Kamis, 18 November 2010

PERILAKU PETANI PALA SIAU DI ANTARA BUDAYA KAPITAL DAN BUDAYA LOKAL


Saya masih terus berpikir mengenai kemungkinan ke arah mana bergesernya perilaku petani pala di pulau Siau setelah Raja Lemuel David mengeluarkan titah untuk menanam pala (miristica fragan - nutmeg) sebagai jenis komoditi yang sangat laris di Eropa ini agar ditanam oleh seluruh warga Kedatuan Siau ratusan tahun yang lalu, hingga sekarang dan kedepan nanti. Pada akhir abad 19 petani pala Siau berhasil menembus prestasi emas kualitas kalibrasi (CN) pada level ketiga dari tiga kategori kalibrasi tertinggi dalam standar mutu pala nasional. Dalam keterbatasan pengetahuanku, hingga saat ini belum ada satupun daerah di Indonesia yang berhasil menembus level itu. Kalaupun kita amati, tampaknya sebagian warga Siau telah beralih orientasi kerja pada sektor-sektor jasa seperti jasa transportasi ojek untuk mengatasi kebutuhan hidup. Kondisi ini bilamana dibiarkan tanpa penanganan secepatnya, akan mengubah struktur ekonomi masyarakat dan mengganggu stabilitas ekonomi daerah.

Nafas Otda Tersumbat, Rakyat Melarat

Pada masa pemerintahan bersama dengan kabupaten Sangihe, terdapat sebuah regulasi kalau tidak salah yaitu perda nomor 8 tahun 1995 yang mengatur tentang tata niaga hasil komoditi petani. Dalam era otonomi daerah di abad 20 ini, diharapkan prestasi sebagaimana yang disebutkan di atas dapat lebih ditingkatkan ke level yang lebih tinggi atau minimal dapat dipertahankan. Sudah tentu membutuhkan sebuah regulasi dari pemerintah daerah otonom. Sudah 3 tahun lamanya warga Siau menjalankan pemerintahan Otda, belum satupun kebijakan yang dilahirkan pemerintah daerah sebagai upaya dalam mengendalikan aspek produksi, konsumsi, distribusi dan investasi dari hasil komoditi pala ini.

Sepertinya pemerintah lebih tertarik untuk mendatangkan investor daripada membenahi perilaku petani melalui regulasi-regulasi yang strategis. Dengan kehadiran investor, justru perilaku rakyat akan segera berubah drastis dari perilaku ramah lingkungan menjadi perilaku yang rakus dan memproduksi tanpa pertimbangan-pertimbangan mempertahankan keseimbangan alam. Petani akan menggunakan sarana-sarana produksi untuk mengejar nilai lebih. Sementara sebagian warga dengan modal kepemilikan lahan yang terbatas akan teralienasi dan terdegradasi secara sosial. Kehadiran investor dalam kondisi perilaku produktif belum dimaksimalkan, hanya akan menyumbat beberapa peran kearifan lokal yang kini terpelihara fungsional dalam tata kelola hasil pertanian pala.

Bagi saya kondisi ini dapat dikatakan sebagai upaya yang hendak menggiring perilaku petani menjadi petani yang berorientasi pada modal dan sarana-sarana produksi, bukannya hendak melestarikan perilaku asli petani sebagai petani yang rajin, teliti dan bersahabat dengan alam. Saya tidak menolak adanya perubahan dalam struktur agribisnis kita. Pandangan konservatif diperlukan dalam kerangka membangun sebuah struktur masyarakat industri yang disertai dengan pembangunan suprastruktur yang jelas arahnya. Tujuan harus ditetapkan secara jelas. Mencapai tujuan tersebut memerlukan metode yang terukur agar mudah dikendalikan.

Saya kira, pekerjaan pemerintah jauh lebih mudah dari pekerjaan petani yang berusaha mempertahankan nilai-nilai kearifan lokalnya dari hantaman dampak negatif globalisasi dan industrialisasi dunia. Tetapi alangkah indahnya bilamana keseimbangan alam yang dipelihara oleh petani itu tumbuh subur dalam iklim usaha masyarakat dan dibawah kendali pemerintahan yang membela rakyat dan alam sekitarnya.


Budaya Kapital Vs Budaya Lokal

Melalui tulisan ini saya hendak memaparkan salah satu contoh fakta sosial yang kini diderita oleh warga Siau. Misalnya kebiasaan kerja petani dalam aspek produksi. Teknologi sebagai sarana produksi yang digunakan petani dalam pemetikan buah pala ada dua jenis. Jenis pertama adalah sasendeng dan jenis kedua adalah kakambi. Sasendeng bentuknya lonjong dan mempunyai ruang penampung untuk mengumpulkan buah pala terpetik. Sedangkan sasendeng memiliki pengait tanpa penampung sehingga buah jatuh ke tanah dan menyebabkan banyak buah yang rusak. Biasanya, jika buah pala melimpah dan tenaga kerja kurang, maka petani dengan institusi lokalnya yang disebut mapalose atau makiwera yaitu semacam fungsi gotong royong (mapalose dilakukan secara bergilir dan bersifat reguler sedangkan makiwera bersifat insidentil) dapat menggunakan sasendeng, agar dalam sekali kerja hasil panen seluruhnya dapat dipetik meskipun dengan resiko tingkat residu yang besar pula. Tetapi dengan menggunakan sasendeng, petani dapat menyeleksi buah pala dengan cermat dan mengurangi tingkat residu. Kelemahan menggunakan sasendeng adalah pada pemanfaatan waktu yang panjang.

Kedua alat produksi tersebut masih digunakan hingga sekarang dan tidak bisa digantikan dengan alat yang lebih modern. Mengapa? Karena untuk mengganti fungsi sasendeng menjadi lebih baik dari fungsi sebelumnya, petani membutuhkan cost yang besar. Misalnya inovasi teknologi menjawab kebutuhan petani dengan peralatan yang mampu mendeteksi pala tua dari kumpulan pala muda dengan keakuratan yang lebih baik dari faktor manusia, maka untuk membuat peralatan yang serba digital atau otomatis tersebut, diperlukan biaya tinggi dan sulit dijangkau oleh petani kecil.

Kalaupun teknologi semacam itu diadakan dengan terpaksa dan ditransformasikan kepada masyarakat, maka petani-petani dengan luas lahan yang besar yang mampu memanfaatkannya. Dengan demikian, akan mendorong terjadi kesenjangan sosial yang makin besar antara petani kecil dan besar yang berimplikasi terjadi perubahan sosial dengan struktur yang tidak seimbang (kemiskinan struktural). Oleh sebab itu, fungsi kedua alat produksi tersebut di atas mesti dipertahankan sebagai sebuah teknologi yang tepat guna.

Belum lagi dampak lainnya yaitu ancaman kerusakan terhadap keseimbangan dan kelangsungan alam. Ada semacam kebiasaan petani yang dulu ada tetapi kini telah hilang, yaitu sebuah kearifan lokal tentang larangan memetik buah pala di pucuk pohon, karena bagian itu adalah bagian yang harus dibagikan kepada alam. Di pucuk pohon pala biasanya terdapat banyak sekali buah yang disediakan untuk makanan burung aheng. Ketika kebiasaan ini mulai menghilang dan karena kerakusan manusia yang tidak memberikan lagi sebagian dari hak alam serta adanya perbuatan-perbuatan buruk para pemburuh liar, maka burung aheng pun sudah tak ada yang bertengger di pucuk pala. Pelohang sebagai buah pala hasil olahan perut burung aheng yang dipercaya memiliki kualitas paling baikpun lenyap dari pandangan petani saat ini. Demikian pula fulli cair yang dikeluarkan aheng menjadi salah satu unsur hara tanah yang tidak lagi menyumbang tingkat kesuburan tanah milik petani.            


Lalu apa yang dapat dilakukan oleh rakyat jika pemerintahnya lemah seperti ini?

Saya pikir bukan saat yang tepat menunggu lahirnya kebijakan dari sebuah pemerintahan yang kurang peka dan tidak responsif terhadap sumber pendapatan daerah yang sangat potensial dikembangkan itu. Warga Siau dan warga Sitaro pada umumnya, harus segera berbenah diri. Tidak perlu menunggu, segera hentikan penjualan atau penggadaian lahan, segera sadari bahwa bergerak pindah ke sektor jasa seperti jasa ojek adalah sebuah tindakan bodoh yang sifatnya sementara yang tidak dapat menjamin kelangsungan hidup warga untuk kurun waktu yang lama dan kembalilah berkonsentrasi untuk mengelola kebun pala.

Generasi muda sebagai salah satu pilar dan agen pembangunan, baik yang masih kuliah dan yang berada di kampung halaman, berbuatlah sesuatu. Setelah berilmu, kembali ke daerah dan rumuskan alternatif solusi sebagai jalan keluar bagi permasalahan daerah. Ubahlah orientasi berpikir bahwa menjadi PNS lebih baik status sosialnya daripada menjadi petani pala. Kini saatnya kita berkampanye untuk perubahan tanpa meninggalkan identitas dan corak budaya lokal dalam pertarungan dengan kebudayaan global. Mari ciptakan tatanan masyarakat industri yang bersahabat dengan lingkungan alam. 

Tidak ada komentar: