Selasa, 31 Januari 2012

PERGESERAN NILAI ADAT SANGIHE


Budaya sangat menentukan bagi kemajuan suatu bangsa, demikian Huntington sering mengingatkan kita tentang peranan budaya. Budaya yang baik dapat berjalan baik bilamana kita memahami kelahirannya dan terus menerus mengawal sampai akhirnya tujuan kemanusiaan itu bisa dicapai. Fukuyama mengatakan, budaya dapat memajukan manusia sekaligus dapat menghancurkan manusia. Tetapi Van Peursen mengatakan dengan budaya juga kita bisa mengembangkan strategi pembangunan suatu bangsa. Budaya dalam kajian ini merupakan adat yang hidup dan berlaku sebagai pandangan hidup suatu bangsa harus dapat dipetakan sebaik-baiknya pada posisi yang tidak gampang dikontaminasikan oleh kepentingan sesaat yang merugikan kemaslahatan hidup banyak orang.

Disorientasi Kemurnian Adat 
Khusus tentang adat Sangihe saya mencermati sedang mengalami disorientasi pada dimensi ontologis dan praksis lalu sedang bergerak cenderung menggeser subtansi atau nilai-nilai orisinilnya, akibat “campur tangan berlebihan” dari para penguasa yang duduk dalam struktur pemerintahan modern. Fenomena ini nampak jelas ketika terjadi pengalihan kekuasaan dari bupati lama ke bupati yang baru dan pada saat peran tokoh adat dituntut untuk memberikan gelar adat kepada mereka yang dinilai berprestasi dalam melaksanakan peran-peran sosial di tengah-tengah masyarakat. Menyongsong penyelenggaraan pesta adat Tulude 31 Januari 2012 nanti, Dewan Adat Sangihe merencanakan hendak memberikan gelar adat kepada saudara Olly Dondokambey, Yasti Supredjo Mokoagow, Vanda Sarundajang dan Syarief Hasan. Beberapa wartawan meminta pendapat dari saya terkait dengan hal menjernihkan persoalan siapa sebenarnya yang berhak menerima gelar adat. 

Mari kita perhatikan dengan seksama, bahwasanya budaya Sangihe berbentuk dua muka, yaitu: egaliter dan hierarkis. Budaya egaliter dianut oleh mereka yang membentuk kehidupannya di laut dan kedua adalah mereka yang membentuk kehidupannya di darat. Para pemimpin dan masyarakat laut memiliki perilaku yang bercorak terbuka sebaliknya pemimpin dan masyarakat yang hidupnya bergantung dari tanah memiliki corak hidup yang hierarkis tertutup. Implikasinya adalah masyarakat laut lebih bersifat progresif sedangkan masyarakat daratan lebih bersifat konservatif. Pelaut menginginkan perubahan pola yang benar-benar baru dengan pendekatan yang revolusioner, sedangkan masyarakat darat cenderung mempertahankan pola lama dengan pendekatan yang evolusioner. Kondisi ini membuat masyarakat Sangihe senantiasa berada pada dua ranah dalam melakukan perubahan sosial. Bahkan dalam memberikan gelar adat sekalipun, kadang-kadang melenceng dari pertimbangan-pertimbangan atau kriteria adat yang tepat. Pertanyaan selanjutnya adalah, apa kriteria yang tepat dalam memberikan adat sesuai dengan corak budaya Sangihe?

Saya berpendapat, pertimbangkan dengan sangat teliti tiga elemen berikut ini: Pertama, siapa subjek (pribadi) yang akan diberi gelar adat, kemudian kedua, apa prestasinya (predikat) terkait dengan kemaslahatan hidup banyak orang, dan ketiga adalah apakah subjek itu mampu melaksanakan peranan (predikat)nya dalam ruang dan waktu yang lama? Ketiga pertanyaan di atas mewakili tiga tingkat kelayakan karakter taumata malunsemahe (manusia) yang dianugerahi gelar adat, sekaligus tiga tingkat prestasi pada tiga media (laut atau air, darat atau gunung dan langit atau udara) serta tiga dimensi waktu (masa lalu, masa kini dan masa depan).

Taumata malunsemahe adalah taumata yang berada pada standar tertinggi tingkat kemanusiaan Sangihe yang ditempuh melalui sederet pengalaman hidup memanusiakan manusia lain (banyak). Perilaku taumata malunsemahe terdiri dari kombinasi 3 perilaku dasar yakni: mateleng, matelang dan mateling. Taumata disebut memiliki watak mateleng apabila di dalam dirinya terdapat sifat diam, rajin dan setia pada pengabdiannya. Taumata disebut matelang apabila kualitas fisik (paduan antara kekuatan dan kerajinan) dan kualitas psikhis (kombinasi kematangan dan ketekunan) menjadi satu.

Taumata disebut mateling apabila kualitas mateleng dan kualitas matelang berpadu dalam keseimbangan. Itulah sebabnya sangat sulit memenuhi kriteria ini dalam mewujudkan Taumata Malunsemahe. Pada umumnya yang dapat diwujudkan adalah Taumata Mateleng dan Taumata Matelang. Oleh sebab itu gelar adat sebaiknya mengacu pada pencapaian tingkatan kemanusiaan Mateleng dan Matelang untuk peraih prestasi yang aktif. Sedangkan prestasi yang diraih oleh Taumata Mateling manakala taumata sudah berada pada kondisi pasif tetapi memiliki kemampuan mateleng dan matelang sekaligus. Taumata Mateleng berhak mendapat reward gelar berupa perunggu, Taumata Matelang berhak mendapat reward perak dan Taumata Mateling berhak mendapat reward emas.

Menjadi sangat bias makna bilamana ternyata taumata yang dianugerahi gelar adat (matelang dan mateling) adalah orang luar yang tidak dikenal oleh bangsanya sendiri dan tidak berprestasi bagi bangsanya sendiri. Oleh sebab itu menurut hemat saya, bercermin dari budaya KITE, maka gelar-gelar adat dapat diberikan kepada:
  1. Orang-orang yang berasal dari dalam (Tau Kite) dan orang-orang dari luar (bukan Tau Kite) tetapi aktif membangun bangsa KITE dapat diberikan gelar adat dengan predikat MATELENG. Simbolnya adalah perunggu dan pakaian kebesarannya adalah kain kofo berwarna merah. Inilah simbol dari keagungang Mawendo.
  2. Orang-orang dalam (Tau Kite) yang aktif membangun bangsa KITE berhak mendapatkan gelar adat dengan predikat MATELANG. Simbolnya adalah perak dengan pakaian kebesaran adalah kain kofo berwarna putih. Inilah simbol dari keagungan Aditinggi.
  3. Orang-orang dalam (Tau Kite) yang tidak aktif membangun tetapi sudah mendapatkan kedua gelar (Mateleng dan Matelang) semasa pengabdiannya dan sampai pada usia yang tidak produktif secara fisik, tetapi masih membuat karya-karya intelektual untuk kemaslahatan bangsa, kepada merekalah pantas mendapatkan predikat sebagai MATELING. Simbolnya adalah emas dengan pakaian kebesaran kain kofo berwarna kuning. Inilah simbol keagungan Genggona Langi.
Mengenai bidang gelarnya akan ditambahkan pada ketiga predikat yang disandang. Misalnya: Mateleng U Wanua, Matelang U Wanua dan Mateling U Wanua.

Komodifikasi Berlapis
Upaya reposisi nilai-nilai adat pada pemberian gelar adat yang selama ini dinilai telah dipengaruhi oleh muatan-muatan politik ekonomi kekuasaan (pemerintah dalam arti luas). Artikel tersebut mendapat respon positif dari Dr Ivan Kaunang yang mengulas tentang fenomena kebudayaan yang didefinisikan sebagai Komodifikasi Berlapis.

Di dunia ini sarat dengan berbagai kepentingan, tidak ada aktivitas tanpa diselubungi kepentingan, karena kepentingan adalah tujuan dari pemikiran dan tindakan manusia. Oleh kepentingannya manusia berbudaya. Kepentingan bergerak ke dua arah, yaitu positif dan negatif. Itulah sebabnya adat sebagai produk kebudayaan juga mengalami perubahan ketika kepentingan itu bersentuhan dan muncul ke permukaan kehidupan manusia. Pada tataran tertentu potret adat ternyata mengalami perubahan dari bentuk aslinya. Perubahan pada gerak linier (berkembang) secara bertingkat-tingkat atau berlapis-lapis sesuai dengan kepentingan tadi. Ada yang diarahkan untuk kepentingan politik, pariwisata, ekonomi dan lain sebagainya. (Ivan R.B. Kaunang dalam bukunya berjudul: Maengket: Kristalisasi Politik Identitas (ke)Minahasa(an)).

Kaunang (http://www.facebook.com/profile.php?id=1548422365 dalam artikel saya) selanjutnya mengatakan, komodifikasi dimaknai sebagai sesuatu yang sebelumnya bukan dibuat/diproduksi untuk dijual, tetapi sekarang sudah dijual (Konsep Piliang, dalam Dunia yang dilipat). Komodifikasi Berlapis, yaitu suatu realitas yang tidak lagi melihat suatu produk utama yang dijual untuk dikonsumsi secara massifikasi tetapi produk lain yang melapisinya, seperti yang dijual gelar adat, tetapi tujuannya, misalnya untuk politik, untuk ideologi tertentu, untuk mendapat jabatan, untuk hal lainnya diluar gelar adat.. Mungkin pencitraan, mungkin juga makna lain supaya dilihat berbudaya, tahu adat atau memang tidak tahu adat.

Dalam konteks adat Sangihe yang dikomodifikasikan berlapis untuk kepentingan bukan adat; jika dibiarkan berlangsung terus akan melahirkan produk pertama: Generasi "bega adate" (tidak tahu adat) yang berciri: warna biru, agak cair dan sangat mudah terurai seperti tinja bayi. Jika generasi bega adate terus melakukan komodifikasi pada lapisan kedua, maka akan lahir sebuah generasi lapisan kedua yang disebut sebagai generasi “tai adate”(tidak mempunyai adat) yang ciri-cirinya: bercorak kuning, panas kalau masih baru, rapuh (mudah hancur) dan busuk. Ibarat tinja orang dewasa. Selanjutnya, jika generasi tai adate terus menerus melakukan komodifikasi pada lapisan ketiga yaitu akumulasi dari tai adate. Budaya kite, hidup di dua ranah yaitu darat dan laut dengan dua corak bahasa: Sasalili dan Sasahara. Mereka (tai adate) yang “menjual” adat di laut akan mengalami kehancuran (tercerai-berai), sebagian akan dimakan ikan dan sebagian akan terurai secara alami dengan lingkungan sekitar laut. Tetapi bagi mereka (tai adate) yang “menjual” adate di darat, mereka akan ditelan bumi, terurai seluruhnya oleh tanah. Pada komodifikasi lapisan ketiga ini, kehidupan (kebudayaan) bangsa Sangihe akan mengalami krisis pada tiga situasi genting, yaitu:
  1. Mengalami kecemasan besar (The Great Dellusion)
  2. Mengalami kekacauan besar (The Great Dissruption)
  3. Mengalami kematian besar (The Great Deceasion)
Saya pikir penyebab utama dari terjadinya situasi “disorientasi makna budaya” adalah lemahnya pengetahuan mengenai nilai-nilai luhur kebudayaan kite. Kita yang hidup di masa "post modern" seolah-olah bukan merupakan rangkaian dari masa lalu, ada semacam "missing link" kebudayaan. Mobilitas budaya kite yang bergerak sentripetal dan saling berbenturan karena tak beraturan, menurut saya disebabkan oleh adanya "kesadaran semu" sebagai dorongan kepentingan-kepentingan politik ekonomi yg bersifat sementara. Juga merupakan implikasi negatif (bias) dari perilaku budaya kite pada tataran keluarga yakni sikap mughaghelare atau mahungge. Perilaku bias ini yang menjadi dominan.

Tetapi coba perhatikan dengan seksama, tidak ada satupun bahasa kite (asli) yang bermakna terima kasih. yang ada hanyalah kata “tarimakase” sebagai serapan dari bahasa lain. Mengapa demikian? alasanya karena perilaku Taumata Sangihe dibentuk dari 3 komponen; mateleng, matelang, mateling yang pada akhirnya terwujudlah taumata malunsemahe (damai & sejahtera) secara otonom. Simpulan saya, Orang Sanger bukan orang yang tidak tahu berterima-kasih, tetapi orang yang tahu menghargai (menghormati). Itulah esensi dari mahungge. Dengan mengucapkan kata "tarimakase" maka besok atau tahun depan atau sepuluh tahun depan orang yang dihargai itu segera dilupakan. Tetapi hungge tidak demikian, orang yang berjasa itu tidak pernah dilupakan. Bagi Orang Sanger, mati bukan berarti kehilangan nafas dan jiwa, melainkan dilupakan jasanya untuk selama-lamanya. Sedangkan hidup adalah kehormatan.

Secara sosiologis, "mahungge" adalah sebuah respon terhadap stimulan dari luar yang geraknya terhubung secara timbal balik dan berlangsung terus menerus dalam waktu yang relatif lama (kronis). sebaliknya "tarimakase" adalah respon manusia pada umumnya terhadap stimulan positif yang berlangsung seketika (akut). Saya kira kadar dalam ukuran “tarimakase” yang kita berikan kepada orang yang berjasa kepada kemaslahatan hidup Bangsa Sangihe terlalu kecil nilainya. Kite Bangsa Sangihe harus memberikan nilai besar yang disebut hungge, oleh sebab itu berikanlah gelar adat sebagai matelang u wanua kepada mereka yang berjasa itu dengan jubah putih sebagai pakaian kebesaran.

Badanisasi Dewan Adat 
Dewan Adat Sangihe (DAS) kini berubah menjadi Badan Adat Sangihe (BAS). Sebelumnya, DAS merupakan institusi informal yang berada di luar struktur institusi formal, lembaga pemerintahan daerah. Lembaga adat selama ini otonom dan independen dalam menyelenggarakan fungsinya, seperti halnya lembaga agama dan organisasi-organisasi massa lainnya. Akan tetapi pelaksanaan fungsi lembaga adat tentunya bersinergi dengan fungsi lembaga searas (lembbaga formal = agama dan ormas) maupun lembaga yang tidak searas (lembaga formal = Bupati dan wakilnya, DPRD, TNI dan Polri, Hakim dan Jaksa selaku unsur-unsur Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif di daerah).

Bilamana kita cermati mengenai peranan lembaga-lembaga informal, dapat diidentifikasi dominasi dari peran lembaga agama lebih signifikan daripada dua lembaga lainnya (ormas dan adat). Lembaga agama memiliki struktur yang lebih luas dan memadai untuk menyelenggarakan fungsi sampai pada satuan terkecil di jemaat bahkan kelompok-kelompok pelayanan yang terdiri dari sejumlah keluarga-keluarga. Seluruh komponen strukturnya menjadi fungsional sehingga menjamin kelangsungan hidup institusi. Bahkan sekarang ini cenderung mengarah ke penguatan teritorial yang bisa menggiring anggotanya pada pembentukan faksi-faksi, sebagai cikal bakal penyebab terjadinya konflik horizontal. Sebaliknya institusi adat dan ormas tidak mengakar sampai ke satuan-satuan terkecil dalam masyarakat sehingga fungsinyapun mengalami percepatan yang sangat lamban.

Interaksi yang terbangun antara institusi formal dengan institusi informal seharusnya berlangsung secara horizontal, tetapi realitas justru menerangkan lain, interaksi berlangsung secara vertikal (hierarkis). Dengan demikian hubungan kerja antara personil Dewan Adat dengan Pemerintah Daerah (yang didominasi peran eksekutif) mudah sekali saling berkolaborasi dalam berbagai upaya yang terkait dengan kepentingan-kepentingan politik praktis yang pada akhirnya membuat kedudukan Dewan Adat yang otonom dan independen tadi bergeser dan labil. Berkolaborasinya kepentingan-kepentingan tersebut tidak menimbulkan banyak resiko pada pengambilan keputusan strategis di kedua lembaga, baik Eksekutif Daerah maupun Dewan Adat.

Ada dua alasan yang mungkin dapat dirasionalisasikan dalam kaitan pergeseran posisi Dewan Adat ke Badan Adat yang saya sebut sebagai “Perselingkuhan Fungsi” ini. Kedua alasan yang bersifat situasional itu antara lain:
  1. Rendahnya tingkat resistensi internal dalam struktur Dewan Adat yang sangat ramping (sederhana) dan tidak mengakar, sehingga memungkinkan munculnya situasi kerja antar kedua lembaga pada satu kepentingan yang sama, tanpa gejolak yang berarti. Kondisi ini memberi ruang yang besar pada kedua lembaga untuk memperkuat dan melanggengkan kerjasama yang berlangsung dalam hubungan patron-klien dan strukturnya bersifat hierarkis (atasan-bawahan).
  2. Menguatnya fungsi kontrol dari media massa untuk melakukan kritik terhadap posisi independen Dewan Adat dalam bingkai informalnya. Ketika disadari terjadi penguatan pada fungsi kontrol media, maka kedua lembaga (Dewan Adat dan Eksekutif daerah) mengambil jalan alternatif dengan meleburkan sebagian dari fungsi adat yang dapat dikomodifikasikan untuk kepentingan (tujuan-tujuan) politik praktis kedalam struktur birokrasi pemerintah daerah melalui pelembagaan Dewan Adat menjadi Badan Adat.
Berlangsungnya dua situasi di atas dalam waktu bersamaan dan moral pemerintah dituntut untuk memenuhi rasa tanggungjawab yang besar sebagai balas budi atas supporting pihak lain yang berkontribusi dalam tatanan pemerintahan serta adanya kehendak untuk memberikan penghargaan kolektif yang setinggi-tingginya melalui peran adat, tanpa harus mengorbankan kemurnian adat itu sendiri, maka pemerintah daerah mengambil langkah untuk membadanisasikan Dewan Adat sebagai bentuk “komodifikasi berlapis” dimana lapisan adat pada tataran ini ditujukan untuk kepentingan politik. Hal yang sama nilainya bilamana bentuk-bentuk semacam ini digunakan untuk tujuan perencanaan dan pengembangan bidang pariwisata, ekonomi, pendidikan, sosial dan lain-lain.

Dengan adanya komodifikasi berlapis tersebut, maka struktur penyelenggaraan fungsi adat mengalami perubahan yang menyolok. Menurut pendapat saya, badanisasi boleh dilakukan tanpa membubarkan Dewan Adat, sebab peranan Dewan Adat tidak sekedar melaksanakan seremoni-seremoni adat tetapi jauh lebih luas untuk melindungi dan mempertahankan nilai-nilai adat agar tetap lestari serta melakukan pengendalian terhadap fungsi adat yang masih relevan diterima dalam kehidupan bermasyarakat. Saya memahami kehadiran Badan Adat bertujuan untuk melengkapi kebutuhan-kebutuhan praktis yang diperlukan pemerintah daerah dalam tata kelola pemerintahan yang mudah dikendalikan oleh mesin birokrasi, mudah mendapatkan suntikan dana bersumber APBD dan dapat dibangun secara terrencana. Kedepan diharapkan, pemerintah daerah dapat melakukan maksimalisasi fungsi pada Badan Adat agar bersinergi dengan SKPD lain yang bertalian fungsinya semacam Dinas Pariwisata, tetapi tetap berkoordinasi dengan Dewan Adat dalam hal memelihara kemurnian adat.

Membangun adat boleh saja melalui badanisasi lembaga adat, tetapi tidak boleh memusnahkan kemurnian adat dengan membubarkan Dewan Adat. Tanpa adat, kita ibarat tinggal di suatu tempat tanpa alamat. Dengan adanya Badan Adat bukan berarti disitulah kemurnian adat. Tetapi kemurnian adat berada pada Dewan Adat. Hal ini jangan sampai menimbulkan kebingunangan dan “sesat pikir” kepada para peneliti kebudayaan Sangihe yang mencari kemurnian adat. Sebagai bangsa Sangihe, kita tahu persis kemana mencari alamat palsu dan kemana mencari alamat yang murni.


Tidak ada komentar: