Sabtu, 06 Februari 2010

TRADISI KONFLIK DI AWAL TAHUN

Kurang lebih 30 tahun lalu di Siau pada hari kedua tahun baru begini, beberapa pemuda mulai praktek ilmu kebal tubuh dan sejumlah ilmu mistis lainnya, dengan orang yg didendamnya selama tahun lalu. Itu tradisi melupahkan masalah dengan cara menaklukan sekaligus tradisi menemukan identitas diri dan legitimasi sosial yg unik.

Mereka menyanyikan beberapa lagu gembira. Sepanjang perjalanan menuju ke rumah penduduk, mereka terus menerus tanpa henti menyanyi dengan semangat yg didorong oleh minuman beralkohol. Di setiap rumah yg dituju, selalu menyediakan hidangan minuman keras. Siapa yg rajin merancak tetapi sedikit meneguk, akan segra pulih, tetapi yg merancak sedikit dan berbicara banyak akan segera menimbulkan masalah.

Saya menyaksikan sendiri dua pemuda kembar berumur 26 tahun setelah malam tanggal 31 Desember mendapatkan wangsit dari yupung mereka di belakang gedung Gereja Efrata Laghaeng. Kami mengenal kedua Pemuda itu sebagai kaka dan dade. Keesokan hari persis tanggal 1 Januari, setelah ritual gerejawi, si kembar ikut rombongan sampere keliling setiap rumah penduduk. Keduanya berpisah dalam rombongan yang berbeda. Kaka ikut rombongan ke Bumbahu. Dade ikut rombongan ke Laghaeng. Entah menggunakan media komunikasi apa, kedua kembaran itu tiba-tiba pasang aksi terbang melintas kepala-kepala manusia sambil terus berteriak dalam bahasa yang hanya dimengerti berdua. Menurut para tetua adat, mereka berbicara tentang yupung mereka yang masih eksis di kampung. Padahal yupung itu sudah meninggal dunia ratusan tahun lamanya. Ia datang dengan menunjukkan ketrampilan terbang bak "Superman". Sejak saat itu, keluarga si kembar dan kuburan yupung mereka dirawat dan dipelihara oleh warga secara kolektif.

Di tahun yang lain, Bu Hama (bukan penduduk lokal) bapak tiga anak perempuan, dengan postur tubuh besar setelah menyanyikan serangkaian syair lagu sasahara, kemudian dihinggapi roh Hengkeng Unaung dalam sekejap mata mengambil Parang Maha Tajam dan melibas habis pohon pisang tetangganya dalam kintal 1 hektar dengan parang dan kepalan tangan besarnya. Hanya dalam hitungan beberapa detik. kintal menjadi terang benderang. Sejak saat itu Bu Hama dihormati dan dijuluki "Tinju".

Demikian juga Erwin dan Man, kedua pemuda ini adalah warga asli Laghaeng yang waktu setahun mereka dihabiskan berkelana ke luar kampung sebagai Anak Buah Kapal dan Pemain Sepak Bola seantero Kabupaten Sangihe Talaud yg seringkali ikut PON. Barangkali untuk maksud merebut perhatian publik, keduanya sering mempertontonkan aksi bela diri dalam hajatan sampere keliling kampung. Erwin kalau sudah kalah bersaing, maka ia lari ke rumah mengambil samurai sebagai senjata pamungkas. Sementara Man cukup dengan "tangan kosong" meladeni setiap perusuh. Di mata masyarakat Man adalah "warol", karena ketampanan paras yg menarik simpati perempuan iapun dijuluki "ungke play boy". Banyak gadis menjadi korban pengasihannya, tentu selain karena lihai menggelindingkan bola. Sementara Erwin dinobatkan "Ungke Brewok" karena penampilan kocak dan dikenal sebagai manusia tanpa banyak pertimbangan, langsung samurai menyelesaikan masalah.

Betapapun sadis, kejam, jahat dan angkuhnya mereka yang diceritakan di atas, ketika "suhu" alias Eyang Guru turun tangan menangani detil masalah, konflik segera meredah. Para suhu adalah mereka yang memandikan para pelaku itu dengan mantra-mantra ilmu kebal tubuh dan mantra "daghuse" sebagai ilmu penarik simpati para gadis. Salah satu diantara para "suhu" adalah Opa Siku, Opa Guru Injil, Opa Pere, Opa Hopni dan Opa Kadu.

Peranan para tua-tua ini sangat menonjol ketika situasi sosial sulit dikendalikan. Pemerintah dan pelayan-pelayan jemaat hampir pasti tidak bisa menjamin keutuhan dan membentuk tatanan nilai menjadi saling solider. Tugas para pelayan gereja terbatas pada menjalin kembali hubungan-hubungan yang sudah retak dalam kotbah-kotbah ringan, sedangkan peranan pemerintah adalah menjamin terselenggaranya nilai-nilai dalam tradisi konflik melalui fasilitasi perkara-perkara tanpa menyelesaikan esensi dasar perubahan struktural yang menjamin berfungsinya nilai-nilai tradisional.

Inilah penyebab rapuhnya tradisi konflik dalam menjamin terbentuknya solidaritas mekanik dalam masyarakat pedesaan di kampungku.

Tidak ada komentar: