Minggu, 13 Juni 2010

Mengejar Mimpi (1)


Dari puncak bukit kecil disebut rukue, kala matahari agak meninggi, mulai ada sedikit keraguan dan buru-buru kami memandang ke tengah-tengah kampung Sanumpito, bila pucuk tiang bendera kosong berarti kelas belum masuk, sebaliknya bila merah putih tlah berkibar di ujung tiangnya, kelas sedang berlangsung. Itulah simbol yang kami tandai bilamana dalam tiga per empat perjalanan menuju SDN Inpres Sanumpito yang bebas biaya pendidikannya tetapi sungguh jauh lokasinya bagi anak seukuran kami. Aku harus bagun pagi-pagi membersihkan tempat tidur, dapur dan halaman rumah, baru berangkat ke sekolah dengan "titania" bertelapak sobek karena aus selama 4 tahun pemakaian tak diganti-ganti. Sekali waktu, bendera telah berkibar dan aku ngotot meneruskan perjalanan. Tiga kawanku yang lain menyatakan kembali ke kampung. Karena kerasnya tekadku sebagai "pengkhianat" dalam perspektif kerdil mereka, akupun dihajar dengan mistar kayu di betisku, sebelum nanti dihajar guru karena terlambat.

Situasi itu sering terjadi, hingga pelajaran tentang makna yang lain akhirnya mengubah pandangan kami sekeluarga tentang bahayanya sekolah jauh. Aku terkapar hilang kesadaran setelah pelajaran siang dilanjutkan less sore dan aku bertahan tidak makan siang itu. Sore pukul 5 less usai, aku melangkah gontai pulang ke rumah, kulahap sebuah pala muda di jalan menuju kampungku. Entah karena zat apa dalam buah pala itu, membuat aku seketika tertidur di sebuah regel di Liwua. Akupun kaget terbangun pukul 21.00 dan pamanku berada di samping sambil meneteskan air matanya. Air mata yang membuat aku siuman. Keesokkan hari aku dipindahkan ke SD YPK Laghaeng, sekolah yang berada di belakang rumah kami. Tapi di sekolah itu aku harus bayar. Tidak apa2, kata paman,...... karena tinggal sekelas lagi aku segra tamat. Sejak saat itu aku sangat berkeinginan menjadi guru.

Setahun kemudian kepala kampung mendapat kehormatan untuk memberikan secara langsung lembaran Nilai Ebtanas Tertinggi dari puluhan siswa berseragam putih merah. Aku, anak tanpa ayah yang kerap ditinggalkan kerabatnya karena eksodus, menerima lembaran itu dari tangan kepala kampung. Uniknya, aku itu tidak tercatat sebagai juara. Aku menempati posisi keempat dalam hierarki penjuaraan sekolah. Di tempat pertama diduduki oleh putri sekretaris kampung. Demikian sekolah mengeluarkan kebijakan tentang kategori prestasi anak didik di Sekolah Dasar Yayasan Pendidikan Kristen milik Jemaat Efrata Laghaeng. Aku tidak melakukan protes, karena belum begitu mengerti dengan waham besar para penentu kebijakan internal sekolah. Aku menjadi siswa pendiam dengan sejuta heran dan seribu tanya.

Nyaris Mati
Nepo tetanggaku, nama lain dari Charlis, memberiku hadiah sepiring teh benda menyerupai gula yang nampak membeku. Maklum karena aku suka gula-gula. Kunikmati gula-gula itu sebagai hadiah bagi sang juara empat yang diberikan dengan tulus hati oleh seseorang yang kuanggap sebagai kakak sendiri. Hadiah Nepo adalah Pupuk Urea. Sungguh aku tidak tahu barang itu. Tubuhku tiba-tiba lemas dan rahangku seakan-akan tak bisa digerakkan lagi. Oma segera melakukan tindakan pertolongan mengambil kuah kelapa tua dan aku dipaksa minum, hingga akhirnya nyawaku terselamatkan.

Aku menapaki SMP bertempur dengan kerasnya kehidupan yang setingkat lebih keras dari kondisi sewaktu SD. Karena di Manado, bibiku harus menyelesaikan studi diploma gurunya, maka seluruh pasukan produktif harus eksodus ke Manado untuk membantu membiayai pendidikan bibiku dengan bekerja sebagai buruh kasar. Aku tertinggal seorang diri dengan satu keyakinan akan dapat melewati masa-masa sulit kala itu yang belum diketahui. Prestasi akademik tidak mengalami perubahan signifikan, pengalaman baru mengelola organisasi selaku sekretaris OSIS cukup membuat diri terlatih berhadap-hadapan dengan banyak orang. Tapi soal makan, aku tidak selalu menempatkan pada posisi urgen sehingga selalu saja mengalami lapar berat. Pantang bagiku naik turun dapur tetangga hanya untuk sesuap nasi. Aku lebih suka mengopur dan menemukan buah2 pala tua (lengeh) di kebun untuk konsumsiku, kehidupan keras layaknya Tarzan. Kulihat ada pohon pisang sepatu yang ditanam opaku di kebun, separuhnya sudah masak. Kupotong pisang itu dan kubawa pulang ke rumah tempat aku ditinggalkan kerabat, yaitu di rumah orang tua rohani. Kebetulan dia seorang gembala gereja yang sangat feodal. Peluhku seember, karena memikul buah pisang itu, tetapi satu saja kupetik dari sesikat yang masak, membuat sang gembala naik pitam. Kenapa? Menurutnya, aku melanggar etika. Entahlah etika apa? tiba-tiba telapak tangannya yang besar menghantam pipi kiriku, pisang yang kumakan muncrat tiba-tiba dan aku terjatuh pada 12 anak tangga, berakhir di jalan besar. Tulang pada bahu kiriku patah, aku menjadi cacat seumur hidup. Aku ditolong oleh seorang yang mahir memulihkan patah tulang, tetapi katanya, aku sudah sulit ditolong lagi, karena patahan itu mengandung kekuatan gaib. Oh....... aku kesakitan..... sungguh sangat kesakitan. Tapi aku tidak boleh lalai ke sekolah.

Akhirnya SMP Talawid mencetak beberapa jebolan yang memiliki kualitas, seperti Fidel Malumbot dan Elgien Kahuweka, aku yang selalu tak pernah bertengger pada posisi satu karena harus kuakui Fidel masih jauh lebih ulet belajar daripada aku. Aku sangat yakin beberapa kawan lain yang menyandang gelar juara, adalah mereka yang ditopang oleh kebijakan internal sekolah yang sarat nepotisme. Satu hal yang harus kucatat dalam masa-masa SMP ini, yaitu layanan Perpustakaan tidak sehebat waktu aku sekolah di SD Inpres di Sanumpito. Di SMP Talawid Filial Laghaeng tidak tersedia perpustakaan, semuanya tersedia di sekolah induk. Aku semakin jarang membaca di sekolah dan bahan bacaanku lebih banyak tentang kisah historik para pejuang-pejuang gereja semacam Calvin dan Kisah Perang Salib serta kisah-kisah dari Yunani. Kedua buku itu kuperoleh dari Yayasan Anugerah yang kebetulan diikuti oleh pamanku. Rumah kami sering bocor dilempari orang tak dikenal bilamana kelompok ibadah jemaat anugerah itu sedang melakukan ritual peribadatan di rumah kami. Stigma ajaran sesat menjadi label bagi keluarga kami. Kami dipandang sebagai keluarga yang unik dan wajar kalau diisolir.

Kisah-Kasih di SMA
Menanjak ke jenjang SMA, aku hidup dengan pamanku yang saat itu menikahi seorang mantri bertugas di kampung Kanang. Disana aku bekerja memproduksi pion pagar untuk pembangunan gereja. Pagi-pagi pukul 05.00 aku harus bangun mengambil pasir di pantai Kanang yang jaraknya kurang lebih sekilo dari kampung. Setelah itu diproduksi pagi sebanyak 10 buah, pulang sekolah harus mengambil pasir lagi dan memproduksi 10 buah lagi. Demikian hari-hari produktif itu dilewati sepanjang 3 tahun. Sebagai pekerjaan sampingan aku diberi tanggungjawab mengasuh anak. Anderson dan adiknya.

Di sekolah aku sering berperan sebagai orang yang memimpin barisan ketika kami hendak apel pagi. Prestasi akademikku cukup bersaing dengan 40-an kawan yang terpilih dari segi kecerdasan intelektual di jurusan Fisika (A1) yang kala itu dikenal umum sebagai jurusan milik kaum yang kutu buku dan suka repot-repot berhitung. Aku tidak sehebat Liefson Jakobus, Noldy Salindeho, Wenny Kansil, Wati, Mega, Frieds Albert, atau Max Munaung. Tapi aku masih senasib dengan Max Munaung, karena kami berasal dari latar belakang keluarga dan hidup dalam getir yang nyaris sama, tentu selain nama depan kami sama-sama Max. Bedanya, Max dibesarkan dengan pendampingan orang-orang kuat dan tegar bertarung dengan kehidupan, sedangkan aku dibiarkan sendiri tanpa pendamping. Dari cara berpakaian kami sangat berbeda, Max tampil seperti "begal-begalan" lantaran sering ditegur guru akibat perbuatannya melawan aturan, bajunya selalu kelihatan kusam, ukurannya lebih besar dari ukuran badannya dan ujung bajunya sering dilipat-lipat dan dibiarkan di luar celana. Aku sendiri sosok pendiam dan kelihatan feminim padahal dari bentuk wajahku, Lombroso (filsuf kriminologi) bisa menilai aku ini type penjahat..... syukurlah belum satupun kami di kelas saat itu belajar tentang teori Lombroso sehingga aku terhindar dari stigma yang pernah menimpaku kala SD dulu.

Singkatnya, saat duduk di bangku SMA Ulu Siau, aku menjadi manusia yang banyak belajar hal-hal positif. Dalam kehidupan berorganisasi aku bertumbuh menjadi sosok yang mengenal banyak watak dan perilaku manusia dalam organisasi sehingga kurasakan cukup sebagai pengetahuan untuk memahami makna kehidupan bersama. Kegiatan-kegiatan yang bermuatan sejarah mulai kukenal ketika Silvia Janis salah satu pengurus OSIS mengusulkan untuk melakukan napaktilas keliling Siau. Ide itu kebetulan relevan dengan obsesiku untuk mengunjungi setiap kampung di pulau Siau. Akhirnya kami berhasil melakukannya, masuk dari kampung Kanang dan keluar dari kampung Lehi dalam perjalanan pagi hingga sore hari. Dari sanalah aku mengenal dengan baik kisah patriotik sang panglima kora-kora "Hengkengu Naung" semasa kedatuan Siau dipimpin oleh datu Batahi.

Dari perspektif kacamata kuda, aku harus mengatakan bahwa jebolan SMA Ulu Siau Angkatan 1992 memiliki kreativitas yang cukup tinggi dan pantas disebut angkatan paling berprestasi dalam sejarah sekolah ini, demikian pengakuan Kepsek setelah menerima laporan OSIS yang kami serahkan kepadanya. Betapa tidak, selain memiliki tim sepak bola yang tak terkalahkan, mempunyai pasukan drum band yang tangkas dan mengagumkan, siswa-siswinya memiliki sejumlah ide kreatif yang diimplemtasikan melalui program-program OSIS, guna mengharumkan nama baik sekolah. Sulit dilupahkan.

Kelompok drum band yang paling heboh itu dimajoreti oleh empat putri cantik secara bergantian, Iske Luntungan, Sista Liuntuhaseng, Merry Makasenda dan Silvia Janis. Dalam sekali aksi biasanya diterjunkan berpasangan, Iske menjadi mayoret utama dan Silvia Janis menjadi mitranya pada barisan kedua, demikian juga bila Sista menjadi mayoret utama, maka Merry menjadi mayoret di barisan kedua. Man dan Lion mendapat kepercayaan untuk mendentumkan bass, mereka meliuk-liuk mendemonstrasikan kepiawaian masing-masing, meski Man kelihatan lebih kecil dari drumnya, tetapi kecepatan dan ketepatan pukulan tidak pernah salah. Baik Man maupun Lion memiliki karakter tersendiri memainkan bass dan bariton, sehingga seringkali mata penonton terfokus pada penampilan kedua remaja itu.

Hampir seluruh isi kelasku terpakai dalam pasukan drum band itu, kecuali aku dan Sosipater Pangumpia. Walahuallam, aku dan Sosipater memang tak berbakat dalam soal music. Sosi, ayo kita pergi dari keributan ini, ujarku pada Sosi yang sering terlihat hampir kehilangan rasa percaya dirinya. Aku mengajak kawanku satu ini ke perpustakaan untuk membaca buku-buku sejarah, karena aku tahu dia tidak berminat pada buku-buku aljabar apalagi aritmatika yang dipenuhi logaritma tak kunjung pernah dipahaminya. Tapi aku sungguh heran Sosipater bisa lulus dari kelas dua Fisika. Dia berani seperti Hengkengunaung kakek buyutnya dari Kiawang.

Bakatnya memahami sejarah, banyak terbantu oleh Enci Urbanus, yang kebetulan beliau adalah guru jurusan sosial. Suara enci Urbanus menggemuruh bak kegemparan Medelu bila sedang menuangkan ilmu…. Tanpa suara keras enci Urbanus, Sosipater pasti kesulitan memahami perilaku patriotisme eyangnya dari Kiawang yang dijuluki Panglima Perang Korakora, yaitu Hengkengunaung. Maklum telinga kawan karibku itu mengalami gangguan koneksi sejak masa kecilnya. Bukan karena akibat perang menaklukkan kesaktian Makaampo atau dalam rangkaian ekspansi militer dengan armada lautnya, melainkan karena serangan penyakit malaria tropika yang pernah mewabah, semasa layanan kesehatan prima belum maksimal sebagai agenda pembangunan masa orde baru. Kiawang relatif jauh dari pusat kota yang merupakan centra layanan kesehatan masyarakat di pulau Siau kala itu.

Sosi demikian saya memanggilnya, sangat tidak bahagia bila Pak Guru Tumbio mengajar Bahasa Indonesia. Sosi sering murung seperti sedang merenung nasib sial sepanjang Pak Tumbio terus menerus menggunakan lelucon dan sekali-sekali mengiris bathin pribadi feminism itu. Ketika seisi kelas menyambut dengan gelak tawa atas guyonan pak Tumbio, Sosi menunduk malu seraya menyembunyikan senyum. Dia sebenarnya ingin ketawa lepas. Tapi katanya ia masih lebih malu kalau suara ketawa yang dikiranya biasa-biasa saja justru akan menjadi sangat mengganggu suasana atau memicu penyakit jantung Pak Tumbio menjadi kambuh. Sosi benar-benar sosok yang sangat manusiawi dalam kelas kami.

Misteri Batu Giok
Kawan, jangan pernah mengira air tenang tak ada buayanya. Justru di air tenanglah, sering kita jumpai banyak hal yang sensasional. Pernah ada suatu masa, rencanaku gagal dan tersisa hanya harapan. Sebuah harapan yang selalu membuat aku terdorong untuk bangkit. Aku menyimpan banyak kisah bersama seseorang dalam banyak keterbatasan sekaligus kelebihannya yang kubanggakan. Perasaan itu telah lama kupendam dalam sanubari terdalam. Karena itu sulit dideteksi. Sekedar untuk sebuah pembenaran semu, orang semacam aku, yang mendapat tanggungjawab memimpin apel pagi, sudah wajib hukumnya untuk tiba lebih awal dari semua siswa lain.

Dalam pembagian tugas menyapu ruang kelas, aku dan beberapa teman mendapat giliran setiap hari selasa. Bukan saja hari selasa aku sendiri datang lebih awal sebelum sunset di ufuk timur terbit. Setiap hari. Setiap pagi benar. Untuk apa? Bukan untuk memimpin pasukan, bukan pula untuk tunaikan kewajiban membersihkan kelas. Hanya untuk satu hal yang tak pernah kutemukan sejak tiga tahun berselang. Yaitu dia. Dia berkilau, menyebut namanya saja aku harus pandai melafal bahasa asing dan cerdas memahami tulisan kanji, sering membaca banyak referensi tentang mite nusa-nusa sangihe yang terangkai dalam tajuk Sang Ian. Kisah ratapan airmata A-Hung yang menjelmakan sederet pulau dimana kami tinggali sekarang. Yaitu sebuah kisah abad ke 3, jauh sebelum Sense Madunde diperbincangkan dalam dongeng sebelum tidur.

Tapi kisah ini bukan tentang A-Hung dan Sang Ian atau kisah tentang Sense Madunde dan Bidadari bungsu. Ini adalah kisahku, kisah antara aku dan Nioe Sioe Lie… kisah yang menyimpan terlampau banyak misteri. Misteri tentang batu giok. Nioe Sioe Lie adalah sebuah batu giok yang berkilau. Dia memiliki kekuatan dasyat. Kekuatan untuk menarik. Berada di dekatnya, akan terserap oleh kemilau cahayanya. Bahkan bila sedang marah, ia hanya bertutur dengan suara yang sulit di dengar oleh telinga normal. Aku sering bertanya pada Sosipater. Sosi, apakah kau pernah mendengar suara batu giok? Sosi tersenyum lebar, lalu menunduk. Kataku lagi, Sosi…. Jangan-jangan kau batu giok laki-laki ya?.... Sosipater menunduk lagi. Tapi kali ini dia sudah tidak senyum. Aku tidak berani bertanya lagi.

Masih lebih baik aku bertanya langsung pada batu giok yang sedang kubicarakan. Aku terus menerus membiasakan diri untuk menatap matanya. Dia menunduk, menepi, kadang-kadang terlihat sedang membenci. Kala dia mulai menaru simpati, dia menunduk lagi…… sejurus kemudian dia bangkit dan berjalan… seakan-akan berada di pinggir ruas yang sangat sempit, pada sebuah jalan raya yang maha luas. Mataku membelalak lebar. Kuamati sekitarnya, jangan-jangan ada sesuatu yang tak terlihat kasat mata menghalau jalannya. Mataku tidak mampu menembus dimensi metafisis itu… saat kudekati, yang terjangkau dengan panca inderaku hanyalah wangi bunga endemic dari khayangan. Raganya telah menjauh, seolah-olah sudah terbang kembali ke khayangan meninggalkan harumnya, bisik hidungku sekedar membantu rabun mataku itu. Mungkin, gumamku…. Mereka yang dari khayangan memiliki sifat malu berlebihan dan sering meninggalkan misteri untuk dipecahkan oleh manusia seperti aku.

Aku mencoba dan terus mencoba mendekatinya. Aku harus bisa mendekatinya dan akan kucuri hatinya, kumasukan dalam suling bambu, aku ingin mendendangkan syair lagu-lagu indah dari suling itu di dekatmu… dalam dekapanku. Tetapi bagaimana caranya? Aku butuh bantuan seseorang. Pilihan paling dekat waktu itu adalah Telly Kabuhung. Aku berharap Telly dapat menyampaikan maksud hatiku. Telly adalah sosok yang baik hati, tidak sombong lagi penyayang. Lengkap. Telly its ok. Sewindu lamanya Telly berikhtiar membantuku, menyampaikan aspirasi politik dalam orasi-orasi yang hanya dilakukan pada waktu mereka pulang sekolah. Trik sudah beberapa kali dilakukan. Hasilnya nihil.

Nioe Sioe Lie pujaanku tak kunjung keluar sedikitpun dari balik kamarnya. Dia kutu buku paling setia menghabiskan hari-harinya untuk aktivitas memoles kemilau gioknya. Jarak terjauh dari aktivitas selain sekolah adalah mengganti jadwal jaga tokoh bapaknya. Kali ini aku harus menggunakan intrik, dengan berpura-pura membeli sesuatu di tokonya sambil berharap sedang dijaga oleh Nioe Sioe Lie. Aku melakukan survey guna memastikan calon kekasihku ada disana. Terlihat jelas wajah ayu di balik laci tidak lain dia yang kudambakan. Benar dia ada disana sedang membantu bapaknya. Inilah kesempatanku melancarkan intrik.

Rencana mendadak hendak mencari buku cetak yang ditugaskan bapak Panguliman guru Biologi di kelasku. Aku lupa satu hal. Toko itu tidak pernah menjual buku cetak. Sudah berpuluh-puluh tahun lamanya, toko di bilangan Malele itu hanya menjual barang-barang kelontong. Walahualam….. sudah terlanjur. Aku sudah terlanjur bertanya apakah ada terjual buku cetak biologi SMA Kelas 1 di sini? Bapaknya sontak kaget dan spontan berkata, haiiiya, anak…. Sejak tempo apa jual buku disini?... disini hanya ada “buku-buku” saja. Kali ini aku benar-benar malu. Sangat malu sampai aku harus memaki diriku sendiri; Bodoh…. Bodohnya aku karena melewatkan kesempatan indah ini. Mengapa aku tidak bertanya harga ember saja? Mengapa bukan datang membeli tali Jepang saja atau hal-hal sederhana lain….? Kenapa harus buku?.... dasar kutu busuk…. dasar memang kutu buku… pikiranku buku melulu.

Kawan, aku tidak kecewa. Aku menghibur diri, kelak pada suatu masa, hoki akan memihakku. Hingga tiba waktunya kelasku melakukan kegiatan ekstra belajar sore alias less dalam rangka persiapan ujian kenaikan kelas. Jelaslah selaku anak gedongan, senjataku hanyalah buku catatan harian. Nioe Sioe Lie dilengkapi dengan serial buku cetak yang nyaris lengkap. Setiap buku yang digunakan guru, juga dimiliki Nioe. Dalam masa-masa less itu, tempat duduk kami bertukar. Aku yang tadinya sebangku dengan Sosipater si giok laki-laki itu, kini berpindah dan aku duduk di samping giok perempuan (Nioe Sioe Lie).

Melihat perpindahan posisi tempat duduk demikian, Man Dalughu selaku ketua kelas 1(1) di tetangga kami, mengamati gerak-gerik kami. Beberapa kali dia memergoki dari luar kelas, saat aku sedang memegang jemari lentik sang kekasih yang lama kupendam. Aneh bin ajaib. Nioe Sioe Lie, tidak berkelit sedikitpun saat jari-jari tangannya kusentuh dengan lembut. Jujur saja, aku baru belajar bercinta kala itu. Mulutku terkatup dan sulit dibuka, tegangan darah mungkin sudah tidak normal karena jantungku berdetak keras. Aku ngos-ngosan seperti sedang dikejar hantu. Sungguh aku tidak tahu apa yang sedang diterangkan guru di depan kelas kala itu. Nioe Sioe Lie pun tak berkata apa-apa sepanjang dia merasakan belai lembut jemariku. Aku seperti mengelus-elus batu giok dan keluarlah kesaktiannya…. desau suara yang menakjubkan, yaitu suara jantungku. Aku tidak pernah berkata kalau aku mencintainya, lazim seperti yang selalu dikatakan pasangan yang sedang jatuh cinta dalam sebuah adegan film semacam Lupus yang tenar waktu itu. Sejak saat itu, semua buku cetak bahkan catatan harian milik Nioe Sioe Lie boleh kubawa pulang ke pondok kecilku di Akesimbeka. Aku mendapat restunya. Bagiku, inilah jawaban atas ungkapan cinta yang kusimbolkan dengan mengelus jemari tangannya.

Prestasi OSIS dan Sepeda Motor Kepsek
Organisasi Siswa Intra Sekolah yang dipimpin Liefson Jakobus dan dimotori Sista Liuntuhaseng, sementara aku hanya memberi sedikit warna dalam bayang-bayang wakil sekretaris, namun kami berhasil melaksanakan napaktilas bersejarah itu dan menyelenggarakan beberapa iven pertandingan sepakbola, lomba pidato antar sekolah se Siau. Aku, Jayadi Lontolawa dan Lusye Mangolo merupakan bintang kelas dalam lomba pidato itu. Sementara Frieds Albert alias Hendra Taghulihi yang postur tubuhnya paling jangkung diimbangi Rodly Tamahari (teman sebangkuku), mereka berdua membuat Pak Guru Sada harus melompat jika mau menjewer telinga mereka dalam posisi berdiri.

Lion dan Man Dalughu, dua sosok yang paling nakal dalam kelasku. Ironisnya, Lion memiliki postur tubuh tambun dan siswa paling "ditakuti" di kelas, beliau mantan kakak kelas kami yang harus menunggu nasibnya untuk diluluskan bersama Man sesama bintang kelas sepak bola yang tandem dengan bintang2 dari kelas III Sosial yang dipelopori Winston Maloringan. Winston sebagai bintang sepak bola memiliki obsesi untuk keliling dunia menelusuri detil club-club yang menjadi favoritnya. Sementara kawan setianya yang sering menjadi pimpinan regu supporter kalau tidak mau disebut "pemandu sorak" yaitu Richard Kabuhung, pria lincah dari kompleks Akelabo itu lihai memainkan kata-kata mutiara untuk menyemangati tim sepak bola yang dipimpin Yeldi Merpati Cs dari kelas bahasa.

Kecakapan lain dari Hendra Tagulihi adalah "mengakali" kepala sekolah. Suatu saat, aku dan Hendra menyelesaikan laporan kegiatan bulanan OSIS karena waktu itu Sista mengalami sedikit persoalan dengan kekasihnya, Egriet Tinagari sehingga menyebabkan tugas pelaporan itu terbeban ke pundak saya dan Hendra. Untunglah si jangkung itu masih diidolakan oleh Verra Pande, gadis riang yang tak pernah murung. Menurut Hendra, dia lebih menyayangi Uto Pepi daripada menyambut cinta Verra. Kasihan Verra, dia mencintaimu bertepuk sebelah tangan, kataku pada Hendra.

Untuk menyelesaikan tugas laporan itu sampai tuntas, kami berdua harus begadang semalam suntuk. Tengah malam kami membangunkan kepala sekolah untuk meminjam sepeda motornya. Dengan sukarela kepsek memberikan motor kesayangannya. Tepat pukul 01.00 laporan rampung, aku dan Hendra melaju pada kecepatan normal hingga tiba di perbatasan kampung Dame dan Karalung. Sepeda Motor itu tiba-tiba mengalami pecah ban. Terpaksa perjalanan ke kampung Kanang batal dan kami berdua harus kembali ke Bahu untuk mengembalikan sepeda motor itu kepada pemiliknya dalam keadaan rusak. Sayapun tidur di kamar belakang milik Hendra bila sedang mencari inspirasi untuk membuat tembang-tembang Iwan Fals menjadi indah dinyanyikan dengan melody-melody gitarnya.

Metafak Cinta
Uto Pepi maupun Verra sebenarnya adalah dua bunga kelas yang sangat kental persahabatannya, ukuran tubuh kedua gadis mungil itu hanya sebatas pinggul Hendra. Beda-beda tipis dengan Wenny Kansil. Tetapi dari segi intelektual aku mau jujur, sulit bersaing dengan Wenny dan Uto Pepi.... Bila uto pepi dan verra ditemukan bersama Hendra, sungguh kontras bedanya, bak jari telunjuk berpasangan dengan jari kelingking (verra) dan jempol (pepi). Tetapi mereka unik.... sangat unik dan banyak yang menyukainya bila mereka sedang asyik begadang di perpustakaan.

Pak Oskar Malale guru mata pelajaran olahraga seringkali memergoki ketiga pasang sejoli itu bila sedang enjoy. Untunglah si Noldy dan Wenny hampir selalu tak meninggalkan kelas, mereka lebih memilih berdiam di dalam kelas menunggu bel masuk pasca istirahat berbunyi. Sebaliknya, Sista dan Egrie Tinagari merupakan pasangan yang tak kalah serunya dibanding Noldy dan Wenny. Kedua pasang ini, memberikan makna yang dalam bagi sebuah status berpacaran yang maha dasyat sewaktu SMA.

Demikianlah cinta mereka bersemi dan mereka layak melakukan hubungan itu karena nilai metafak yang terkandung di dalamnya. Mungkin akulah satu-satunya orang yang paling mengerti metafak dibalik hubungan cinta itu. Aku lelaki pendiam yang bertugas mengamati setiap perilaku mereka. Baik Weny-Noldy atau Egry-Sista, mereka adalah pelajaran berharga bagiku memahami kehidupan dari sisi cinta..... Kusimpulkan dari kisah mereka, Cinta hanya untuk cinta.... meskipun kelak mereka tidak harus saling memiliki ataupun mereka harus berpisah karena sebuah alasan, yaitu cinta sejati.

Bidang Fisika yang merupakan jurusan pokok kami sekaligus merupakan pelajaran yang paling kami idolakan bersama Pak Martin yang cerdas mengajar kami teknik merangkai dimmer control yaitu sistem kerja lampu yang dapat diturunkan dayanya pada batas-batas sesuai keinginan pengguna. Tentunya selain Fisika, mata pelajaran yang paling digemari adalah Matematika. Kebetulan yang mengajar Matematika kala itu adalah kakak kandung Liefson, yang kami sapa Enci Tuti Jakobus. Dia bukan saja cerdas, dia memilki kecantikan sekelas Marlyn Moendroe yang sering membuat mata jahil Liong jadi terpanah. Enci Tuti pasti menyadari situasi itu.

Mengunci Kelas
Mata pelajaran lain kurang disenangi adalah bahasa Indonesia, tapi untunglah gurunya, pak guru Tumbio memiliki sejuta jurus untuk membuat siswanya senang belajar bidang studinya. Dia nampak lugu dan sekali-kali agak sedikit keras. Man dan Liong meskipun mereka sedikit lalod (lama loading) tetapi soal kenakalan mereka tidak kalah dengan guru. Suatu saat jam Pak Tumbio harus mengajar bahasa Indonesia terpaksa batal karena kelakuan Man dan Lion yang menyembunyikan kunci pintu kelas sehingga Pak Tumbio tidak bisa masuk. Lion mengancam agar kami berdiam diri. Tidak boleh ada suara keluar sedikitpun dari mulut kami.

Sebagai teman setia, kami sekelas ikut saja pada kedua petinggi kelas itu. Jika tidak, solidaritas kelas kami pasti terganggu. Rodly Tamahari, Risno Pangulimang, Unsong, dan Sosipater Pangumpia selaku pria bersosok lembut hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala pertanda tidak setuju dan terpaksa manut demi solidaritas kelas yg diciptakan Man dan Lion. Ulah kedua lelaki itu sontak membuat lingkungan sekolah menjadi ribut karena Pak Tumbio untuk pertama kalinya mengalami marah besar karena merasa terusir oleh siswa kelas III Fisika.

Menyadari situasi ribut itu, kami sekelas justru semakin diam di dalam kelas menunggu apa yang akan terjadi kemudian. Man Dalughu panik dan membuang kunci dari jendela ke semak-semak di samping kelas. Perbuatan itu coba dilerai oleh Mega dan Wati namun sayang kedua perempuan besar itu gagal menangkap tangan Man yang gesit seperti kilat. Anak kunci pintu kelas melayang ke luar jendela, tak dapat terdeteksi lagi.

Pintu kelas yang tidak dapat dibuka itu harus dibongkar oleh Pak Oskar Malale. Lantas kami dikeluarkan dari kelas dan disuruh berbaris di depan ruang tunggu. Satu-satu kami berbaris menurut derajat ketinggian, dimulai dari yang paling kecil yaitu Verra Pande, kemudian Wenni Kansil dan ketiga Uto Pepi seterusnya Unsong sampai akhirnya di paling belakang terdapat Hendra dan Rodly Tamahari. Karena ulah Man dan Lion itulah, kami semua menjadi korban dijemur di bawah terik matahari pukul 12.00. Kami diwajibkan menjawab secara jujur setiap detil pertanyaan dari guru BP yang bertindak selaku hakim kala itu. Tiga perempuan kecil-kecil itu sudah diadili dan terakhir giliran Uto Pepi nampak pucat pasih setelah menjawab puluhan pertanyaan seolah-olah dituduh melakukan korupsi.

Melihat gelagat Uto pepi yang hampir pingsan itu, serta merta Man yang berdiri di depanku bebisik pelan-pelan, Max, kalo kita jatuh tangkap akang ne?.... kataku.... rencana apa lagi bro?..... Belum selesai pertanyaanku kawan, Man sudah jatuh pingsan. Barisan kami langsung bubar karena strategi kedua yang dilancarkan Man melawan penghakiman hari itu. Barisan yang berjejer itu mengerumuni Man yang sedang pingsan, dan mungkin karena terlampau panas suhu udara di sekitar Man, maka itulah yang membuat dia menjadi pingsan beneran sehingga mulutnya mengeluarkan busa. Man pun dilarikan ke Puskesmas Ulu (kini Rumah Sakit Ulu Siau) untuk mendapatkan pertolongan emergency. Semua guru menjadi panik. Gara-gara persoalan itu, Man tidak masuk kelas selama dua minggu dan aku orang yang setia merawat dia di rumahnya.

Video Terlarang
Dalam bidang penelitian biologi, katak-katak di kompleks Akelabo terpaksa harus bersembunyi jika anak-anak berseragam putih abu-abu sudah mulai merangsek terjun kedalam kolam. Katak-katak percobaan itu lebih banyak dikonsumsi daripada digunakan untuk kepentingan penelitian. Man menggorengnya buat makan siang kami di sebuah pondok yang saya tinggali untuk menyelesaikan studi karena bersiap2 hendak Ebta sekolah dan Ebtanas.

Selesai melakukan kegiatan praktek, dan bell istirahat berbunyi, muncullah gagasan dari Lion dan kawan-kawan untuk nonton film porno. Tempat strategis yang menjadi pilihan kami untuk pemutaran video porno itu adalah di rumah Uto Sandra Maluenseng. Sandra tak bisa menolak, karena mata Lion seperti mata elang menatap penuh ancaman persis menyoroti mata kecil si "anak ayam" kurus. Kasian Uto Sandra.... dia tak sanggup mengelak. Alasan yang sangat masuk akal, rumah terdekat dengan sekolah dan cukup strategis karena jauh dari keramaian kota Ulu.

Kedua orang tua dari Sandra Maluenseng adalah guru, mereka tidak berada di rumah pada jam-jam sekolah seperti itu. Sekali lagi jam pelajaran diganti dengan aksi kuriositas anak muda yang ingin tahu banyak tentang praktek membuat manusia baru. Tetapi kami tidak melakukan hal-hal negatif, karena yang nonton film porno itu hanya laki-laki yang nakal saja. Para perempuan kami, ditugaskan oleh Ketua Osis untuk membuat rujak dari buah pepaya di kintal belakang rumah Sandra.