Senin, 16 Agustus 2010

Tantangan Perempuan Pesisir Indonesia

Negara kita memiliki garis pantai sepanjang 81.000 km (terpanjang ke-2 setelah kanada). Wilayah perairan Indonesia adalah 75,3% dari total wilayah NKRI (9,8juta Km2). Laut Indonesia memiliki sekitar 8.500 spesies ikan, 555 jenis rumput laut dan 950 jenis terumbu karang. Kemiskinan dan keterbelakangan lekat dengan keluarga nelayan yang bergelut dengan kekayaan laut (70% nelayan Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan) 82% nelayan berpendidikan sekolah dasar kebawah sehingga tidak mampu memanfaatkan potensi laut secara optimal & pengolahan ikan menjadi terbatas (segar & kering). Sarana & prasarana tidak memadai (kapal kecil & teknologi rendah, BBM susah, fasilitas pendingin minim, lembaga pembiayaan tidak mendukung, dll).
Pembangunan membutuhkan tenaga dan fikiran perempuan dan laki-laki. Pemberian kesempatan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki sebagai pelaksana pembangunan berarti Inefisiensi. Demikian juga pemberian kesempatan yang tidak setara antara perempuan dan laki-laki dalam menikmati hasil pembangunan berarti melanggar HAM. Fakta menunjukan bahwa perempuan kurang dapat berpartisipasi dan menikmati akses/fasilitas: Pendidikan, Kesehatan; Pekerjaan; Upah yang sama untuk jenis pekerjaan yang sama; Akses ke kredit; Kesempatan mewakili Daerah di forum nasional/nasional di forum internasional; dsb.
Rendahnya angka HDI Indonesia (Index Pembangunan Manusia Indonesia thn 2002 urutan 112 dari 175 negara or terburuk di ASEAN) disebabkan oleh rendahya kualitas hidup perempuan Indonesia yang notabene jumlahnya lebih dari 50% Penduduk Indonesia. Mengingat besarnya jumlah perempuan Indonesia dan rendahnya kualitas hidup perempuan, maka peningkatan HDI (Human Development Index) Indonesia hanya bisa dilakukan dengan meningkatkan kualitas SDM-nya.
Perempuan yang belum melek huruf sebanyak 14,06% (di desa 19,20% sementara pria 9,63%). Perempuan yang berhasil menyelesaikan pendidikan SLTP keatas 36,9% sementara pria sebanyak 46%. Perempuan yang menikmati pendidikan tinggi 3,06% sementara pria 4,17%. (Susenas, 2000). Angka kematian ibu karena hamil, melahirkan dan nifas tinggi yaitu 307/100.000 kelahiran hidup. Sedangkan angka kematian Balita sebesar 46/1000 kelahiran hidup. Rendahnya kualitas hidup perempuan dibidang kesehatan dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, perilaku masyarakat termasuk perempuan sendiri, pelayanan kesehatan dan faktor keturunan. Sementara perilaku masyarakat dipengaruhi oleh pengetahuan, pendidikan, pelatihan, akses terhadap informasi, sarana, dukungan sosial, dsb.
Banyaknya perempuan Indonesia yang bekerja sebagai TKW (pembantu rumah tangga), prostitusi dan trafficking menunjukan permasalahan perempuan dibidang ekonomi tidak terlepas dari kemiskinan. Perempuan dari keluarga miskin sulit berfikir jernih dan terbuka dalam menatap kedepan. Penerapan teknologi Pertanian dan adanya industrialisasi menyebabkan perempuan terlempar dari pekerjaan pertanian, beralih menjadi buruh pabrik atau berusaha pada skala mikro. Krisis keuangan berakibat pada banyaknya buruh di-PHK. Perempuan rentan terhadap PHK. Di perkotaan perempuan ini banyak yang bergelut di sektor informal (PKL). Permasalahan yang dihadapi oleh pengusaha mikro umumnya berkaitan dengan: modal, kualitas produk dan pasar. Khusus untuk PKL, mereka juga dihadapkan oleh masalah keamanan berusaha.
Tantangan Intern (dari dalam diri perempuan) adalah 1. Sulit saving pendapatan, untuk menambah tingkat pendidikan dirinya atau anak perempuannya, 2. Merasa cukup dengan “bekal” yang dimilikinya dan enggan meningkatkan pendidikannya, sehingga menyebabkan rendahnya kreativitas, 3. Sulit meningkatkan Rasa Percaya diri, dan 4. Sulit merubah Attitude (cara berfikir, merasa dan bertingkahlaku). Sedangkan Tantangan Ekstern (dari luar diri Perempuan) antara lain: 1) Adanya pandangan bahwa pelaksana pembangunan adalah pria sementara fungsi perempuan hanya dibatasi pada “sumur, dapur dan kasur”. 2) Pandangan “miring” terhadap perempuan berstatus Janda (terlebih pada janda yang masih muda, cantik dan ramah), 3.“Women Vs Women” yaitu perempuan tidak rela bila “bos” dan/atau “bawahan” suaminya, perempuan sadar/tidak sadar hal ini akan membatasi akses perempuan pada dunia kerja sehingga perempuan sulit mendapatkan lapangan kerja, dan 4. Terbatasnya sarana/prasarana; keamanan lingkungan perempuan sulit/tidak berani keluar rumah untuk bekerja.
Jumlah perempuan lebih dari 50% jumlah penduduk Indonesia. Jika jumlah yang besar tersebut tidak dioptimalkan fungsi dan perannya, niscaya hanya akan menjadi beban pembangunan. Agar fungsi dan peran perempuan (terutama pesisir) dalam pembangunan Indonesia bisa optimal, maka kualitas SDM perempuan harus ditingkatkan. Peningkatan SDM tidak harus menunggu program pemerintah, kita semua (individu/ organisasi terlebih organisasi perempuan) berkewajiban meningkatkan SDM Perempuan Indonesia. Peningkatan pendidikan tidak harus formal, tapi juga bisa secara non formal maupun informal. Kalau perempuan dan organisasi perempuan Indonesia bersatu, bahu membahu berjuang meningkatkan SDM perempuan (yang juga berarti SDM Indonesia) tanpa diwarnai “kecurigaan” dan ketakutan antar perempuan niscaya negara kita akan segera sejahtera.
Semoga perempuan Indonesia makin berjaya.

Tidak ada komentar: