Senin, 23 Mei 2011

REFLEKSI 4 TAHUN SITARO OTONOM

Masyarakat bangsa/negara, khususnya masyarakat Sitaro, ibarat mahkluk hidup dengan sistem organ yang bergerak beraturan. Ia dikendalikan oleh sebuah drive yang mampu menggerakan semua komponen sistem dalam sistem besar yang disebut Kabupaten Sitaro. Penggerak ini adalah “otak” atau sub sistem syaraf. Ialah yang memerintahkan semua komponen organ untuk berfungsi maksimal, agar tujuan dari kehidupan bermasyarakat dapat dicapai. Sederhananya, tujuan bermasyarakat adalah mencapai kehidupan otonom. Dengan demikian, makna otonom dalam tulisan ini bukan sekadar ditinjau dari aspek politis semata. Saya mencoba merefleksikan secara holistik melalui tulisan pendek ini yang nantinya dapat dielaborasi lebih jauh melalui opini masing-masing pembaca. Saya menguraikan situasi dan potensi otonom pada tiga kurun waktu, masa lalu, masa kini dan masa depan.

OTONOMI SITARO MASA LALU

Sitaro pada masa lalu di bagian ini, akan dibicarakan sekitar masa kedatuan dan masa modern atau masa bernegara. Sungguh banyak hal yang menarik dipetik dari kedua masa ini.

Masa Kedatuan.

Sitaro pada masa kedatuan sesungguhnya dapat dibagi dalam dua kedatuan, yaitu: Kedatuan Siau dan Kedatuan Tagulandang. Kedatuan Siau memiliki armada angkatan laut yang dasyhat yang pernah dimintai bantuannya oleh Kerajaan Kaidipan untuk mengusir pendudukan oleh Kerajaan Makasar di sepanjang pesisir pulau Sulawesi Utara hingga ke pesisir Sulawesi Tengah (Buol sampai ke Toli-toli).

Di Kedatuan Siau terdapat nama-nama datu yang sangat disegani oleh pedagang-pedagang barat. Di antaranya datu Lokongbanua sebagai datu pertama yang mendirikan Kedatuannya pada kurang lebih tahun 1510, lalu diganti oleh Datu Posuma kemudian Datu Wuisang. Ketika Portugis dan Spanyol bersahabat dengan para datu, kemudian Datu Winsulangi dan Datu Batahi dikenal sebagai orang pertama yang mengenyam pendidikan sampai pada tingkat Perguruan Tinggi. Mereka bersekolah di Philipina. Demikianlah para datu member teladan tentang pentingnya pendidikan dan kearifan kepada masyarakat yang dipimpinnya dulu kala. (Maaf, bapak pendidikan sebaiknya bukan Toni Supit versi Manado Post).

Kuat dugaan, ketika Datu Winsulangi (1591 – 1631) ditangkap Belanda dan diasingkan ke kepulauan Ternate dan sekitarnya bersama dengan pengikut-pengikutnya, lantas kembali ke Siau, maka sejak saat itu, masyarakat mulai mengenal tanaman pala. Meskipun nanti pada tahun 1818 barulah Datu Lemuel David mengeluarkan titah datu untuk memerintahkan agar seluruh rakyatnya menanam pohon pala. Demikianlah peranan pemimpin masyarakat untuk menggerakkan warganya mengenai pilihan pembangunan berorientasi masa depan yang relevan dilakukan. (Sekali lagi maaf, bukan Toni Supit sebagai Bapak Pembangunan versi Manado Post).

Tidak hanya otonom dalam soal pendidikan dan pertanian, dalam persoalan hidup bersama dan berdampingan dengan damai, para datu-datu Siau pun meletakkan paradigma berpikir yang tidak mempertentangkan agama, akan tetapi lebih mengutamakan dan memperkuat hubungan persaudaraan. Bukti sejarahnya adalah dinobatkannya Datu Jacob Ponto (1850-1889) sebagai Datu beragama Islam yang memimpin seluruh warganya yang berbeda agama. Kerukunan antar umat beragama berlangsung selama masa kepemimpinannya meskipun terdapat riak-riak kecil yang segera dapat diatasi.

Sikap egaliter “bangsa laut” yang jarang dijumpai dalam karakteristik umum masyarakat pesisir ini, tercermin juga ketika Belanda menobatkan D.F. Parengkuan sebagai Datu Siau yang memerintah sejak tahun 1936 – 1946. Warga kedatuan Siau begitu mengasihi Datu mereka yang berasal dari tanah Minahasa itu.

Sementara itu, jauh sebelum masa kedatuan dimulai, konon pulau siau sudah pernah disinggahi oleh pedagang-pedagang yang bertolak dari China. Situs artefak yang ditemukan di desa Kanawong berupa gelas dan piring dari bahan keramik setelah diteliti ternyata milik dari para petinggi-petinggi kerajaan di Cina yang khusus digunakan oleh kalangan bangsawan saja. Hal itu menerangkan bahwa di Siau telah lama ada kehidupan yang bersumber dari pengaruh-pengaruh Cina baik secara biologis maupun secara budaya. (Bandingkan dengan corak-corak hiasan yang ditemukan oleh para peneliti dalam Kamus Bahasa Sangihe versi Belanda).

Di Mandolokang (Tagulandang), emansipasi peran perempuan dan quota perempuan dalam kancah poliitik, tidak perlu dipertanyakan lagi. Sebab Lohoraung sendiri adalah raja perempuan yang paling disegani dari semua raja yang pernah memimpin Kerajaan Mandolokang.

Sangat disayangkan, pada tahun 2010 yang lalu, momentum 500 tahun masa kedatuan Siau ini, tidak pernah diperhatikan oleh pemerintah.

Masa Bernegara/Modern.

Masa ini terhitung sejak Indonesia merdeka hingga masa orde baru. Diawali dengan masa pemerintahan orde baru yang sarat dengan nilai-nilai politiknya. Di pulau Siau, pulau yang tidak terlihat secara kasat mata dalam peta itu, ternyata merupakan tempat berdiri pertama kalinya Partai Nasional Indonesia (PNI) oleh Geda Dauhan.

Kiprah Geda dan kawan-kawannya menjadi perhatian presiden Soekarno selaku penggagas ide nasionalis sejati pendiri NKRI itu. Oleh sebab itu, tidak ada alasan yang kuat untuk membantah rasa nasionalisme warga Sitaro dalam ber-NKRI.

Pada masa orde baru, lepas dari segala kebobrokan pemerintah pusat, di Siau dan Tagulandang yang kala itu menjadi satu sangkar dengan pemerintahan Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Talaud beberapa kali melahirkan pemimpin-pemimpin yang berwibawa. Mereka adalah anak-anak petani pala, anak-anak dari para pedagang di pasar tradisional. Tersebutlah bupati Tindas dan bupati Manahampi dari Tagulandang, lalu ada bupati Lutia dan bupati Salindeho dari Siau. Mereka membuktikan bahwa kemampuan untuk menjadi piloto terdapat dari hasil perjuangan keras yang dilakukan oleh segenap anak bangsa dari kalangan apa saja.

Sitaro pada masa orde baru, menjadi kawasan potensial yang penghasilannya dari sektor non pajak (retribusi hasil komoditi pala dan komoditas lainnya) tertinggi dalam mendongkrak perekonomian Kabupaten Kepulauan Sangihe kala itu. (BPPT, 1995). Inilah kemudian menjadi dasar perjuangan bagi Tim Penggagas Kabupaten Sitaro dalam perjuangannya menjadikan Sitaro Otonom.

OTONOMI SITARO MASA KINI

Menyangkut kondisi dan situasi otonomi dewasa ini, saya menguraikannya dari masa perjuangan otonomi dan masa selepas perjuangan itu berhasil diwujudkan.

Masa Perjuangan Otonomi.

Sayang sekali saya tidak dapat menulis siapa saja yang termasuk dalam keanggotaan Tim Penggagas Kabupaten Sitaro. Setidaknya saya dapat membaca apa motivasi utama mereka mendirikan Sitaro sebagai kabupaten otonom dan menduga apa yang menjadi tujuannya. Tetapi soal pemberian nama “Sitaro” adalah gagasan yang disampaikan oleh saudara Tamaka Kakunsi yang saat itu bekerja sebagai wartawan dari harian Manado Post (Keterangan Tamaka Kakunsi sewaktu menjadi mahasiswaku).

Motif untuk mendirikan Kabupaten Sitaro sekurang-kurangnya didorong oleh keinginan luhur anak-anak daerah untuk membangun daerahnya menjadi lebih baik dari kondisi sebelumnya, dan mendekatkan layanan publik kepada masyarakat agar memperoleh berbagai kemudahan. Berotonomi, berarti membangun sendiri. Artinya, di era otonomi, harus terwujud suatu keadaan dimana saya melayani rakyat di desa saya, kalau perlu saya melayani keluarga saya, akan tetapi sekaligus saya menjamin bahwa kehidupan/kepentingan bersama yang diutamakan.

Beberapa dari kelompok penggagas ini, tidak menikmati hasil dari jerih payahnya. Sebagian gagal menjadi anggota parlemen karena kekurangan biaya. Sebagian hanya merasakan untuk kurun waktu yang sangat singkat sebagai konsekunsi daerah pemekaran baru dan sebagian lainnya gatol alias gagal total akibat adanya praktek politik uang yang dilancarkan beberapa “Politisi Kurang Jelas” dalam mendidik moral politik anak-anak negeri.

Inilah wajah politik “Dewa Janus” di era otonomi. Sebuah awal dari terbentuknya tatanan sosial yang didominasi oleh kelompok kapitalis untuk mendorong terbentuknya situasi sosial yang ekonominya dibangun pada kerapuhan.

Masa Otonomi Daerah.

Otonomi harus dipahami sebagai “yang membangun adalah rakyat” dan “yang mendistribusikan hasil pembangunan adalah pemerintah daerah selaku otak pemerintahan otonom. Sesuai fungsinya, otak kanan adalah legislatif, otak kiri adalah eksekutif dan otak tengah adalah judikatif. Ketiga lembaga ini berperan sebagai sistem saraf (central nervous system) dalam organ kepala masyarakat yang dapat membuat masyarakat itu benar-benar hidup dengan tujuannya. Melakukan segala sesuatu dalam mempertahankan kehidupan sepanjang masa dengan sikap rasional, rasa memiliki, bertanggungjawab memelihara keseimbangan, bukan saja keseimbangan sosial (ketertiban) tetapi juga mencakup keseimbangan alam (membangun diri dan lingkungan hidup) demi keberlanjutan hidupnya.

Pada masa otonomi yang diawali dari pemerintahan Toni Supit dan Piet Kuera seperti ini, pemerintah daerah (baca: sistem saraf) mestinya mampu mewujudkan peranannya. Membuat jantung dapat memompa darah dan dialiri ke seluruh tubuh. Diperlukan takaran yang sangat sesuai, agar seluruh SKPD-SKPD mendapat bagian yang sesuai daya serapnya terhadap kebutuhan anggaran, sehingga daerah terhindar dari praktek KKN.

Kesan politik balas dendam mewarnai jajaran birokrasi dengan melakukan mutasi bagi guru-guru dan PNS yang menentukan pilihan bukan pada pasangan bupati dan wakil bupati terpilih, atau yang dinilai membangkang oleh segelintir orang. Kodisi ini hanya akan menimbulkan dampak krisis kepercayaan (intrust) antara bawahan dengan atasan. Mestinya, harus kembali pada tujuan otonomi yaitu mendekatkan pelayanan berdasarkan pada kebutuhan dan pemanfaatan sumber daya lokal yang berlandaskan pada rasa saling mengenal, saling percaya, saling menghormati dan saling menghargai perbedaan.

Peran otak manusia pada umur 4 tahun sudah bisa menata laku meskipun masih dominan dituntun oleh orangtuanya. Mental dan moral pejabat yang kini sedang bercokol di jajaran birokrasi perlu terus dibina. Karena bisa saja rekruitmen yang tanpa memikirkan aspek moral akan mendorong terwujudnya pemerintahan tak bermoral.

SITARO OTONOM DI MASA DEPAN

Pada tataran ekonomi, pemerintah perlu lebih cermat untuk menentukan orientasi/arah kebijakan. Bilamana orientasi ekonomi pembangunan yang diterapkan oleh Pemerintah Daerah berorientasi pada pertumbuhan (growth) Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa memikirkan pemerataan dan kelangsungan ekosistem lingkungan, niscaya Sitaro akan mengundang bencana alam semakin mendekat. Sitaro yang sekarang dapat disebut daerah yang sangat berpotensi terjadi bencana alam, dalam waktu sangat singkat akan benar-benar menjelma menjadi sebuah kawasan dengan julukan Daerah Segala Bencana.

Kaum kapitalis (pemodal besar) tidak perlu diberikan ruang yang signifikan untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan alam Sitaro. Kawasan kepulauan dengan sumberdaya alam yang lekas habis apabila dikeruk dalam skala yang besar hanya akan menghancurkan seluruh habitat yang hidup disitu.

Hemat saya, pemerintah harus mendorong agar pertumbuhan dilakukan dengan strategi membangun ekonomi berbasis pada keluarga. Ekonomi berbasis pada keluarga ini merupakan cirri ekonomi yang sudah lama hidup dalam pergaulan bermasyarakat di setiap pulau berpenghuni di Sitaro. Pada umumnya teknologi yang digunakan untuk mengelola sumberdaya alam adalah teknologi yang ramah lingkungan. Masyarakat kepulauan di Sitaro memiliki metode kerja tersendiri di setiap pulau. Mereka tahu, mana yang perlu dikelola dalam skala kecil, menengah dan besar, sebab mereka memiliki sumberdaya sosial berupa sistem kepercayaan, sistem jaringan dan sistem norma-norma yang dapat dijadikan sebagai modal sosial dalam kerangka membangun kekuatan mereka menuju terbentuknya tatanan Masyarakat Sipil (Civil Society).

Inilah sesungguhnya konsepsi otonomi daerah masa depan yang ideal. Sesuai dengan fakta sosial masyarakat Sitaro yang terjalin dalam sistem sosial, sistem budaya, sistem kepribadian dan sistem organik hingga tindakan-tindakan rasional mereka untuk memelihara stabilitas sosial dalam jangka waktu yang lama. Dengan demikian, otomatis pembangunan akan disemangati oleh tingkat partisipasi sosial yang tinggi dari masyarakat. Pemerintah akan mengurangi ketergantungannya dari biaya-biaya yang didatangkan dari Jakarta yang notabene adalah hutang luar negeri negara yang bernama Indonesia.