Selasa, 11 September 2012

LA REGARD


Seluruh isi artikel ini adalah kutipan dari tulisan Wahyu Budi Nugroho yang berjudul "FILOSOFI TATAPAN MATA". Setelah membaca artikel bagus itu, kemudian saya mendapat sebuah postingan dari seorang sahabat yang menemukan foto tua dari museum di Jakarta yang menggambarkan sosok orang laki-laki dari pulau Sangihe. Untuk beberapa hari foto itu sempat kujadikan sebagai foto profil dalam akun facebook baru yang saat ini kumiliki, setelah kehilangan dua akun sebelumnya akibat kerja usil hacker yang tak manusiawi. Sorot mata lelaki itu mirip dengan sorot mataku. Intinya, saya mengamati secara cermat "tatapan mata" seorang nusa man yang sekiranya dapat dikorelasikan pada proposisi teoritik yang dibangun oleh Jean Paul Sartre sebagaimana dideskripsikan oleh Wahyu Budi Nugroho di bawah ini: 
 Tatapan mata atau yang dalam kamus popular filsafat Perancis diistilahkan dengan Le Regard, faktual menyimpan segudang simbol dan makna tersendiri. Terkait hal tersebut, filsuf kenamaan Perancis, Jean Paul Sartre, memiliki perhatian khusus terhadapnya. Lebih jauh dapat disimak pemikirannya mengenai Le Regard di bawah ini.

Menurut Sartre, Le Regard atau “Tatapan Mata” mengandung simbol sebagai berikut:

Simbol Keberanian Yang Bersifat Menantang atau Melawan
Sartre  mencontohkan kode etik dalam dunia Militer. Apabila seorang bawahan atau serdadu diketahui menatap mata seorang jenderal, kolonel atau perwira tinggi lainnya, maka seketika serdadu tersebut dapat dikenai sanksi. Dan, apabila kita cermati, setiap prajurit yang tengah menghadap atasannya, baik sendirian maupun sama-sama, tatapan matanya selalu lurus kedepan, tak satupun dari mereka yang berani menatap langsung mata atasannya, begitu pula dalam kegiatan baris berbaris.

Simbol Mengobjekan/Membendakan/Mempermalukan
Seorang ayah yang tengah “memelototi” anaknya. Ketika Kejadian tersebut tengah berlangsung, apa yang hendak disampaikan ayah pada anaknya yang mungkin telah melakukan kesalahan adalah, anak itu diminta untuk menilai dirinya/tindakannya sendiri melalui sepasang mata membelakak yang ditujukan kepadanya. Dengan demikian ia ibarat benda yang bebas dinilai, hanya saja, sang anak syarat memberikan penilaiannya sendiri. ketika momen tersebut tengah berlangsung terjadi “perpecahan” dalam diri sang anak, yakni ia sebagai manusia dan ia sebagai benda. Dapatlah dibayangkan, betapa “muaknya” seseorang jika berada dalam situasi dan kondisi demikian.

Simbol Pengekangan
Tatapan mata dapat pula dimaknai sebagai simbol pengekangan. Starte mengambil contoh, apabila kita tengah berbicara sendiri dan tiba-tiba seseorang melihat kita, dengan segera kita akan berpura-pura bernyanyi atau bersiul. Ini membuktikan betapa tatapan mata membuat kita “tak bebas”. Begitu pula, ketika di sebuah kerumunan, kita akan merasa sangat sungkan untuk mengupil ata menggaruk bagian-bagian vital tubuh meskipun gatal yang kita rasakan teramat sangat. (Tentunya ini tidak berlaku bagi yang terlihat sedang berbicara melalui ponsel sambil menggaruk....-)...hehehehe)

Simbol Penjajahan
Penjajahan yang dimaksudkan disini adalah “penjajahan atas dunia indidvidu”. Contohnya mengenai kesendiriannya di sebuah taman. Ketika ia tengah sendiri di tempat itu, kursi taman, air mancur, rerumputan hijau, bunga-bunga dan segala hal yang terdapat di taman itu menjadi objek penglihatannya. Namun, tiba-tiba seseorang hadir di taman itu, ia tak lagi sendirian, kini berganti dirinyalah yang diobjekkan, ia tersipu malu, tertindas, ia pun berkata, “orang itu telah merenggut duniaku…! Dalam momen tersebut, ia merasa dunia seolah memiliki “lubang kecil” yang menyedot segala hal kedalamnya, dan lubang kecil itu adalah tatapan mata seseorang.

Referensi:
Palmer, Donald D, 2003, Sartre Untuk Pemula, Jogjakarta, Kanisius.   


Le Regard Lelaki Dari Pulau Sangihe

Tidak ada komentar: