Selasa, 08 November 2011

TRADISI MENGONGKO: Elegi Pagi di Rerimbun Pala

 
Oleh: Iverdixon Tinungki

Angin darat menyusup turun dari gunung di belakang kampung Bumbiha, di mana ribuan pohon pala tumbuh dengan subur. Angin itu terus menyaput ke depan hingga menggapai pulau Makalehi. Pulau denga...n kampung nelayan yang kini paling dinamis menggarap sector kelautan di kawasan Sitaro. Miliaran rupiah pertahun mampu di raih nelayan Makalehi.

Tapi di Bumbiha ceritanya lain. Masyarakat di sini tak mengantung hidup pada laut. Seperti juga penduduk kampung lain di pulau Siau, mereka justru meraihnya dari limpahan hasil perkebunan pala.
Panen Pala Siau setiap tahunnya mampu meraup Rp 110, 5 miliar. Bagi para pemilik kebun pala tentu campaian produksi ini petanda kelimpahan berkat. Lalu bagaimana nasib ribuan penduduk yang tak memiliki kebun atau para pendatang yang juga mengantung hidup di bawah pohon pala yang jumlahnya lebih dari separoh penduduk pulau ini? Ini sebabnya, Siau, pulau ringgit itu punya sejarah tersendiri atas tradisi Mangongko. Kerajaan masa lampau menetapkan cara-cara mencari hidup kepada mereka yang tidak memiliki kebun pala dengan jalan Mangongko. 

Mangongko adalah cara mencari hidup bagi mereka yang tidak punya kebun pala atau kepada mereka yang mau menambah penghasilan dengan jalan memungut buah-buah pala yang jatuh karena sudah tua (Lenge) di lahan para pemilik kebun. Para pemilik kebun diwajibkan membiarkan siapa saja datang melakukan kegiatan Mangongko di lahan mereka. Asalkan, tidak mengambil atau memetik buah yang masih ada di pohon. Filosofi Mangongko yakni hidup atas pengasihan alam. Bagi masyarakat tradisi, dimana buah pala yang jatuh karena factor alam adalah milik alam. Untuk itu, alam berhak memberikannya kepada siapa saja yang dikasihinya. 

Buah pala biasanya jatuh pada malam hari saat diterpa angin laut. Atau pada waktu pagi saat angin darat berhembus. Tapi bagi para pelaku Mangongko, mereka lebih berharap datangnya angin kencang atau hujan, karena dengan begitu jumlah buah pala masak yang jatuh akan lebih banyak.
Di Bumbiha hingga menyeberang ke beberapa kampung di sekelilingnya, pagi itu aku ikut Mengongko dengan beberapa pemuda. Aku ingin melihat dan mendengar keluh-kesah mereka, atau menangkap denyar tawa mereka ketika mendapatkan hasil yang banyak. Uap dingin dari tanah yang lembab menyerbu tubuhku hingga gigi-gigiku gemeretak. Belum lagi sapuan embun yang menempel di rerumputan membuat pakaianku ikut melembab. 

Di bawah rerimbunan pohon pala terdengar dengungan-dengungan lagu yang samar. Di sana beberapa orang kelihatan sedang melakukan aktivitas yang sama sambil menyanyikan lagu yang kedengaran lirih. Mungkin lagu rohani dengan harapan Tuhan mendekat dan memberikan rahmat padanya. Dengan mata yang tajam setiap orang meneliti semak dan tumpukan daun pala untuk mendapatkan buah pala yang jatuh. Setiap pe Mangongko terus bergerak dari pohon yang satu ke pohon yang lain hingga tak terasa mereka telah menempuh perjalanan beberapa kilo meter. Pada pukul 11.00 kegiatan ini berakhir, dan semuanya kembali ke rumah untuk makan. Kegiatan itu baru dilanjutkan pukul 14.00 hingga pukul 17.00. Saat senja mendekati malam mereka akan mengumpulkan hasil Mangongko-nya untuk di bawah ke warung-warung terdekat untuk di jual dan mendapatkan hasil. Pada malam harinya dengan segelas kopi, elegi pagi itu telah berubah jadi dendang riang.

Tradisi memungut pala di lahan orang ini pada setiap kampung sebutannya berbeda, di kampung Bahu, Siau Timur hingga Buao, Sumpele, Kalai disebut Bajuru. Ada juga yang menyebut Lagowe, sedangkan orang yang melakukan aktivitas memetik buah pala di pohon disebut Mangowe. Tapi di Siau Timur, kata Mangowe juga bermakna sama dengan Mangongko.

Selain Mangongko, ada juga tradisi Meleli atau mencari sisa-sisa buah pala yang tak dipungut pemiliknya saat mereka selesai panen. Biasanya hasil Meleli lebih banyak dibanding hasil Mangongko. Apalagi jika panen itu berada di kebun yang struktur tanahnya miring atau curam. Sebab, para pemilik kebun tak lagi mau mengambil buah yang jatuh di tempat terlalu jauh atau dalam.

Di Bumbiha hingga siang hari, aku sempat bercerita dengan para pe Ngongko saat bertemu di lahan-lahan perkebunan pala. Mereka adalah penduduk setempat dan juga para pendatang dari Pulau Lembe, Bitung dan dari Sungsilo, Likupang. Menurut mereka, tradisi Mangongko merupakan lahan pekerjaan alternative yang cukup memberikan biaya hidup keluarga mereka sehari-hari. Bahkan jika melakukannya secara serius bisa mendapatkan kelebihan untuk membangun rumah atau mensekolahkan anak.

“Pendapatan saya dari Mangongko per hari bisa mencapai 400-sampai 500 biji pala. Bila dijual bisa menghasilkan 75 ribuh rupiah,” papar seorang pe Nongko. Diakuinya, pendapatan tersebut sangat cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga mereka. Kegiatan tersebut katanya, dilakukan bersama istri dan dua orang anaknya. “Jadi jika penghasilan kami dikumpulkan bisa di atas 100 ribu rupiah sampai 200 ribu rupiah per hari,” jelasnya. 

Sedangkan salah seorang pe Ngongko di kampung yang lain juga mengakui pendapatan mereka sekeluarga bisa satu sampai tiga juta rupiah perbulannya. Dijelaskannya, saat ini harga Pala A mentah Rp. 15.000 per 100 biji. Sedangkan para Kowe kering (Pala B) Rp. 26.000 per kilogram. Sedangkan pala A kering Rp 34.000 per kg, dan Fuli Rp. 53.000 per kg.

Di Bumbiha hari itu, saat malam benar-benar menelungkup, dan lampu-lampu botol minyak tanah mengelip dari rumah-rumah para pe Ngongko di lembah-lembah gunung Karangetang yang menjulang agung, aku menjadi yakin dimana Mangongko tidak sekadar tradisi, tapi kehidupan itu sendiri.***