Rabu, 17 Februari 2010

KASUS ELLY LASUT DAN LELANG IKAN

Saya buta dengan dinamika politik mutakhir di Sulawesi Utara. Hari-hari ini, menjelang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) provinsi, berita para kandidat cukup meraja di halaman media massa di Sulawesi Utara. Dengan maksud melepas kangen dengan kampung saya, hari ini saya baca Tribun Manado, harian yang dikelola kelompok Kompas-Gramedia, lewat berita online. Di harian itu, berita Elly Lasut, salah satu kandidat dan kini pejabat bupati Kepulauan Talaud, menjadi berita utama. Elly telah jadi tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi oleh Kejati Sulut.

Dugaan korupsi Elly bukan kabar baru. Awal 2007, saya sempat bercakap-cakap dan bertukar cerita dengan beberapa pegiat anti-korupsi di Sulawesi Utara. Salah satu dari mereka punya bukti dugaan korupsi tersebut. Setidaknya begitu yang ia utarakan.

Di daerah, seperti di Sulawesi Utara, membongkar korupsi relatif mudah dilakukan. Terdapat banyak orang yang bersedia memasok data-data dugaan korupsi, terutama mereka yang merasa dirugikan oleh pelaku, macam kontraktor yang kalah proyek, atau birokrat yang tak jadi diangkat. Data bukan soal. Begitu juga Whistle blower. Apa yang kurang? Barangkali Sulawesi Utara masih terus mencari pegiat anti-korupsi militan dan punya integritas. Ini masih begitu kurang, kalau bukan belum ada.

Data adalah satu syarat penting, tapi jauh dari syarat cukup. Dengan data, seorang pegiat anti-korupsi bisa berubah menjadi tukang peras para pejabat. Dengan data, ia juga bisa baku tawar untuk sejumlah privilese pribadi -- minta uang, minta proyek, minta makan, minta posisi. Bekerja dalam sebuah kelompok atau jejaring yang demokratis, menjadi syarat utama guna menekan kemungkinan-kemungkinan di atas. Kalau tidak, beragam kompromi sangat mungkin jadi akhir cerita. Lebih dari itu, gerakan anti-korupsi dapat berhasil dan punya daya tonjok, tentu, andaikata ia disokong masyarakat secara luas dan masal. Dan dilancarkan penuh perhitungan. Tidak nekad.

Catatan lain barangkali adalah kelemahan analitik terkait korupsi. Analisa korupsi, termasuk dari para pakar, rasanya belum cukup membumi. Di tempat pertama, ini bukan karena sebagian pakar itu masih dapat dibeli, baik tubuh atau jiwa mereka, sehingga mereka berkepentingan untuk membangun analisa kurang jujur. Melainkan, karena korupsi di daerah punya kerumitan yang khas. Antara lain, social proximity yang pendek. Dengan enteng, Torang dapat memaki Neoliberalisme yang abstrak. Torang dapat pula mengumpat dana talangan Century yang heboh di Jawa. Tapi, Torang harus putar otak saat berhadapmuka dengan Om, Tante, Saudara, atau anggota Majelis Jemaat gereja sendiri, yang korupsi.

Terakhir, satu sketsa kasar terkait kelembagaan dan dinamika aktor. Saat membaca berita Tribun Manado, saya berpikir begini. Mungkin, kasus Elly sepatutnya dilihat sebagai sebuah proses tawar-menawar belaka. Di mana Kejati boleh jadi sedang memainkan peran titipan (pada aras institusi) dan peran sendiri (pada aras kepentingan individu), secara serempak. Dengan begitu, barangkali kasus itu tak beda jauh dengan proses yang dapat kita amati di pasar lelang ikan di Manado. Penjual dan pembeli senang, ikan pun pindah tangan.

Bagaimanapun juga ini masa menjelang Pilkada, ketika mesin-mesin pencitraan membuat kita sulit membaui amis ikan, dan cepat tenggelam dalam fantasi kenikmatan ikan bakar. Tapi, tamang, soal pokok mungkin bukan di situ.

Sulawesi Utara sedang paceklik pegiat anti-korupsi yang militan. Semilitan Robert Wolter Monginsidi, tuama dari kampung ikan itu.***Sonny Mumbunan

Tidak ada komentar: