Senin, 06 September 2010

Makalehi Berdaya, Mawelogang Berjaya

Sebuah fakta yang tidak dapat disangkali bahwa sejak dulu kala orang-orang dari Makalehi bagi beberapa orang Siau yang berpandangan feodal seringkali dipandang miris. Pandangan itu berawal dari aktivitas sekelompok pedagang di pasar Ondong. Bagi pedagang-pedagang Siau dan juga pembeli di pulau pala itu, melekat label bahwa orang Makalehi identik dengan ikan asin (kina garang) dan kangkung. Mengapa demikian? Karena orang-orang Makalehi rajin mengelola ikan asin dan memproduksi pisang dan kangkung dari danau kecil di perut pulau terluar di Kabupaten Sitaro itu.

Pandangan tentang kina garang dan kangkong tersebut diatas secara sosial menempatkan status orang-orang Makalehi lebih rendah daripada status sosial orang-orang di Pulau Siau yang memproduksi pala sebagai komoditi sangat membanggakan. Di pulau Makalehi memang sulit ditumbuhi pohon pala karena struktur tanah yang tidak sesuai dengan kebutuhan tanaman yang satu itu. Tetapi sebagai mahkluk sosial yang harus survive, warga kampung Makalehi dituntut menyesuaikan dengan kondisi lingkungan alam sekitarnya.

Tanpa malu akibat pendiskreditan sosial, penduduk pulau Makalehi tidak lantas merasa teralienasi dari kesatuan sosial saudara-saudara mereka yang mendiami pulau Siau. Mereka tidak lagi mengusik kepemilikan bersama atas kebun dan tanaman pala yang dikuasai oleh saudara-saudaranya di pulau Siau. Mereka tetap berjuang mempertahankan kehidupannya melalui usaha-usaha yang halal dan mengembangkan pola berdagang yang khas perbatasan ke ibukota provinsi (Manado). Sementara di kampungnya sendiri, penduduk menjadi terlatih menahan diri hidup hemat dengan memaksimalkan produksi rumah tangga secara konvensional. Implikasinya adalah terbentuk manajemen keuangan yang efektif dan efesien dalam ruang lingkup keluarga inti. Setiap keluarga menjadi waspada dan tak pernah terlena oleh gilang gemilang harta.

Beberapa di antara mereka hidup merantau di kota Manado dan membentuk komunitas sosial yang melembaga dalam kurun waktu yang cukup lama. Sebut saja ada Rukun Makalehi yang berbasis di Manado Utara dan meluas jangkauannya ke Kota Bitung. Lembaga ini hanya merupakan sekumpulan orang-orang yang diikat oleh solidaritas sosial untuk membangun kampungnya. Ikatan solidaritas ini menjadi sangat kuat dan dengan mudah membuka akses keluar daerah bahkan keluar negeri (negara lain: seperti Belanda).

Saya belajar banyak dari cara kerja mereka. Saudara mereka yang di Belanda mengirimkan sejumlah bantuan sosial untuk membangun gedung gereja dan sedikit biaya untuk membuat jalan setapak. Si pemohon bantuan hanyalah seorang kuli di sebuah toko kecil di bilangan Tikala Manado, tetapi ia dituntut harus membuat laporan keuangan secara terperinci dan tentunya sangat bertanggungjawab, meskipun mereka adalah sanak saudara. Dengan demikian terbangun kepercayaan yang sangat kuat dalam interaksi kekeluargaan itu. Hal ini membuat hubungan itu berlangsung lama dan tetap sehat sehingga akhirnya berpola menjadi sebuah perilaku sosial yang positif bagi pengembangan masyarakat. Bagi saya, masyarakat Makalehi menjadi berdaya bukan lantaran sentuhan program-program pemberdayaan masyarakat yang digalakan oleh pemerintah selaku agen pembangunan, melainkan karena sikap bertanggungjawab dari masyarakat untuk merespon kondisi alamnya sehingga mampu survive bahkan dapat mengembangkan diri menjadi lebih baik dari hari ke hari. Alhasil, kini Makalehi mencatat prestasi terbaiknya sejajar dengan masyarakat petani pala Siau yang pernah membuat sejarah sebagai petani dengan hasil pala terbaiknya.

Tidak ada komentar: