Utara. Spanyol, sesuai informasi di pihak Belanda, disebut punya rencana membuka perkebunan rempah-rempah di pulau itu. Hal itu jika terwujud akan merusak strategi monopoli rempah Belanda yang ditegakkan dengan pembatasan produksi rempah-rempah yang terkonsentrasi di Ambon dan Banda. Sedang tanaman cengkeh dan pala di pulau lain dilenyapkan dengan kekerasan. Berita tentang niat Spanyol itu makin santer. Menurut sumber informasi Belanda, untuk itu Spanyol telah memperkuat bentengnya di sana.

Dalam posisi itu keputusan Sibori untuk menyerang Siau adalah kesempatan menghancurkan ladang rempah di sana. Juga diupayakan mengusir Spanyol keluar selama-lamanya dari Nusa Utara. Karena itu, Belanda serius membantu segala persiapan dan keperluan serangan ke Siau itu. Belanda tidak mungkin melakukannya lagsung, karena akan merusak Perjanjian Damai Munster 1648. Padahal perjanjian itu adalah sikap Spanyol yang mengakui kemerdekaan Belanda. Singkat cerita, akibat perkawinan Batahi dan Maemuna itu, Sultan Sibori dengan emosional menyerang Siau. Tentu dengan dukungan amunisi, kapal, pasukan, strategi dan bahkan pangkalan perang di Benteng Amsterdam Manado yang dulu dibangun Simon Cos.
Lebih menyingkatkan cerita, akhirnya Siau dikalahkan ribuan pasukan penyerang gabungan Ternate, Bolaang, Tagulandang, Tabukan, Tahuna dan Manganitu. Dan tahun 1677 itu ditandai sebagai awal resmi kekuasaan VOC Belanda di Nusa Utara, yaitu lewat perjanjian kontrak panjang (lange contract) dengan raja-raja di Nusa Utara.

Maemuna Kemana?

Tidak jelas catatan sejarah bagaimana keadaan Puteri Maimuna saat penyerangan oleh Sultan Sibori. Apakah sultan sempat bertemu dengannya atau tidak? Yang jelas Puteri Maemuna tetap menjadi istri Raja Batahi. Karena, pada tanggal 8 atau seminggu setelah penyerangan Siau oleh pasukan gabungan pimpinan Ternate itu, Raja Batahi setuju memberikan barang-barang sebagai tebusan atas tindaknya merebut ‘nyonya’ Sultan Ternate. Yang jelas ketika serangan terjadi Maemuna baru saja melahirkan anak buah cinta kasihnya dengan Batahi. Ini anak kandung cinta kasihnya. Karena itu dapat diduga saat penyerangan salah satu pasukan Tabukan di bawah komando Dalero atau Mehengkalangi telah menjemput dan membawanya ke Tabukan. Maemuna bersama bayinya. Dan dalam sejarah ditulis bagaimana kemarahan Raja Udha luruh demi melihat bayi Maemuna. Anak itu segera mendamaikan semua persoalan Tabukan dan Siau sejak Makaampo dan penculikan Batahi. Makanya, anak tersebut dinamakan Raja Udha sebagai Ramenusa. Artinya, mendamaikan pulau-pulau. Pada saat itu, beberapa pulau kecil di antara pulau Siau dan pulau Sangihe diberikan pada sang bayi itu. Yaitu, pulau Para, Kahakitang, dan Mahangetang. Bahkan juga bagian kerajaan Tabukan di Talaud, yaitu di Kabaruan, diberikan pada Maemuna.

Hal yang perlu diceritakan, sesuai data sejarah pada tahun 1678 Raja Batahi mangkat. Itu artinya, dengan memeriksa seksama naskah sejarah, Ramenusa baru berusia satu tahun. Dan juga menurut data sejarah naiklah ke tahta Raja Monasehiwu yang hanya berkuasa sampai tahun 1680. Dalam dua tahun masa Monasehiwu itu, Maemuna jelas disibukkan dengan membesarkan anaknya Ramenusa. Kemudian, masih menurut data sejarah, Ramenusa naik tahta sebagai raja. Artinya pada usia tiga tahun. Hal itu jelas tidak mungkin terjadi kalau tidak dibantu orang lain sekitarnya. Terutama Maemuna, ibunya. Keterlibatan semacam itu dimungkinkan secara resmi dalam posisinya sebagai mantan Boki dan ibu suri. Memang pada zaman Raja Winsulangi (ayah Raja Batahi) Kerajaan Siau sudah berhasil membentuk sebuah dewan kerajaan Siau yang bertugas membantu raja dalam memerintah. Dewan yang dinamakan Komolang Bobatung Datu (Majelis Kerajaan) di antaranya beranggota para bangsawan dan keluarga raja serta terutama wakil dari kalangan rakyat. Alam situasi raja berpergian atau sakit dewan ini menjalankan pemerintahan.

Raja Ramenusa termasuk satu dari raja-raja Siau yang dikenang. Dalam pemerintahnya Kerajaan Siau mencapai masa keemasan secara politik dan ekonomi. Dalam masanya jua pengaruh kerajaan Siau sangat kuat sampai ke Talaud, Minahasa, Kaidipang dan Leok, Buol.
Tentu prestasi itu bukan tanpa andil jasa orang lain. Dan sebagaimana ungkapan yang dipercaya bahwa setiap keberhasilan lelaki ada peran perempuan yang tersembunyi di belakangnya, mungkin dalam kasus Ramenusa yang berperan itu adalah ibunya, Puteri Maemuna. Ibunda yang berbakti bagi kebaikan anak temurunnya.///

Tidak ada komentar: