Malam
ini saya diundang untuk mempresentasikan konsep DAMAI dari perspektif INDONESIA
dalam acara Night for Peace di Centennial Park Nashville yang di sponsori oleh
NPT (Nashville Public Television) dan beberapa NGO yang terlibat aktif dalam
rangkaian kegiatan Ten Days For Peace dalam rangka mengenang peristiwa
9/11. Momentum semangat kebangkitan Sangihenisme yang akhir akhir ini semakin
intensive di gaungkan khususnya dalam forum Sangihe Menyala memberi saya
inspirasi untuk membawakan konsep damai dlm versi Sangihe yang saya adopsi dari
makna filosofisMALUNSEMAHE.
Kenapa MALUNSEMAHE?
Tidak
ada catatan yang dapat saya jadikan referensi etimologis maupun semantik
tentang kata 'malunsemahe' dalam bahasa Sangihe kuno. Dari
pelajaran sekolah minggu yang saya ingat, kata ini memiliki makna yang melebihi
makna intrinsik dari kata damai yang kita ketahui sebagai
terjemahan kata Peace dalam bahasa Inggris. Bedanya adalah, damai lebih
merujuk pada kondisi "dimana tidak ada perang, tidak ada permusuhan, tidak
ada kerusuhan, tentram, tenang" (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2008,p.312
versi pdf).
Makna
ini terlalu harafiah, yang jika diterjemahkan secara bebas maka selama tidak
ada permusuhan maka itulah damai. Malunsemahe, lebih
menekankan pada makna pragmatis yang mengisyaratkan beberapa kondisi yang harus
terpenuhi agar bisa di katakan malunsemahe.
Pertama,
dalam konteks 'subjek' harus minimal ada 'aku dan kamu' atau "ia dan ikau"
yang kemudian dalam konteks yang lebih luas harus mencakup "ikami dan ikamene"
("kami dan kamu"). Syarat ini penting karena eksistensi "ia"
tidak akan pernah ada tanpa "ikau" . Dengan kata lain
'aku dan kamu' adalah interdependant, saling ketergantungan. Untuk bisa eksis
diperlukan co-exist agent. Singkatnya,
jika kamu tidak ada maka aku pun tidak akan ada dan vice versa.
Kedua, Malunsemahe
mengisyaratkan 'persatuan dan keutuhan' (unity and completeness). Sebagaimana kamu membuatku ada/exist dan vice
versa maka kita harus bersatu dan saling melengkapi untuk bisa
mempertahankan existensi tersebut. "Keberadaan dan ketiadaan menjadi
sesuatu yang sangat jelas dan tegas, there is nothing in between alias tidak ada ranah abu abu. Jika
aku menginginkan kelanggengan maka tidak ada pilihan lain selain aku
melanggengkan kamu. Sehingga ancaman bagimu adalah juga ancaman bagiku. Jika
konsep ini dipahami oleh semua orang maka sangat mudah untuk menciptakan damai
di muka bumi ini. Di sinilah phase
yang menuntut subjek "aku dan kamu" "ia dan
ikau", "ikami-ikamene" (kami dan kalian) harus berintegrasi
menjadi satu, menjadi "kita', "ikite" .
Ketiga
berbeda dengan kata damai yang tidak terlalu mempersoalkan kondisi ''well-beingness" (selama kita
tidak berperang maka itulah damai), Malunsemahe mengisyaratkan
kondisi dimana bukan saja tidak bertengkar, tetapi juga bersama sama harus bisa
merasakan kesejahteraan. Dengan kata lain tidak berperang tapi hidup melarat
belum bisa di kategorikan Malunsemahe. Konsep 'well
beingness' atau kesejahteraan harus terpenuhi agar bisa mencapai suatu
kondisi 'malunsemahe'. Menjadi penting bagi kita untuk mencatatnya
bahwa kesejahteraan harus diwujudkan dalam konteks kebesamaan "ikite"
. Semua memiliki hak yang sama untuk sejahtera karena ketika
hanya "Ia dan ikami" yang merasakan kesejahteraan,
maka akan terjadi pengingkaran terhadap prasarat pertama dan kedua tadi yang
pada akhirnya merupakan awal malapetaka dan kehancuran existensi "ia
dan ikami" itu sendiri.
Konsep
filosofis kuno malunsemahe ini memiliki makna yang sama dengan
konsep "Shalom" dalam bahasa Ibrani, "Shalaam" dalam
bahasa Arab, "Sliem" dalam bahasa Malta, atau "Shlomo" dalam
bahasa Syria.
Dengan
memahami makna ini maka terlalu bodoh jika kita merasa alergi dengan ungkapan
salam damai yang selama ini dianggap bukan milik kita. Umat Kristiani alergi
dengan salam "Assallammualaikum", umat Muslim alergi dengan sapaan
"Shalom", padahal secara substantif keduanya memilki makna yang sama
yaitu damai sejahtera atau Malunsemahe
Mengapa konflik terjadi?
Penyebab
konflik horisontal yang selama ini terjadi di berbagai belahan dunia termasuk
di negara kita sebenarnya dapat dipahami dengan sederhana dari
perspektif malunsemahe, yaitu kita terlalu bodoh untuk memahami
makna 'peace' yang hakiki. Konsep malunsemahe menjelaskan
secara gamblang atau meminjam istilah pak SBY "terang benderang"
bahwa, Perang, permusuhan, perselisihan, kebencian terjadi karena "ia" (aku)
terlalu dominan dan tidak mengakui existensi "ikau" ,
ego-centrism di kedepankan sebagai acuan untuk memahami damai.
Konsep
inilah yang diangkat penulis dan filsuf Latin Publius Flacius Vegetius Renatus
yang terkenal dengan ungkapan Si vis pacem, para bellum(Jika kamu
menginginkan damai maka bersiaplah untuk berperang). Suatu konsep yang sangat
bertentangan dengan filosofi Malunsemahe masyarakat Sangihe
yang secara geografis sangat jauh dan terisolasi dari pusat peradaban dunia.
Sebagai
orang Sangihe, malam ini saya merasa bangga dapat menyumbangkan satu konsep
sederhana yang berakar dari filosofi Sangihe kepada dunia tentang dunia yang
damai dan sejahtera bagi semua orang, dunia yang Malunsemahe......
Sambutlah
salam damai saya untukmu dan untuk dunia , M a l u n s e m a h e..!
Tomy "Ungke" Bawulang
Putra Sangihe......
Centennial Park, Nashville Tennessee, September 21st, 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar