Kamis, 03 November 2011

MALUNSEMAHE


Oleh: Tomy Bawulang pada 22 September 2011 jam 11:47

Malam ini saya diundang untuk mempresentasikan konsep DAMAI dari perspektif INDONESIA dalam acara Night for Peace di Centennial Park Nashville yang di sponsori oleh NPT (Nashville Public Television) dan beberapa NGO yang terlibat aktif dalam rangkaian kegiatan Ten Days For Peace dalam rangka  mengenang peristiwa 9/11. Momentum semangat kebangkitan Sangihenisme yang akhir akhir ini semakin intensive di gaungkan khususnya dalam forum Sangihe Menyala memberi saya inspirasi untuk membawakan konsep damai dlm versi Sangihe yang saya adopsi dari makna filosofisMALUNSEMAHE.

Kenapa MALUNSEMAHE?

Tidak ada catatan yang dapat saya jadikan referensi etimologis maupun semantik tentang kata 'malunsemahe' dalam bahasa Sangihe kuno. Dari pelajaran sekolah minggu yang saya ingat, kata ini memiliki makna yang melebihi makna intrinsik dari kata damai yang kita ketahui sebagai terjemahan kata Peace dalam bahasa Inggris. Bedanya adalah, damai lebih merujuk pada kondisi "dimana tidak ada perang, tidak ada permusuhan, tidak ada kerusuhan, tentram, tenang" (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008,p.312 versi pdf).

Makna ini terlalu harafiah, yang jika diterjemahkan secara bebas maka selama tidak ada permusuhan maka itulah damai. Malunsemahe, lebih menekankan pada makna pragmatis yang mengisyaratkan beberapa kondisi yang harus terpenuhi agar bisa di katakan malunsemahe. 

Pertama, dalam konteks 'subjek' harus minimal ada 'aku dan kamu' atau "ia dan ikau" yang kemudian dalam konteks yang lebih luas harus mencakup "ikami dan ikamene" ("kami dan kamu"). Syarat ini penting karena eksistensi "ia" tidak akan pernah ada tanpa "ikau" . Dengan kata lain 'aku dan kamu' adalah interdependant, saling ketergantungan. Untuk bisa eksis diperlukan co-exist agent. Singkatnya, jika kamu tidak ada maka aku pun tidak akan ada dan vice versa. 

Kedua, Malunsemahe mengisyaratkan 'persatuan dan keutuhan' (unity and completeness). Sebagaimana kamu membuatku ada/exist dan vice versa maka kita harus bersatu dan saling melengkapi untuk bisa mempertahankan existensi tersebut. "Keberadaan dan ketiadaan menjadi sesuatu yang sangat jelas dan tegas, there is nothing in between alias tidak ada ranah abu abu. Jika aku menginginkan kelanggengan maka tidak ada pilihan lain selain aku melanggengkan kamu. Sehingga ancaman bagimu adalah juga ancaman bagiku. Jika konsep ini dipahami oleh semua orang maka sangat mudah untuk menciptakan damai di muka bumi ini. Di sinilah phase yang menuntut  subjek "aku dan kamu"  "ia dan ikau", "ikami-ikamene" (kami dan kalian) harus berintegrasi menjadi satu, menjadi "kita', "ikite" . 

Ketiga berbeda dengan kata damai yang tidak terlalu mempersoalkan kondisi ''well-beingness" (selama kita tidak berperang maka itulah damai), Malunsemahe mengisyaratkan kondisi dimana bukan saja tidak bertengkar, tetapi juga bersama sama harus bisa merasakan kesejahteraan. Dengan kata lain tidak berperang tapi hidup melarat belum bisa di kategorikan Malunsemahe. Konsep 'well beingness' atau kesejahteraan harus terpenuhi agar bisa mencapai suatu kondisi 'malunsemahe'.  Menjadi penting bagi kita untuk mencatatnya bahwa kesejahteraan harus diwujudkan dalam konteks kebesamaan "ikite"  . Semua memiliki hak yang sama untuk sejahtera karena ketika hanya  "Ia dan ikami" yang merasakan kesejahteraan, maka akan terjadi pengingkaran terhadap prasarat pertama dan kedua tadi yang pada akhirnya merupakan awal malapetaka dan kehancuran existensi "ia dan ikami" itu sendiri.

Konsep filosofis kuno malunsemahe ini memiliki makna yang sama dengan konsep "Shalom" dalam bahasa Ibrani, "Shalaam" dalam bahasa Arab, "Sliem" dalam bahasa Malta, atau "Shlomo" dalam bahasa Syria.

Dengan memahami makna ini maka terlalu bodoh jika kita merasa alergi dengan ungkapan salam damai yang selama ini dianggap bukan milik kita. Umat Kristiani alergi dengan salam "Assallammualaikum", umat Muslim alergi dengan sapaan "Shalom", padahal secara substantif keduanya memilki makna yang sama yaitu damai sejahtera atau Malunsemahe

Mengapa konflik terjadi?

Penyebab konflik horisontal yang selama ini terjadi di berbagai belahan dunia termasuk di negara kita sebenarnya dapat dipahami dengan sederhana dari perspektif malunsemahe, yaitu kita terlalu bodoh untuk memahami makna 'peace' yang hakiki. Konsep malunsemahe menjelaskan secara gamblang atau meminjam istilah pak SBY "terang benderang" bahwa, Perang, permusuhan, perselisihan, kebencian terjadi karena "ia" (aku) terlalu dominan dan tidak mengakui existensi "ikau" , ego-centrism di kedepankan sebagai acuan untuk memahami damai.

Konsep inilah yang diangkat penulis dan filsuf Latin Publius Flacius Vegetius Renatus yang terkenal dengan ungkapan Si vis pacem, para bellum(Jika kamu menginginkan damai maka bersiaplah untuk berperang). Suatu konsep yang sangat bertentangan dengan filosofi Malunsemahe masyarakat Sangihe yang secara geografis sangat jauh dan terisolasi dari pusat peradaban dunia.

Sebagai orang Sangihe, malam ini saya merasa bangga dapat menyumbangkan satu konsep sederhana yang berakar dari filosofi Sangihe kepada dunia tentang dunia yang damai dan sejahtera bagi semua orang, dunia yang Malunsemahe......

Sambutlah salam damai saya untukmu dan untuk dunia , M a l u n s e m a h e..!

Tomy "Ungke" Bawulang
Putra Sangihe......

Centennial Park, Nashville Tennessee, September 21st, 2011


Tidak ada komentar: