Senin, 16 Agustus 2010

Gunde

Gunde adalah tarian asli dari masyarakat SaTaS yang ditemukan sejak masa kedatuan zaman dulu sekitar abad ke 15. Gunde berasal dari kata "gundeng" yang berarti pelayan istana. Pekerjaan para gundeng masa itu, antara lain mencatat berbagai keperluan datu (raja) dan keluarganya di dalam ...kedatuan. Selain itu juga mencatat berbagai hal terkait dengan fungsi penyelenggaraan kekuasaan datu. Dalam menjalankan fungsi kedatuan, datu dibantu oleh "Komolang Bobatung Datu", yaitu mereka yang bertugas untuk memberikan nasehat terkait penyelenggaraan pemerintahan kepada datu sehingga pemerintahan dapat berjalan efektif sesuai dengan kebutuhan dan kehendak bala rakyat.
Demikian penting peranan para gundeng dalam menegakkan kebijakan datu sekaligus menjamin keamanan lingkungan internal kedatuan. Para gundeng tidak diposisikan sebagai budak, melainkan pelayan datu yang bertanggungjawab, mereka mendapatkan perlakuan istimewa dari bala rakyat, bahkan dikategorikan sebagai kelompok terhormat dalam struktur dan tatanan nilai kedatuan. Mereka tidak berani mengambil harta kekayaan kedatuan karena loyalitas mereka pada nilai-nilai bersama, bukan sekedar kepatuhan pada datu. Datu pun demikian, ia tidak mengumpulkan harta kekayaan untuk kepentingan memperkaya diri meskipun hal itu memungkinkan dia untuk melakukan dengan otoritas yang dimilikinya. Sebaliknya seperti yang pernah dilakukan datu Lemuel David, memerintahkan rakyat untuk menanam pala di seantero wilayah kedatuan menjadi milik rakyat.
Peranan gundeng masa lalu itu relevan dengan peranan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dalam era otda dewasa ini. Demikian juga kearifan dan kebijaksanaan datu waktu itu sangat relevan dengan posisi bupati dan wakilnya saat ini. Mereka bekerja mengurus segala keperluan daerah (baca: rakyat). Realitas yang terjadi dewasa ini justru mengalami distorsi peran sehingga rakyat mulai bangkit untuk melakukan perlawanan. Resistensi mulai terjadi di beberapa kelas sosial yang berpotensi terjadinya chaos dalam sistem pemerintahan baik internal (sesama PNS dalam satu instansi) maupun eksternal (inter dan antar instansi) serta mempengaruhi stabilitas tatanan kehidupan bersama di Sitaro. Pejabat membeli hak milik masyarakat dari hasil gajinya selaku pejabat negara, pejabat yang lain melakukan korupsi, pejabat yang lain lagi sibuk memindah-mindahkan staf dari satu tempat ke tempat lain tanpa alasan yang jelas, proyek-proyek batal ditenderkan, proyek-proyek yang ditenderkan tidak mempunyai output yang terukur dan hanya menghasilkan monumen-monumen yang mubazir, arah pembangunan tidak memiliki konsep strategis. Para gundeng yang direkrut saat ini justru banyak yang bukan putra daerah sehingga mereka bebas menari-nari di atas penderitaan rakyat Sitaro setelah mereka dinyatakan lulus dari tes CPNS.
Komponen pemerintahan lain yaitu DPRD, belum sedikitpun mencerminkan ciri-ciri seperti yang diperankan oleh KBD (Komolang Bobatung Datu), karena sebagian besar belum memahami peranannya dalam fungsi legislasi. Untuk maksud menemukan peranan itu mereka lebih banyak keluar daerah untuk mengikuti berbagai "pelatihan ketangkasan" agar bisa menjadi kompeten sepanjang lima tahun masa jabatan mereka dan pada lima tahun berikutnya mereka hampir pasti tidak terpilih lagi.
Oleh karena itu saudara-saudaraku, marilah kita belajar pada tatanan nilai yang pernah kita cetak sebagai sebuah bangsa yang sangat bermartabat di masa lampau. Seharusnya kita berkembang kearah progres yang lebih baik dari masa lalu. Pergerakan hendaknya dibangun di atas nilai-nilai bersama. Kita adalah bangsa yang kuat nilai persatuan dan kesatuannya. Mengapa hari ini seakan-akan kita sudah lupa pada filosofi yang pernah digagas oleh pendahulu-pendahulu kita, yaitu: Taumatang Siau Kere Kiasong Tahiti, Maning Tontongang Mang Mu Tumbiki, dimana maknanya adalah orang-orang Siau (baca: Sitaro) takan mudah jatuh meski digoncang kerasnya kehidupan. Hiduplah rakyatku. Bangkitlah dan bersatu melawan kelaliman di negeri kita.

Tidak ada komentar: