Senin, 16 Agustus 2010

Pemiskinan Struktural

Masyarakat petani pala di Siau sejak beratus tahun yang lalu, kurang lebih dimulai tahun 1818, raja Lemuel David telah menginstruksikan agar rakyat menanam pala di atas tanah kebunnya sendiri. Mereka kemudian memiliki kebun itu dan mewariskannya kepada anak-anak cucu hingga pada generasi ke tiga dan keempat dewasa ini. Pada tahun-tahun kemudian, Brillman pernah mencatat dalam bukunya Kabar Baik Dari Bibir Pasifik, bahwa pada tahun 1935 di Ulu sudah terdapat pedagang-pedagang Cina yang membeli hasil pertanian pala dari penduduk Siau dan dijual ke Eropa. Sepanjang sejarah, kontribusi tanaman miristica franganhouts ini sangat signifikan menopang kebutuhan masyarakat untuk bertahan hidup. Pernah sekali membuat terobosan sebagai pala terbaik dunia sekitar tahun 1980-an.
Pada masa krisis ekonomi melanda bangsa-bangsa di dunia, para petani pala Siau justru hidup dengan bergelimang uang. Ada yang dapat membangun rumah saudara-saudaranya di rantau, membeli lemari es, memasang teghel rumah, renovasi rumah menjadi bertingkat, hingga kaleng-kaleng bir berseliweran di kebun-kebun pala karena petani mengkonsumsi jerih payah mereka secara "berlebihan/konsumtif". Oleh sebab itu, para pelaku usaha dalam bidang yang lain melihat kesempatan itu sebagai peluang untuk mengembangkan usaha di Siau. Kondisi dadakan ini terjadi kurang lebih selama 2 tahun.
Datanglah kemudian para migran dari kota-kota (Manado/Gorontalo, Makasar dan Jawa) membentuk komunitas rural di dekat pasar Ulu dan pasar Ondong. Komunitas rural ini bertahan hidup lebih baik dari penduduk lokal. Ketika krisis ekonomi relatif membaik, maka terjadi situasi normal dan masyarakat yang tak sempat mengelola penghasilannya dengan maksimal kembali menjadi miskin, ada yang telah mengadaikan atau menyewakan kebunnya kepada pembeli (orang cina) untuk menebus hutang mereka bahkan ada yang menjual hak kepemilikan atas tanah dan kebun mereka kepada orang cina, makasar dan para pendatang lainnya. Akhirnya tidak sedikit orang-orang asing yang tadinya tidak memiliki lahan atau kebun pala, sekarang sudah memilikinya. Tuan tanah menjadi tamu di negerinya sendiri. Inilah yang dinamakan sebagai kemiskinan struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh mobilitas sosial vertikal yang terstruktur.
Pada situasi seperti ini, pemerintah seharusnya bersikap proaktif dalam mengantisipasi berkembangnya fenomena konflik sosial yang bakal terjadi dikemudian hari, akibat dari struktur yang berubah drastis itu. Saat dimana masyarakat menjadi lapar (miskin), maka sangat rentan terhadap konflik sosial. Ironisnya, saya mendapat kabar dari sumber yang sangat terpercaya tentang sebuah upaya yang tengah dilakukan oleh salah satu pejabat daerah di Kabupaten Kepulauan Sitaro. Kabar itu mengenai adanya usaha dari sekelompok orang yang sengaja diorganisir untuk mendapatkan sejumlah informasi dari penduduk di kampung-kampung yang berniat untuk menjual tanah hak milik yang di atasnya terdapat tanaman pala. Setelah mendapatkan informasi yang memadai, maka sang pejabat itu melakukan transaksi baik pembelian dengan perpindahan hak penuh kepada pembeli, maupun dengan sistem jual gadai atau sistem sewa.
Jelaslah bahwa pemerintah Sitaro sengaja membiarkan fenomena ini terjadi, mala nimbrung bersama kelompok kapitalis lain untuk turut menyengsarakan rakyatnya sendiri, setelah mereka selesai menguras uang negara, lantas semakin rakus mengeksploitasi hak milik rakyatnya. Mereka sengaja tidak membuat regulasi terhadap pengelolaan komoditi unggulan itu untuk kepentingan membangun kesejahteraan rakyat. Kemungkinan lain adalah mereka tidak tahu cara membuat regulasi yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Visi dan misi yang disampaikan sewaktu Pilkada dan Pemilu yang lalu tak satupun terbukti. Sebaliknya di Sitaro kini justru tengah terjadi sebuah misi yang sangat mustahil, yaitu Misi Pemiskinan Struktural. Kelak disuatu waktu nanti, saudara-saudara kita yang hidup disana akan jatuh miskin dan menjadi peminta-minta di ruas-ruas jalan Ondong dan Ulu, menjadi orang gila yang duduk di leput-leput, anak-anak kita senantiasa meratap, menjadi anak-anak yang kurang gizi dan pembodohan terjadi dimana-mana. Berdiam dirikah kita bila fenomena itu dibiarkan...???

Tidak ada komentar: