Jumat, 12 Februari 2010

Bingung karena Mafia Berkeley? Sekali lagi! (Tanggapan untuk Ari Perdana)

M. Sadli adalah seorang sosialis. Saat nafas kekuasaan Sukarno di ujung leher, Sadli membaca dan menekuni karya Oskar Lange. Lange adalah sosok utama dalam debat Planning Controversy tahun 1930-an, salah satu debat paling penting dalam sejarah pemikiran ekonomi modern. Lange, bersama Abba Lerner, mewakili kelompok ekonom yang membela keutamaan perencanaan dalam perekonomian. Dalam hemat mereka, perencanaan terpusat dapat menggantikan kinerja mekanisme pasar.

Lawan debat mereka adalah Friedrich von Hayek dan Ludwig von Mises, dua ekonom liberal yang menyangkal bahwa sistem terpusat dapat mengganti keberhasilan pasar bebas. Debat sangat serius itu akhirnya dimenangkan kubu Lange, saat dunia masih dipenuhi bilur-bilur Depresi Ekonomi 1930 yang menggoyang sendi dan kepercayaan atas Kapitalisme, dan alternatif penjelasan ilmu ekonomi yang tersisa dan mengemuka adalah Keynesianisme dan Marxisme.

(Sisa debat itu masih terasa jauh sampai kini. Belum lama berselang, Hadiah Nobel Ekonomi 2007 diberikan untuk sumbangan ilmu ekonomi dalam memahami proses perencanaan perilaku ekonomi – apa yang disebut Mechanism Design – kendatipun Tembok Berlin sudah lama roboh dan banyak negara di dunia telah berpaling pada keutamaan mekanisme pasar. Termasuk Indonesia.)

Dengan membaca Lange, Sadli berharap dapat mencangkok ilmu ekonomi modern dengan prinsip-prinsip sosialis. Pikiran Sadli lebih dekat dengan gagasan “Fabian and Dutch socialist circles”, tulis ekonom Hal Hill dan Thee Kian Wee, dalam Bulletin of Indonesian Economic Studies, mengenang Sadli yang berpulang 8 Januari 2008 lalu. Model ekonomi terencana sosialis moderat ala komunitas Fabian di Inggris, dan dipraktekkan di India, cukup banyak dirujuk pada dekade 1950-an. Sebelum belajar ilmu ekonomi di University of California, Berkeley, Sadli menjadi asisten peneliti dari Sumitro Djojohadikusumo, sosok yang mengirim banyak ekonom untuk belajar di Amerika Serikat. Sumitro menjadi panutan Sadli. Sumitro sendiri adalah tokoh Partai Sosialis Indonesia (PSI).

Banyak orang mengenal Sadli juga sebagai salah satu tokoh terpenting dari "Mafia Berkeley", sebuah komunitas teknokrat alumnus Berkeley. Komunitas ini tak berbentuk pasti tapi oleh sebagian kalangan dianggap nyata dan berperan penting dalam khasanah pemikiran dan politik kebijakan di Indonesia. Sebagai bagian kekuasaan Orde Baru, mereka terlibat intens dalam perencanaan, perumusan, dan pelaksanaan kebijakan ekonomi yang relatif pro-pasar dan liberal. Entah sebagai menteri atau sebagai konsultan kebijakan.

Sosialis sekaligus pro-pasar dan liberal?

Ini cukup membingungkan memang. Kebingungan serupa nampaknya juga dialami rekan saya, ekonom Ari Perdana (AP), yang menulis dengan menarik perihal "Mafia Berkeley". Kebingungan tersebut terkait sekurangnya dua hal yang saling berkaitan. Kebingungan karena tipologi keliru atas paradigma ekonomi dan kebingungan lantaran memperlakukan gagasan sebagai konsep yang statik dan a-historis.

"Mafia Berkeley" adalah istilah yang dipopulerkan David Ransom, peneliti dan intelektual “kiri” yang pernah mengajar di London School of Economics. AP tidak membaca karya Ransom yang penuh detail terkait proses di belakang layar bagaimana sebuah komunitas teknokrat dipersiapkan dan direncanakan untuk sebuah rejim kebijakan dan tata ekonomi baru. (Praktik intervensionis macam ini lazim dilakukan sampai saat ini, entah terkait desentralisasi Indonesia, pencabutan subsidi publik, sistem jaringan sosial nasional, atau skema pasar karbon untuk perubahan iklim. Gitte Heij, misalnya, dalam salah satu edisi Bulletin of Indonesian Economic Studies tahun 2001, mengulas peran panjang Harvard Institute for International Development dalam mendorong reformasi pajak pendapatan Indonesia).

Paparan, analisa dan kesimpulan Ransom mungkin tidak sepenuhnya akurat, tapi mengabaikan detail yang disuguhkan Ransom bisa berakibat cukup serius: Ada dinamika kelembagaan mikro yang khas dan partikular yang tidak dapat dijelaskan dengan kacamata kelembagaan makro.

AP memilih kacamata makro. Sebagai contoh, Universitas Berkeley ia masukan dalam kelompok universitas kubu air asin (saltwater) yang cenderung Keynesian dan pro-negara, berhadaphadap dengan universitas kubu air tawar (freshwater) seperti Chicago yang neoklasik dan pro-pasar. Cacamata itu agak terbatas untuk memahami dinamika sebuah program studi Indonesia di Universitas Barkeley yang dirancang untuk memasok ekonom teknokrat pro-pasar (relatif atas posisi Sukarno), seperti digambarkan dan diyakini Ransom, atau Rizal Ramli atau Kwik Kian Gie.

Tapi, bukankah Sadli seorang sosialis? Di sini kita masuk pada kebingungan pertama, kebingungan tipologi paradigma pemikiran ekonomi. AP menggunakan tipologi Keynesianisme dan Neoklasik. Dengan tipologi macam itu, ia misalnya membandingkan kubu “pendukung” peran negara dan kubu “penentang” peran pasar. Dengan tipologi itu, perihal "Mafia Berkeley" tampak jadi seolah membingungkan. Di satu sisi, Sadli mendukung Bulog, inflasi terkontrol, dan sebagainya, yang notabene mendukung campur tangan negara. Di sisi lain, Sadli dan kelompoknya dituding "neoliberal" yang menafikan negara.

Tipologi yang lebih akurat secara historis barangkali sepatutnya adalah Marxisme, Keynesianisme dan Neoklasik, untuk menyebut kanon-kanon terpenting kala itu. Saat para ekonom menimba ilmu jadi teknokrat di Barkeley awal 1960-an, dan ketika Ransom memungut istilah Mafia Berkeley, tipologi ini yang berlaku. Di bawah cuaca perang dingin, Marxisme adalah satu kubu pemikiran yang penting. Dan karena ia begitu berbeda dengan Keynesianisme dan Neoklasik, dua pemikiran yang disebut belakangan ini kerapkali dikelompokkan sebagai satu kubu. Marxisme berhadaphadap dengan Keynesianisme+Neoklasik. Alasannya, antara lain, walaupun berbeda dalam katakanlah cara mereka memandang penyebab krisis ekonomi serta peran negara dan pasar, baik Keynesianisme dan Neoklasik mendukung Kapitalisme. Sedang Marxisme adalah nyaris sebuah kebalikan dari itu.

Dengan tipologi itu, Sadli atau Sumitro yang sosialis berada dalam kubu yang berbeda dengan Sukarno. “All those men can say to me is ‘Schumpeter and Keynes.’ When I was young I read Marx,” ujar Bung Karno, mengeluh, seusai menghadiri sebuah acara dengan para konsultan dari Amerika Serikat, seperti dikutip Ransom. Joseph Schumpeter adalah ekonom penting yang sangat membenci Sosialisme, tapi akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa sosialisme adalah niscaya. Schumpeter bukan seorang Marxis.

Lantas apa kaitannya dengan kebingungan kedua, yaitu konsep gagasan yang statik dan a-historis?

Dalam tipologi itu, Sadli dan Sumitro berada di tengah. Sejalan waktu, saat Marxisme melemah, Sadli bergeser relatif ke “kanan”. Lebih lagi, saat ia menyaksikan Sosialisme ala Indonesia (baca: ala Sukarno) yang berakhir bangkrut. AP dan saya, juga sejumlah besar generasi baru ekonom Indonesia, tumbuh dan besar tanpa eksposur memadai pada ilmu ekonomi dalam terang Marx. Generasi ini hidup, berdiskusi dan berdebat dalam tipologi Keynesianisme versus Neoklasik, sejak Marxisme dilarang Suharto usai mengambil alih kekuasaan dari Sukarno. Tipologi a-historis yang dipakai untuk melihat "Mafia Barkeley" dulu dan sekarang. (Larangan itu punya dampak cukup serius dalam proses berpengetahuan para intelektual di tanah air. Contoh adalah pendapat ganjil ini: Anda bukan seorang "neoliberal" kalau punya kursi butut di rumah. Ini mirip bilang, Marx bukan seorang revolusioner kalau gemar minum anggur). Dilihat secara statik, mungkin Sadli saat itu lebih atau tak kurang "revolusioner" ketimbang Rizal Ramli dan Kwik Kian Gie kala kini.

Dalam lansekap tipologi yang lebih lebar, para pembaca tulisan-tulisan terakhir Sadli bakal bisa menangkap, kendatipun ia mendukung peran negara pada tingkat tertentu, di tempat pertama ia adalah penganjur privatisasi, deregulasi dan liberalisasi pasar. Secara umum, epistemik Sadli sama halnya seperti Boediono dan Sri Mulyani.

Dalam lansekap tipologi yang lebih sempit, generasi ekonom seperti AP dan saya mungkin akan lebih cepat sampai pada kesimpulan bahwa ideologi tidak lagi terlalu relevan saat memperbincangkan politik kebijakan. Bukankah kompensasi melalui BLT 100 ribu perak setiap bulan bagi orang miskin telah diberikan negara SBY ketika subsidi BBM dicabut dan welfare level dianggap konstan (tanpa perlu menyoal motif ekonomi-politik di balik liberalisasi sektor energi kita)? Bukankah opportunity cost menalangi Bank Century lebih besar ketimbang tidak memberi talangan (tanpa perlu menyoal krisis berkala industri keuangan dan sektor spekulatif serta keputusan mobilisasi sumberdaya publik secara teknokratik)? Ini mungkin pertanyaan-pertanyaan standar dan paling kritis yang mampu diajukan generasi ekonom seperti kami.

Jaman terus berganti. Dan gagasan adalah anak jaman. Gagasan punya konteks historis, seperti ditekankan AP tapi tidak cukup diindahkan dalam tulisan tersebut. Gagasan ekonomi pembangunan para ekonom Keynesian “moderat”, seperti Harrod dan Domar, pelan-pelan ditinggalkan di negara berkembang. Begitu juga perubahan yang dialami gagasan Sosial-demokrasi dan negara kesejahteraan Keynesian di negara-negara Eropah. Dulu Bank Dunia sempat mendorong peran negara; Bank Dunia kini penganjur peran pasar.

Kelak ada satu masa, saat mendukung pencabutan subsidi publik untuk rakyat dan menentang kenaikan upah buruh, sejumlah ekonom menjauh dari Keynes. Pada masa yang lain, sejumlah ekonom tiba-tiba jadi pembela Keynes yang cukup militan ketika mendukung subsidi publik untuk bankir guna mencegah krisis sistemik.

Wajah jelek Karl Marx yang malas bercukur itu saja telah mulai menghiasi sampul muka dan jadi bahasan utama media-media besar pendukung Kapitalisme, seperti The Economist dan Wall Street Journal, manakala ekonomi dunia didera krisis. Seperti hari-hari ini. *** Sonny Mumbunan. 2010.

Tidak ada komentar: